Oleh: Ahmad (Dosen STAI Laa Roiba Bogor)
Tujuan pendidikan Islam menurut Yusuf Qardhawi adalah pembentukan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, jasmani dan rohaninya, akhlak dan keterampilannya. Untuk itu pendidikan Islam bertujuan juga untuk menyiapkan manusia untuk bisa hidup dalam kondisi damai maupun perang, dalam kondisi masyarakat dengan seluruh kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya.[1]
Adapun Hasan Langgulung menulis bahwa tujuan pendidikan Islam adalah upaya penyiapan generasi muda agar bisa mengisi peranan dengan cara memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akherat.[2]
Endang Saifuddin Anshari memberikan gambaran bahwa tujuan pendidikan Islam adalah untuk membimbing jiwa (pikiran, perasaan, kemauan, intuisi, dan lainnya) dan raga dengan materi tertentu, waktu tertentu, metode tertentu demi terciptanya pribadi tententu sesuai dengan ajaran Islam.[3]
Tujuan pendidikan Islam menurut Ramayulis adalah untuk meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Adapun tujuan pendidikan Islam di sekolah adalah untuk meningkatkan keyakinan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan siswa tentang agama Islam sehingga menjadi manusia Muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi.[4]
Tujuan umum pendidikan Islam menurut Al-Abrasyi dalam Langgulung (2004:51) meliputi lima tujuan. Diantaranya adalah : 1). Untuk mengadakan pembentukan akhlak yang mulia. 2) persiapan untuk kehidupan di dunia maupun di akherat. 3). Persiapan untuk mencari rizki dan pemeliharaan segi manfaat atau disebut juga tujuan vokasional dan profesional. 4). Menumbuhkan semangat ilmiah pada pelajar dan dan memuaskan keingintahuan (curiosity) dan memungkinkan ia mengkaji ilmu demi ilmu itu sendiri. 5). Menyiapkan pelajar dari segi profesional, teknikal dan pertukangan supaya dapat menguasai profesi tertentu agar ia dapat mencari rezeki dalam hidup di samping memelihara segi kerohanian dan keagamaan.[5]
Merespons problem degradasi moral remaja dan pelajar sebagai hasil sistem pendidikan, Zakiah Daradjat memberikan pandangan akan pentingnya sebuah institusi pendidikan yang secara serius dan terorganisir mengelola pembinaan akhlak atau moral para anak didiknya. Pembinaan moral meliputi dua hal penting yakni tindak moral (moral behavior) dan moral concept (pengertian tentang moral). Dari kedua hal itu yang mesti didahulukan adalah tindak moral, sejak dini anak-anak harus dibina untuk mengarah kepada moral yang baik. Sebab moral tumbuh bersama pengalaman langsung dari lingkungan di mana anak-anak hidup, kemudian berkembang menjadi kebiasaan, baik dimengerti ataupun tidak, kelakukan adalah hasil dari pembinaan yang terjadi secara langsung atau tidak langsung, formil atau tidak formil. Dengan kata lain pembinaan moral fokus kepada keteladanan sang guru atau orang tua.[6]
Janganlah anak dikatakan nakal, karena laku yang buruk dan bertentangan dengan nilai moral, tetapi sebenarnya mereka adalah orang yang menderita jiwa dan tidak mendapat bimbingan yang membawanya kepada kehidupan yang penuh dengan nilai moral. Dalam hal ini agamalah yang dapat menjamin pembinaan moral manusia, baik anak-anak, remaja maupun dewasa. Karenanya yang pertama bertanggungjawab atas pendidikan akhlak anak adalah orang tua, lantas guru dan masyarakat.[7]
Pendidikan Akhlak di Pesantren Modern
Berdasarkan penelusuran penulis di lima pesantren modern di kabupaten Bogor, maka dapat dirumuskan bahwa konsep pendidikan akhlak mulia di pesantren meliputi setidaknya enam aspek penting. Pertama aspek pemahaman tentang makna akhlak yakni sikap dan perilaku baik yang didasarkan pada ajaran Islam dan bersumber dari Al Qur’an dan Al Hadist yang meliputi akhlak kepada diri sendiri, kepada orang lain, kepada Allah dan kepada lingkungan hidup. Kedua tujuan pendidikan akhlak pada prinsipnya adalah perbaikan diri baik kedudukannya sebagai diri sendiri, sebagai hamba Allah dan sebagai bagian dari masyarakat. Dengan kata lain tujuan utama pendidikan akhlak yang dijalankan pesantren modern adalah untuk membentuk anak sholeh dan sholehah yang beriman dan bertaqwa kepada Allah dengan indikasi menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya dan bermanfaat bagi kehidupan sosial. Ketiga, program pembentukan akhlak berupa pembiasaan yang dikemas menjadi kegiatan harian, mingguan, bulanan dan bahkan tahunan. Keempat, materi akhlak meliputi sikap dan perilaku yang diwajibkan oleh ajaran Islam baik kepada diri sendiri, orang lain, Allah dan kepada lingkungan hidupnya. Kelima, rujukan materi akhlak yang digunakan di pesantren modern setidaknya ada tujuh yakni Al Qur’an, Al Hadist, kitab Aqidah Akhlak, Kitab Ta’lim Al Muta’allim, Kitab Al Akhlak lil Banin wal Banat, nilai-nilai kepesantrenan (sunnah pondok) dan tradisi pesantren. Keenam, kualifikasi guru yang disyaratkan di pesantren modern untuk menumbuhkan akhlak mulia pada santri adalah yang memiliki kematangan intelektual, kematangan psikologis, kematangan sosial, kematangan perilaku dan kematangan spiritual.
Adapun soal implementasi pendidikan akhlak di pesantren modern dilakukan dengan menggunakan setidaknya 12 metode, sebagai berikut : 1). Keteladanan Kyai dan guru 2). Pembinaan Intensif 3) Pengajaran di kelas dan asrama 4) Motivasi dan dorongan 5). Pembiasaan dengan penguatan program. 6). Reward dan Punishment. 7). Nasihat. 8). Pendampingan melekat. 9) Penugasan dalam organisasi. 10). Praktek langsung di tengah masyarakat 11) Penciptaan lingkungan yang kondusif. 12) Penetapan aturan dan tata tertib yang memiliki karakter tegas, manusiawi, tidak membebani, edukatif, syar’i dan bertahap.
Nilai-nilai yang dikembangkan oleh pesantren modern untuk mendorong terbentuknya akhlak mulia di kalangan santri digali dari nilai-nilai ajaran Islam. Setidaknya ada tujuh nilai yang dikembangkan oleh pesantren modern yang mendorong terbentuknya akhlak mulia. lima diantaranya sering disebut dengan istilah pancajiwa pondok. Adapun ketujuh nilai tersebut adalah : keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, kekeluargaan, kebebasan, kepemimpinan dan kemasyarakatan.
Tradisi yang dikembangkan oleh pesantren modern merupakan implementasi dari nilai-nilai pesantren untuk dijadikan sebagai kebiasaan dan budaya dalam kehidupan santri sehari-hari di pesantren. Di antara tradisi yang mendorong terbentuknya akhlak mulia adalah tradisi yang berhubungan dengan diri sendiri seperti hidup mandiri, berhubunngan dengan orang lain misalnya mengucapakan salam dan bersalaman jika bertemu, berhubungan dengan Allah misalnya shalat berjamaah dan yang berhubungan dengan lingkungan misalnya lomba kebersihan.
Pesantren modern memandang ilmu tidak seperti Barat memandang ilmu. Barat memandang semua ilmu dalam kesejajaran yang sama. Adapun pesantren memandang ilmu dilihat dari dua sudut pandang besar. Pertama dari hukum mencarinya dibagi menjadi fardhu ain dan fardhu kifayah. Kedua dari sisi klasifikasi menjadi ilmu agama yang berorientasi akherat dan ilmu umum yang berorientasi dunia. Meskipun ada klasifikasi ilmu dan hirarki ilmu, pesantren tidak pernah memisahkan keduanya. Untuk itu pesantren tetap mengutamakan ilmu-ilmu agama dan memberikan kebebasan dan pilihan untuk penguasaan ilmu umum. Artinya semua santri diwajibkan memiliki ilmu agama seperti Aqidah, Akhlak, Al Qur’an dan memberikan pilihan untuk menguasai ilmu fisika, matematika dan sejenisnya yang notabene juga berasal dari Islam. Dengan demikian pesantren berusaha melahirkan anak didik yang selain memiliki keimanan, ketaqwaan, akhlak mulia juga memiliki penguasaan ilmu duniawi secara sempurna.
Dalam mendidik para santri pesantren banyak belajar dari semangat dan kesungguhan juang para pendahulu kita mestinya hari ini mampu menjadi daya ungkit dan pemicu motivasi kita untuk mewarisinya. Keberanian dan kemuliaan Nabi Muhammad di medan perang, kesungguhan Imam Syafe’i dalam menggali ilmu, kegagahan Uqbah bin Naafi dalam memimpin pasukan Islam, keluasan ilmu Imam Ali bin Abi Thalib, ketegasan Umar bin Khatab, dan kesungguhan para ulama terdahulu dalam menggali dan mengkaji khasanah keilmuwan Islam tercatat dengan jelas dalam lembaran sejarah.
Pada masa kejayaan Islam inilah, lahir para ilmuwan muslim yang telah menjadi inspirasi dan sumber rujukan para ilmuwan barat kini. Di bidang matematika kita mengenal Al Khawarizmi, Abu Kamil Suja’, Al Khazin, Abu Al Banna, Abu Mansur Al Bagdadi, Al Khuyandi, Hajjaj bin Yusuf dan Al Kasaladi. Di bidang Fisika kita mengenal Ibnu Al Haytsam, Quthb Al Din Al Syirazi, Al Farisi dan Prof. Dr Abdus Salam. Dalam bidang kimia ada Jabir bin Hayyan, Izzudin Al Jaldaki, dan Abul Qosim Al Majriti. Dalam bidang biologi ada Ad Damiri, Al Jahiz, Ibnu Wafid, Abu Khayr, dan Rasyidudin Al Syuwari. Dalam bidang kedokteran ada Ibn Sina, Zakariyya Ar Razi, Ibnu Masawayh, Ibnu Jazla, Al Halabi, Ibnu Hubal dan masih banyak lagi. Dalam bidang astronomi kita mengenal Al Farghani, Al Battani, Ibnu Rusta Ibnu Irak, Abdul Rahman As Sufi, Al Biruni dan tokoh ilmuwan muslim lainnya. Dalam bidang geografi kita mengenal Ibnu Majid, Al Idrisi, Abu Fida’, Al Balkhi, dan Yaqut al Hamawi. Dan dalam bidang sejarah kita mengenal Ibnu Khaldun, Ibnu Bathutah, Al Mas’udi, At Thabari, Al Maqrisi dan Ibnu Jubair. Para generasi Muslim terbaik ini selain dikenal sebagai ilmuwan yang diakui oleh dunia, mereka juga adalah para ahli ibadah yang hafal al Qur’an. Luar biasa.
Catatan Akhir dan Rekomendasi
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pesantren modern telah memiliki konsep dan implementasi pendidikan akhlak yang sangat baik. Namun demikian pesantren modern bukan tidak punya kelemahan. Kelemahan pesantren modern justru terletak pada cara pandang guru-guru terhadap ilmu-ilmu umum sekuleristik. Hal ini tentu karena keterjebakan sistem pendidikan Nasional yang juga sekuleristik. Saatnya pesantren melakukan islamisasi ilmu-ilmu umum baik dalam perpektif paradigmatik filosofis, maupun teknis metodologis. Jika ilmu-ilmu umum ini hanya dipandang sebagai produk pemikir dan tokoh Barat, maka akan berdampak kekeringan makna, yakni ilmu dipandang bebas nilai. Padahal Islam memiliki perspektif nilai etik dalam ilmu. Sehingga dengan demikian ilmu dalam Islam bertujuan konstruktif bukan destruktif sebagaimana dipraktekkan oleh dunia Barat yang sekuler materialistik.
Untuk itu pesantren modern harus membangun dari tataran strategis fungsional. Solusi strategis fungsional sebenarnya sama dengan menggagas satu sistem pendidikan alternatif yang bersendikan pada dua cara yang lebih bersifat strategis dan fungsional. Dalam konteks ini adalah dengan cara membangun pesantren unggulan dimana semua komponen berbasis paradigma Islam : (1) Kurikulum yang paradigmatik (2) Guru yang profesional, amanah dan kafa’ah (3) Lingkungan dan budaya sekolah yang kondusif bagi pencapaian tujuan pendidikan secara optimal (4) Terbentuknya sinergitas yang konstruktif antara keluarga, sekolah dan masyarakat.
Dengan demikian harapan lahirnya sebuah generasi yang cerdas dan bermoral akan menjadi kenyataan. Tipologi generasi ini dalam pemikiran Islam disebut sebagai Ulul Albaab.[8] Generasi Ulul Albaab lah yang akan mampu melahirkan sebuah peradaban mulia bagi kebaikan umat manusia seluruhnya, bukan peradanan sekuler liberal yang terbukti telah menjerumuskan manusia pada sikap hidup yang hedonistik, liberalistik dan materialistik yang cenderung anti agama.
Daftar Pustaka:
Anshari, Endang Saifuddin, 1976. Pokok-Pokok Pikiran tentang Islam, 1976, Jakarta, Usaha Interprise.
Al-Qardhawi, Yusuf, 1980. Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan Al Banna, terj. Prof H Bustami A Gani dan Drs Zainal Abidin Ahmad, Jakarta, Bulan Bintang.
Daradjat, Zakiah, 1971. Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, Jakarta, Bulan Bintang.
Husaini, Adian, 2011. Pendidikan Islam Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab, Depok, Komunitas Nuun.
Iqbal, Sheikh Mohammad, 1982. Misi Islam, Jakarta, Gunung Jati.
Langgulung, Hasan, 1980. Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, Bandung, Al Ma’arif.
Langgulung, Hasan, 2004. Manusia dan Pendidikan, Suatu Analisa Psikologis, Filsafat dan Pendidikan, Jakarta, Pustaka Al Husna Baru.
Litbang, Kemendiknas Badan, 2010, Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, Jakarta, Kemendiknas Litbang Puskur
Quthb, Muhammad, 1988. Sistem Pendidikan Islam, Bandung, Alma’arif.
Ramayulis, 1994. Metodologi Pendidikan Agama Islam, Jakarta, Kalam Mulia.
Zubaidi, 2011. Desain Pendidikan Karakter, Konsepsi dan Aplikasi dalam Lembaga Pendidikan, Jakarta, Kencana
Internet dan Media Massa:
detiknews.com/read/2010/11/28
Kompas, Rabu 7 Maret 2012
Suaramerdeka.com, 19/2/11
Republika online, 20/02/2011
Tabloid Media Umat edisi 72 (16/12/11)
Tabloid Media Umat edisi 25 (4-17/12/2009)
[1] Yusur Al-Qardhawi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan Al Banna, terj. Prof H Bustami A Gani dan Drs Zainal Abidin Ahmad, Jakarta : Bulan Bintang, 1980, hlm. 157.
[2] Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, Bandung : Al Ma’arif, 1980, hlm. 94.
[3] Endang Saifuddin Anshari, Pokok-Pokok Pikiran tentang Islam, 1976, Jakarta : Usaha Interprise, hlm. 85.
[4] Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam, Jakarta : Kalam Mulia, 1994, hlm. 22.
[5] Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, Suatu Analisa Psikologis, Filsafat dan Pendidikan, 2004, Jakarta : Pustaka Al Husna Baru, hlm. 51.
[6] Zakiah Daradjat, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, Jakarta : Bulan Bintang, 1971, hlm. 119.
[7] Ibid., hlm, 124.
[8] Menurut pendapat Naquib al Atas setidaknya ada tujuh karakter Ulil Albab, diantaranya adalah : 1). Senantiasa melakukan zikrullah dalam arti luas dalam segala gerak-gerik dan aktivitasnya dan dibarengi dengan kegiatan tafakkur (penelaahan, penelitian dan nazhar) terhadap alam ciptaan Allah. 2). Bersungguh-sungguh menuntut ilmu sehingga mencapai tingkat rashih (mendalam) sebagaimana dinyatakan Al Qur’an dalam surat QS Ali Imran : 7. 3). Mampu memisahkan yang buruk (khabits) dan yang baik (thayib) kemudian dia memilih, berpihak, dan mempertahankan yang baik itu meskipun sendirian. 4). Kritis dalam mendengarkan pembicaraan, pandai menimbang-nimbang ucapan, teori, proposisi ataupun dalil dan argumentasi yang dikemukakan orang lain dan senantiasa memilih alternatif yang terbaik (ahsanah) sebagaimana dinyatakan dalam QS Az Zumar : 18. 5). Bersedia mendakwahkan ilmu yang dimilikinya kepada masyarakat, senantiasa berusaha memperbaiki masyarakat dan lingkungannya, memiliki kesadaran yang tinggi kegiatan amar ma’ruf nahi mungkar sesuai dengan QS Ibrahim : 52. 6). Tidak takut kepada siapapun kecuali hanya kepada Allah sesuai dengan QS At Taubah : 18. 7). Senantiasa rukuk dan sujud pada sebagian malamnya, merintih pada Allah dan semata-mata hanya mengharapkan rahmat dan ridhaNya, sesuai dengan QS Az Zumar : 9.