Kamis (27/8/2015) lalu, sebuah masjid di kawasan perkantoran Jalan Gatot Subroto Jakarta meminta saya mengisi kajian dhuhur dengan tema mengkaji isu “Fikih Kebinekaan dan Islam Nusantara”. Tidak dinafikan, dua isu tersebut menyita perhatian banyak kalangan muslim sejak awal Agustus lalu, sejalan dengan digelarnya Muktamar NU dan Muhammadiyah, Agustus 2015. Bahkan, kedua isu itu sudah menjadi bahan diskusi yang hangat dan panas di berbagai media massa.
Setelah membaca sejumlah artikel dan buku yang mempromosikan gagasan “Islam Nusantara” saya memahami bahwa ada sejumlah maksud dan gagasan yang baik untuk menjaga keberlangsungan dakwah dan mengembangkan eksistensi Islam di bumi Nusantara. Itu terlepas dari penggunaan istilah yang kontroversial. Saya menyarankan, istilah “Islam Nusantara” diganti dengan “Islam di Nusantara” atau “Budaya/Peradaban Islam Nusantara”.
Sebab, “Islam” dalam makna khusus (istilahan) adalah nama satu agama tertentu. Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam bukunya, Prolegomena to The Metaphysics of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), menjelaskan, bahwa dalam soal makna Islam, hanya ada satu agama wahyu yang otentik, dan namanya sudah diberikan oleh Allah, yaitu Islam. Kata al-Attas: “Islam, then, is not merely a verbal noun signifying ‘submission’; it is also the name of particular religion descriptive of true submission, as well as the definition of religion: submission to God.
Karena langsung diberikan oleh Allah Subhanahu Wata’ala, maka nama “Islam” tidak bisa diganti-ganti dengan nama lain, seperti Mohamedanism, Arabism, Hagarism, dan sebagainya, sebagaimana yang telah diupayakan oleh para orientalis selama ratusan tahun. Itulah kenapa nama Islam berbeda dengan nama-nama adama lain, seperti Judaism, Catholicism, Hinduism, Buddhism, Protestantism, Confucianism, Jainism, Shintoism, dan sebagainya.
Sesuai dengan sifat ajaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam yang lintas zaman dan lintas budaya, sampai Hari Kiamat, maka aqidah dan ritual dalam Islam pun tidak tunduk oleh budaya, meskipun kaum Muslim ada yang berusaha melakukan proses Islamisasi budaya. Itu bisa dibuktikan hingga kini. Di mana saja, umat Islam bisa shalat dengan cara yang sama. Umat Islam bisa shalat di masjid mana saja. Mereka bisa saling makmum, satu dengan lainnya. Kecuali, tentu saja, masjid pengikut aliran sesat yang menganggap kaum Muslim di luar kelompoknya merupakan kaum sesat.
Bukan nama SOTO
Karena merupakan “genuine revealed religion”, maka selama ini para cendekiawan Muslim sedunia, pada umumnya, tidak menggunakan istilah “Islam Indonesia”, “Islam Amerika”, “Islam China”, “Islam Timor Leste”, “Islam Kutub Utara” dan sebagainya. Sebab, kaum Muslim memang merupakan umat dengan satu al-Quran, satu kiblat, dan satu panutan (uswah hasanah). Kaum Muslim di mana pun menyelenggarakan jenazah dengan cara yang sama; baik di daerah yang harga tanahnya murah atau yang teramat mahal. Muslim AS tidak mengkafani jenazah muslim dengan bendera AS, dan menyanyikan lagu kebangsaan negaranya saat menurunkan jezanah ke liang lahat. Hingga kini, belum ditemukan, kaum Muslim jualan kain kafan bercorak batik Pekalongan.
Jadi, karena Islam merupakan nama agama yang langsung diberikan oleh Allah, menurut hemat saya, sebaiknya kita berhati-hati dalam memberikan istilah. Itu sekedar pikiran dan saran. Toh, selama ini, sudah ratusan tahun, kita terbiasa menggunakan istilah “Islam” untuk menyebut nama agama kita. Tidak perlu nantinya berbagai daerah di Nusantara ini tergerak hatinya menggunakan istilah Islam yang beraneka ragam, seperti “Islam Betawi”, “Islam Lamongan”, “Islam Madura”, “Islam Makassar”, “Islam Medan”, dan sebagainya, seperti nama-nama SOTO yang terkenal di Nusantara. Nama Islam tidak bisa disamakan kedudukannya dengan nama-nama SOTO di Nusantara, yang terus berkembang aneka jenisnya.
Jadi, sekali lagi, “Islam” dalam makna khusus (bukan makna bahasa/lughatan), adalah nama satu agama. Dan nama itu tidak dibuat oleh manusia, tetapi sudah diwahyukan (revealed). Karena merupakan “nama agama”, maka sangatlah riskan jika nama itu diubah-ubah atau ditambah-tambah. Makna “Islam”, secara istilahan, juga disebutkan oleh Imam al-Nawawi dalam Kitab hadits-nya yang terkenal, al-Arba’in al-Nawawiyah, menyebutkan definisi Islam pada hadits kedua: “Islam adalah bahwasanya engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, engkau menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan shaum Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji ke Baitullah — jika engkau berkemampuan melaksanakannya.” (HR Muslim).
Jika mengacu pada kisah sukses dakwah Islam Wali Songo, maka para Wali Songo itu pun tidak menggunakan istilah “Islam Jawa” atau “Islam Nusantara” agar Islam diterima oleh masyarakat luas. Sebab, para Wali itu mengembangkan Islam, bukan Islam Arab, Islam India, Islam Turki, atau Islam Persia. Para Wali itu tidak menolak budaya lokal begitu saja, tetapi kadangkala mengubah budaya itu agar sejalan dengan nilai-nilai Islam, seperti budaya selametan, dan sejenisnya. Masjid Menara Kudus yang arsitekturnya mirip dengan pura Hindu masih bisa kita saksikan saat ini. Sunan Kudus pun meminta umat Islam tidak menyembelih sapi untuk qurban, diganti kerbau. Hingga kini, tradisi itu masih dipegang oleh sebagian umat Islam.
Kisah suksesnya dakwah para Wali Songo bukan dilakukan dengan berwacana tentang “Islam Nusantara” atau “Islam Arab”, tetapi dilakukan dengan strategi dan rencana yang matang, kesungguhan, keikhlasan, dan keteladanan akhlak mulia. Maka, terlepas dari “pro-kontra istilah Islam Nusantara”, ada satu tugas besar dari para cendekiawan Muslim Nusantara untuk menggali dan mengaktualkan kembali khazanah Islam di Nusantara.” Tujuannya agar Islam tidak diposisikan sebagai “barang asing” di Indonesia, sehingga masyarakat Nusantara dihasut untuk menjauhi Islam, karena dianggap budaya asing yang tidak cocok dengan budaya Nusantara.
Khazanah Nusantara
Saya sempat mengambil mata kuliah “Reading in Malay Metaphysical Literature” di ISTAC, tahun 2004. Ketika itu profesornya meminta mahasiswa membaca Kitab Hujjah al-Shadiq li-Daf’i al-Zindiq, karya Syekh Nuruddin al-Raniri, yang ditulis dalam bahasa Melayu tulisan Arab Melayu/Jawi. Ada juga mahasiswa dari Turki yang mengambil mata kuliah itu. Ketika itulah saya merasa bersyukur, bahwa sejak kecil sudah terbiasa dengan tradisi membaca Arab Melayu (Pegon), baik di Madrasah Diniyah maupun di Pesantren Salafiyyah.
Beberapa tahun kemudian, saya semakin banyak berinteraksi dengan pemikiran Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas tentang sejarah dan peradaban Islam Melayu-Nusantara ini. Buku klasik Prof. al-Attas adalah Islam dalam Sejarah Kebudayaan Budaya Melayu yang sudah diterbitkan di Indonesia tahun awal 1990-an.
Puncaknya, tahun 2013, Prof. al-Attas menerbitkan beliau Historical Fact and Fiction, yang memberikan perspektif dan fakta yang kuat tentang sejarah keagungan peradaban Melayu Islam itu. Perspektif (worldview) inilah yang sangat menentukan produk kajian tentang khazanah Islam di Nusantara. Jika menggunakan perspektif orientalis yang mengecilkan peranan Islam dalam sejarah Nusantara, maka akan lahirlah ilmuwan-ilmuwan yang justru tidak bangga dengan keagungan sejarah Islam Melayu itu sendiri.
Sebutlah contoh pemikiran Nuruddin al-Raniri (w. 1658) dalam kitabnya, Durrul Fara’id fi-Bahtsil Aqa’id, yang sangat mengkritisi pemikiran sofisme (sufasthaiyyah). Berdasarkan naskah yang dilatinkan oleh Prof. Wan Mohd Nor dan Dr. Khalif Muammar, Syekh Nuruddin al-Raniri menulis:
“Kata segala orang yang beriktikad sebenarnya: hakikat segala sesuatu itu teguh jua, ertinya kebenaran segala sesuatu itu tetap dan teguh jua adanya,dan pada pengetahuan akan dia sebenarnya, ertinya kita iktikadkan bahawa segala yang dilihat seperti langit dan bumi dan barang yang dalam keduanya itu iaitu jua pada penglihatan dan pada pengetahuan demikianlah sama jua pada iktikad…. Adapun pada i‘tiqad Sufasta’iyyah bersalahan dengan demikian itu, tetapi kata mereka itu cita–cita dan wahm dan khayal sia-sia jua. Dan lagi pula katanya segala suatu itu mengikut pada i‘tiqad jika di i‘tiqadkan pada suatu itu kekal maka iaitu kekal jua dan jika di i‘tiqadkan baharu maka baharu jua. Dan lagi pula katanya segala suatu itu dalam syak jua dan yang syak itu tiada berputusan ertinya segala suatu itu bukannya iaitu. Demikianlah i‘tiqad Sufasta’iyyah yang amat sesat itu”.
Begitu tinggi pemikiran Nuruddin al-Raniri tentang aqidah dan pemikiran Islam. Di abad ke-17 sudah lahir pemikir di Nusantara yang mengkritisi paham sofisme, satu filsafat pre-Socratic yang disebut Prof. Wan Mohd Nor sebagai “golongan anti-ilmu”. Jika sekarang banyak yang mengaku mencintai khazanah Islam di Nusantara, tetapi justru mengembangkan pemikiran sofisme yang juga merupakan gagasan relativisme kebenaran dan nilai-nilai akhlak, maka jelas itu salah ajar dan salah pikir.
Misalnya, gagasan bahwa “semua tafsir al-Quran itu bersifat relatif” karena merupakan produk akal manusia. Padahal, ada produk akal yang tidak relatif. Penafsiran ayat-ayat al-Quran yang bersifat qath’iy (tsubut dan dalalahnya), tidak bersifat relatif. Kata ‘khinzir’ misalnya, pasti ditafsirkan ‘babi’. Jika ada yang menafsirkan ‘khinzir’ dengan ‘jengkol’, pasti salah secara mutlak! Para penggagas ide ‘Islam Nusantara’ pasti manusia yang berakal. Itu pasti. Mutlak pula kebenarannya. Jika ada manusia yang mengatakan, para penggagas ‘Islam Nusantara’ adalah manusia-manusia tidak berakal, pasti salah secara mutlak!
Juga, adalah hal yang aneh, jika kajian tentang khazanah Islam di Nusantara berujung kepada kebencian pada penerapan syariat Islam. Padahal, siapa yang menolak syariat Islam, maka tidak ada iman dalam dirinya. KH Hasyim Asy’ari dalam kitabnya, Adabul ‘Alim wal-Muta’allim, menulis: ”at-Tawhīdu yūjibul īmāna, faman lā īmāna lahū lā tawhīda lahū; wal-īmānu yūjibu al-syarī’ata, faman lā syarī’ata lahū, lā īmāna lahū wa lā tawhīda lahū.”
Karena itu, kita berharap pengembangan gagasan “Islam Nusantara” tidak menjadi kontra-produktif, yakni menjadikan banyak kaum Muslim menjadi tidak tertarik untuk mengkaji khazanah Islam di Nusantara, karena sudah curiga dengan istilah “Islam Nusantara” yang memang sebagian dipromosikan oleh kaum liberal dan kaum Syiah di Indonesia. Saya pun berharap, campur tangan birokrasi dalam pengembangan penelitian tentang khazanah Islam di Nusantara ini dilakukan dengan keikhlasan, bukan karena memanfaatkan uang rakyat untuk memperkosa teks-teks khazanah Islam Nusantara, disesuaikan dengan hawa nafsu liberalisme.
Yang penting, kajian atau penelitian tentang khazanah Islam di Nusantara itu dilakukan dengan niat ikhlas dan kejujuran untuk memajukan dakwah Islam di Nusantara. Jika tidak disertai niat ikhlas, khawatir uang yang diambil dari hak rakyat itu tidak akan menjadi berkah; bahkan bisa menjadi musibah; menimbulkan permusuhan antar-sesama, menyuburkan sifat serakah harta dan jabatan, dan menjauhkan diri dan keluarga dari kedamaian dan kebahagiaan. Kata Imam al-Ghazali, hubbud dunya ra’su kulli khathi’atin (cinta dunia itu pangkal segala kerusakan).
Prof. Azyumardi Azra menulis bahwa, “Ortodoksi Islam Nusantara” sederhananya memiliki tiga unsur utama. Pertama, kalam (teologi) Asy’ariyah; kedua, fikih Syafii meski menerima tiga mazhab fiqh Sunni lain; ketiga, tasawuf al-Ghazali. (Akhmad Sahal dan Munawir Aziz (ed), Islam Nusantara: Dari Ushul Fiqih sampai Konsep Historis, 2015, hlm. 172).
Benarkah “Islam Nusantara” yang selama ini dan akan dikembangkan, khususnya di lingkungan Perguruan Tinggi Islam, adalah bersumber pada ajaran Asy’ariyah, Fiqih Syafii dan Tasawwuf Imam al-Ghazali, seperti ditulis oleh Prof. Azyumardi Azra?
Sejarah membuktikan, bahwa selama ini, UIN/IAIN sangat mengagungkan pemikiran Prof. Harun Nasution, yang berusaha menggusur kalam Asy’ari. Dalam pengantarnya untuk buku Studi Islam: Dinamika Baru, Prof. Virginia Hooker dari Australian National University mencatat: “Almarhum Prof. Dr. Harun Nasution (1919-1998) saat ini diakui dan dihormati sebagai tokoh yang sangat berpengaruh di bidang penelitian Islam di Indonesia. Beliau diberi kredit sebagai sarjana yang ‘memperkenalkan pendekatan pemahaman Islam secara utuh dan universal’. Pemikiran Nasution tentang Islam sebagai agama yang dinamik dikandung dalam buku yang bersangkutan berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (1977). Buku ini merintis jalan untuk penelitian Islam secara ‘akademik’ lewat metode yang dipakai oleh penelitian ilmu sosial pada umumnya.”
Padahal, dalam buku “Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution” (Jakarta : LSAF, 1989), disebutkan, ungkapan Harun Nasution: ”Sejak itu harapanku cuma satu: pemikiran Asy’ariyah mesti diganti dengan pemikiran-pemikiran Muktazilah, pemikiran para filosof atau pemikiran rasional. Atau dalam istilah sekarang, metodologi rasional Muktazilah. Sebaliknya, metodologi tradisional Asy’ariyah harus diganti…”.
Jika mengikuti tradisi Kalam Asy’ari, Fiqih Syafii dan Tasawuf al-Ghazali, maka tidak akan lahir pemikiran-pemikiran yang mempromosikan paham syirik Pluralisme Agama dan menolak syariat Islam. Jika mengamalkan Tasawuf al-Ghazali, maka tidak ada rebutan jabatan rektor dan dekan di kampus-kampus Islam. Sebab, jabatan itu amanah yang berat, dunia-akhirat.
Karena itu, apa pun kondisinya, kita berharap, ada pengembangan keilmuan Islam yang serius di kampus-kampus Islam, untuk membangun tradisi ilmu yang sehat, yang mendorong para dosen dan mahasiswa semakin dekat dan semakin beradab kepada Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 1 September 2015).*
Sumber: http://inpasonline.com/new/khazanah-islam-di-nusantara/