Home Artikel Ideologi Feminis Radikal dalam RUU P-KS

Ideologi Feminis Radikal dalam RUU P-KS

11155
0

Oleh: Dr. Henri Shalahuddin, MIRKH

Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) DPR RI tanggal 12 Juli lalu, Willy Aditya, selaku pimpinan sidang, menyatakan bahwa draf RUU P-KS yang lama tidak lagi digunakan, dan saat ini Baleg menyerap aspirasi lapisan masyarakat dan para ahli untuk menyusun draf RUU yang baru.

Pernyataan ini patut kita syukuri, sebab Baleg menyadari keresahan masyarakat Indonesia terhadap draf RUU P-KS yang cenderung permisif untuk disusupi segala bentuk perilaku seksual yang songsang dan menyimpang, seperti LGBT, perzinahan, aborsi dan lain-lain.

Islam sebagai agama mayoritas yang dianut bangsa Indonesia telah mengatur norma-norma kehidupan yang berhubungan dengan masalah seksualitas dan kesehatan reproduksi. Sayangnya, aturan-aturan itu oleh sebagian feminis dituduh telah mengintervensi kebebasan perempuan dalam mengelola tubuhnya. Sebagian lainnya—akibat tidak memahaminya secara komprehensif—malah menuduh Islam melegalkan kejahatan seksual karena mengutuk istri yang menolak ajakan suami berhubungan seksual.

Pandangan seperti ini muncul karena feminis meyakini bahwa setiap hubungan intim yang tidak atas kemauan istri dianggap sebagai pemerkosaan dalam perkawinan (marital rape). Sebaliknya, jika perbuatan itu dilakukan atas dasar suka sama suka, maka tidak dianggap sebagai kejahatan, meskipun tanpa ikatan perkawinan, beda agama, atau sesama jenis kelamin.

Draf lama RUU P-KS membawa ruh yang identik dengan RUU KKG yang sudah ditolak bangsa Indonesia sekitar 2012 lalu karena kental dengan muatan ideologi feminis radikal. Kebencian feminis radikal terhadap institusi perkawinan ternyata terintegrasikan dalam draf lama RUU P-KS, antara lain pasal 11 tentang cakupan kekerasan seksual.

Pasal ini secara tersirat menempatkan bahwa: perkawinan, pelacuran, dan perbudakan seksual dianggap sama jahatnya dan harus dipidanakan jika didasari “pemaksaan”. Sebaliknya, bisa jadi dianggap sama baiknya jika dilandasi “kerelaan” (by consent). Pasal-pasal yang seperti ini tentunya tidak Indonesiawi, bahkan cenderung sejalan dengan pandangan feminis radikal.

“Marriage is an institution developed from rape as a practice”, kata Andrea Dworkin. Ti-Grace Atkinson memandang pernikahan tak kalah seramnya, “The institution of sexual intercourse is anti-feminist”. Seakan-akan tak mau ketinggalan, Vivian Gornick mengutuk kedudukan ibu rumah tangga sebagai profesi yang ilegal, “Being a housewife is an illegitimate profession”, katanya. Ini hanyalah sebagian contoh kecil dari paham feminisme radikal.

Pandangan seperti ini berakar pada konsep feminis untuk mempolitisasi tubuh perempuan sebagaimana dikatakan Margaret Sanger, “No woman can call herself free who does not own and control her own body”. Hal ini juga terintegrasikan dalam pasal 11 tentang pemaksaan aborsi, di mana yang dipidanakan adalah unsur pemaksaannya, bukan perbuatan aborsinya.

“Melindung” Perempuan dan Catcalling

“Perlindungan” yang diberikan RUU P-KS bukan untuk semua perempuan. Sebab ia hanya memberikan “perlindungan” yang bersifat individual untuk elit perempuan yang berhasrat merebut kekuasaan melalui politik tubuh dan isu-isu seksualitas perempuan.

Maka jika bertujuan melindungi semua wanita, istilah “kekerasan” dalam RUU P-KS sebaiknya diganti dengan “kejahatan”. Tapi tentunya kaum feminis akan menolaknya, sebab tidak semua kejahatan seksual berbasis pemaksaan. Sebaliknya, banyak model kejahatan seksual justru dilakukan secara sadar, terencana, dan berbasis suka sama suka.

Di samping itu, kekerasan non-fisik dalam draf lama RUU P-KS berpotensi mempidanakan orang dengan alasan yang sangat subjektif, misalnya: merasa disiulin, menduga digoda, dll. Kriminalisasi dan memilih-milih orang untuk dipidanakan sangat mungkin terjadi dengan dalih kekerasan non-fisik berbasis perasaan si “korban”.

Misalnya: dua laki-laki yang mengucapkan kata “Hai cantik” pada perempuan yang sama, bisa dipidanakan salah satunya saja, tergantung perasaan dan mood si perempuan. Kita sepakat bahwa siulan, kedipan mata dan segala bentuk catcalling adalah perilaku tidak beradab. Tapi jika solusinya dengan pendekatan hukum, pasti berpotensi kriminalisasi pada setiap laki-laki yang ingin ditarget. Belum lagi jika konteksnya dalam panggung-panggung hiburan yang ramai dengan siulan para penonton. Apakah kemudian sebagian penonton akan dipenjara gara-gara si penyanyi merasa dilecehkan dengan model siulan penonton di tribun belakang, misalnya, dan tidak tersinggung dengan siulan penonton lainnya?

RUU dengan mengutamakan perspektif korban dalam batasan tertentu juga berpotensi melahirkan tindak kriminalisasi pada orang yang tidak disukai, dan menghilangkan asas praduga tidak bersalah. Usulan untuk menghadirkan psikolog perempuan yang “mengerti” perasaan korban perempuan dalam menyusun RUU, secara tersirat juga menyimpulkan bahwa seakan-akan ilmu psikologi itu berjenis kelamin, dan sarat dimuati bara kebencian kepada laki-laki.

Menanggapi kritik mendasar terhadap muatan ideologis dalam RUU P-KS ini, kaum feminis dengan sinisnya mengatakan bahwa kekerasan seksual adalah masalah sosiologis, bukan masalah ideologis dan teologis. Kaum feminis menutup mata bahwa orang memperkosa itu didasari karena melupakan imannya pada Tuhan dan ajaran agamanya. Orang melakukan praktik seksual songsang (LGBT) pastinya juga dimotivasi doktrin feminisme radikal, sekularisme atau ideologi menyimpang lainnya.

Di Turki, Presiden Recep Tayyip Erdoğan pada tanggal 20 Maret 2021 telah membatalkan “Kadınlara Yönelik Şiddet ve Aile Içi Şiddetin Önlenmesi ve Bunlarla Mücadeleye İliskin Avrupa Konseyi Sözleşmesi” (Konvensi Dewan Eropa tentang Pencegahan dan Pemberantasan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga) untuk diberlakukan di negaranya. Meskipun sebelumnya konvensi ini telah ditandatangani atas nama Republik Turki pada 11/5/2011 dan disetujui oleh Keputusan Dewan Menteri tertanggal 2/10/2012. Kebijakan yang tidak populis ini diambil oleh Presiden Erdoğan demi melindungi generasi penerus dan institusi keluarga dari pasal-pasal yang tidak sesuai dengan norma-norma budaya masyarakat Turki.

Kesimpulan

Merupakan tindakan yang tepat jika pimpinan RDPU DPR RI tidak lagi melirik draf lama RUU P-KS yang sarat dengan muatan ideologi feminis radikal. Hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan (heteroseksual), baik dalam ikatan pernikahan atau tidak, menurut paham feminis radikal semisal Ann Ferguson adalah sumber kekerasan seksual terhadap perempuan. Oleh karena itu, Ann menyarankan hubungan seksual yang ideal dan setara adalah berdasarkan persetujuan untuk saling terlibat secara emosi, dan tidak berperan sebagaimana tuan dan budak. Ujung pemikiran ini bermuara pada kampanye lesbianisme.

Maka tidak keliru jika Mary Evans menyimpulkan di antara ide feminisme kontemporer yang paling radikal adalah bahwa ruang pribadi (private space) dalam rumah tangga dan keluarga harus takluk pada pengawasan publik (public securtiy). Hal ini dimaklumi karena fenomena kekerasan seksual dalam masyarakat Barat yang sekular dan akrab dengan budaya pemerkosaan, dilawan dengan mengajarkan sexual consent (kumpul kebo). Masalahnya, apakah budaya masyarakat Indonesia sudah mirip dengan Barat sehingga mengharuskan solusi yang sama untuk isu-isu kejahatan seksual?!

Kita semua sepakat bahwa kejahatan seksual harus dihukum berat melalui mekanisme dan prosedur hukum yang benar. Pendampingan korban kejahatan seksual, penyediaan shelter untuk pemulihan trauma, dan hak-hak korban lainnya harus dipenuhi. Tetapi menyusun UU dengan mengandalkan “perspektif korban” berpotensi menghukum seseorang tanpa alat bukti. Bukankah QS. al-Maidah [5]: 8 mengajarkan pada kita, “Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil?” Wallahu a’lam wa ahkam bissawab.

Istanbul, Summer, Juli 2021

Leave a Reply