Home Ghawzul Fikr Kebebasan Perempuan & Ketahanan Keluarga

Kebebasan Perempuan & Ketahanan Keluarga

5664
0

Rita Hendrawaty Soebagio – Direktur Utama AILA Indonesia

Dalam sebuah opini di Koran Tempo pada tanggal 4 September 2019 yang berjudul Pemberdayaan Perempuan versus Ketahanan Keluarga, penulis opini tersebut mengkritik keras wacana yang digagas Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak saat itu Yohana Yembise yang ingin mengganti nomenklatur pemberdayaan perempuan menjadi ketahanan keluarga. Menurut penulis opini tersebut, wacana ini merupakan sesuatu yang salah langkah dan sesat pikir. Cara pandang seperti ini tentunya dapat mudah ditelusuri asalnya. Dalam gerakan Feminisme, para feminis telah lama menarasikan wacana antara perempuan dan keluarga sebagai wacana yang sulit untuk bertemu.

Dalam UU no 52 tahun 2009, Keluarga mengandung pengertian sebagai unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Pengertian yang lebih luas tentang keluarga diberikan oleh para penganut faham fungsionalis, di mana keluarga dikatakan sebagai struktur yang dapat memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis anggotanya dan juga untuk memelihara masyarakat yang lebih luas.

Walaupun faham fungsionalis memandang keluarga dalam ruang lingkup yang lebih luas menyangkut fisik, psikologis dan sosial, namun faham ini tampaknya menjadi jalan masuk bagi ideologi baru tentang keluarga. Gerakan feminisme dalam berbagai bentuknya memiliki keyakinan yang tidak berubah dalam memandang keluarga. Bonnie Smith mengatakan Family Conctructed as a Natural Heterosexual and patriarchal unit, performs a variety of critical ideological services in the constitution of the nation (Bonnie G. Smith, Women’s History in Global Perspective, Chicago: University of Illinois, 2004, hal. 247); bahwa keluarga terkonstruk sebagai bentuk heteroseksual alamiah sekaligus unit patriarkis.

Keluarga dalam berbagai ketentuan perundangan di Indonesia atau bahkan di berbagai dokumen Internasional lainnya hingga saat ini masih memiliki dua fungsi utama yang selalu disebutkan yaitu fungsi prokreasi dan fungsi sosialisasi pendidikan. Paling tidak hal ini tampak nyata dalam hasil penelitian Prof Euis Sunarti dalam lima dokumen sumber pustaka yaitu BKKBN (1996), United Nation (1993); (Lihat: Zeitlin, Marian F., et al. Strengthening the Family: Implications for International Development, New York: United Nations University Press, 1995); (Rice, A. & Tucker, S, Family life management, New York: Macmillan, 1986).

Maka, jika prokreasi menjadi fungsi utama dalam sebuah institusi keluarga dengan demikian lembaga pernikahan adalah satu-satunya jalan untuk membentuk keluarga. Namun hal ini bertentangan dengan ideologi yang diyakini para penggerak feminisme dan kesetaraan gender. Menurut pandangan ini, pernikahan adalah lembaga usang dan kaku; pernikahan merupakan warisan yang tidak masuk akal dari masyarakat tradisional. Dalam manifestonya yang diterbitkan dalam Notes from the Second Sex (1970), para feminis radikal mengatakan bahwa lembaga perkawinan adalah lembaga formalisasi untuk menindas perempuan (Siti Muslikhati, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam, Jakarta: Gema Insani, 2004,  hal. 35).

Lebih jauh beberapa tokoh feminis di Barat mengatakan hal yang senada tentang lembaga pernikahan. Marlene Dixon misalnya mengatakan, bahwa lembaga pernikahan adalah “the chief vehicle for the perpetuation of the oppression of women.”(Marlene Dixon, The Subjugation of Women Under Capitalism, 1977).  Dixon selanjutnya mengatakan sebagai berikut: “Every mechanism of social control– moral, religious, governmental–has been used to lock women into marriage and the family. Tokoh feminis lainnya Betty Freidan menulis dalam bukunya The Feminine Mystique bahwa pernikahan hanya menghambat perkembangan mental bagi perempuan. Simone de Beauvoir dalam bukunya The Second Sex mengatakan: “Marriage is obscene in principle insofar as it transforms into rights and duties those mutual relations which should be founded on a spontaneous urge.” (Debra B. Bergoffen, The Philosophy of Simone de Beauvoir: Gendered Phenomenologies, Erotic Generosities, New York: State University of New York Press, hal. 197).

Pendapat banyak tokoh feminis di atas dapat diartikan bahwa keluarga dan pernikahan adalah institusi yang dianggap paling mengancam kebebasan perempuan. Senada dengan hal ini, opini dalam Koran Tempo yang penulis angkat di paragraf pertama tulisan ini juga mengatakan bahwa nomenklatur ketahanan keluarga pengganti pemberdayaan perempuan adalah langkah mundur dalam rangka mendomestikasi kembali perempuan. Bagi para feminis, wacana keluarga baru dapat diterima dengan cara menafsir ulang tentang filosofis keluarga itu sendiri. Lebih jauh penulis opini tersebut mengatakan bahwa wacana ketahanan keluarga semakin mengemuka karena terjadinya konservatisme dan fundamentalisme dalam beragama.

Dengan demikian, pada prinsipnya keluarga dan agama dianggap dua hal yang paling mengancam kebebasan perempuan. Cara pandang seperti ini pada dasarnya lahir dari kegagalan dalam memahami berbagai nash kitab suci al-Qur’an dan berbagai hadist terkait perempuan. Syaikh Yusuf al-Qaradhawi dalam pengantar buku Kebebasan Wanita (Abu Syuqqah, Abdul Halim, Kebebasan Wanita, 1997) mengatakan bahwa Islam telah memberi kemudahan serta menghilangkan kesulitan dan beban dari pundak wanita muslimah. Sikap keras dan buruk sangka terhadap konsep kebebasan wanita yang dianggap terancam oleh institusi agama dan keluarga dikatakan beliau karena ketidaktahuan orang mengenai nash-nash syariat yang mengandung dalil tentang kemudahan dan menentang sikap mempersulit khususnya nash-nash Sunnah Nabi yang shahih.

Prof. Dr. Abdul Halim, Abu Syuqqoh penulis buku “Kebebasan Wanita” menegaskan yang kurang lebih serupa bahwa udara kebebasan perempuan sudah dapat dihirup sejak masa awal kenabian. Perempuan dan keluarga adalah dua hal yang tidak perlu dibenturkan dan dipertentangkan. Karena keduanya saling membutuhkan, satu dengan yang lainnya. Beliau menguraikan puluhan karakteristik perempuan yang digambarkan al-Qur’an dan Hadist shahih yang bermuara pada kebebasan perempuan dalam mengambil perannya di berbagai ranah kehidupan. Sejarah peradaban Islam telah mencatat kebebasan perempuan dalam mengambil perannya dalam keluarga dan masyarakat. Dikatakan oleh Syaikh Abu Syuqqoh, perempuan adalah setengah dari masyarakat. Tudingan bahwa agama dan keluarga merenggut kebebasan perempuan telah dipatahkan dengan sendirinya oleh banyak catatan sejarah Peradaban Islam tentang peran perempuan dalam berbagai bidang.

Di samping kegagalan memahami nash-nash dan sejarah, tampaknya ada cara pandang yang keliru secara filosofis dalam memahami kebebasan itu sendiri. Kebebasan kerap dimaknai hanya sekadar boleh dan tidaknya melakukan sesuatu. Apalagi dengan berkembangnya konsep Hak Asasi Manusia (HAM), kebebasan manusia termasuk di dalamnya kebebasan perempuan kerap ditimbang berdasarkan nilai-nilai yang diyakini manusia semata. Dengan meminggirkan agama dari ranah publik, ukuran kebebasan menjadi sangat relatif sekali.

Padahal menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, makna ‘kebebasan’ lebih tepatnya terdapat dalam konsep ikhtiyar yang merupakan tindakan untuk terbebas dari keburukan dan bukan terletak dalam terminologi hurriyyah (kebebasan) yang merupakan kondisi bebas dan lepas begitu saja (Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Prolegomena To The Metaphysics of Islam, Kuala Lumpur: ISTAC, 1995). Maka jika perempuan ingin benar-benar mendapatkan kebebasannya, dia harus mampu memilih jalan terbaik  (ikhtiyar) sebagai jalan berbuat adil terhadap dirinya dalam rangka pemenuhan jiwa akalinya (al-nafs al-natiqah) terhadap perjanjiannya dengan Allah secara terus menerus (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, Bandung: PIMPIN, 1993). Perempuan yang mampu memilih kebebasan yang hakiki akan sanggup menguatkan keluarga sebagai benteng perlindungan bagi dirinya dan masyarakat. Wallahu a’lam.

Leave a Reply