Home Islam & Indonesia Konstruk "Pembaharuan" Pemikiran Islam di Indonesia

Konstruk "Pembaharuan" Pemikiran Islam di Indonesia

3105
0

Konstruk Pembaharuan Pemikiran islam di Indonesia

Pendahuluan

Istilah “pembaharuan Pemikiran Islam” di Indonesia telah merupakan trade mark yang menempel pada nama Nurcholish Madjid (NM). Meskipun Harun Nasution (HN) mempunyai gagasan serupa, label lebih sering diberikan kepada NM. Inti pembaharuan pemikiran yang ditawarkan NM adalah liberalisasi dan sekularisasi pemikiran Islam, sedangkan HN membawa ide rasionalisasi pemahaman Islam. Karena keterbatasan ruang, tulisan ini hanya akan menggambarkan ulang konstruk pembaharuan Islam yang ditawarkan NM pada tahun 1970 dan 1972, dan bagaimana realisasi dan implikasinya terhadap situasi pemikiran Islam dan kondisi ummat Islam hasil dari gagasan yang telah berjalan lebih kurang 36 tahun yang lalu itu. Evaluasi dan kritik ini diharapkan dapat ditanggapi dalam amosfir ilmiyah dengan kesadaran akan perlunya mengembangkan sikap “keterbukaan” dan sikap pendewasaan intelektual demi membangun peradaban Islam. Ini sejalan dengan apa yang sering disampaikan NM sendiri bahwa “kita harus belajar mengkritik dan menerima kritik”. Untuk menangkap gagasan awal pembaruan pemikiran Islam NM, Pidato di Taman Ismail Marzuki tahun 1971-1972 menjadi rujukan utama, sedangkan untuk melihat realisasi gagasan itu akan dirujuk buku yang dianggap magnum opus-nya, yaitu Islam Doktrin Dan Peradaban (IDP). Hipotesisnya, apakah ide atau gagasan yang dibawa oleh buku ini tetap menawarkan sebuah “pembaharuan”.

Gagasan awal

Perjalanan awal gagasan pembaharuan NM dimulai dari pidatonya di Taman Ismail Marzuki tahun pada 2 januari 1970 berjudul Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Penyegaran Kembali Pemahaman Keagamaan, dan pada tanggal 13 Januari 1972, berjudul Penyegaran Kembali Pemahaman Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia. Inti dari gagasan yang disampaikan itu dapat disarikan dalam beberapa poin:

A. Kondisi Ummat Islam

Ketika NM mengungkapkan gagasan “pembaruannya” itu ummat Islam Indonesia baru melalui masa-masa pergumulan ideologi yang sangat keras di era Orde Lama dan masuk kedalam era Orda Baru. Namun, di era Orde Baru ternyata umat Islam harus menghadapi masalah yang lain yaitu progam de-politisasi. Nampaknya kekuatan ideologis umat Islam dengan partai politiknya Masyumi dianggap “membahayakan” tatanan politik Orde Baru dan diupayakan agar tidak menjadi kekuatan yang menyaingi ideologi negara. Upaya-upaya penggembosan dilakukan dengan berbagai macam cara. Dalam kondisi seperti ini NM menyatakan bahwa:

ummat Islam tidak tertarik kepada partai-partai atau organisasi-organisasi Islam kecuali sedikit saja. Sikap mereka kira-kira bisa dirumuskan dengan “Islam yes, partai Islam no!” Jadi, jika partai-partai Islam merupakan wadah dari ide-ide yang hendak diperjuangkan berdasarkan Islam, jelaslah bahwa ide-ide itu sekarang sudah tidak menarik lagi.

Gambaran NM tentang penolakan umat terhadap partai Islam merupakan diskripsi yang tidak valid, sebab kekalahan partai-partai Islam waktu itu bukan karena rendahnya minat ummat Islam untuk memperjuangkan Islam lewat partai politik, tapi karena sistim politik yang tidak memberi kesempatan umat Islam untuk bersaing secara terbuka. Terbukti pada era reformasi dimana bangsa Indonesia mengenyam euforia kebebasan berpolitik partai-partai berasas Islam memperoleh suara yang cukup signifikan. Jika asumsi NM itu valid, maka semestinya kondisi ini berkembang hingga zaman reformasi. Tapi perkembangan yang terjadi justru “Islam Yes Partai Islam Yes”. Ini berarti umat Islam masih berpandangan bahwa berislam adalah juga berpartai politik.

Nampaknya NM ingin mengalihkan konsentrasi perjuangan umat Islam agar tidak melulu kepada perjuangan partai politik. Caranya dengan melempakan ide bahwa “Ide-ide dan pemikiran Islam [yang diperjuangkan partai politik Islam]itu sekarang sedang memfosil dan menjadi usang, kehilangan dinamika”. Maka tidak salah jika umat Islam waktu itu curiga bahwa gagasan NM ini membawa misi de-politisasi umat Islam. Jika yang menjadi masalah adalah ide dan pemikiran umat Islam mengapa tidak membenahi ide dan pemikiran? Jika ide-ide yang diperjuangkan partai politik Islam itu memfosil, mengapa kemudian NM pada era reformasi mencari partai politik Islam guna kendaraan menuju Presiden? Pertanyaan-pertanyaan kecurigaan ini nampaknya layak untuk dikemukakan.

Selain kondisi politik NM juga menyoroti kondisi pemikiran umat Islam. Dalam hal ini ia mengidentifikasi problem umat Islam kedalam 2 hal:

1. “Umat Islam Indonesia sekarang ini ….lebih mementingkan jumlah daripada mutu atau kuantitas daripada kualitas”.
2. Kelumpuhan ummat Islam akhir-akhir ini disebabkan, antara lain, oleh kenyataan bahwa mereka cukup rapat menutup mata terhadap cacat-cacat yang menempel pada tubuhnya.

Yang pertama tidak ada penjelasannya, namun nampaknya masih dalam konteks dan bahasa politik. Yang kedua mengasumsikan kondisi umat Islam yang tertutup untuk menerima perubahan. Namun sayang, NM tidak memberi penjelasan secara lebih rinci atau contoh kongkrit dari dua variable kondisi pemikiran umat Islam tersebut. Karena gambaran kondisi yang seperti itulah maka NM mengidamkan terjadinya dinamisme dalam tubuh umat Islam. Dinamisme itu menurutnya tercipta dengan pembaharuan ide-ide. Ia kemudian mengutip kata-kata Vladimir Ilich (1870-1924) “tidak ada tindakan yang revolusioner tanpa teori-teori revolusioner”. Disini NM terinspirasi untuk untuk mengemukakan ide-ide atau teori-teori yang revolusionernya. Padahal suatu ide atau pemikiran tidak serta merta menghasilkan tindakan, penanaman pemikiran baru memerlukan waktu yang tidak sebentar.

B. Gagasan Pembaruan dan liberalisasi

Karena kecenderunganya yang revelusioner itu maka pendekatan dan oritentasi pembaharuan yang dicanangkan NM akhirnya tidak berpijak pada tradisi intelektual Islam. Ia menyatakan :

Pembaharuan harus dimulai dengan dua tindakan yang satu sama lain erat hubunganya, yaitu melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional, dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan.

Apa yang ia maksud dengan “nilai-nilai tradisional” adalah orientasi kemasa lampau dan bernostalgia yang berlebihan. NM menghendaki agar oritentasi ke masa lampau itu dilepaskan atau dihilangkan. Namun ia tidak memberi alternatif, jika kita tidak perlu melihat masa lampau Islam, apa pijakan kita untuk memahami Islam? Disini pendekatan NM jelas bertentangan dengan motto pesantren yang berbunyi “a-muhafazatu ala al-qadim al-salih wa al-akhdhu bi al-jadid al-aslah”, (menjaga [tradisi]lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik).

Kemudian maksud dari kata-kata “berorientasi ke masa depan” ternyata adalah liberalisasi dan obyek yang diliberalkan itu adalah “ajaran-ajaran Islam”, bukan nilai-nilai tradisional yang disebutkan sebelumnya. Ia dengan jelas menyatakan :

Untuk itu diperlukan suatu proses liberalisasi. Proses itu dikenakan pada ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan Islam” yang ada sekarang. Proses itu menyangkut proses lainnya.

Dari kutipan diatas sebenarnya ia telah meletakkan ajaran Islam sebagai obyek dari liberalisasi. Liberalisasi yang dimaksud disini, seperti yang akan dinyatakan kemudian tidak merujuk kepada konsep Islam, tapi Barat. Dan ternyata benar bahwa diantara proses liberalisasi itu itu adalah sekularisasi Sekularisasi adalah “menduniawikan (temporalizing) nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya.” Sekularisasi dimaksudkan “untuk lebih memantapkan tugas duniawi manusia sebagai khalifah Allah di bumi. Fungsi sebagai khalifah Allah itu memberikan ruang bagi adanya kebebasan manusia untuk menetapkan dan memilih sendiri cara dan tindakan-tindakan dalam rangka perbaikan hidupnya diatas bumi ini, dan sekaligus memberikan pembenaran bagi adanya tanggung jawab manusia atas perbuatan itu di hadapan Tuhan”.

Jadi gagasan pertama pembaruan NM adalah liberalisasi, oleh sebab itu konsepnya berbeda dari tajdid. Poinnya masih senafas dengan sekularisme yaitu dichotomic, artinya memisahkan masalah dunia dan akherat. Alasannya yang digunakan adalah agar manusia dalam kehidupannya di dunia bebas memilih, dan tetap bertanggung jawab kepada Tuhan. Sepintas nampak adanya integrasi antara hubungan manusia-dunia dan manusia Tuhan. Namun pada baris-baris berikutnya ia menyatakan bahwa sekularisasi adalah “desakralisasi terhadap segala sesuatu selain hal-hal yang benar-benar bersifat ilahiyah yaitu dunia”. Ini sejatinya tidak berbeda dari semangat modernisme yang programnya adalah menghilangkan spiritualisme dan menggantinya dengan rasionalisme. Maka dari itu dalam pernyataan selanjutnya NM menegaskan bahwa :

Obyek proses deskralisasi itu ialah segala sesuatu yang bersifat duniawi, baik moral maupun material. Termasuk obyek duniawi yang bersifat moral ialah nilai-nilai, sedangkan yang bersifat material adalah benda-benda.

Pandangan NM ini berarti mereduksi nilai-nilai moral dan benda-benda dari yang bersifat trasenden dan sakral (sacred) menjadi profan. Implikasinya, segala nilai dan benda di dunia ini tidak ada yang sakral. Pemisahan ini menjadi rancu dengan pernyataaan NM kemudian bahwa :

Pandangan Dunia (weltanschaung) Islam mengenai hubungan antara alam dan Tuhan itu ibarat sebuah tubuh dengan kepala diatas dan kaki dibawah. ….Artinya kepercayaan kepada Tuhan mendasari pandangan pada alam, dan tidak sebaliknya, seperti ajaran materialisme”.

Nampaknya terdapat kerancuan antara pernyataan diatas dengan gagasan sekularisasi. Jika NM berfikir konsisten dan konseptual maka seharusnya ia berpendapat bahwa aqidah (teologi) merupakan asas bagi ilmu (epistemologi), iman sebagai asas bagi pandangan pada alam. Artinya pandangan seorang Muslim tentang dunia harus berdimensi akherat. Karena itu Muslim tetap memandang dunia ini sebagai makhluk yang diperlakukan secara sakral, dalam artian ukuran keakheratan. Tapi, seperti dinyatakan di awal, NM justru ingin menghilangkan aspek ukhrawi, aspek teologi dalam kehidupan dunia. Disamping konsepnya rancu, istilahnya membingungkan. Mungkin karena kerancuan ini barangkali NM kemudian menarik penggunaan istilah sekularisasi.

C. Kebebasan Berfikir

Sejalan dengan gagasan pembaharuan dengan liberalisasi pemikiran maka NM mencanangkan gagasan kebebasan berfikir. Disini ia merujuk Pondok Modern Darussalam Gontor sebagai lembaga pendidikan Islam yang liberal. Ini tidak benar. Motto kebebasan berfikir di Gontor merujuk kepada pengertian Islam, dan tidak kepada pengertian liberal. Dalam motto itu syarat untuk bisa befikiran bebas adalah akhlaq mulia (berbudi tinggi), badan yang sehat dan ilmu yang tinggi (berpengatahuan luas). Tanpa akhlaq dan pengetahuan kebebasan akan menjadi liar. Bebas dalam pengertian Gontor tidak sampai kepada pemikiran yang meninggalkan tradisi atau yang mempersoalkan masalah-masalah usul. Kebebasan yang dimaksud Gontor adalah kebebasan memilih yang baik dari yang tidak baik berdasarkan ilmu. Jika seseorang tidak mempunyai ilmu untuk membedakan yang baik dan buruk, ia tidak bebas memilih. Kebebasan seperti ini disebut ikhtiyar, artinya memilih yang khayr (baik). Jadi bebas dalam batas-batas pengetahuan Islam yang dapat dipertanggung jawabkan.

Nampaknya kebebasan berfikir yang dimaksud NM adalah kebebasan berfikir yang liberal, yaitu bebas tanpa batas. Sebab ia mengutip pedapat hakim Amerika O.W.Holmes yang menyatakan bahwa “kebebasan berfikir adalah perdagangan bebas dalam ide-ide (free trades in ideas)”. Ini yang ia sebut dengan intellectual freedom. Masalahnya apakah kebebasan berfikir seperti ini dapat diterima sebagai masih dalam batas-batas nilai keislaman.

Karena ketiadaan kebebasan berfikir yang seperti itulah maka kemudian NM menyimpulkan Pertama “tidak adanya pikiran-pikiran yang segar yang disebut sebagai psychological striking force (daya dobrak psikologis). Kedua, “tidak ada suatu badan dengan pikiran bebas yang memusatkan perhatiannya kepada tuntutan-tuntutan segera dari kondisi-kondisi masyarakat yang terus tumbuh, baik dibidang ekonomi, politik, maupun sosial.” Dan sebagai akibat akhirnya “umat Islam tidak mampu mengambil inisiatif dalam pembangunan masyarakat yang bersifat duniawi ini”.

Disini NM menggunakan shock therapy untuk mendobrak pemikiran umat Islam yang dianggapnya “memfosil” itu. Untuk itu NM menginginkan suatu lembaga atau badan yang dapat merespon tantangan zaman dalam bidang-bidang ekonomi, sosial dan politik yang terus berkembang. Namun, apa dan bagaimana bentuk badan tersebut? Apakah universitas, lembaga penelitian atau forum kajian, tidak ada gambaran dan konsep yang pasti disini. Adapun “pikiran-pikiran yang segar” yang dia maksudkan adalah pikiran yang berdasarkan Islam yang disesuaikan, dipersegar, diperbaharui dan diorganisasikan (dikoordniasikan), sehingga ide-ide itu dapat sejalan dengan kenyataan-kenyataan zaman sekarang.

Sepintas obsesi NM untuk menjadikan pemikiran Islam sejalan dengan kenyataan zaman sekarang adalah positif. Yaitu dengan menterjemahkan konsep-konsep penting dalam Islam secara kreatif dan innovatif. Namun dari contoh yang dikemukakan ternyata maksudnya adalah menjustifikasi konsep-konsep Barat yang sesuai atau hampir sesuai dengan konsep Islam. Contohnya menjustifikasi demokrasi sebagai sama dengan syura dalam Islam. Tentunya ini tidak sejalan dengan obsesi dan perjuangan umat Islam dimanapun untuk menjadikan pemikiran masyarakat Muslim zaman sekarang – yang dihegemoni oleh peradaban Barat itu – sejalan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Pikiran NM hanya berdasarkan sebuah asumsi bahwa hirarki nilai-nilai ukhrawi dan duniawi dalam pikiran umat Islam itu kacau. Padahal yang ia maksud “kacau” adalah karena tidak sejalan dengan gagasan sekularisasinya yaitu bercampurnya orientasi duniawi dan ukhrawi umat Islam.