Kajian INSAF pekan ini mengangkat judul “dimensi-dimensi pembangunan peradaban dalam ajaran Islam” dengan narasumber Dr. Henri Shalahuddin. Tema ini sebenarnya memiliki titik temu dengan tema-tema yang dibawakan oleh para narasumber sebelumnya, terutama jika mengacu pada pidato akhir tahun 2019 oleh Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi. Pada Insaf perdana di tahun 2020, Dr. Budi Hadrianto membawakan tema bagaimana mereposisi dan mereorientasi Perguruan Tinggi melalui teori ekonomi “Blue Ocean Strategy” yang tujuan akhirnya tidak lain adalah pembangunan peradaban yang bermutu. Begitu pula dengan tema yang dibawakan oleh Dr. Adian Husaini mengenai perguruan tinggi Islam sebagai titik kunci utama kebangkitan peradaban Islam.
Senada dengan dua tema di atas, Dr. Henri membawakan tema dimensi apa saja yang perlu diupayakan untuk membangun peradaban sebagaimana dicanangkan oleh ajaran Islam. Menurut pria asli Bojonegoro ini, umat Islam seluruhnya perlu memahami dengan cermat apa Islam itu sendiri. Apakah ia hanya sekadar shalat, zakat, puasa, haji, sedekah dan ibadah-ibadah ritual lainnya?, ataukah ia memiliki cakupan ruang lingkup lainnya. Jika iya, lalu apa saja dan sampai manakah ruang lingkupnya?. Pertanyaan-pertanyaan mendasar ini memang semestinya perlu mendapatkan jawaban yang gamblang dan tuntas.
Pada dasarnya Islam mengajarkan keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat, sebagaimana dapat diamati dari do‘a kita “Rabbana atina fi ad-dunya hasanah wa fi al-akhirata hasanah”. Dalam do‘a tersebut, tutur direktur Eksekutif INSISTS, sejatinya kita telah diajarkan bahwa Islam memiliki dimensi dan menjadi motor utama dalam kehidupan dunia dan akhirat. Dengan kata lain bahwa ajaran Islam melingkupi segala hal, baik yang berkaitan dengan kehidupan dunia maupun yang sifatnya ukhrawi. Artinya, Islam tidak hanya berhenti pada makna agama, tapi juga melingkupi peradaban atau Ilmu pengetahuan.
Sebagaimana yang telah jamak diperdengarkan bahwa ajaran Islam memberikan titik tekan tersendiri untuk ilmu pengetahuan. Bahkan untuk persoalan yang paling mendasar dari pintu utama menjadi seorang muslim, seseorang didorong untuk berilmu dahulu sebelum menyakini (mengimani). Surah Muhammad: 19 mengatakan “ketahuilah bahwa tiada Tuhan kecuali Allah”. Tentu dengan sendirinya kita akan memahami bahwa untuk mengetahui, seseorang memerlukan ilmu. Artinya bahwa untuk beriman saja, dalam Islam diharuskan untuk berilmu. Hal ini senada dengan penjelasan Abdurrahman al-Sa’di di dalam tafsirnya; “Iman tidak akan sempurna tanpa adanya ilmu, sebab ilmu merupakan cabang dari iman”. Maka, ilmu memiliki tempat utama dalam ajaran Agama Islam dan berbanding balik dengan ajaran agama-agama lainnya. (lihat. Taysīr al-Karīm al-Rahmān fī Tafsīr Kalām al-Mannān, diedit: Abdurrahman Ibn Ma‘la al-Lawayḥiq, (ttp: Mu’assasah al-Risālah, 2000), hal 934).
Oleh karena itu, tidak sedikit dari para ulama’ dahulu menulis di banyak karyanya mengenai bab ilmu dahulu sebelum menjelaskan bab-bab lainya. Untuk sekadar menyebut; karya Imam al-Ghazali yang sangat terkenal “Ihya’ ‘Ulum ad-Din” menjelaskan di bab awalnya mengenai persoalan ilmu dan cakupannya. Begitu pula dengan karya seniornya; Imam al-Baqillani menulis kitab tamhid al-Awa’il wa talkhis ad-Dala’il, juga mengawali dengan bab ilmu. Hal semisal juga tercatat dalam karya Fakhruddin ar-Razi Ushuluddin, Kitab Ushuluddin miliki Muhammad al-Taimiy al-Baghdadi, at-Tamhid liqawi’idi at-Tauhid milik an-Nasafi, al-‘Aqidah an-Nasafiyyah karya at-Taftazani dan seterusnya. Untuk karya yang terakhir ini memiliki banyak versi; di antaranya yang ditulis oleh al-Taftazani sebagaimana disebut. Ada pula versi bahasa Inggeris ditulis oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas, meski dengan sedikit nama buku yang berbeda yaitu The Oldest Known Malay Manuscript: A 16th Century Malay Translation of The ‘Aqā`id of al-Nasafi, (Kuala Lumpur: Departement of Publication University of Malaya, 1988). Versi lainnya ditulis oleh Earl Edgar Elder, A Commentary on the Creed of Islam Sa’d al-Din al-Taftāzāni on the Creed of Najm al-Dīn al-Nasafi, (New York: Columbia University Press, 1950). Di sini semakin menunjukkan bahwa ilmu memiliki nilai dan posisi utama dalam ajaran Islam.
Lebih lanjut, sejarah telah membuktikan bahwa peradaban Islam yang pernah berjaya di masa lampau tidaklah diidentikkan dengan model-model bangunannya, ataupun struktur, artistik, serta desain yang melingkupinya. Meskipun hal tersebut juga tidak mungkin untuk dinafikan seratus persen. Tetapi hal yang paling mendasar ialah bahwa karakteristik utama peradaban Islam di masa lalu, dan yang semestinya kita perlu upayakan untuk dikembangkan di masa kini ialah nilai-nilainya melingkupi yang fisik (madiyyah) dan metafisik (ruhaniyyah), berasaskan pada wahyu, ilmu, menjunjung tinggi adab, akhlak, serta keadilan.
Maka karena itu, jika kita membaca Sirah (sejarah) secara cermat, akan didapati bahwa dalam sistem peperanganpun umat Islam memiliki adab dan tatanan yang sangat tinggi, hingga umat atau peradaban manapun tidak mungkin sanggup untuk mengunggulinya. Contohnya, jika terjadi perang maka umat Islam tidak diperbolehkan menghancurkan bangunan-bangunan ibadah, seperti gereja dan lainnya. Mereka juga tidak dibenarkan membunuh anak-anak, perempuan, dan musuh yang telah menyatakan menyerah karena tak memiliki daya lagi. Merampas apalagi hingga mengeksploitasi kekayaan alam yang berada pada daerah-daerah yang dibebaskan (futuhat), juga menjadi hal yang sangat dilarang. Hal ini berbanding balik, tatkala umat, bangsa ataupun peradaban lain “mengusai”, “menjajah” dan mengintimidasi kelompok, bangsa ataupun umat lainnya. Mereka cenderung untuk meraih dan mengeksploitasi apapun untuk kepentingan bangsanya, baik itu sumber daya alam, sumber daya manusia, budaya, sistem akademik, ekonomi, cara berfikir (mindset), ataupun cara pandang (worldview). Tidak mengherankan bila kemudian di dalam buku “what Islam did for us” disebutkan: “life for the majority of people in mainland Christian Europe was short, brutal and barbaric when compared with the sophisticated, learned and tolerant regime in Islamic Spain”.
Hal yang juga perlu untuk kita potret, dalam sejarah peradaban Islam, tidak sedikit lahir manusia-manusia yang memang berperadaban. Dalam tradisi keilmuan tidak sulit untuk menemukan para cendekia yang unggul dan kompeten dalam satu bidang dan juga pada bidang lain. Ibn Sina sebagai misal, beliau sangat ahli dalam bidang kedokteran, tapi juga tidak kalah otoritatifnya dalam bidang psikologi, filsafat, dan logika. Imam al-Ghazali, yang dikenal sebagai sang Hujjatul Islam, banyak menguasai pelbagai macam disiplin ilmu, seperti; fiqh, logika, filsafat, kalam, tasawuf dan lainnya. Hal ini juga didukung dengan type record sikap dan tingkah laku yang mencerminkan nilai akhlak yang tinggi. Potret masa seperti itulah yang semestinya hari ini kita targetkan dan upayakan dengan segala tenaga.
Fakta tersebut minimal dapat kita gali dari serapan-serapan bahasa Arab ke dalam beberapa bahasa dunia. Misalnya saja dalam bahasa Inggeris kita temukan kata “paradise” (surga) yang merupakan serapan dari kata “firdaus” (surga). Kata lainnya “sugar” dari kata “sukkar”, “minaret” dari “manarah” dan lain sebagainya. Dalam bahasa Indonesia kata “akal” berasal dari “’aql”, “rakyat” dari “ra‘iyyah”, “adil” dari “‘adl” dan banyak lagi yang semisal. Cukup jujur bila orang Barat sendiri menyebut: “We in the west owe a debt to the muslim world that can be never fully repaid”. (Tim Wallace Murphy, What Islam did for us: Understanding Islam’s Contribution to Western Civilization, (London: Watkins Publishing, 2006).
Jika mengacu ke beberapa sumber, peradaban Islam seperti yang didamba-dambakan akan terwujud jika hari ini kita telah memulai untuk merancangnya dengan mengacu ke beberapa hal, antara lain; a) sifat integritas atau tidak dikotomis. Artinya umat Islam bersifat proposional dalam menempatkan segala sesuatu, tidak hanya menimbang sifat materi belaka, ataupun terlalu menentangnya, yang berakhir pada penolakan pada hal-hal fisik, b) Amanah. Maksudnya, bahwa sifat amanah ini perlu untuk dibawa ke segala lini, baik sistem kepemimpinan suatu bangsa, negara, kelompok ataupun diri sendiri. Bahkan pada binatang, tumbuhan dan benda-benda mati sekalipun. Hal ini sebenarnya juga sangat berkaitan dengan nilai-nilai al-‘adalah (keadilan). Jika manusia diturunkan ke bumi ini dan dijadikan sebagai seorang khalifah fi al-‘ardh (pemimpin), maka ia memiliki berbagai macam amanah, seperti memakmurkan alam semesta, tidak merusaknya, apalagi hingga mengeksploitasi serta memusnahkannya. Sikap dan perilaku tersebut hanya akan terjadi bila didukung dengan ilmu mengenai hal apapun untuk dapat diletakkan sebagaimana mestinya, atau dalam bahasa lain dapat bersikap adil. Habitat membuang sampah sembarangan yang hingga hari ini masih sangat marak adalah bagian dari fakta bahwa seseorang tidak dapat memegang amanah dengan baik, apalagi adil.
Poin lainnya yang tidak kalah penting ialah c) morality/ tanggung jawab moral. Nilai moralitas pada hakikatnya menjadi poin yang tidak mungkin dapat ditawar-tawar, baik itu kepada Tuhan, Nabi, manusia, makhluk hidup ataupun alam semesta. Moralitas manusia kepada Tuhan tergambar dari tanggung jawab dirinya untuk menjalankan apa yang diperintahkan dan menjauhi segala yang dilarang. Hal ini sebagaimana terejawantahkan dalam pribadi Nabi, yang memang menjadi suri tauladan bagi siapapun. Konsepsi ini sekaligus menjaga moralitas dirinya kepada Nabi. Namun sayangnya di hari-hari ini, konsepsi ini hanya dipersempit pada cakupan sunnah, yang juga diperparah dengan sunnah-sunnah menurut mazhab kelompok tertentu. Akhirnya, bukan sikap menghidupkan sunnah sendiri yang diunggulkan, namun sikap klaim sebagai pemegang otoritas sunnah yang selalu dipaksakan.
Selain dari tiga hal di atas, kita juga perlu untuk memahami cakupan Islam yang terdiri dari Aqidah, Syari’ah dan Akhlak. Cakupan dari Aqidah termanifestasi dalam penjelasan ilmu-ilmu ushuluddin seperti; Tauhid, Kalam, Ushuluddin, al-‘Aqa’id dan lainnya. Sedangkan syari’ah dapat dijelaskan melalui ilmu fiqh, usul fiqh, mawarits dan seterusnya. Dan Akhlak sebagaimana didengungkan oleh para sufi, yaitu pada bidang tasawuf ataupun pembersihan (penyucian) jiwa (tazkiyatu an-nafs). Maka bilamana ketiga hal ini dapat digenggam dan didudukkan sebagaimana mestinya, maka aspek-aspek yang menjadi ciri khas bagi lahirnya peradaban yang bermutu akan bermunculan dengan sendirinya.
Walau begitu, semuanya memang tertumpu pada Ilmu itu sendiri. Seperti apakah ilmu tersebut, apakah hari ini umat Islam sama sekali tidak memiliki ilmu?, Jika memiliki ilmu, lalu mengapa peradabannya tak kunjung maju sebagaimana masa silam?, Lalu kenapa orang-orang yang bermutu di masa lalu juga belum bermunculan di masa kini?. Seluruh pertanyaan ini dapat kita jawab dengan mencoba memetakan dan mendudukkan apakah makna ilmu itu sendiri, benarkah hari ini umat Islam telah berilmu sebagaimana yang diajarkan oleh Islam. Apakah pola fikir atau cara pandangnya telah sesuai dengan ajaran Islam (Islamic worldview). Hal-hal inilah yang semestinya kita upayakan untuk didudukkan dahulu secara proposional sebelum melangkah ke program atau langkah lain dari pembangunan peradaban yang bermutu. (SJ)
untuk mengikuti lebih lengkap lihat: https://www.youtube.com/watch?v=A0CkkaNJMC0