Home Artikel Konsepsi Pendidikan Akhlak di Pesantren Modern (1)

Konsepsi Pendidikan Akhlak di Pesantren Modern (1)

1226
0

Oleh: Ahmad (Dosen STAI Laa Roiba Bogor)

Berbagai kasus penyimpangan perilaku yang melibatkan pelajar merupakan perkara yang sangat serius. Hal ini mengingat para pelajar adalah generasi penerus dan generasi pengganti estafet keberlangsungan sebuah bangsa. Penetrasi budaya dan pemikiran Barat yang sekuler-liberal merupakan akar masalah utama  kerusakan perilaku ini. Pemikiran sekuler-liberal ini kini telah merambah bukan hanya ke lembaga pendidikan, dan  masyarakat bahkan institusi keluargapun tidak luput dari serangan virus-virus mematikan ini. Islam melalui sistem pendidikannya merupakan konsepsi paripurna yang diturunkan Allah kepada Rasulullah. Tujuan pendidikan Islam adalah melahirkan manusia yang beradab dan berkepribadian mulia. Bahkan Rasulullah diutus oleh Allah sebagai teladan yang memiliki akhlak yang agung. Pesantren adalah institusi pendidikan berbasis nilai Islam telah lama hadir untuk berkontribusi bagi pendidikan generasi umat. Melalui konsep dan implementasi pendidikan, pesantren telah memberikan kontribusi signifikan terhadap upaya pembentukan generasi yang berakhlak mulia. Pemerintah mestinya banyak belajar dari pesantren dalam menyusun konsep pendidikan karakter bangsa.

 Fakta Krisis  Akhlak Pelajar

Genealogi pendidikan diawali dari sebuah filosofi tentang pentingnya manusia memiliki adab atau perilaku yang baik dan mengembangkan berbagai potensi untuk menciptakan tata kehidupan yang beradab. Pendidikan mengalami dilema jika telah masuk pada ranah epistemologi dimana paradigma menjadi landasan dasar bagi bangunan pendidikan berikutnya. Paradigma Barat memandang pendidikan dengan basis materialisme sehingga lebih bernuansa sekuler – liberal. Barat berdiri berseberangan secara diametral dengan nilai-nilai agama. Adapun Islam memandang pendidikan dengan sudut pandang yang lebih komprehensif. Islam memandang manusia adalah hamba Allah yang diberikan amanah kekhalifahan. Fungsi kekhalifahan hanya bisa terealisasi jika semua pemikiran, sikap dan perilaku sejalan dengan tuntutan hukum Allah. Itulah sebabnya Islam memiliki konsepsi dan implementasi pendidikan yang berbeda dengan prinsip-prinsip pendidikan Barat.

Satu hal penting yang menjadi pertanyaan, apakah penyelenggaraan pendidikan di negeri ini telah sesuai dengan jalur yang benar. Ataukah pendidikan kita tengah berjalan pada jalan yang salah. Sudahkah pendidikan negeri ini telah mampu melahirkan manusia yang beradab dan mampu membangun peradaban mulia. ataukah sebaliknya. Sudahkah pendidikan di negeri ini sudah mampu melahirkan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan dan memiliki sikap dan perilaku mulia.

Dunia pendidikan di negeri ini justru layak berkabung. Bagaimana tidak. Alih-alih melahirkan generasi yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa serta memiliki akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan berbangsa sebagaimana diamanahkan oleh Undang-undang.[1] Dunia pendidikan di negeri ini justru dikejutkan dengan fenomena yang semakin memprihatinkan. Pelajar yang notabene output dilahirkan dari rahim sistem pendidikan, justru banyak yang melakukan penyimpangan perilaku.

Zakiah Daradjat menyebutkan bahwa bangsa Indonesia sedang berhadapan dengan permasalahan besar yang sangat mencemaskan jika tidak diperhatikan secara sungguh-sungguh, yaitu permasalahan akhlak atau moral. Ketenteraman batin telah banyak terganggu, kecemasan dan kegelisahan orang telah banyak terasa, apalagi mereka yang memiliki anak dan remaja, yang mulai menampakkan gejala kenakalan dan kekurangacuhan terhadap nilai moral yang dianut dan dipakai oleh orang tua mereka. Kegelisahan juga melanda institusi keluarga dikarenakan kehilangan harmonisasi dan kesayangan. Banyak anak-anak dari keluarga semacam ini yang enggan tinggal di rumah, senang berkeliaran di jalanan dan tidak ada semangat belajar, bahkan tidak sedikit yang telah tersesat jalan dalam hidupnya. Jika disimpulkan maka, masyarakat Indonesia sekarang ini bahwa telah terlalu banyak nilai akhlak yang diajarkan oleh agama telah dilanggar dan ditinggalkan orang. Berapa banyak dusta, fitnah, penipuan, percecokan, pencurian, penganiayaan dan sebagainya.[2]

   Dengan demikian munculnya gagasan program pendidikan karakter di Indonesia bagi Adian Husaini dapat dimaklumi. Sebab, selama ini dirasakan, proses pendidikan dirasakan belum berhasil membangun manusia Indonesia yang berkarakter. Bahkan, banyak yang menyebut pendidikan telah gagal, karena banyak lulusan sekolah atau sarjana yang piawai dalam menjawab soal ujian, berotak cerdas, namun mental dan moralnya lemah. Praktik-praktik tidak terpuji terus berlangsung dengan kasat mata di tengah masyarakat. Tak terkecuali di dunia pendidikan. Pungutan liar saat penerimaan murid baru di sekolah-sekolah negeri bukanlah cerita khayalan. Di tengah meningkatnya kucuran dana pendidikan dari pemerintah, terjadi pula pungutan biaya pendidikan kepada peserta didik. Orang tua dibuat tidak berdaya. Sebab seringkali pungutan itu mengatasnamakan kesepakatan komite sekolah yang beranggotakan orang tua atau wali peserta didik. Di sini terlihat adanya kesenjangan praktik pendidikan dengan karakter peserta didik. Dapat dikatakan bahwa dunia pendidikan di Indonesia kini sedang memasuki masa-masa yang pelik. Persoalan utama pendidikan di Indonesia adalah bagaimana mencetak alumni pendidikan yang unggul, yang beriman, bertaqwa, profesional, dan berkarakter, sebagaimana tujuan pendidikan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional.[3]

   Bahkan sebagaimana pendapat Mochtar Lubis yang dikutip Adian bahwa manusia Indonesia memiliki sembilan ciri utama yang kesemua ciri itu menunjukkan karakter dan akhlak yang tidak baik. Kesembilan ciri manusia menurut Mochtar Lubis adalah : (1) hipokrit atau munafik; (2) segan dan enggan bertanggungjawab atas perbuatan dan keputusannya; (3) berjiwa feodal; (4) masih percaya takhayul; (5) terlalu mudah percaya dengan semboyan dan simbol yang dibuatnya sendiri; (6) watak lemah dan karakter kurang kuat; (7) tidak kuat dalam memperjuangkan keyakinan (8) cenderung boros dan (9) lebih suka tidak bekerja keras kecuali terpaksa.[4]

Data BKKBN 2010, menunjukkan 51 persen remaja di Jabodetabek telah melakukan seks pra nikah. Artinya dari 100 remaja, 51 sudah tidak perawan. Beberapa wilayah lain di Indonesia seks pra nikah juga dilakukan oleh beberapa remaja. Misalnya saja di Surabaya tercatat 54 persen, di Bandung 47 persen, dan 52 persen di Medan. Dari kasus perzinahan yang dilakukan oleh para remaja putri tersebut yang paling dahsyat terjadi di Yogyakarta. Pihaknya menemukan dari hasil penelitian di Yogya dalam kurun waktu 2010 setidaknya tercatat sebanyak 37 persen dari 1160 mahasiswi di kota gudeg menerima gelar MBA (marriage by accident) alias menikah akibat hamil maupun kehamilan di luar nikah.[5]

Data Satuan Tugas Pelajar Dinas Pendidikan  Bogor menunjukkan selama kurun waktu 2008 – 2012, setidaknya 93 pelajar SMP, SMK dan SMA menjadi korban perkelahian atau tawuran. Dari jumlah itu, sebanyak 10 pelajar tewas, 4 cacat, sisanya luka berat dan ringan. Bahkan didapatkan data baru bahwa tawuran pelajar  kini merembet melibatkan anak sekolah dasar. Petugas STP Dinas Pendidikan Bogor pernah mendapati siswa SD membawa gir dalam tasnya.[6] Data  BNN terkait penggunaan narkoba tercatat sebanyak 921.695 orang atau sekitar 4,7 persen dari total pelajar dan mahasiswa di Indonesia adalah sebagai pengguna barang haram tersebut.[7]

Dari penelitian yang dilakukan Badan Narkotika Nasional bekerja sama dengan Universitas Indonesia tahun 2008 menunjukkan bahwa ada peningkatan jumlah pengguna narkoba sebesar 22,7%. Dari sejumlah 1,1 juta di tahun 2006 menjadi 1,35 juta di tahun 2008. Saat ini data BNN  menyebutkan bahwa ada 3,6 juta penyalahguna narkoba di Indonesia. Dimana 41% diantara mereka pertama kali mencoba narkoba di usia 16-18 tahun.[8]

Beberapa kasus yang terjadi di negeri ini mengindikasikan analisis Zakiah Daradjat, Mochtar Lubis dan Adian Husaini di atas.  Misalnya kasus maraknya  oknum pejabat yang korupsi membuktikan hilangnya keimanan kepada Tuhan yang Maha Esa serta rendahnya akhlak dalam diri mereka.[9] Hal ini berarti hilangnya pula kesadaran dan komitmen untuk taat kepada perintah Tuhan dan menjauhi larangan Tuhan, apapun agamanya. Maraknya kasus-kasus pornografi, pelacuran, perzinahan, homoseksual,[10] dan  pembunuhan juga merupakan indikasi rendahnya  akhlak.  

Krisis akhlak sebagaimana ditulis oleh Zabaidi ini juga diindikasikan dengan meningkatnya pergaulan seks bebas, maraknya angka kekerasan, kejahatan terhadap teman, pencurian remaja, kebiasaan menyontek, dan penyalahgunaan obat-obatan, pornografi, perkosaan, perampasan, dan perusakan milik orang lain sudah menjadi masalah sosial yang hingga saat ini belum bisa diatasi secara tuntas. Perilaku remaja kita juga diwarnai dengan gemar menyontek, kebiasaan bullying di sekolah, dan tawuran. Akibat yang ditimbulkan cukup serius dan tidak dapat  lagi dianggap sebagai suatu persoalan sederhana karena tindakan ini telah menjurus kepada tindakan kriminal. Perilaku orang dewasa juga setali tiga  uang, senang dengan konflik atau kekerasan dan tawuran, perilaku korupsi yang marajalela, dan perselingkuhan.[11]

           

Mengurai Akar Masalah

  Sistem pendidikan di Barat bisa dijadikan contoh konkret sebagai sistem pendidikan yang mengalami krisis yang akut, hal itu tidak lain karena disebabkan oleh hilangnya ruh pendidikan menjadi hanya sekedar pengajaran. Pendidikan Barat yang berlangsung dalam suatu schooling system tak lebih dari suatu proses transfer ilmu dan keahlian dalam kerangka tekno-struktur yang ada. Akibatnya, pendidikan – katakanlah pengajaran – menjadi suatu komoditi belaka dengan berbagai implikasinya terhadap kehidupan sosial kemasyarakatan.

Kritik pedas terhadap sistem pendidikan Barat yang minus ruh diungkapkan oleh Ivan Illich dalam buku Deschooling Society 1979 yang dikutip oleh Azyumardi Azra dalam Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru   2001. Dalam buku itu Ivan mengatakan bahwa kelembagaan sekolah tidak akan membawa perubahan apa-apa. Sistem sekolah yang ada hanya akan memperkuat  struktur kelas atas yang telah mapan. Karena itu semua sistem kelembagaan harus dihapuskan untuk diganti dengan “jaringan belajar”.

Gagasan senada dalam Azra (2001) juga dikemukakan oleh Everett Reimer dalam School Is Dead dengan menyatakan bahwa bagi kebanyakan orang merupakan institusi pendukung privelese, dan pada waktu yang sama merupakan instrumen utama bagi mobilitas vertikal masyarakat sehingga menciptakan kelas-kelas baru yang teralienasi dari masyarakatnya.

Berbeda dengan sistem pendidikan anak dalam Islam yang biasa disebut dengan istilah tarbiyah, ta’lim dan ta’dib. Ketiga istilah itu mengandung makna yang sangat mendalam sebab menyangkut manusia dan masyarakat serta lingkungan yang dalam hubungannya dengan Allah saling berkaitan satu sama lain. Pendidikan anak dalam Islam tidak dibatasi sekedar pendidikan yang berorientasi pada kecerdasan otak an sich, melainkan juga merupakan pendidikan mental dan spiritualitas. Karenanya karakter pendidikan Islam bersifat integralistik menyangkut semua aspek pada manusia baik akal, mental maupun spiritualnya.

Akhlak : Islamisasi Karakter

            Bahkan diakui oleh Zubaidi bahwa kaitannya dengan pendidikan akhlak, terlihat bahwa pendidikan karakter terkesan Barat sekuler dan pendidikan akhlak terkesan Timur Islam. Meskipun keduanya memiliki peluang dan ruang untuk saling mengisi, sehingga memadukan antara keduanya merupakan suatu tawaran yang inspiratif. Hal ini sekaligus menjadi entry point bahwa pendidikan karakter memiliki ikatan yang kuat dengan nilai-nilai spiritualitas dan agama.[12].

            Hasil penelusuran penulis di lima pesantren besar di Kabupaten Bogor  menunjukkan pemahaman bahwa kata karakter dalam pandangan pesantren merupakan sekulerisasi akhlak. Itulah mengapa pesantren tetap menggunakan kata akhlak dalam paradigma pendidikannya, meskipun pemerintah menggunakan istilah karakter. Dalam pandangan pesantren kata karakter dan akhlak memiliki perbedaan yang mendasar, yakni masalah nilai dasar yang membentuknya. Karakter dilandasi oleh nilai-nilai kemanusiaan yang universal sehingga akan didapatkan kekaburan makna. Sedangkan akhlak memiliki landasan nilai yang jelas yaitu Al Qur’an dan Al Hadist. Bahkan model yang mempraktekkan akhlakpun jelas dalam Islam, yakni Rasulullah Muhammad SAW. Sebab Muhammad diutus Allah untuk menjadi suri tauladan bagi umat manusia di dunia.

            Pendidikan karakter pada dasarnya mencakup pengembangan substansi, proses, dan suasana atau lingkungan yang menggugah, mendorong, dan memudahkan seseorang untuk mengembangkan kebiasaan baik dalam kehidupan sehari-hari. kebiasaan ini timbul dan berkembang dengan didasari oleh kesadaran, keyakinan, kepekaan, dan sikap orang yang bersangkutan. Dengan demikian, karakter yang ingin dibangun melalui pendidikan karakter bersifat inside-out, dalam arti bahwa perilaku yang berkembang menjadi kebiasaan baik ini terjadi karena adanya doronngan dari dalam, bukan karena adanya kondisi paksaan dari luar. Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal  (bersifat absolut) dan yang bersumber dari agama-agama juga disebut sebagai the golden role. Karakter dasar manusia ada banyak seperti cinta kepada Allah dan ciptaanNya, tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, pantang menyerah, keadilan, kepemimpinan, rendah hati, toleransi, damai, dan cinta persatuan. [13]

            Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2010), secara psikologis dan sosial cultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari keseluruhan potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial cultural tersebut dapat dikelompokkan dalam empat olah yakni olah hati (spiritual and emotional development), olah pikir (intellectual development), olah raga dan kinestetik (physical and kinesthetic development) serta olah rasa dan karsa (affective and creativity development).[14]

            Dengan demikian jelaslah perbedaan karakter dan akhlak. Secara umum bisa dimaknai bahwa akhlak merupakan islamisasi karakter. Jika akhlak diejawentahkan, semua orang akan bisa menerima. Sebab akhlak meliputi sikap dan perilaku mulia kepada diri sendiri, kepada sesama manusia, kepada lingkungan dan kepada Tuhan. Adapun karakter sangat dipengaruhi oleh pemahaman manusia yang relatif dan nilai-nilai yang disepakati dalam satu lingkungan tertentu. Karenanya karakter tidak mungkin bisa di terima oleh semua orang, sebab setiap orang memiliki alat ukur sendiri-sendiri. Karakter di satu negara dianggap baik mungkin tidak oleh negara yang lain. Hal ini sangat bergantung pada landasan nilai kehidupan yang diyakininya. Dalam perspektif ini, pemerintah  tidak perlu ragu-ragu untuk mengubah kebijakan pendidikan karakter menjadi pendidikan akhlak, bahkan hal ini tidak bertentangan dengan dengan Undang-Undang Sisdiknas yang juga menggunakan istilah akhlak mulia dan tidak menggunakan istilah karakter. Hal ini penting agar proses perumusan kebijakan akan lebih mudah dan terukur, sebab berangkat dari nilai dasar yang jelas yakni Al Qur’an dan Al Hadist.

 

Pendidikan dalam Perspektif Islam

Pendidikan adalah suatu usaha sadar dan sistematis dalam mengembangkan potensi peserta didik. Pendidikan adalah juga suatu usaha masyarakat dan bangsa dalam mempersiapkan generasi mudanya bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik di masa depan. Keberlangsungan itu ditandai oleh pewarisan budaya dan karakter yang telah dimiliki masyarakat dan bangsa. Dalam proses pendidikan, secara aktif peserta didik mengembangkan potensi dirinya, melakukan proses internalisasi, dan penghayatan nilai-nilai menjadi kepribadian mereka dalam bergaul di masyarakat, mengembangkan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera, serta mengembangkan kehidupan bangsa yang bermartabat.[15]

Islam sebagai agama sempurna memiliki perspektif sendiri dalam memandang pendidikan. Pendidikan dalam perspektif Islam memiliki perbedaan yang dominan jika dibandingkan dengan pendidikan dalam perspektif Barat.  Salah satu keutamaan Islam adalah kesempurnaan ajarannya, Islam berasal dari Allah yang Maha Sempurna. Kesempurnaan Islam  terletak pada keluasan cakupan ajarannya. Tidak ada satupun masalah di dunia ini yang tidak diselesaikan oleh ajaran Islam. Ajaran Islam sebagai solusi  meliputi segala permasalahan manusia di dunia.  Islam sebagai sebuah solusi terdiri dari ranah fikrah (konsepsi) dan thariqah (implementasi). Konsepsi Islam juga meliputi berbagai aspek kehidupan manusia, baik ekonomi, politik, sosial, budaya maupun pendidikan.

Kesempurnaan ajaran dan konsepsi Islam telah diakui bukan hanya oleh orang muslim, bahkan para pakar non Muslimpun mengakui.   Bernand Shaw, sorang filosof Inggris  sebagaimana diungkapkan oleh Muhammad Iqbal, pernah mengatakan bahwa agama yang dibawa nabi Muhammad (Islam) telah menjadi tolok ukur yang sempurna, karena meliputi gairah yang mengagumkan dalam urusan dunia sekaligus urusan akherat. Islamlah satu-satunya agama yang memiliki kekuasaan terhadap fase-fase kehidupan yang berbeda-beda. Muhammad layak dipanggil sebagai penyelamat kemanusiaan. Apabila orang semacam dia memimpin dunia modern seperti sekarang ini, sudah pasti akan berhasil dalam memecahkan berbagai persoalan manusia.[16]  

Konsepsi Islam tentang pendidikan sebagai bagian dari ajaran Islam juga sangat sempurna dan komprehensif. Berbagai literatur  tentang kajian konsepsi pendidikan Islam dari berbagai pakar pendidikan Islam mungkin sudah tidak terhitung jumlahnya. Munculnya banyak karya-karya para tokoh dan pakar tentang pendidikan anak dalam Islam menandakan perhatian mereka tentang betapa penting kedudukan pendidikan dalam Islam. Kesuksesan dan kemuliaan generasi Muslim di masa mendatang sangat ditentukan oleh proses pendidikan hari ini, baik pendidikan dalam keluarga, sekolah maupun di masyarakat atau lingkungan. Untuk itu untuk mendukung kajian penelitian ini perlu dikaji beberapa hal penting mengenai pendidikan Islam.

Manusia yang baik adalah hasil dari sistem pendidikan Islam. Manusia yang baik  menurut Muhammad Quthb memiliki makna  manusia yang bisa diikuti jalan hidupnya, bisa dijadikan contoh dan teladan sikapnya, dan sosoknya bisa dijadikan sebagai model. Manusia yang baik sebagai hasil dari sistem pendidikan Islam menurut Muhammad Quthb juga diistilahkan dengan menusia pengabdi. Manusia pengabdi memiliki makna seluruh jalan hidupnya semata-mata direfleksikan sebagai bentuk pengabdian kepada Allah semata. Manusia pengabdi menjadikan setiap pekerjaan, setiap tindakan dan setiap ide yang terlintas dalam pikiran harus ada hubungannya dengan Allah (idra’ silla billah), harus berdasarkan padaNya dan harus tertuju padaNya. Dalam wajahnya harus terlihat ciri-ciri ketaqwaan, kekhusukan dan rasa malu.[17]


[1] Tujuan Pendidikan Nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang  Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. (Undang-undang  No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional beserta penjelasannya, Bandung : Penerbit Citra Umbara. 2006, hlm. 37.)

[2] Zakiah Daradjat, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, Jakarta : Bulan Bintang, 1971, hlm. 118.

[3] Adian Husaini, Pendidikan Islam Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab, Depok : Komunitas Nuun, 2011, hlm. 38.

[4] Ibid, hlm. 39-40.

[5] Data diunduh dari detiknews.com/read/2010/11/28

[6] Kompas, Rabu 7 Maret 2012, hlm. 26

[7] Data diunduh dari Suaramerdeka.com, 19/2/11

[8] Republika online, 20/02/2011

[9] Data yang berhasil dihimpun oleh Tabloid Media Umat (edisi 72, 16/12/11) menunjukkan pada masa pemerintahan SBY praktek korupsi menjamur bak di musim hujan. Sebanyak 148 bupati/walikota dan 17 gubernur menjadi tersangka korupsi. Kasus korupsi Bank Centuri telah merugikan uang rakyat sebesar 6,7 triliun.

[10]Kepala Bina Reserse dan Kriminal Polres Tulungagung Iptu Siswanto, Jum’at (13/1/2009) berhasil  menggerebek pasangan sejenis yang sedang berbuat mesum. Ironisnya pelaku homoseksual adalah pegawai negeri sipil yang bekerja di kabupaten setempat. (lihat, Tabloid Media Umat edisi 25 (4-17/12/2009) hlm. 14)

[11] Zubaidi, Desain Pendidikan Karakter, Konsepsi dan Aplikasi dalam Lembaga Pendidikan, 2011, Jakarta : Kencana, hlm. 1-2.

[12] Zubaidi, Desain Pendidikan Karakter, Konsepsi dan Aplikasi dalam Lembaga Pendidikan, Jakarta : Kencana, 2011, hlm. 65.

 

[13] Ibid, hlm. 191.

[14] Ibid, hlm. 192 – 193.

 

[15] Kemendiknas Badan Litbang, Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, 2010 Jakarta : Kemendiknas Litbang Puskur, hlm.4. 

 

[16] Sheikh Mohammad Iqbal, Misi Islam, Jakarta : Gunung Jati, 1982, hlm. 42.

[17] Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan Islam, Bandung : Alma’arif, 1988, hlm. 398.

Leave a Reply