Home Artikel Metodologi Pendidikan Akhlak Dalam Perspektif Al Qur’an (1)

Metodologi Pendidikan Akhlak Dalam Perspektif Al Qur’an (1)

5611
0

(Analisis Terhadap Ayat-Ayat Al-Qur’an Ber-Lafadz Âyyuhâ al-ladzîna Âmanû’)

Oleh: Dr. Ulil Amri Syafri (Dosen Fakultas Ilmu Pendidikan UMJ)

 

 

PENDAHULUAN

Krisis yang paling menonjol dari dunia pendidikan kita adalah krisis pendidikan akhlak. Dapat disaksikan saat ini betapa dunia pendidikan di Indonesia tidak dapat menahan kemerosoton akhlak yang terjadi. Arif Rahman menilai bahwa sampai saat ini masih ada yang keliru dalam pendidikan di TanahAir. Titik berat pendidikan masih lebih banyak pada malasah kognitif. Penentu kelulusan pun masih lebih banyak pada prestasi akademik dan kurang memperhitungkan akhlak dan budi pekerti siswa.[1] Bahkan jika dilihat dari sudut global, munculnya banyak masalah yang mendera bangsa Indonesia adalah akibat rendahnya moral dan akhlak para pelaku kebijakan yang juga diikuti oleh rendahnya etos kerja masyarakat.[2] Belum lagi jika diikuti statistik perkembangan terkait kasus-kasus akhlak buruk pelajar maupun mahasiswa, seperti tawuran sesama mereka, plagiat dalam karya ilmiah dan masalah pergaulan bebas yang sudah sangat meresahkan dan membosankan sebagian orang yang mendengar beritanya.[3]

Sebenarnya konsep-konsep pendidikan nasional yang disusun pemerintah sudah menekankan pentingnya pendidikan akhlak dalam hal pembinaan moral dan budi pekerti sesuai UU Sisdiknas tahun 1989 atau revisinya tahun 2003. Disebutkan dalam Undang-Undang Sisdiknas pasal 3 UU No.20/2003 bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk melahirkan manusia yang beriman dan bertakwa, dan dalam pasal 36 tentang Kurikulum dikatakan bahwa kurikulum disusun dengan memperhatikan peningkatan iman dan takwa, meskipun dalam pasal-pasal tersebut kata-kata ‘iman dan takwa’ tidak terlalu dijelaskan. Namun kenyataannya dapat dikatakan bahwa mayoritas akhlak para peserta didik yang dihasilkan dari proses pendidikan di Indonesia tidak sesuai dengan yang dirumuskan.[4]

 Menurut Ahmad Tafsir, kesalahan terbesar dalam dunia pendidikan Indonesia selama ini adalah karena para konseptor pendidikan melupakan keimanan sebagai inti kurikulum nasional.[5] Meskipun konsep-konsep pendidikan nasional yang disusun pemerintah dalam UU Sisdiknas 1989 sudah menekankan pentingnya pendidikan akhlak dalam hal pembinaan moral dan budi pekerti, namun ternyata hal tersebut tidak diimplementasikan ke dalam kurikulum sekolah dalam bentuk Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP). Akibatnya, pelaksanaan pendidikan di tiap lembaga tidak menjadikan pendidikan keimanan sebagai inti semua kegiatan pendidikan yang berakibat lulusan yang dihasilkan tidak memiliki keimanan yang kuat.[6] Jadi bisa dikatakan bahwa penyebab terbesar dalam krisis pendidikan ini adalah akibat gagalnya pembangunan karakter anak didik yang mengabaikan pembinaan akhlak dalam proses pendidikan yang sedang berlangsung.

Pada sisi lain, beberapa pemerhati pendidikan Islam di Indonesia telah berusaha memecahkan masalah tersebut dengan membuat konsep-konsep atau model-model pendidikan yang dapat mengurangi kelemahan sistem pendidikan tersebut. Namun masalah terbesarnya kini adalah bahwa hampir sebagian besar para ilmuwan Islam masih terjebak dalam epistemologi pendidikan Barat. Konsep dan metode yang dihasilkan tetap tidak dapat dilepaskan dalam paradigma keilmuwan Barat yang mengambil logika sebagai sumber ilmu.[7] Maka ketika mereka mencoba mengaplikasi nilai-nilai keimanan dan ketakwaan yang disusun dalam UU Sisdiknas, mereka tidak dapat melepaskan worldview Barat dalam pelaksanaannya, sehingga gagasan yang ditawarkan tetap tidak mampu menterjemahkan aspek keimanan yang tercantum dalam Undang-Undang Sisdiknas tersebut.

Di sini terlihat ada missing link antara teori yang ada dan aplikasinya di lapangan. Artinya, hal tersebut diakibatkan karena tidak terimplikasinya konsep-konsep Islam secara tepat ke dalam dunia pendidikan, khususnya dalam hal pembangunan karakter anak didik. Para pemerhati pendidikan Islam di Indonesia yang terjebak paradigma Barat kurang tepat menerjemahkan ‘iman dan takwa’ yang dimaksud sehingga yang muncul dalam penerapan di lapangan adalah mereka tidak mengintegralkan antara aspek kognitif (intelektual) dan aspek afektif (rohani/akhlak) para peserta didik sesuai dengan epistemologi pendidikan Islam.[8]

Selain itu, proses pendidikan akhlak yang ada dalam lingkungan pendidikan selama ini hanya bersifat naratif dan verbalis, bagian kognitif mengalahkan proses pengamalannya. Metodologi yang ada pun ternyata tidak memiliki efek mendorong dan pencegahan peserta didik untuk merespon pendidikan akhlak.

Dengan bukti-bukti kasus penyimpangan akhlak yang terjadi pada para peserta didik, nampak terlihat tidak tertanamnya dengan baik mana akhlak yang mesti dijadikan karakter dan mana akhlak yang dilarang untuk mengerjakannya. Jika pendidikan akhlak tersebut disampaikan dengan perencanaan yang baik, termasuk metodologi pengajarannya, maka bangunan karakter  anak didik  akan mulai terbentuk dari usia yang amat tepat, khususnya di lingkungan sekolah.    

 

KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK DALAM ISLAM

Menurut peneliti, jika ingin membuat konsep-konsep pendidikan yang mengacu pada ajaran Islam maka penting untuk melihat landasan Islam itu sendiri. Oleh karena itu metodologi pendidikan akhlak yang ada pun harus diambil dari landasan Islam, yaitu al-Qur’an dan Hadits. Al-Qur’an dan Hadits. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah yang mengatakan, “Sesungguhnya telah aku tinggalkan kepadamu dua perkara yang bila kamu berpegang teguh kepadanya pasti tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu al-Qur’an dan Sunnahku” (HR. Bukhari). Keduanya menjadi basis atau dasar dalam pendidikan Islam tersebut.[9]

Setidak-tidaknya ada dua alasan besar yang bisa disebutkan bahwa al-Qur’an berperan besar melakukan proses pendidikan kepada ummat manusia.[10] Pertama, Al-Qur’an banyak menggunakan term-term yang mewakili dunia pendidikan, misalnya term Ilmu yang diungkap sebanyak 94 kali (belum termasuk turunan katanya), hikmah yang menggambarkan keilmuan diungkap sebanyak 20 kali, ya’kilûn yang menggambarkan proses berfikir diungkap sebanyak 24 kali, ta’lam yang diungkap sebanyak 12 kali, ta’lamûna yang diungkap sebanyak 56 kali, yasma’ûn yang diungkap sebanyak 19 kali, yazakkaru yang diungkap sebanyak 6 kali, dan term-term lainnya.

Kedua, Al-Qur’an mendorong ummat manusia berfikir dan melakukan analisa pada fenomena yang berada di sekitar kehidupan manusia itu sendiri. Dalam hal ini, al-Nahlawy menjelaskan bahwa ada empat cara tahapan al-Qur’an melakukan hal tersebut[11], yaitu :

  1. Al-Quran mengungkapkan realita-realita yang dihadapi langsung oleh manusia, seperti laut, gunung, bulan dan lain sebagainya. Kemudian al-Qur’an mendorong akal manusia untuk merenungkan proses tersebut. Pada konteks ini al-Qur’an selalu memberikan motifasi bahwa semua ini adalah tanda-tanda bagi komunitas yang berakal.
  2. Al-Qur’an memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan manusia terkait tentang alam semesta.
  3. Al-Qur’an mendorong fitrah manusia untuk menyadari bahwa realitas alam ini butuh satu kekuatan yang mengatur, penjaga keseimbangan, ada keterkaitan yang erat antara sang Pencipta dan ciptaan-Nya, dan pada akhirnya sampai pada kesimpulan tentang hubungan antara manusia dengan Sang Khalik tersebut, Allah SWT.
  4. Al-Qur’an mendorong manusia untuk tunduk dan khusyu’ kepada Sang Khalik, diikuti kesiapan untuk merealisasikan kesadaran tersebut.

Keistimewaan proses pendidikan yang digambarkan al-Qur’an ini nampak pada segi penyampaian argumennya. Argumen pada ayat-ayat al-Qur’an tersebut selalu dibangun beriringan dengan ayat-ayat kauniyah, dimana pola tersebut ikut menata kemampuan fikir, gerak dan intuisi yang ada pada manusia. Kesemuanya ini memperlihatkan bahwa al-Qur’an telah melakukan upaya sangat positif dalam melakukan proses pendidikan terkait wawasan eksistensi manusia.[12]

Menurut Syaikh Saltut, al-Qur’an mengunakan empat cara dalam menjelaskan pendidikan yang ada dalam ayat-ayatnya,[13] yaitu:

  1. Melalui pendidikan pada manusia agar terdorong meneliti, mentadabburi kekuasaan jagad raya ciptaan Allah SWT. Hal ini merupakan bentuk pemuliaan Allah kepada akal manusia, sehingga manusia mampu mencerahkan keagungan ciptaan-Nya seperti udara, air, guna pemberdayaan tugas kekhalifahan;
  2. Melalui pendekatan cerita-cerita ummat masa silam, baik kisah yang berjaya karena keshalehannya maupun yang mendapatkan azab karena kedzalimannya. Penyebutan kisah tersebut lebih kepada ittiba’, bukan dalam tataran kajian historisnya ataupun sekedar parade ketokohan;
  3. Melalui penyadaran perasaan sehingga mampu mencerna sunatullah dalam kehidupan;
  4. Melalui pendekatan berita-berita kabar gembira atau ancaman.

Dalam menjelaskan setiap ayat-ayatnya, al-Qur’an memiliki metodologi yang beragam dalam menjelaskan ayat-ayatnya. Menurut Muhammad Arifin, gaya bahasa dan ungkapan yang terdapat di dalam al-Qur’an menunjukkan fenomena bahwa pesan-pesan al-Qur’an mengandung nilai-nilai metodologis yang memiliki corak dan ragam sesuai situasi, kondisi, dan sasaran yang dihadapi. Di dalam mengunakan cara dengan pendekatan perintah dan larangan (amr wa nahi), Allah senantiasa memperhatikan kadar kemampuan masing-masing hamba-Nya, sehingga ‘taklif’ (beban) itu berbeda-beda meskipun dalam tugas yang sama. Sistem pendekatan metodologis yang diungkapkan al-Qur’an bersifat multi approach, yang meliputi pendekatan religius, filosofis, sosio kultural dan scientific.[14] Maka amatlah tepat jika pendidikan dalam Islam bisa menerapkan metodologi pendidikan akhlak yang tergambar dalam al-Qur’an tersebut.

Dalam perspektif Islam, akhlak terkait erat dengan ajaran dan sumber Islam tersebut, yaitu wahyu. Sehingga sikap dan penilaian akhlak selalu dihubungkan dengan ketentuan syariah dan aturannya. Tidak bisa dikatakan sikap ini baik atau buruk hanya bersandar pada pendapat seseorang ataupun kelompok, karena bisa jadi pendapat tentang kebaikan dan keburukan sesuatu hal bisa berbeda antara dua orang ataupun dua kelompok. Perbedaan itulah yang selalu muncul dalam kajian falsafah masa klasik ataupun modern.[15]  Para filosof akhlak hingga kini belum bersepakat tentang tolak ukur konsep akhlak tersebut, ada yang berstandar pada akal, ada pula yang berstandar pada perasaan dan kebiasaan serta asas kebaikan dan keburukan, dan lain sebagainya. Maka dapat dikatakan bahwa kajian akhlak pada konsep falsafah belum tuntas dan perselisihan antar aliran falsafah tersebut tidak mengalami kemajuan.[16] 

Menurut Amin Abu Lawi, akhlak dalam perspektif Islam mempunyai nilai samawi yang bersumber dari al-Qur’an. Menurutnya, akhlak dapat dimaknai dengan mengacu kepada hukum dan ketetapan syari’ah yang lima, yaitu hukum wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram, karena itulah realitas akhlak .[17] Lebih lanjut dijelaskan bahwa bila akhlak berbasis kepada hukum yang lima, maka klasifikasinya seperti berikut ini: akhlak wajib, seperti prilaku jujur, amanah, iklas dan seterusnya; akhlak sunnah seperti mengucapkan salam, memberi makan dan sedekah; akhlak mubah, seperti bermain dan bersendau gurau dengan teman; akhlak makruh seperti tidak berinteraksi dengan masyarakan dan hidup menyendiri; akhlak haram seperti berzina, minum khamar, berdusta, berkhianat, mencuri dan lain sebagainya.

Selain itu, sumber akhlak lainnya adalah sunnah nabi Muhammad SAW. Pandangan ini berdalil pada pendapat Aisyah ra ketika menafsirkan akhlak rasul yang tergambar dalam “al-khuluq al-a’dim” (QS. Al-Qalam: 4), yaitu al-Qur’an.[18] Riwayat Muslim tersebut di-syarah-kan oleh Imam Nawawi dalam kitab shalat, bahwa makna kalimat ‘akhlak rasulullah itu adalah al-Qur’an’ adalah rasulullah mengamalkan al-Qur’an, patuh pada ketentuan-ketentuanNya, beradab dengan al-Qur’an, mengambil i’tibar dari perumpamaan dan kisah-kisah di dalamnya, mentaddaburinya serta membacanya dengan baik.[19] Lebih jauh lagi, akhlak bagi seorang muslim adalah melaksanakan perintah-perintah Allah SWT dan menjauhi laranganNya sesuai yang diajarkan Rasulullah saw.[20]

Dalam dunia pendidikan Islam, orientasi pendidikan Islam diarahkan untuk menumbuhkan integrasi antara iman, ilmu, amal, dan akhlak. Semua dimensi itu bergerak saling melengkapi satu sama lain sehingga mampu mewujudkan ‘insan yang shaleh’ (manusia sempurna) atau pribadi yang utuh.[21] Perpaduan seluruh dimensi itu telah menjadi idealisme yang sering digambarkan dalam ajaran Islam. Hanya pribadi yang memiliki perpaduan potensi itulah yang layak untuk menjalankan fungsinya sebagai khalîfat fî al-‘ard dengan kewenangannya mengelola, melestarikan, memakmurkan, dan memberdayakan alam. Dari pandangan ini kita bisa melihat karakteristik pemahaman Islam terhadap hakekat pendidikan akhlak,[22] yaitu:

  1. syumul dan mendalam karena tidak terkungkung pada teks-teks saja,
  2. integral karena mencakup berbagai sisi positif untuk melakukan pendidikan menyeluruh,
  3. menggunakan berbagai macam pendekatan dan memiliki metodologis pengajarannya luas,
  4. tidak terpaku pada satu teori yang diungkapkan para pemikir dalam Islam karena pendapat mereka hanya parsial dari makna akhlak itu sendiri,
  5. memberikan pemahaman paradigma yang luas tentang akhlak pada pelaku pendidikan,
  6. melakukan pelatihan pada pelaku pendidikan karena tidak cukup hanya memberikan pandangan ilmiah dan teori semata,
  7. pembentukan manusia dari sisi kebutuhan masyarakat dan kemanusiaan, hal ini dibangun dari rasa solidaritas, memahami hak asasi manusia, yang semua itu dilakukan di bawah naungan ibadah kepada Allah SWT.   

Ketujuh karakteristik ini menuntun manusia untuk mencapai tujuan akhir dari pendidikan akhlak, yaitu mendorong jiwa seorang mukmin untuk mencintai syari’ah agamanya, menanamkan nilai syariah dalam jiwa mereka, membangun pemahaman tentang figuritas keteladanan dalam akhlak dan memotivasi berperilaku mereka dengan sifat-sifat yang terpuji dalam perkembangan akhlak.[23] Dengan kata lain, esensi dari pendidikan akhlak adalah melahirkan manusia yang berpribadi muslim yang taat terhadap hukum dan ketetapan syari’ah Islam. Jika akhlak diartikan seperti pemahaman Ibnu Miskawih yang menekankan bahwa akhlak adalah perbuatan yang dilakukan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan,[24] maka pendidikan akhlak menjadi upaya melahirkan manusia berpribadi muslim yang mudah untuk melaksanakan ketentuan hukum dan ketetapan syari’ah agama, dan sikap taat tersebut selalu menjadi sifatnya ketika berhadapan dengan ketentuan agama, tanpa banyak alasan untuk tidak melaksanakannya. 


            [1]Republika, 11 Februari 2010.

[2]Dalam tataran nasional, kegagalan hasil pendidikan di Indonesia bisa terlihat dari tingginya indeks prestasi korupsi (IPK) yang dikeluarkan oleh ICW dan rendahnya etos kerja di kalangan masyarakat pekerja. Menurut data-data dari ICW, sumber kegagalan negara dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang ada adalah bermula dari bobroknya akhlak dan moral para pemegang kebijakan yang menyebabkan suburnya praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menyentuh seluruh sektor pembangunan. Para SDM yang dihasilkan dari produk pendidikan yang ada, tidak menunjukkan hasil yang lebih baik dari tahun ke tahun. Justru kebanyakan hasil outcome pendidikan ini memperlihatkan sikap-sikap materialisme dan hedonisme yang mempengaruhi tingkah laku dan kebijakan-kebijakan dalam menyelesaikan permasalahan mereka. Maka tidak aneh jika ICW mengeluarkan data yang diambil dari Transparasi Internasional Indonesia (TII) tentang IPK Indonesia yang dari tahun ke tahun cenderung meningkat dan rendahnya indeks . Lihat Adnan Topan Husodo, wakil koordinator ICW, http://www. antikorupsi.org/antikorupsi/?q=content/18572/stagnasi-pemberantasan-korupsi.

[3]Banyak kasus terjadi di dunia pendidikan Indonesia yang berpangkal dari keburukan moral para peserta didik. Mulai dari kasus-kasus kekerasan yang terjadi di lembaga pendidikan seperti kasus STPDN, kekerasan yang terjadi pada acara OSPEK (Orientasi Pengenalan Pelajar/Mahasiswa di sekolah/kampus), sampai tawuran antar pelajar yang marak terjadi. Belum lagi kasus plagiat karya ilmiah dalam bidang penelitian (mulai dari skripsi hingga disertasi). Menurut Arief Rahman, fenomena kecurangan atau plagiat itu dilakukan oleh murid-murid SD sampai mahasiswa S3. Hal ini disebabkan para pelajar maupun mahasiswa lebih memilih kelulusan dibanding kejujuran. Padahal nilai terpenting dalam belajar adalah akhlak kejujuran itu sendiri. Selain itu kasus pergaulan bebas antar pelajar dan mahasiswa, kekerasan, kecurangan, dan lainnya. Di tahun 90-an, wartawan Hartono Ahmad Jaiz pernah mengeluarkan survey tentang 60% lebih mahasiswi suatu kampus sudah melakukan hubungan di luar nikah di Surat kabar PELITA. Di Era globalisasi saat ini, dimana tekhnologi internet sudah mendominasi, hal-hal seperti di atas sudah banyak terjadi di kalangan pelajar hingga pelosok daerah. Berdasarkan hasil survei Komnas Perlindungan Anak bekerja sama dengan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) di 12 provinsi pada 2007 diperoleh pengakuan remaja bahwa sebanyak 93,7% anak SMP dan SMU pernah melakukan ciuman, petting, dan oral seks; Sebanyak 62,7% anak SMP mengaku sudah tidak perawan; Sebanyak 21,2% remaja SMA mengaku pernah melakukan aborsi; Dari 2 juta wanita Indonesia yang pernah melakukan aborsi, 1 juta adalah pelajar remaja perempuan. Yang terbaru adalah dari hasil survey BKKBN 2010 yang mengatakan bahwa 51% pelajar di Indonesia telah melakukan hubungan pra-nikah. Beberapa wilayah lain di Indonesia, seks pranikah juga dilakukan beberapa remaja. Misalnya saja di Surabaya tercatat 54 persen, Bandung 47 persen, dan 52 persen di Medan. http: //dunia.web.id.com/ berita/

            [4]Menurut UU Sisdiknas pasal 4 UU No.2/1989. Lihat Ahmad Tafsir, “Kajian Pendidikan Islam di Indonesia”, dalam Tedi Priatna (ed), Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: Mimbar Pustaka, 2004, hlm. 23.

            [5]Ibid.

[6]Ibid.

[7]Bukti pengaruh pendidikan Barat terhadap pendidikan Islam adalah lahirnya dikotomi pendidikan yang memiliki kesan jika pendidikan agama berjalan tanpa dukungan ilmu pengetahuan dan tekhnologi serta pendidikan umum tidak memerlukan agama. Dikotomi yang terjadi ini menurut Mujamil Qomar menyebabkan antara lain kegagalan merumuskan tauhid, lahirnya syirik yang berakibat adanya dikotomi fikrah Islam, adanya dikotomi kurikulum, lembaga pendikan yang melahirkan manusia berkepribadian ganda yang menimbulkan dan memperkokoh sistem kehidupan ummat yang sekuleristik, rasionalistik-empiristik-intuitif, dan materialistik, lahirnya peradaban Barat sekuler yang dipoles dengan nama Islam, serta lahirnya da’i yang berusaha merealisasikan Islam dalam bentuk pemisahan kehidupan sosial-politik-ekonomi-ilmu pengetahuan-tekhnologi dengan ajaran Islam, dimana agama hanya menjadi urusan akhirat saja dan ilmu tekhnologi untuk urusan dunia. Lihat Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam, hlm. 216-218. 

[8]Ahmad Tafsir, Kajian Pendidikan Islam, hlm. 24.

[9]Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa al-Qur’an membimbing atau mendidik manusia dari alam kegelapan dan kebodohan menuju kepada alam cahaya keilmuan. Dalam  QS. Ibrahim :1dijelaskan : Artinya: Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji (QS. Ibrahim :1). Menurut Amin Abu Lawi ayat tersebut menjelaskan tentang pendidikan dalam perspektif al-Qur’an, bahwa tujuan diturunkannya al-Qur’an adalah sebagai upaya untuk mengeluarkan manusia dari alam jahîliyyah kepada cahaya keislaman. Adapun maksud dari cahaya jahîliyyah adalah segala sesuatu yang dilarang oleh Allah SWT dan cahaya keislaman adalah segala sesuatu yang diperintahkan dan dimubahkan olehNya. Amin Abu Lawi,  ‘Ushul al-Tarbiyyat al-Islâmiyyah, Riyadh: Dâr Ibn Jawzî, 1423H/2002, hlm. 27.

            [10]Muhammad Fuad Abdul Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fâdil al-Qur’ân al-Karîm, Beirut: Dâr al-Ma’rifât, 1423H/2002

            [11]Abdurrahman al-Nahlawy, Ushûl al-Tarbiyyat, hlm. 40-42.

[12]Ibid.

            [13]Syaikh Saltut, Ila al-Qur’ân al-Karîm, Cairo: Dâr al-Syurûq, 1403H/1983, hlm. 5-12. 

            [14]Muhammad Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2000, hlm. 62-63.

             [15] Muhammad Rabbi’ Mahmud Jauhari, Akhlâqunâ, Madinah: Maktâb al-Fajr, 2006, cet. VIII, hlm. 6-7

             [16]Ibid. Bagi peneliti, memaknai atau memberikan pengertian akhlak lebih utama jika keluar dari perselisihan para filosof tersebut, kemudian memaknai akhlak tersebut dengan landasan syariah yang tepat.     

            [17] Amin Abu Lawi, ‘Ushul al-Tarbiyyah al-Islâmiyyah, Riyadh: Dâr Ibn Jawzî, 1423H/2002, hlm. 57

[18]Cerminan penjelasan Aisyah ra tentang akhlak Rasul adalah al-Qur’an. Maka menurut Amin Abu Lawi, gambaran akhlak rasul tersebut terungkap dari sikap realitas ketaatan rasul pada hukum dan ketetapan syari’ah. Ibid., hlm 58.

             [19]Syarah Imam Nawawi dalam kitab shalat, juz II. Ibid, hlm. 98-99.

             [20]Muhammad Diya’uddin al-Qarbi, Akhlâq Îslâm wa Sufiyyâh, Cairo: Maktâb al-Sa’âdah, 1995, hlm.19.

             [21]Mujamil Qomar, Epistemologi, hlm. 259.

            [22]M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak,  hlm. 159

[23]Amin Abu Lawi, ‘Ushul al-Tarbiyyat, hlm. 56-60.

            [24]Ibrahim Anis, Al-Mu’jam al-Wasît, Cairo: Dâr al-Ma’rîf, 1972, hlm. 202. 

Leave a Reply