Home Islam & Indonesia Wacana Islam ‘Nusantara’ dan Agenda Liberalisasi Islam

Wacana Islam ‘Nusantara’ dan Agenda Liberalisasi Islam

6881
0

Wacana Islam Nusantara dan Agenda Liberalisasi Islam

Pada perayaan Isra’ Mi’raj di Istana Negara, Jum’at, 15 Mei 2015, dosen UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, M. Yasser Arafat, tampil membacakan Q.S. An-Najm ayat 1-15 dengan cara bacaan yang disebut ‘langgam Jawa’ (atau dikenal juga dengan sebutan ‘langgam Nusantara’). Tilawah Al-Qur’an yang kemudian menuai kontroversi ini diakui oleh Menteri Agama RI Lukman Hakim Saifuddin sebagai idenya sendiri. Meski Menag telah menyatakan permintaan maafnya atas kontroversi yang ditimbulkan, namun perdebatan soal ‘langgam Jawa’ terus bergulir, bahkan kini berkembang menjadi wacana ‘Islam Nusantara’

Tulisan ini dibuat tidak untuk membahas ‘langgam Nusantara’ atau ‘Islam Nusantara’ dalam kajian fiqih, melainkan melacak hubungan antara wacana ‘Islam Nusantara’ dengan pemikiran Islam liberal atau gerakan liberalisasi Islam di Indonesia. Untuk melakukan hal ini, penulis akan berusaha menarik komentar-komentar langsung dari para pengusung paham Islam liberal dan juga menimbang wacana ini dari sudut pandang sejarah. Dikarenakan wacana ini masih terbilang sangat baru, maka banyak sumber dalam makalah ini yang diambil dari pemberitaan media massa.

‘Langgam Nusantara’ dan Tanggapannya

Pembacaan Al-Qur’an dengan ‘langgam Nusantara’, menurut Menag Lukman Saefuddin, memiliki tujuan tertentu. Dalam komentarnya sesuai membuka Rakernas Kemenag RI di Hotel Mercure Ancol, Jakarta, Selasa (19/05), Lukman menyatakan bahwa ‘langgam Nusantara’ adalah semacam bukti bahwa sejak ratusan tahun yang lalu para pendahulu telah memadukan nilai agama dalam tradisi yang berkembang di Indonesia. Adapun melalui akun Twitter resminya, sebagaimana dilansir oleh Tempo, Menag mengatakan tujuan pembacaan Qur’an dengan langgam tersebut adalah “…menjaga dan memelihara tradisi Nusantara dalam menyebarluaskan ajaran Islam di Tanah Air.”

Laman situs Fimadani melansir pendapat Syaikh ‘Abdullah ibn ‘Ali Bashfar terhadap langgam Jawa tersebut. Menurut beliau, setidaknya ada lima kesalahan yang telah dilakukan. Pertama, kesalahan tajwid, yaitu ketika panjang mad dipaksakan mengikuti kebutuhan lagu. Kedua, kesalahan lahjah (logat), sebab Al-Qur’an sangat dianjurkan untuk dibaca sebagaimana orang Arab membacanya. Ketiga, kesalahan takalluf, yakni memaksakan untuk meniru lagu yang tidak lazim dalam membaca Al-Qur’an. Keempat, ada bahaya kesalahan niat, yaitu jika membaca Al-Qur’an dengan niat menonjolkan ashabiyah kejawaan atau keindonesiaan. Kelima, dan ini yang dianggap paling fatal, adalah risiko munculnya maksud mengolok-olok ayat-ayat Al-Qur’an yang disamakan dengan lagu-lagu kedaerahan, atau dalam hal ini lagu-lagu Jawa.

Wakil Sekjen MUI Pusat, Tengku Zulkarnain, sangat menyayangkan insiden pembacaan Al-Qur’an dengan langgam Jawa tersebut. Menurutnya, dalam pembacaan itu, terdapat banyak kesalahan, baik dari segi tajwid, fashohah dan lagunya. Ketua PP Muhammadiyah, Yunahar Ilyas, berkomentar bahwa membaca Al-Qur’an dengan langgam memang tidak dilarang selama tidak melanggar tajwid. Akan tetapi, menurutnya, yang harus dipertimbangkan bukan hanya soal hukum, melainkan juga soal kepantasan. Yunahar menganalogikan dengan shalat di Masjid dengan sarung dan singlet saja. Hal ini memang boleh, namun tidak pantas. Yunahar juga menggarisbawahi prinsip bahwa Al-Qur’an itu universal, dan karenanya tak perlu ‘dikotak-kotakkan’ dengan suku. Hal ini dianggap kontraproduktif untuk persatuan umat.

Luthfi Bashori, ulama NU yang juga pengasuh Pesantren Ribath Al Murtadla Al Islami Singosari, Malang, secara terbuka mengatakan bahwa kelompok Islam liberal berada di belakang penggunaan langgam Jawa. Beliau mengingatkan bahwa Al-Qur’an telah diturunkan dalam bahasa Arab (QS. Yusuf [12]: 2), dan karenanya, juga harus dibaca dengan langgam Arab. Dalam komentarnya tersebut, beliau juga mengaitkan wacana ‘Islam Nusantara’ dengan kelompok yang sama.

Wacana ‘Islam Nusantara’

Ketua Umum PBNU, KH. Said Aqil Siradj, sebagaimana dilansir oleh Republika, telah memberikan komentar perihal wacana ‘Islam Nusantara’. Menurutnya, konsep ‘Islam Nusantara’ ini menyinergikan ajaran Islam dengan adat-istiadat lokal di Indonesia. Said memberikan contoh bahwa Islam di Indonesia tidak harus seperti Islam di Arab yang menerapkan penggunaan gamis atau cadar. Selain itu, ‘Islam Nusantara’ diperlihatkan pada tradisi sesajen yang berlaku di jaman dahulu sebagai warisan tradisi Hindu-Budha yang kemudian diubah oleh Wali Songo menjadi tradisi selametan. Jika dahulu sesajen diniatkan sebagai persembahan makanan kepada roh-roh gaib, maka para tradisi selametan makanan dibagikan kepada umat Islam untuk kemudian diminta mendoakan pihak yang mengadakan selametan tersebut.

Berbeda dengan Kyai Said, KH. Ali Mustofa Yaqub menafikan kategorisasi ‘Islam Nusantara’ dan ‘Islam Arab’ dengan menjadikan gaya berpakaian sebagai contoh. Menurutnya, Islam memang tidak mengharuskan orang mengenakan sorban atau jubah. Cara berpakaian dapat disesuaikan oleh masyarakat masing-masing daerah, asalkan sesuai dengan kriteria yang dibenarkan oleh Islam. Kriteria tersebut disingkatnya menjadi 4T, yaitu: (1) tutup aurat, (2) tidak transparan, (3) tidak ketat, dan (4) tidak menyerupai lawan jenis. Dengan demikian, penggunaan istilah ‘Islam Nusantara’ tidaklah tepat.

Peneliti Institut Pemikiran dan Peradaban Islam (InPAS), A. Kholili Hasib, berpendapat bahwa istilah ‘Islam Nusantara’ juga tidak tepat, sebab memberi kesan bahwa Islam itu banyak. Padahal, menurutnya, Islam itu satu, sedangkan yang banyak itu adalah madzhab, aliran pemikiran, pemeluk, dan bukannya Islam itu sendiri. Mantan Ketua Umum PBNU, KH. Hasyim Muzadi, juga menyatakan bahwa istilah ini tidak tepat, sebab menggunakan istilah lokal. Menurut Kyai Hasyim, ‘Islam rahmatan lil ‘aalamiin’ lebih jitu, sebab cakupannya universal dan terambil dari ayat Al-Qur’an yang tidak diragukan kebenarannya.

Agus Sunyoto, dalam wawancaranya dengan Majalah AULA edisi Mei 2015, sebagaimana dikutip oleh A. Kholili Hasib, memberikan penjelasan yang cukup kontroversial seputar ‘Islam Nusantara’. Menurut Agus, kelompok-kelompok dari aliran kepercayaan itulah yang sebetulnya mewarisi ‘Islam Nusantara’. Kholili, dengan mengutip penjelasan dari buku Bahaya Aliran Kebatinan karya tim penulis Pesantren Sidogiri, Pasuruan, menolak keras pendapat ini, sebab aliran kebatinan memiliki ciri menggugurkan kewajiban syari’at. Kholili menambahkan bahwa KH. Hasyim Asy’ari, kyai kharismatik pendiri ormas Nahdlatul Ulama, juga menyatakan pendapat serupa dalam kitab Risalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Pandangan Islam Liberal Terhadap Agama dan Budaya

Relasi antara agama dan budaya memang senantiasa menjadi topik yang hangat di kalangan Islam liberal. Umumnya, agama dipahami sebagai ciptaan Ilahi, sedangkan budaya adalah hasil penggalian akal dan budi manusia yang terkait erat dengan batas-batas geografis. Persoalan terjadi ketika pemahaman ini diganti, sehingga agama dianggap mirip atau bahkan sama dengan budaya.

Pandangan bahwa Islam di Indonesia telah beradaptasi dengan budaya lokal bukanlah hal baru. Abd. Moqsith Ghazali, aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL), dalam sebuah diskusi di Universitas Negeri Jakarta, juga menekankan bahwa Islam di Indonesia adalah hasil dari proses dialektis antara agama dan budaya. Bahkan, lebih lanjut, ia juga mengatakan bahwa agama itu pun merupakan bentuk budaya.

Pandangan serupa juga telah dinyatakan oleh Sumanto Al Qurtuby dalam bukunya, Lubang Hitam Agama. Sumanto menulis:

Jika boleh diandaikan, Islam itu seperti “mesin giling” yang memroses bahan-bahan mentah kemudian menjadi barang yang siap pakai. Demikianlah, Islam memroses bahan-bahan mentah yang sudah ada sebelumnya (tradisi, kebudayaan dan sistem spiritual Arab, Judaisme dan Kristen) untuk kemudian diberi “merk” baru yang bernama “Islam” (supaya lebih menarik diberi label: rahmatan lil alamin).

Karena tabiatnya yang merupakan produk budaya tersebut, maka Sumanto pun tanpa keraguan menyimpulkan bahwa Islam itu sendiri merupakan sebuah agama sinkretik. Lebih lanjut, Sumanto mengatakan bahwa “…Islam sebetulnya merupakan ‘strategi budaya’ Muhammad untuk melawan dominasi para tiran Arab (Mekkah khususnya) yang sudah sekian lama menancapkan kekuasaannya di sana.

Meski demikian, sikap Sumanto terhadap agama (khususnya Islam) itu sendiri mengundang pertanyaan. Sebab, di tempat lain, Sumanto justru mengkritik agama (termasuk Islam) sebagai pihak yang telah mematikan akal sehat dan mengekang kebebasan manusia. Sebagai salah seorang penganjur paham liberalisme dalam beragama, Sumanto memperlihatkan kegigihannya dalam membela ‘kebebasan’ itu, termasuk juga kebebasan dari agama:

Selama puluhan tahun, otak kita dicuci oleh sebuah teks. Dan teks itu bisa berbentuk ideologi: kapitalisme, sosialisme, Pancasila, dan lain-lain. Atau agama: Islamisme, Katholikisme, Protestanisme, Deisme dan seterusnya.

Tentang agama, Sumanto menulis:

Agama via teks-teks keagamaan tanpa disadari juga telah membunuh kreativitas manusia. Ia membuat manusia-manusia jadi “tergantung”, tidak otonom, tidak bebas. Kebebasan universal akhirnya tereduksi menjadi semacam “kebebasan lokal”. Sebab masing-masing agama mempunyai standar kebebasan sendiri-sendiri yang tidak bisa dilanggar. Agama mana yang membebaskan manusia untuk bebas (free will, free act). Termasuk bebas menentukan pilihan keyakinannya. Tidak ada satu pun agama yang benar-benar secara tulus membebaskan manusia untuk berkreasi. Termasuk Islam. Dalam Alquran memang ada teks, “Tidak ada paksaan dalam beragama”. Tapi teks itu segera disusul “karena sungguh sudah jelas mana (agama) yang mendapat petunjuk, dan mana yang sesat”. Yang dimaksud “yang mendapat petunjuk” (al-rusyd) di situ tentu saja Islam dan “yang sesat” (al-ghay) tentulah agama selain Islam. Jadi, Islam sendiri ambigu: satu sisi membebaskan, di pihak lain mengekang.

Pandangan Sumanto yang tidak konsisten perihal agama ini juga dapat dijumpai dalam tulisannya yang berjudul “Agama, Seks dan Moral”. Sumanto mengulas bahwa masyarakat Jawa kuno pada awalnya menganggap seks sebagai masalah yang tidak tabu untuk dibahas dan tidak perlu disembunyikan. Islam yang datang belakangan justru membawa paham yang ‘represif dan restriktif’ terhadap seks, sehingga menimbulkan perlawanan budaya dari masyarakat Jawa, sebagaimana terlihat dalam teks Serat Centhini, Darmogandul dan Gatoloco. Akan tetapi, di akhir uraiannya, Sumanto justru berkesimpulan bahwa pandangan Islam terhadap seksualitas tidaklah sekaku yang dipahami sebelumnya. Ia menulis:

Saya rasa Tuhan tidak mempunyai urusan dengan seksualitas. Jangankan masalah seksual, persoalan agama atau keyakinan saja yang sangat fundamental, Tuhan – seperti secara eksplisit tertuang dalam Alqur’an – telah membebaskan manusia untuk memilih: menjadi mukmin atau kafir. Maka, jika masalah keyakinan saja Tuhan tidak perduli apalagi masalah seks?

Sumanto sendiri tidak pernah menjelaskan kaidah yang digunakannya untuk memisahkan mana ‘ajaran yang murni agama’ dengan ‘ajaran yang dibentuk oleh budaya’ yang menjadi atribut para pemeluk agama di berbagai daerah di dunia. Di satu sisi, ia menganggap agama itu sinkretis belaka, namun di sisi lain masih menggunakan dalil Al-Qur’an sebagai landasan berpikir, meski secara parsial. Fakta ini semakin diperparah dengan pendapat sebelumnya yang menyatakan bahwa semua agama itu mengekang kebebasan akal, namun pada saat yang bersamaan Sumanto masih menggunakan agama sebagai landasan teori-teorinya. Dengan pemahaman yang ambigu terhadap agama seperti demikian, maka sinkretisasi agama memang sangat dimungkinkan.

Memahami agama sebagai produk budaya memang telah cukup lama diwacanakan oleh kalangan pemikir liberal. Di Timur Tengah, misalnya, telah lama dikenal pandangan Nasr Hamid Abu Zayd yang menyatakan bahwa Al-Qur’an itu sendiri adalah produk budaya. Menurut Abu Zayd, ketika ayat-ayat Al-Qur’an turun kepada Nabi Muhammad saw, maka ia telah berubah kedudukannya dari wahyu yang bersifat tanzil menjadi interpretasi manusia atau ta’wil. Henri Shalahuddin, dalam bukunya, Al-Qur’an Dihujat, mengkritik pandangan Abu Zayd yang mengatakan bahwa siapa pun yang menolak relativitas makna Al-Qur’an maka telah berbuat kemusyrikan karena menyamakan penafsirannya yang bersifat nisbi dengan maksud Allah SWT yang bersifat mutlak. Henri mengkritik pandangan Abu Zayd ini sebagai hipokrit, karena justru Abu Zayd telah memutlakkan pandangannya sendiri, meski bersikap seolah-olah sangat anti terhadap ‘absolutisme’.

Pandangan Islam liberal terhadap agama dan budaya yang seperti ini meninggalkan persoalan yang sangat besar. Di satu sisi, agama dianggap sinkretik, sehingga dapat menerima pengaruh dalam arti yang sangat luas dari budaya apa pun. Di sisi lain, posisi agama yang kurang jelas dan cenderung inferior ini mengakibatkan agama senantiasa dipaksa ‘mengalah’ terhadap budaya. Bahkan, karena dianggap sebagai budaya – dan tak ada kaidah yang jelas untuk memisahkan yang ‘murni agama’ dari budaya yang melingkupinya – maka kalangan liberalis secara leluasa mendekonstruksi setiap sendi ajaran Islam.

Problem Nativisasi

Problem utama menyelaraskan agama (dalam hal ini Islam) dengan budaya bersumber dari kenyataan tentang budaya itu sendiri. Pada hakikatnya, budaya tidak bersifat tetap dan dapat senantiasa berubah. Oleh karena itu, apa yang disebut sebagai ‘budaya Indonesia’ dan ‘asli Indonesia’ pun banyak mengundang perdebatan.

Sebagai contoh, jika penggunaan koteka dianggap sebagai budaya masyarakat Papua, maka muncullah pertanyaan: apakah masyarakat Papua harus terus-menerus mengenakan koteka dengan alasan menjunjung tinggi kebudayaan daerahnya sendiri? Seberapa mutlakkah memelihara budaya leluhur, sedangkan akal manusia terus berkembang? Bukankah hasil pemikiran nenek moyang dapat dikoreksi oleh generasi penerusnya? Apalagi, Islam sangat banyak mengkritik sikap tidak kritis terhadap perbuatan nenek moyang. Jika nenek moyang menganut paham animisme dan dinamisme, haruskah cucu-cucunya memelihara kepercayaan yang sama?

Fakta bahwa budaya manusia terus berubah justru mengundang pertanyaan seputar ‘yang asli’ dan ‘yang tidak asli’. Dalam sebuah lintasan sejarah suatu suku bangsa, bagaimana kaidah kita menentukan ‘budaya aslinya’? Mengapa berhenti di satu titik, dan tidak meneruskan ke titik sejarah yang jauh sebelumnya lagi?

Perdebatan seputar ‘yang asli Indonesia’ ini mewujud pada diskursus seputar nativisasi, yang dipahami sebagai upaya mengembalikan masyarakat Indonesia pada kebudayaan Hindu-Budha yang telah eksis di Indonesia sebelum Islam. Tentu saja, nativisasi ini justru tidak diinisiasi oleh umat Muslim Indonesia, melainkan oleh kaum penjajah. Thomas Stamford Raffles, misalnya, menulis dalam bukunya, The History of Java, tentang besarnya pengaruh Hindu-Budha pada kebudayaan Jawa, sekaligus mengecilkan pengaruh Islam. M. Masykur Isma’il, dalam artikelnya “Meninjau Kembali Masa Hindu-Budha di Nusantara dan Gerakan Nativisasi”, menyingkap sikap tidak adil Raffles terhadap pengaruh Islam di Jawa. Dalam penelaahannya atas buku The History of Java, Masykur mencatat bahwa Raffles membahas kesusastraan di Jawa dalam tujuh puluh halaman, dengan total empat puluh tujuh halaman di antaranya untuk meringkas syair kepahlawanan Mahabharata versi Jawa, sedangkan syair Islam hanya dikutipnya sekali saja, itu pun secara singkat.

Raffles juga merupakan tokoh yang bertanggung jawab menemukan kembali dan ‘mengangkat harkat’ Candi Borobudur. Susiyanto, dalam bukunya, Strategi Misi Kristen Memisahkan Islam dan Jawa, mengulas bahwa candi semegah Borobudur pernah menjelma bukit yang dipenuhi semak belukar dan hilang dari ingatan kolektif masyarakat Jawa hingga delapan abad lamanya. Borobudur baru ditemukan kembali pada tahun 1814, dan pada tahun 1815 Raffles memerintahkan ekskavasi terhadap daerah di sekitar candi tersebut. Pekerjaan ini dilanjutkan terus oleh Pemerintah Kolonial Belanda hingga tahun 1911, dan hingga saat itu pun Borobudur belum diperkenalkan kepada masyarakat luas.

Mengomentari kenyataan ini, Susiyanto menulis:

Jadi, Borobudur sendiri sebenarnya telah “pernah mati” dalam alam pikiran orang Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa ingatan publik masyarakat Jawa terhadap simbol kebesaran masa lalu berupa ajaran Budha ini tidak terlalu mendalam atau bahkan tidak ada. Hanya merupakan sapuan cat bagi sepotong kayu yang mudah terkelupas. Kebesaran masa lalu yang terlalu diagung-agungkan dengan melupakan kenyataan sejarah yang lebih besar.

Kedatangan Islam, menurut tim penulis buku Sejarah Nasional Indonesia: Perspektif Baru, memberikan efek yang sangat besar terhadap peradaban Hindu-Budha yang telah ada sebelumnya di Indonesia, salah satunya pada sistem kasta yang sudah mendarah daging. Karena Islam tidak mengenal sistem kasta, maka sesaat setelah seseorang memeluk Islam, ia tidak lagi terikat dengan aturan-aturan berdasarkan kasta tersebut. Hal ini sangat berpengaruh, misalnya, pada budaya baca-tulis. Meskipun bahasa Sansekerta dan huruf Pallawa sudah digunakan sejak lama di Indonesia, namun sistem kasta sangat memungkinkan terjadinya monopoli baca-tulis oleh kasta Brahmana dan Ksatriya. Demikian pula sekolah dan lembaga pendidikan hanya diperuntukkan bagi kasta-kasta tinggi saja. Islam, sebaliknya, hadir dengan memperkenalkan budaya baca-tulis Al-Qur’an dan Al-Hadits, sekaligus juga mendorong setiap pemeluknya untuk beradab dan berilmu. Karena itu, akses terhadap ilmu pengetahuan dibuka lebar-lebar kepada seluruh masyarakat.

Terjadinya ‘revolusi adab dan ilmu’ di Indonesia bukan peristiwa yang tanpa rintangan. Buya Hamka menceritakan penafsirannya atas sejarah Mataram sepeninggal Sultan Agung. Ketika itu, tahta dipegang oleh Amangkurat I yang bersikap sangat kooperatif dengan Belanda. Belanda memanfaatkan kedekatan itu untuk mengadu domba pihak Keraton (‘priyayi’) dengan kalangan santri. Hamka menulis:

Bila iring-iringan raja berjalan di jalan raya, apabila ada upacara istana yang masih membawa bekas Hindu purbakala itu, kaum Santri tidak turut menyembah dan bersimpuh di tepi jalan, bahkan tidak ada yang muncul ke istana buat berdatang sembah.

Raja-raja yang mabuk dengan pujian, sesembahan dan menjunjung duli tentu saja sakit hatinya melihat sikap yang demikian. Sikap kaum santri itu amat merusak jiwa hamba rakyat.

Setelah itu, terjadilah pembantaian kaum santri dan ulama yang dilakukan atas perintah Amangkurat I. Peristiwa ini merupakan sejarah gelap yang memperlihatkan bagaimana kaum priyayi dan santri memang sengaja ‘dijauhkan’, dan hal ini tidak terlepas dari campur tangan kaum penjajah. Intrik-intrik politik antara kaum priyayi, santri dan penjajah ini kemudian memasuki babak baru pada episode kehidupan Pangeran Diponegoro.

Perihal Pangeran Diponegoro, Hamka menulis:

Jauh sebelum beliau terseret ke dalam kancah perjuangan memimpin rakyat kecil melawan Belanda, beliau telah menanggalkan gelar-gelar bangsawannya, baik gelar Raden, atau Gusti atau Pangeran, dan dia lebih suka memakai gelar Syaikh. Sebagai gelar dari orang yang telah dapat ijazah dari gurunya, untuk jadi mursyid, maka dipakainyalah nama Syaikh Abdul Hamid. Dan meskipun beliau belum pernah naik haji, lama sebelum beliau berperang dengan Belanda beliau telah memakai seran, bukan tengkuluk dan bukan destar blankon. Beliau pakai serban, gamis, sadariah dan jubah, dengan memakai ikat pinggang sebagai yang biasa dipakai oleh ulama Mekkah pada masa itu.

Penggalan-penggalan di atas menunjukkan ‘wajah Jawa’ yang sangat berbeda dengan yang dipahami sementara orang. Transisi dari peradaban Hindu-Budha kepada Islam telah berjalan dengan baik dan ‘tuntas’, sehingga masyarakat Jawa sesungguhnya telah menerima Islamisasi itu. Hanya saja, ada irisan kepentingan antara bangsa penjajah dengan kaum feodal untuk ‘menjinakkan’ umat Muslim. Bagi penjajah kolonial, Islam adalah ancaman karena konsep jihadnya yang sangat kuat mengakar dalam jiwa para pemeluknya. Bagi para penguasa feodal, keimanan umat Muslim telah membuat wibawa mereka berkurang dan kekuasaannya menjadi tidak absolut lagi. Maka muncullah penguasa-penguasa feodal yang menghalang-halangi dakwah Islam, bahkan memerintahkan pembantaian terhadap kaum santri, sementara bangsa-bangsa Barat yang datang ke Indonesia terus menulis sejarah Indonesia untuk kepentingannya sendiri. Mereka berusaha memunculkan kesan bahwa Islam di Indonesia, terutama di Jawa, tidak merasuk pada jiwa masyarakatnya, karena sesungguhnya mereka masih mewarisi keyakinan nenek moyangnya yang beragama Hindu-Budha. Proses ekskavasi Borobudur dan candi-candi lainnya pun dapat dianggap memiliki agenda yang sejalan dengan hal tersebut.

Islamisasi yang telah terjadi, tentu saja antara lain melalui jasa para Wali Songo, berlangsung secara bertahap dan alamiah. Hasil dari kerja dakwah yang begitu masif tersebut adalah tertanamnya ajaran Islam kepada masyarakat Indonesia, sehingga ia bukan saja menjadi agama yang dianut, namun juga telah menjadi identitas yang tidak terpisahkan dari bangsa Indonesia.

Sumbangan Islam Kepada Indonesia

Dengan membesar-besarkan peninggalan Hindu-Budha, pada saat yang bersamaan kaum cendekiawan Barat mengecilkan peranan Islam. Karena peradaban Islam tidak menghasilkan bangunan semegah Borobudur, maka seolah-olah Islam itu bodoh, sedangkan masyarakat Budha lebih maju. Hal ini dibantah keras oleh M. Naquib al-Attas dalam karyanya, Islam Dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu. Al-Attas menulis:

Memang benar kesenian adalah suatu ciri yang mensifatkan tamadun, namun pandangan hidup yang berdasarkan kesenian itu adalah semata-mata merupakan kebudayaan estetik, kebudayaan klasik, yang dalam penelitian konsep perabadan sejarah bukan menandakan suatu masyarakat yang bersifat keluhuran budi dan akal serta pengetahuan ilmiah. Bahkan Sejarah telah mengajar bahawa semakin indah dan rumit gaya senirupa, maka semakin menandakan kemerosotan budi dan akal; Acropolis Yunani, Persepolis Iran, dan Piramid-piramid Mesir tiada menyorotkan sinaran budi dan akal. Dalam menilai peranan dan kesan Islam, ciri-ciri yang harus dicari oleh mereka bukan pada tugu dan candi, pada pahatan dan wayang – ciri-ciri yang mudah dipandang mata jasmani – akan tetapi pada bahasa dan tulisan yang sebenarnya mencarakan daya budi dan akal merangkum pemikiran.

Dari segi bahasa, yang digunakan untuk menyampaikan hasil pemikiran akal manusia, pengaruh Islam terhadap Melayu terlihat demikian jelas, sebagaimana juga terlihat jelas dalam bahasa Indonesia. Meskipun memiliki sejarah panjang di bawah kekuasaan peradaban Hindu-Budha, namun bahasa Arab adalah yang paling banyak diserap ke dalam bahasa Indonesia. Mengenai hal ini, sudah banyak penelaahan yang dilakukan oleh kaum cendekiawan.

Dalam uraiannya, Al-Attas memperingatkan bahwa perjalanan sejarah modern di Eropa patut untuk dijadikan cermin. Menurutnya, modernisme terdiri dari rasionalisme, individualisme dan internasionalisme; rasionalisme dijelaskan sebagai sikap mengutamakan daya akal dalam kehidupan intelektual dan agama, individualisme menitikberatkan pada kebebasan pribadi perseorangan dalam tindakan hidupnya terutama mengenai agama, dan internasionalisme atau daya melihat kesatuan sifat-sifat yang berada pada alam insan. Ketiga unsur modernisme ini lahir di Barat justru akibat ketegangan internal dan penentangan eksternal terhadap Gereja. Adapun pengalaman masyarakat Islam sangat berbeda, sebab ketiga unsur tersebut senantiasa ada dalam keadaan harmoni.

Modernisme yang dibawa oleh Islam juga tercemin pada kesusastraan di seluruh Asia Tenggara, yang tadinya hanya terdiri dari kisah-kisah dongeng yang tak masuk akal, kemudian ‘dilibas’ oleh tradisi ilmu yang dibawa oleh Islam sehingga menjamurlah kajian-kajian ilmiah dan lahirlah karya-karya tulis yang membahas begitu banyak hal. Sikap yang disebut sebagai ‘modern’, di mana rasionalisme merupakan bagian penting di dalamnya, merupakan ‘hadiah’ Islam kepada dunia, termasuk juga di Nusantara. Dengan demikian, kembali kepada masa-masa pra-Islam itu sama artinya dengan kembali kepada masa-masa pra-rasionalisme.

Khatimah

Kajian di atas kiranya dapat memberikan gambaran sekilas seputar wacana ‘Islam Nusantara’. Penulis mencoba merumuskan sejumlah kesimpulan untuk menyikapi wacana tersebut sebagai penutup makalah singkat ini.

Pertama, wacana ‘Islam Nusantara’ sangat berisiko ditunggangi untuk propaganda liberalisasi Islam. Karena kaum liberalis menganggap agama tidak berbeda dengan budaya, maka Islam dapat dengan mudah kehilangan karakteristiknya, misalnya karena sinkretisasi dengan agama lain atau aliran kepercayaan yang sesungguhnya sudah lama ditinggalkan oleh mayoritas rakyat Indonesia.

Kedua, wacana ‘Islam Nusantara’ tersebut juga berisiko menjerumuskan kita pada nativisasi yang menekankan kembalinya bangsa Indonesia kepada nilai-nilai yang dianut oleh nenek moyang kita pada jaman pra-Islam. Hal ini dapat terjadi jika kita mengikuti kajian kaum orientalis tanpa sikap kritis, sehingga menyangka bahwa peradaban Hindu-Budha lebih banyak membekas pada jiwa bangsa Indonesia ketimbang Islam. Padahal, Islam telah mewarnai kehidupan bangsa-bangsa Melayu, termasuk Indonesia, bahkan ia paling banyak berkontribusi untuk kelahiran bangsa Indonesia seperti yang kita kenal sekarang ini.

Ketiga, jika sinergi antara agama dan budaya terjadi tanpa kaidah yang jelas, maka akan menimbulkan kerancuan, disebabkan sifat budaya yang relatif dan temporal, sedangkan agama itu mutlak dan abadi. Agama (dalam hal ini Islam) dapat beradaptasi dengan budaya selama tidak bertentangan. Akan tetapi, perlu juga diingat bahwa adalah suatu kelaziman pula bagi manusia untuk meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat kepada hal-hal yang bermanfaat; atau, dengan kata lain, meninggalkan budaya lama kepada budaya baru yang dianggap lebih baik. Semua ini berlangsung alamiah dan tidak dipandang buruk. Oleh karena itu, hijab, misalnya, tidak perlu lagi dipandang sebagai ‘budaya luar’, karena pada kenyataannya ia telah menyatu dengan budaya Indonesia, dan bangsa Indonesia pun sudah terbiasa dengannya. Demikian juga penggunaan istilah-istilah Arab tidak perlu dipandang sebagai ‘arabisasi’, karena penyerapan bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia sudah berlangsung sejak lama dan alamiah.

Keempat, wacana yang termasuk dalam pembahasan ‘Islam Nusantara’ seperti ‘langgam Jawa’ dan semacamnya justru terkesan mubazir, sebab Islam telah menjauhkan manusia dari fanatisme (ashabiyah) kedaerahan. Terbukti, munculnya ‘langgam Jawa’ pada perayaan Isra’ Mi’raj lalu tidak memicu munculnya tuntutan dihadirkannya langgam-langgam dari daerah lain. Masyarakat Jawa sendiri banyak yang tidak menghendaki langgam tersebut, sebagaimana yang telah dijelaskan melalui lisan para ulama. ‘Langgam Jawa’ dan yang semacamnya ini tidak dipandang vital dan urgen dalam dakwah masa kini, dan karenanya, ia tidak mendapat sambutan hangat. Selain itu, mengembalikan ashabiyah kedaerahan sehingga terjadinya pengkotak-kotakan umat setelah munculnya persatuan hati karena Islam, adalah sebuah kemunduran besar dan pengulangan kesalahan kaum jahiliyyah.

Kelima, dari segi pemikiran, wacana ‘Islam Nusantara’ tidak memiliki landasan pemikiran yang kuat, sehingga tidak jelas urgensinya. Jika dikatakan bahwa ‘Islam Nusantara’ adalah Islam yang toleran dan semacamnya, maka ini adalah pengrusakan terhadap makna Islam, sebab toleransi adalah bagian inheren dalam ajaran Islam. Jika aspek yang dikemukakan adalah hal-hal seperti cara berpakaian (cadar, sorban, gamis dan sebagainya), maka hal ini bertentangan dengan aspek kebebasan pribadi yang tidak pernah dipermasalahkan sebelumnya. Jika masalah-masalah furu’ justru dijadikan bahan perdebatan, bahkan kemudian melarang segala hal yang berbeda dengannya, maka itu adalah sebuah langkah mundur yang sangat jauh. Dalam perspektif jaman yang sudah sangat terwarnai oleh globalisasi, sikap tertutup soal budaya justru akan membuat bangsa Indonesia semakin terasingkan. Dengan demikian, sikap yang benar, sebagaimana yang sudah dipahami oleh bangsa Indonesia sejak dahulu, adalah terus melakukan perbaikan seraya menyaring budaya yang datang dari luar dengan pemahaman yang diperoleh dari agama. Adapun perubahan terhadap budaya itu sendiri, sebagaimana yang telah dibahas, adalah suatu hal yang tak terhindarkan.

Atas segala pertimbangan di atas, dapatlah kita simpulkan bahwa istilah dan wacana ‘Islam Nusantara’ tidak memiliki landasan yang kuat, bahkan pada hal-hal tertentu cenderung berisiko merusak pemahaman umat Muslim akan agama. Agama, sebagaimana yang telah dipahami dan diajarkan oleh para ulama, adalah suatu hal yang universal dan tidak perlu dikerdilkan dengan batas-batas geografis. Adapun dakwah memang memiliki fleksibilitas, sehingga dapat dirumuskan strategi pendekatan yang berbeda untuk setiap daerah. Jika yang dimaksudkan dengan ‘Islam Nusantara’ memang hanya mencakup pendekatan dakwahnya, maka istilah ‘dakwah Islam di Nusantara’ kiranya lebih tepat sasaran.

Wallaahu a’lam bish-shawaab.

By: Akmal Sjafril