Al-Qur’an dalam Pusaran Dualisme
Oleh: Mohammad Syam’un Salim
Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam sebuah artikel berjudul “True and False Knowledge” mengingatkan pada kita untuk tidak terjatuh pada ilmu palsu. Sebagai analoginya, Prof. al-Attas kemudian memberikan permisalan bahayanya ilmu palsu yang masuk ke dalam pikiran, layaknya bahayanya uang palsu ketika masuk ke dalam ekonomi sebuah negara. Ungkapnya “False currency pretends to process true value whereas in reality it has no value”. Ya! Ilmu palsu, bukanlah ilmu, sebagaimana uang palsu, bukanlah uang. Ia kosong dari nilai.
Jika membaca utuh artikel yang ditulis al-Attas ini, kita akan mengerti bahwa yang dimaksud ilmu palsu adalah “Western concept” konsep-konsep yang lahir dari rahim Barat. Mengapa? Karena apa yang diyakini sebagai kebenaran dalam Islam, secara konseptual tidak bernilai benar dalam kacamata mereka, begitu pula sebaliknya “what to the Muslims may appear to be the truth may in fact have no value for him (Western)”. Artinya, ketidaksamaan pada cara pandang (worldview) menghasilkan perbedaan nilai juga ilmu yang kemudian menjelma menjadi keyakinan dasar atau basic belief.
Masalahnya, ketidaksamaan ini kemudian berusaha (dipaksa) dimasukkan dengan dalih kemajuan (progresifitas), atau dengan dalih-dalih lainnya. Apa yang dianggap berkembang dan maju di tempat lain, seperti berlaku semesta: sama di tempat sendiri. Padahal, sebagaimana yang ditekankan juga oleh al-Attas pada penggal tulisan lainnya “every culture has a view of the world which it infuses into knowledge” bahwa setiap kultur memiliki cara pandangnya sendiri yang amat khas. Maka tidak perlu disamakan, dan memang tidak harus sama.
Jika sepakat pada rumusan Prof. al-Attas di atas, tentu kita tidak akan kaget dengan upaya-upaya sarjanawan Barat mengecilkan dan mempertanyakan, atau dalam bahasa lain menghujat al-Qur’an—sebagaimana yang meraka lakukan sendiri kepada Bible. Misalnya saja apa yang ditulis oleh Klimovich “Did Muhammad Exist?” di tahun 1930. Bila perdebatan yang mengemuka hari-hari ini seputar apakah al-Qur’an kalam Ilahi atau kalam Nabi? Klimovich lebih jauh dari itu, mempertanyakan eksistensi nabi Muhammad. Nalarnya, bila Nabi Muhammad tidak ada, apalagi otentisitas al-Qur’an.
Narasi yang serupa dapat kita temukan lewat karya-karya orientalis sepuh, seperti Arthur Jeffery, Alfred Ghuillaume, Theodor Noldeke, Christopher Luxembourg, Montgomery Watt dan sarjanawan Barat lainnya. Dari mereka hujatan terhadap al-Qur’an kemudian berkembang lewat mulut sarjanawan Muslim seperti Nasr Hamid Abu Zaid, Mohamed Arkoun, Abdul Karim Soroush dll, hingga kemudian turun dan diplagiat oleh beberapa sarjanawan Muslim di Indonesia.
Bila ditelusuri, gagasan atas pertanyaan al-Qur’an kalam Allah atau kalam Nabi? bermula dari cara pandang Barat yakni dualisme. Sebab watak yang ingin ditunjukkan adalah, bawa al-Qur’an sebagai kalam yang suci mengalami proses tanzil, yang kemudian dialihbahasakan oleh Rasulullah dengan perkataannya. Argumen ini mirip dengan gagasan hermeneutika yang berasal dari kisah mitologi Yunani, di mana Hermes menjadi penghubung komunikasi antara manusia dan dewa (lihat: The Catholic Encyclopedia, 1910 “Hermeneutics”)
Pandangan dualistis ini, dapat kita lacak dari pemikiran Christian Wolff, seorang filsuf Jerman abad ke-18. Ia mendefinisikan dualisme sebagai pandangan yang memisahkan materi dan immateri kepada dua entitas yang berbeda “the dualist are those who admit the existence of both material and immaterial substances”. Jauh sebelumnya Plato dalam dialog-dialognya memisahkan status jiwa dan raga, intelligible dari sensible.
Dalam dunia nyata, seorang dualis akan melihat fakta secara terpisah-pisah. Akal dipisahkan dengan materi, jiwa dan raga dipandang tidak saling terikat satu sama lain. Dalam filsafat ilmu, dualisme merujuk kepada dikotomi subjek-objek, realitas subjektif dan objektif. Kebenaran pun terbagi menjadi dua: ada yang subjektif ada yang objektif, ada absolut dan relatif. Terdengar amat membingungkan. Berbeda dengan pandangan ini, tradisi intektual Islam tidak mengenal istilah dualisme. Peradaban Islam dibangun atas paradigma tauhidi.
Pada konteks al-Qur’an; apakah ia kalam Allah atau kalam Nabi? Kita dapat menemukan sisi dualismenya—salah satunya—ada dalam tulisan Sa’id Naasyid “al-Haddatsah wa al-Qur’an”. Pada buku tersebut, Sa’id Naasyid memisahkan al-Qur’an kepada tiga maksud: (i) al-wahyu al-Rabbani, (ii) al-Qur’an al-Muhammadi, dan (iii) al-mushaf al-‘utsmani. Status al-Qur’an di sini dipisahkan, lafadz dari Allah, tapi makna dari Rasulullah. Narasi lainnya menyebutkan keterpisahan antara pre text, text dan context. Pada ungkapan yang berbeda, seorang sarjanawan muslim menyebutkan dengan lantang bahwa “kita tidak pernah melaksanakan al-Qur’an, tapi kita hanya melaksanakan pemahaman kita terhadap al-Qur’an”.
Dengan lebih jelas lagi, Nasr Hamid Abu Zaid dalam “Voice of an Exile: Reflections on Islam” menyebutkan bahwa al-Qur’an memiliki dua dimensi yang terpisah: (i) dimensi historis yang nisbi (ii) dimensi mutlak. Dimensi pertama al-Qur’an yang disampaikan Nabi, sedang yang kedua adalah al-Qur’an sebagai kalam Allah, dan masih banyak contoh lainnya.
Pandangan yang amat dualistis ini pelan tapi pasti menjelma menjadi paham relativisme. Tanpa rasa bersalah seorang muslim bisa mengatakan bahwa kebenaran al-Qur’an adalah mutlak, karena berasal dari yang Maha Mutlak. Tetapi kemutlakan tersebut menjadi nisbi saat memasuki otak dan hati manusia. Maka segala penafsiran tentang al-Qur’an tidak pernah mencapai posisi mutlak benar, siapapun manusianya. Demikianlah imbas dari pandangan dualistis kepada al-Qur’an. Pemisahan al-Qur’an pada kalam Allah dan Kalam Nabi, berpotensi menumbuhkan sikap relativistis.
Dalam Islam tidak dikenal paradigma dualistis semacam ini. Tidak hanya pada status al-Qur’an, apakah ia kalam Allah atau Nabi, namun lebih luas dari itu. Worldview Islam sejak awal mula berdiri pada prinsip kesatuan/tauhidi. Dalam epistemologi misalnya, Islam menempatkan sumber ilmu secara integral; akal, panca indera, khabar shadiq, intuisi berada pada bejana yang sama. Status ontologi juga tidak terpisah; dunia-akhirat, fisika-metafisika, tubuh-jiwa, ilmu-iman-amal, Islam-Iman-Ihsan, aqidah-syari’ah-akhlak dst. Pada level yang lebih tinggi, tauhid bukan saja bermakna beriman pada yang satu, yakni Allah Swt, namun juga kesatuan pada pemahaman. Maka ilmu yang benar, sebagaimana yang diungkapkan oleh Prof. Al-Attas, berdasar pada “tawhid method of knowledge” metode yang tauhidi.
Oleh itu, perdebatan seputar status al-Qur’an ini bisa kita lihat dari dua sudut pandang. Pertama lewat sisi argumentasi para alim ulama. Seperti hujjah yang dinyatakan oleh al-Zarqani dalam “Manahil ‘Irfan fi ‘Ulumi-l-Qur’an” yang menyimpulkan bahwa status al-Qur’an sebagai kalamullah adalah konsensus/ijma. Maka menyelisihi pendapat tersebut adalah kebatilan “qaul batil, musadim li sarihi al-kitab wa al-sunnah wa al-ijma’”. Kedua melalui basis keilmuan Islam yang bertumpu pada pandangan tauhidi tadi.
Jika pemahaman kita bisa lebih komprehensif, melihat perdebatan status al-Qur’an ini dari dua sudut pandang yang ada secara lengkap, kita mungkin akan lebih siap menjawab. Tidak saja menjawab dengan keyakinan penuh dengan dalil-dalil yang ada, bukti-bukti yang melimpah, namun juga dengan mudah dapat menunjukkan kepada diri sendiri problem epistemik yang ada di dalamnya. Maka sudah saatnya membekali diri dengan, apa yang disebut oleh Prof. Al-Attas sebagai “true knowledge”. Sebab ilmu yang benar, berarti berfikir dengan benar, dan berprilaku secara benar. Wallahu a’alm [] MSS