Jika mendengar kata “teknologi informasi” di era digital ini, tentu akan banyak dari kita yang menyebutnya sebagai serangkaian kemajuan positif. Kemudahan dalam mendapat informasi adalah salah satu alasannya. Tetapi sedikit dari itu yang kritis melihat sisi lain dari teknologi informasi.
Dr. Wendi Zarman dalam uraiannya di INSISTS Saturday Forum pekan ke-16, memberi pendahuluan akan pentingnya melihat teknologi informasi pada basis filsafatnya. Falsafah pada teknologi jarang—tanpa ingin menyebutnya sama sekali—dilakukan. Bukti kongkrit akan kesimpulan ini bisa dilihat dari bagaimana manusia modern mencerap luapan informasi “information overload”. Menghadapi luapan informasi tersebut tanpa proses identifikasi adalah tanda lain atas gagalnya manusia dalam menghadapi problem dari overload informasi ini.
Dilema teknologi informasi ini juga diungkapkan oleh Lusiano Floridi, seorang professor filsafat dan etika informasi di universitas Oxford. Floridi mengatakan bahwa teknologi informasi itu seperti sebuah pohon besar yang sedang bertumbuh dengan begitu pesatnya; dahan dan rantingnya menjalar ke mana-mana, namun sejatinya memiliki akar yang rapuh. Sehingga kalau saja pohon tersebut diserang badai dengan mudah ia tumbang.
Dengan ungkapan lain, pesatnya laju pertumbuhan teknologi informasi punya dua sisi yang sama tajamnya: di satu sisi banyak manfaat yang dihasilkan, tetapi tidak sedikit menimbulkan banyak mudarat. Information overload sebagai akibat dari kemajuan teknologi informasi, dalam banyak kasus menuntut manusia untuk menghabiskan lebih banyak waktu untuk menganalisa: mana yang bermutu, dan mana yang berguna; selain tentu mana yang punya nilai kebenaran.
Dari banjirnya informasi ini juga melahirkan apa yang disebut oleh Barry Schwartz sebagai “paradoxes of choices”: manusia dibuat bingung dalam memilih dan memutuskan. Sebagai contoh, banyaknya pilihan pada etalase minuman di swalayan, justru membuat bingung dan berakhir dengan tidak membeli sama sekali. Artinya, dengan banyaknya informasi (baca: berita) hadir; di kanal-kanal sosial media juga aplikasi pesan digital, justru membuat manusia terjebak pada kebingungan.
Maka, Dr. Wendi menekankan bahwa filsafat sains—dalam hal ini filsafat teknologi informasi—jika dipelajari dan digunakan dapat meminimalisir mudarat tersebut, sembari di saat yang sama memaksimalkan sisi manfaatnya. Di sini, peran worldview menjadi penting untuk memahami kebenaran (reability) dan kegunaan (relevance) informasi. Selain worldview, informasi yang memiliki daya benar dan guna (informasi yang bermutu) dalam kacamata Islam dapat dihasilkan dari pemahaman yang benar atas syariat juga penguasaan akan ilmu dan ketrampilan berkenaan teknologi tersebut.
Lebih lanjut, penggunaan worldview—dalam hal ini Islam—pada proses epistemologis akan mendudukkan serangkaian sumber ilmu “source of knowledge” pada tempatnya; tanpa melihatnya secara terpisah dan bertentangan antara satu dengan yang lain—sebagaimana dualisme cartesian. Dalam kasus informasi bumi datar misalnya, penggunaan worldview akan menimbulkan beberapa pertanyaan mendasar sebelum informasi tersebut dipercayai. Misalnya, bagaimana dengan pandangan wahyu? (khabar) Penafsiran para mufassir (otoritas)? Pendapat para ilmuan dan astronom (panca indera)? Lalu apa pentingnya memperdebatkannya (nilai moral)?
Kemudian untuk mempermudah melihat mutu dari informasi, Dr Wendi memperkenalkan rumusan menarik bernama “piramida informasi”. Skema dari piramida informasi ini terbagi menjadi empat lapisan inti. (i) data informasi (ii) Ilmu pengetahuan/science (iii) paham/understanding (iv) hikmah/wisdom. Agar mempermudah, lihat bagan di bawah ini:
Pada lapisan terbawah, informasi yang ada hanyalah sekumpulan data. Ia sebatas memori yang tersimpan dalam pikiran manusia. Di sini informasi bernilai sebatas data acak yang bertebaran di dalam akal pikiran. Tanpa tahu mana yang benar dan mana yang salah; tanpa proses epistemic. Pada lapisan kedua, informasi meningkat derajatnya menjadi Ilmu pengetahuan: ketika sebuah fakta/data melewati proses epistemic, dengan mengkaitkan (mengolah) data tersebut dengan data yang lain; hingga melahirkan sebuah makna.
Lapisan ketiga sebuah informasi naik derajatnya menjadi sebuah pemahaman (understanding). Informasi sampai pada derajat ini ketika sudah masuk di tingkat ilmu. Informasi tersebut sudah bukan lagi sekumpulan data tanpa makna, tetapi telah terserap dalam hati dan berdampak pada diri; membentuk nilai diri. Sedang lapisan keempat—yang tertinggi—adalah derajat hikmah/wisdom. Lapisan ini adalah informasi yang punya mutu paling baik. Ia adalah sekumpulan ide dan gagasan besar: hal-hal fundamental, yang hadir melalui telaah mendalam dan proses epistemic secara serius, sehingga telah mampu dalam menempatkan sesuatu pada tempatnya.
Jika banjirnya informasi, masifnya kabar-kabar broadcast, dapat ditelaah lewat serangkaian proses matang di atas, niscaya kebermanfaatan dari sebuah informasi bisa didapatkan, dan ke-mudaratan informasi bisa ditekan seminim mungkin. Di sinilah adab terhadap informasi: yaitu ketika menempatkan informasi dan memprosesnya secara tepat. @syamunsalim