Home Artikel Makna Adab Dalam Perspektif Pendidikan Islam (1)

Makna Adab Dalam Perspektif Pendidikan Islam (1)

16254
0

Oleh: Dr. Adian Husaini

 

  1. Pendahuluan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988) dan Kamus Umum Bahasa Indonesia (1976) susunan W.J.S.  Poerwadarminta, kata “adab” didefinisikan sebagai: kesopanan, kehalusan dan kebaikan budi pekerti, dan akhlak. Sedangkan “beradab” diartikan sebagai sopan, baik budi bahasa, dan telah maju tingkat kehidupan lahir dan batinnya.  Sedangkan Kamus Besar Bahasa Melayu Utusan, mengartikan kata “adab” dengan “sopan” (lawan dari kata “biadab”). “Beradab” berarti baik budi bahasa. 1

Istilah “adab” tentu saja bukan hal yang asing bagi bangsa Indonesia. Sebab, kata ini sudah terbiasa digunakan di tengah masyarakat dan juga tercantum dalam Pancasila, sila kedua, yaitu: Kemanusiaan yang adil dan beradab.  Masuknya istilah “adab” dalam Pancasila ini merupakan indikasi kuatnya pengaruh Islamic worldview (pandangan alam Islam) dalam rumusan Pembukaan UUD 1945, dimana terdapat rumusan Pancasila. Indikasi yang lebih jelas tentang kuatnya pandangan-alam Islam pada rumusan Pancasila adalah terdapatnya sejumlah istilah kunci dalam Islam lainnya, seperti kata “adil”,    “hikmah”, rakyat, daulat, wakil,  dan “musyawarah”. 

Akan tetapi, selama ini, dalam berbagai penataran tentang Pancasila dan pelajaran Kewargaan Negara, istilah adab itu tidak dibahas secara khusus secara komprehansif.  Sebagai contoh, sebuah buku tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ketetapan MPR No. II/MPR/1978), terbitan Team Pembinaan Penatar dan Bahan-bahan Penataran Pegawai Republik Indonesia (tanta tahun), disebutkan tentang arti sila Kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai berikut:

“Dengan sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, manusia diakui dan diperlukan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, yang sama derajatnya, yang sama hak dan kewajiban-kewajiban asasinya, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama dan kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan social, warna kulit dan sebagainya. Karena itu dikembangkanlah sikap saling mencintai sesama manusia, sikap tenggang rasa dan “tepa selira”, serta sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.

Kemanusiaan yang adil dan beradab berarti menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, gemar melakukan kegiatan-kegiatan kemanusiaan, dan berani membela kebenaran dan keadilan. Sadar  bahwa manusia adalah sederajat, maka bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia, karena itu dikembangkanlah sikap hormat-menghormati dan bekerjasama dengan bangsa-bangsa lain.”

 

Tampak dalam pemaknaaan sila kedua dari Pancasila tersebut, sisi humanismenya sangat kental. Bung Hatta pernah menjelaskan makna sila kedua Pancasila sebagai berikut:

“Yang harus disempurnakan dalam Pancasila, ialah kedudukan manusia sebagai hamba Allah, yang satu sama lain harus merasa bersaudara. Oleh karena itu pula sila Kemanusiaan yang adil dan beradab langsung terletak di bawah sila pertama. Dasar kemanusiaan itu harus dilaksanakan dalam pergaulan hidup. Dalam segala hubungan manusia satu sama lain harus berlaku rasa persaudaraan. Persaudaraan itu menembus batas nasional, yaitu persaudaraan mausia antarbagsa, dan persaudaraan antarbangsa-bangsa dengan prinsip kesedarajatan manusia.” 2

 

Ki Hajar Dewantoro pernah memberikan penjelasan tentang sifat beradab:

“Pancasila menjelaskan serta menegaskan corak warna atau watak rakyat kita sebagai bangsa-bangsa yang beradab, bangsa yang berkebudayaan, bangsa yang menginsyafi keluhuran dan kehalusan hidup manusia, serta sanggup menyesuaikan hidup kebangsaannya dengan dasar perikemanusiaan yang universal, meliputi seluruh alam kemanusiaan, yang seluas-luasnya, pula dalam arti kenegaraan pada khususnya.” 3

 

Sementara itu, Bung Karno menyatakan, sila kedua itu menunjukkan bahwa bangsa Indonesia tidak menganut paham kebangsaan yang picik,, melainkan nasionalisme yang luas. Soekarno memandang internasionalisme sama dengan “humanity”, peri-kemanusiaan.  Soekarno terinspirasi oleh Gandhi yang menyatakan: My nationality is humanity.  Namun, Bung Hatta mengingatkan, bahwa berhubung dengan  power politics, maka kita harus berhati-hati mengartikan internasionalisme sama dengan humanity. 4

Menurut Dr. Yudi Latif,  kalimat “kemanusiaan yang adil dan beradab” adalah satu kesatuan, yang harus diucapkan dalam satu tarikan nafas, untuk bisa memahaminya secara utuh. Kemanusiaan Indonesia yang dicita-citakan oleh para pendiri Republik ini adalah “Kemanusiaan yang adil dan beradab” dalam pelbagai dimensi dan menifestasinya. Di sini, tegas Yudi Latif, “dimensi humanitarianisme dan universalitas hadir begitu kuat mewarnai sila kemanusiaan. Prinsip egalitarianisme dan emansipasi tampak kental, meski secara tersirat.” 5

 

Jika ditelaah, berbagai rumusan makna dari “adil” dan “beradab” dalam sila kedua Pancasila tersebut masih berpijak atas dasar kemanusiaan universal, yang dalam berbagai aplikasinya menimbulkan penafsiran yang sangat berbeda, antar berbagai agama dan aliran-aliran pemikiran besar, seperti Islam, Kristen, liberalisme, komunisme, dan sebagainya. “Kemanusiaan” atau humanity memang istilah yang disepakati oleh seluruh manusia, sebagai istilah yang baik. Tetapi, umat manusia tidak bersepakat tentang makna dan batas-batas  kemanusiaan. Karena itulah, dalam konsep HAM, misalnya, ada perbedaan antara Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) degan Deklarasi Kairo tentang HAM yang dikeluarkan oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI), khususnya menyangkur hak asasi tentang pindah agama dan pernikahan lintas agama. Persoalan hak-hak kaum homo dan lesbi untuk menikah secara legal juga terus memicu perdebatan internasional. Sebuah contoh sikap Negara Islam terhadap HAM, ditunjukkan oleh Kementerian Luar Negeri Arab Saudi dalam salah satu suratnya kepada International Organizations on Human Rights:  The marriage of a non-Muslim whether he is a Christian or a Jew for instance, to a Muslim woman has been prohibited by Islam…”. 6

  1. Perspektif  Islam

 

Perlu dicatat, rumusan sila Kemanusiaan yang adil dan beradab sangat berbeda dengan rumusan yang pernah diusulkan oleh tokoh-tokoh sebelumnya, Muhammad Yamin, dalam Sidang BPUPK, tanggal 29 Mei 1945, mengusulkan rumusan sila keduanya: “Peri Kemanusiaan”.  Soekarno, pada 1 Juni 1945, mengusulkan rumusan sila kedua: “Internasionalisme atau Perikemanusiaan.”  Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) yang berlaku 29 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950 memuat rumusan sila kedua: “Peri Kemanusiaan”. Rumusan “Peri Kemanusiaan”  ini juga diteruskan dalam Konstitusi UUDS, 1950 sampai 5 Juli 1959. 7

 

Dengan mencermati berbagai rumusan sila  kedua yang pernah diusulkan atau dicantumkan dalam beberaa Konstitusi RI, tampak bahwa dua istilah  – “adil”  dan “adab”  — ini jelas berasal dari kosakata Islam, yang memiliki makna khusus (istilaahan) dan hanya bisa dipahami dengan tepat jika dirunut pada pandangan-dunia Islam. Kedua istilah tersebut jelas tidak ditemukan dalam tradisi Indonesia asli, sebelum kedatangan Islam. Adil adalah istilah “khas” yang terdapat dalam banyak sekali ayat al-Quran. Sebagai contoh dalam al-Quran disebutkan, (yang artinya):  “Sesungguhnya Allah memerintahkan berlaku adil dan berbuat ihsan dan memberi kepada keluarga yang dekat  dan melarang dari yang keji, dan yang dibenci, dan aniaya. Allah mengingatkan kalian, supaya kalian ingat.” (QS 16:90).  

Prof. Hamka, dalam Tafsir Al-Azhar,  menjelaskan tentang makna adil dalam ayat ini, yaitu  “menimbang yang sama berat, menyalahkan yang salah dan membenarkan yang benar, mengembalikan hak kepada yang empunya dan jangan berlaku zalim, aniaya.” Lawan dari adil adalah zalim, yaitu memungkiri kebenaran karena hendak mencari keuntungan bagi diri sendiri; mempertahankan perbuatan yang salah, sebab yang bersalah itu ialah kawan atau keluarga sendiri. “Maka selama keadilan itu masih terdapat dalam masyarakat, pergaulan hidup manusia, maka selama itu pula pergaulan akan aman sentosa, timbul amanat dan percaya-mempercayai,” tulis Hamka. 8

Jadi, adil bukanlah sama rata-sama rasa. Konsep adil adalah konsep khas Islam yang oleh orang Islam, seharusnya dipahami dari perspektif pandangan-dunia Islam, karena konsep ini terikat dengan konsep-konsep Islam lainnya. Jika konsep adil dipahami dalam kerangka pandangan-alam Barat (western worldview), maka akan berubah maknanya. Sejumlah aktivis Kesetaraan Gender, yang berpedoman pada “setara” menurut pandangan Barat, misalnya, mulai menggugat berbagai ajaran Islam yang dinilai menerapkan diskriminasi antara laki-laki dan perempuan. Dipertanyakan, mengapa aqiqah untuk bayi laki-laki, misalnya,  adalah dua kambing dan aqiqah untuk bayi perempuan adalah 1 kambing. Konsep itu dinilai tidak adil dan diskriminatif. Dalam Islam, laki-laki berhak menjadi imam shalat bagi laki-laki dan perempuan adalah adil. Menurut konsep yang lain,  bisa dikatakan tidak adil. Dalam pandangan demokrasi Barat, tidak ada pembedaan antara hak “orang jahat” dengan”orang baik” dalam kesaksian dan berbagai aspek kehidupan lainnya. Bagi hukum pidana yang berlaku sekarang, dianggap adil jika Presiden – yang tidak ada hubungan keluarga apa pun – berhak memberikan grasi kepada seorang terhukum. Tetapi, dalam Islam, yang lebih adil adalah jika hak pengampunan itu diberikan kepada keluar korban kejahatan. Jadi, kata adil, memang sangat beragam maknanya, tergantung pandangan-dunia apa yang digunakan.

Sejumlah kalangan, dengan alasan HAM,  menilai aturan Islam tidak adil, karena melarang wanita Muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim. Juga dengan dasar yang sama, mereka menuntut keadilan, agar kaum homoseksual dan lesbian juga diberikan hak yang sama untuk diakui keabsahan pernikahan mereka, sebagaimana pernikahan kaum hetero. Lama-lama, bisa juga mereka menuntut hak untuk pengesahan perkawinan manusia dengan binatang, dengan alasan, tidak mengganggu orang lain. Ada juga tuntutan hak untuk mati, sebagaimana hak untuk hidup. Dan sebagainya. Karena itu, jika istilah “adil” dalam sila kedua – Kemanusiaan yang adil dan beradab – dilepaskan maknanya dari sudut pandangan-alam (worldview)  Islam, maka akan terlepas pula maknanya yang hakiki, sebagaimana dimaksudkan oleh para perumus Pancasila itu sendiri.

Bagi kaum Muslim, khususnya, Prof. Naquib al-Attas mengingatkan perlunya memperhatikan masalah penggunaan bahasa atau istilah-istilah dasar dalam Islam dengan benar agar jangan sampai terjadi kekeliruan yang meluas dan kesilapan dalam memahami Islam dan pandangannya tentang hakikat dan kebenaran. Menurut Prof. Naquib, banyak istilah kunci dalam Islam yang kini menjadi kabur dipergunakan sewenang-wenang sehingga menyimpang dari makna yang sebenarnya. Ia menyebutnya sebagai penafi-islaman bahasa (de-Islamization of language).  Contoh kasus penafi-islaman bahasa adalah pemaknaan istilah “keadilan” yang diartikan sebagai “tiada menyebelahi mana-mana pihak, dan menyamaratakan taraf tanpa batasan, atau sebagai tata cara belaka. Contoh lain, penyalahpahaman makna istilah adab, yang diartikan hanya sebagai adat peraturan mengenai kesopanan, yang lazimnya merupakan amalan berpura-pura sopan. 9

 

  1. Makna Adab

 

Dalam sebuah hadits, disebutkan bahwa  Nabi Muhammad SAW pernah bersabda:

       أكرموا أولادكم وأحسنوا أدبهم

(Muliakanlah anak-anakmu dan  perbaikilah adab mereka (HR Ibn Majah)

 

لأَنْ يُؤَدِّبَ الرَّجُلُ وَلَدَهُ أَوْ أَحَدُكُمْ وَلَدَهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَتَصَدَّقَ كُلَّ يَوْمٍ بِنِصْفِ صَاعٍ

(مسند أحمد)

(Jika seseorang mendidik anaknya (menjadikan anaknya beradab), maka itu lebih baik baginya daripada bersedekah setiap harinya setengah sha’) (HR Imam Ahmad)

 

Istilah “adab” dalam kedua hadits Nabi tersebut identik dengan istilah Pendidikan saat ini. Karena itulah, istilah “adab” juga merupakan salah satu istilah kunci dalam Islam. Para ulama telah banyak membahas makna adab dalam pandangan Islam. Di Indonesia, K.H. M. Hasyim Asy’ari, pendiri NU, menulis sebuah buku berjudul  Aadabul ‘Aalim wal-Muta’allim (edisi Indonesia: Etika Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Titian Wacana, 2007). Terjemahan harfiahnya: Adab Guru dan Murid. Buku ini membahas secara panjang lebar tentang masalah adab. Kyai Hasyim Asy’ari membuka kitabnya dengan mengutip hadits Rasulullah saw: “Haqqul waladi ‘alaa waalidihi an-yuhsina ismahu, wa yuhsina murdhi’ahu, wa yuhsina adabahu.”  (Hak seorang anak atas orang tuanya adalah mendapatkan nama yang baik, pengasuhan yang baik, dan adab yang baik).

Dikutip juga perkataan sejumlah ulama. Hasan al-Bashry misalnya, yang menyatakan: “In kaana al-rajulu la-yakhruja fii adabi nafsihi al-siniina tsumma siniina.” (Hendaknya seseorang senantiasa mendidik dirinya dari tahun ke tahun).   

Habib bin as-Syahid suatu ketika menasehati putranya: “Ishhabil fuqahaa-a wa ta’allam minhum adabahum, fainna dzaalika ahabbu ilayya min katsiirin minal hadiitsi.” (Bergaullah engkau dengan para fuqaha serta pelajarilah adab mereka. Sesungguhnya yang demikian itu akan lebih aku cintai daripada banyak hadits.” Ruwaim juga pernah menasehati putranya: “Yaa bunayya ij’al ‘ilmaka milhan wa adabaka daqiiqan.” (Wahai putraku, jadikanlah ilmumu seperti garam dan adabmu sebagai tepung).

Ibn al-Mubarak menyatakan: “Nahnu ilaa qaliilin minal adabi ahwaja minnaa ilaa katsiirin mina ’ilmi.”  (Mempunyai adab meskipun sedikit lebih kami butuhkan daripada banyak ilmu pengetahuan).

Suatu ketika Imam Syafii pernah ditanya oleh seseorang: ”Sejauh manakah perhatianmu terhadap adab? Beliau menjawab: Setiap kali telingaku menyimak suatu pengajaran budi pekerti meski hanya satu huruf, maka seluruh organ tubuhku akan ikut merasakan (mendengarnya) seolah-olah setiap organ itu memiliki alat pendengaran (telinga). Demikianlah perumpamaan hasrat dan kecintaanku terhadap pengajaran budi pekerti.”   Beliau ditanya lagi, ”Lalu bagaimanakah usaha-usaha dalam mencari adab itu?” Beliau menjawab, ”Aku akan senantiasa mencarinya laksana usaha seorang ibu yang mencari anak satu-satunya yang hilang.”

Maka, dalam bukunya ini, Kyai Hasyim Asy’ari menuliskan kesimpulan:

”Kaitannya dengan masalah adab ini, sebagian ulama lain menjelaskan, ”Konsekuensi dari pernyataan tauhid yang telah diikrarkan seseorang adalah mengharuskannya beriman kepada Allah (yakni dengan membenarkan dan meyakini Allah tanpa sedikit pun keraguan). Karena, apabila ia tidak memiliki keimanan itu, tauhidnya dianggap tidak sah. Demikian pula keimanan, jika keimanan tidak dibarengi dengan pengamalan syariat (hukum-hukum Islam) dengan baik, maka sesungguhnya ia belum memiliki keimanan dan tauhid yang benar. Begitupun dengan pengamalan syariat, apabila ia mengamalkannya tanpa dilandasi adab, maka pada hakikatnya ia belum mengamalkan syariat, dan belum dianggap beriman serta bertauhid kepada Allah.

Berdasarkan beberapa hadits Rasulullah saw dan keterangan para ulama di atas, kiranya tidak perlu kita ragukan lagi betapa luhurnya kedudukan adab di dalam ajaran agama Islam. Karena, tanpa adab dan perilaku yang terpuji maka apa pun amal ibadah yang dilakukan seseorang tidak akan diterima di sisi Allah SWT (sebagai satu amal kebaikan), baik menyangkut amal qalbiyah (hati), badaniyah (badan), qauliyah (ucapan), maupun fi’liyah (perbuatan). Dengan demikian, dapat kita maklumi bahwa salah satu indikator amal ibadah seseorang diterima atau tidak di sisi Allah SWT adalah melalui sejauh mana aspek adab disertakan dalam setiap amal perbuatan yang dilakukannya.” 10

 

Demikianlah penjelasan KH Hasyim Asy’ari tentang makna adab. Menyimak paparan pendiri NU tentang adab tersebut, maka tidak bisa tidak, kata ”adab” memang merupakan istilah yang khas maknanya dalam Islam. Adab terkait dengan iman dan ibadah dalam Islam. Adab bukan sekedar ”sopan santun” atau baik budi bahasa.  Maka, tentunya sangat masuk akal jika orang Islam memahami kata ”adab” dalam sila kedua itu sebagaimana dipahami oleh sumber-sumber ajaran Islam dan para ulama Islam. Sebab, memang itu istilah yang sangat khas dalam Islam.

Jika adab hanya dimaknai sebagai ”sopan-santun”, maka bisa-bisa ada orang yang menyatakan, Nabi Ibrahim a.s. sebagai orang yang tidak beradab, karena berani menyatakan kepada ayahnya, ”Sesungguhnya aku melihatmu dan kaummu berada dalam kesesatan yang nyata.” (QS 6:74). Bisa jadi, jika hanya berdasarkan sopan santun, tindakan mencegah kemunkaran (nahyu ’anil  munkar) akan dikatakan sebagai tindakan tidak beradab. Sebagian malah ada yang menganggap, menanyakan identitas agama pada seseorang dianggap tidak sopan. Banyak yang menganggap entang dosa zina, dan dianggap tidak etis jika masalah itu diangkat ke permukaan, sementara masalah korupsi harta bisa diangkat ke permukaan.

Karena itulah, menurut Islam – sekali lagi menurut ajaran Islam – harkat dan martabat sesuatu adalah berdasarkan pada ketentuan Allah, dan bukan pada manusia atau budaya. Sebagai contoh, kriteria orang yang mulia, menurut al-Quran adalah orang yang paling taqwa. (Inna akramakum ’indallaahi atqaakum/QS 49:13). Maka, seharusnya, dalam masyarakat yang beradab, kaum Muslim harus menghormati seseorang karena keimanan dan ketaqwaannya;  bukan karena jabatannya, kekayaaannya, kecantikannya, atau popularitasnya. Itu baru namanya beradab, menurut al-Quran. Begitu juga ketika al-Quran memuliakan orang yang berilmu (QS 35:28, 3:7, 58:11),  maka sesuai konsep adab, seorang Muslim wajib memuliakan orang yang berilmu dan terlibat dalam aktivitas keilmuan. Masyarakat yang beradab juga masyarakat yang menghargai aktivitas keilmuan. Tentu menjadi tidak beradab, jika aktivitas keilmuan dikecilkan, sementara aktivitas hiburan diagung-agungkan. Tidak mungkin suatu bangsa akan maju jika tidak menjadikan tradisi ilmu sebagai bagian dari tradisinya.

            Al-Quran sangat menekankan, bahwa ada perbedaan antara orang yang berilmu dan yang tidak berilmu. Orang yang beriman dan berilmu akan diangkat derajatnya. “Katakanlah, tidaklah sama, orang yang tahu dan orang yang tidak tahu.” (QS 39:9). “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu, beberapa derajat.” (QS 58:11).  

 

            Karena itulah, Allah mengecam keras orang-orang yang tidak menggunakan segala potensinya untuk berpikir dan meraih ilmu. Orang-orang seperti ini, dalam al- Quran, disamakan derajatnya dengan binatang ternak:  “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan manusia; mereka mempunyai qalb tapi tidak untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak digunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu bagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS 7:179).

 

Bangsa Indonesia tidak mungkin akan menjadi bangsa besar jika mengabaikan tradisi ilmu yang benar sebagaimana digariskan dalam al-Quran ini.  Jika budaya santai, budaya hedonis, budaya jalan pintas, terus dikembangkan, maka hanyalah mimpi saja untuk berangan-angan bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang besar yang disegani dunia. Dalam perspektif Islam, manusia beradab haruslah yang menjadikan aktivitas keilmuan sebagai aktivitas utama mereka. Sebab soerang Muslim senantiasa berdoa: ”Rabbi zidniy ’ilman” (Ya Allah, tambahkanlah ilmuku). Lebih dari itu, Rasulullah SAW juga mengajarkan doa, agar ilmu yang dikejar dan dimiliki seorang Muslim adalah ilmu yang bermanfaat. Hanya dengan ilmulah, maka manusia dapat meraih adab, sehingga dapat meletakkan sesuatu pada tempatnya, sesuai ketentuan Allah SWT. Inilah konsep adab sebagaimana dipahami oleh kaum Muslim.

Maka, jika ditelaah, adalah sangat masuk akal menghipotesakan, bahwa masuknya kata ”adil” dan ”adab” dalam sila Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah usulan para tokoh Islam yang duduk dalam Panitia Sembilan. Perlu dicatat, bahwa sebelum Panitia Sembilan bermusyawarah, Soekarno dan Muhammad Yamin sudah mengajukan asas atau dasar ”peri-kemanusiaan” sebagai salah satu asas atau dasar dari Dasar Negara Indonesia. Mengapa, misalnya, sila kedua itu tidak berbunyi: Kemanusiaan yang sopan dan berbudi? Atau Kemanusiaan yang sopan dan santun? Atau, hanya berhenti pada istilah kemanusiaan.  Jika demikian, maka akan sangat mungkin kata ini dimaknai secara fleksibel dan netral agama. Inilah yang secara mendasar digugat oleh Mohammad Natsir dalam pidatonya di Majelis Konstituante, ”Dimana sumber perikemanusiaan itu?”  Bagi yang memegang nilai-nilai relativisme dalam kebenaran dan moral, maka makna ”kemanusiaan” akan memiliki makna yang nisbi dan tidak absolut, tergangung pada tradisi atau kesepakatan suatu masyarakat. Seperti disinggung sebelumnya, jika masyarakat tidak berkeberatan dengan budaya pornografi dan pornoaksi, maka nilai itu akan dianggap sebagai kebenaran. Orang yang menentang tradisi masyarakat tersebut bisa dikatakan manusia tidak beradab. Begitu juga ketika suatu masyarakat menerima praktik pelacuran, perjudian, atau minuman keras, maka itu dianggap sebagai nilai yang benar. Menurut kaum relativis ini, tidak ada nilai yang tetap sepanjang zaman dan sembarang tempat. Nilai selalu berubah. Batasan aurat wanita, misalnya, menurut mereka, tidak ada yang tetap, tetapi berdasarkan budaya setempat. Apa yang sopan dan tidak sopan, ditentukan oleh tradisi dan kesepakatan dan konsensus. Tentu saja, konsep semacam ini sangat berbeda dengan konsep Islam.

 Karena itulah, masuknya kata adil dan adab dalam sila kedua dari Pancasila semakin memperkuat bahwa Pancasila bukanlah konsep yang netral agama. Tampak, pandangan-dunia Islam yang dibawa oleh para tokoh perumusnya, terutama KH Wachid Hasyim (putra KH Hasyim Asy’ari), Haji Agus Salim, Abdul Kahar Muzakkir, dan Abikusno Tjokrosuyoso, cukup mewarnai rumusan Pancasila, sehingga sangat tidak keliru jika umat Islam memberi makna adil dan adab sesuai dengan makna dalam Islam, bukan makna yang netral agama. Sebab, jika istilah adil dan adab diletakkan dalam bingkai atau perspektif pandangan-dunia sekular atau netral agama, maka kata itu juga tidak akan bermakna sesuai dengan makna asalnya. Dengan demikian, adalah tidak fair, tidak adil dan tidak beradab,  jika orang Islam memberi makna adil dan adab dilepaskan dari pandangan-alam Islam. Bisa dipastikan, sebelum Islam masuk ke wilayah Nusantara, kedua istilah tersebut tidak dikenal di wilayah ini. Hingga kini, tidak ditemukan, terjemahan yang tepat dari kata adil dan adab ke dalam bahasa Jawa, Minang, Sunda, Makasar, dan sebagainya.

 


1 Dikutip dari Usman Syihab, Membangun Peradaban dengan Agama, (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), hal. 77-78.

2 Dikutip dari Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, (Jakarta: Gramedia, 2002), hal. 240- 241.

 

3 Ibid, hal. 241.

 

4 Ibid, hal. 241.

 

5 Ibid, hal. 243.

 

6 Lebih jauh, lihat, Conferences of Riyad, Paris, Catican City, Geneva, and Strsbourg, on Muslem Doctrine and Human Right in Islam, (Beirut: Dar al-Kitab al-Lubnani, 1972), hal. 54.

 

7 Kaelani, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta: Paradigma, 2010, edisi ke-9), hal. 24-27.

8 Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1997).

9 Lihat, Syed Muhammad Naquib al-Attas, Tinjauan Peri Ilmu dan Pandangan Alam (Pulau Pinang: Universiti Sains Malaysia, 2007), hal. 60.  Secara khusus, Prof. Naquib al-Attas mengingatkan: “Many major key terms in the Islamic basic vocabulary of the languages of Muslim peoples have now been displaced and made to serve absurdly in alien fields of meaning. This modern cultural phenomenon is what is causing the confusion of the Muslim mind. It is a kind of regression towards non-Islamic worldviews; it is what I call the de-islamization of language.” ( S.M. Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam, p.11)

 

10  K.H. M. Hasyim Asy’ari, Etika Pendidikan Islam (terj.), (Yogyakarta: Titian Wacana, 2007).

Leave a Reply