Oleh: Dr. Wendi Zarman
Hingga saat ini masih banyak pihak yang merasa sangsi dengan keberadaan sains Islam. Tidak sedikit di antara pihak-pihak tersebut adalah Muslim juga. Mereka menganggap wacana sains Islam dan pengislaman sains merupakan sesuatu yang absurd, karena ilmu sains itu netral. Logikanya, menurut mereka, alam itu terlihat sama saja bagi siapa saja, baik orang Islam, Kristen, Hindu, Budha, atau agama apapun. Seorang ilmuwan di Eropa yang terpisah ribuan kilometer dari ilmuwan Indonesia pastilah akan menemukan kenyataan yang sama jika menyangkut fenomena alam yang sama. Demikian klaim mereka.
Mereka bukan saja pesimis dengan wacana sains Islam, tapi terkadang agak sinis. Sains Islam diolok-olok dengan mengesankan sains Islam tak lain adalah wacana membuat pesawat Islam, komputer Islam, dan teknologi berlabel Islam lainnya. Ada juga yang menuding bahwa sains Islam adalah sains yang dimulai dengan bismillah. Lainnya lagi menuduh sains Islam adalah soal mencocok-cocokkan ayat-ayat al-Qur’an dengan penemuan sains mutakhir kemudian mengklaim bahwa Islam telah lama mengungkap hal tersebut.
Semua ini menunjukkan bahwa para pengkritik itu sebenarnya tidak betul-betul mendalami wacana tersebut. Sebab, sesungguhnya gagasan sains Islam yang dimaksud bukanlah sesederhana itu, meskipun sebagian dari yang disebut di atas termasuk bagian dari sains Islam itu sendiri, tapi karena disampaikan dengan olok-olok maka semua hal tersebut terdengar menggelikan.
Wacana sains Islam adalah wacana yang sangat filosofis yang berakar dari pemikiran mengenai hakikat ilmu di dalam Islam. Maka ketika berbicara ilmu sains, maka disitu terkait dengan apa makna ilmu, tujuan mencari ilmu, penggolongan ilmu, makna kebenaran, tingkatan wujud (realitas), saluran-saluran ilmu, makna alam (yang satu akar kata dengan ilmu), metodologi penarikan kesimpulan, adab-adab menuntut ilmu, dan lain sebagainya. Maka proses islamisasi ilmu alam (sains) tidak lain adalah mengislamkan persoalan-persoalan di atas dengan cara meletakkannya dalam kerangka pandangan hidup Islam (Islamic Worldview).
Mengulas hal di atas secara lengkap tentunya amat sulit jika mengandalkan tulisan yang pendek ini. Tapi sebagai contoh, dapat kami kemukakan bahwa islamisasi sains salah satu maknanya adalah islamisasi mengenai makna alam yang merupakan obyek ilmu sains itu sendiri. Di dalam paradigma sains modern alam adalah benda semata, tidak punya makna ruhani, maka dari itu nilainya sangat rendah. Alam baru mempunyai nilai ketika ia bisa dikuasai dan dimanfaatkan. Maka kata Bacon, ilmu adalah kuasa (knowledge is power), yaitu kuasa untuk menaklukkan dan mengendalikan alam.
Sebaliknya, alam di dalam Islam dikenal sebagai ayat Allah, suatu sebutan yang juga disematkan kepada kalimat-kalimat yang ada di dalam al-Qur’an. Ayat tak lain merupakan sebutan untuk tanda. Istilah tanda adalah refleksi dari keberadaan sesuatu yang lain.
Keberadaan sesuatu yang lain yang dimaksud di sini adalah Allah, Tuhan Yang Maha Agung. Berulangkali Allah menutup suatu kalimat di dalam al-Qur’an ketika berbicara mengenai fenomena alam dengan pernyataan bahwa semua itu (fenomena alam) adalah ayat-ayat Allah. Artinya, segala bentuk fenomena alam tak lain merupakan cara Allah untuk memperkenalkan dirinya kepada manusia, para hamba-hambanya.
Makna alam di atas memberikan konsekuensi besar terhadap tujuan mengembangkan ilmu sains. Alam dalam perspektif ini dipelajari tidak lain adalah untuk menangkap pesan-pesan Tuhan. Itu tidak berarti bahwa sains tidak dikembangkan untuk keperluan praktis guna membantu kehidupan manusia. Tetapi sains dalam pandangan Islam tidak hanya dikembangkan untuk keperluan praktis saja, melainkan juga sebagai sarana manusia mengenal Tuhannya sehingga dia menjadi seorang hamba yang baik. Bahkan hal terakhir ini merupakan tujuan terpenting dari belajar sains tersebut.
Cara pandang di atas memberi konsekuensi lanjutan. Tidak seperti yang terjadi di Barat, sains cenderung mendorong orang untuk menjadi agnostik, sekuler, dan atheis. Namun, sains dalam Islam justru mendorong manusia menjadi semakin religius. Sebab prinsip pertama dalam sains Islam adalah pengakuan akan wujud Tuhan lebih dahulu daripada wujud alam dan manusia itu sendiri, beserta sifat-sifat yang menyertai-Nya seperti Maha Esa, Maha Pencipta, Maha Kuasa, Maha Mengatur, Maha Mengetahui, Maha Pengasih, Maha Mulia, dan lain sebagainya.
Sebaliknya, sains modern malah menempatkan Tuhan sebagai obyek yang diragukan keberadaan-Nya, sebaliknya wujud dirinyalah yang pertama kali diakui, sebagaimana ungkapan terkenal Descartes, “Aku berpikir maka aku ada”.
Pengakuan wujud (eksistensi) Tuhan, yang kita sebut beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan sendirinya tidak terpisah dengan pengakuan terhadap ajaran-ajaran-Nya. Sebab iman di dalam Islam bukan hanya bermakna percaya dalam pengertian kognitif, tetapi juga mengejawantah dalam sikap dan perbuatan manusia sebagai wakil Allah (khalifatullah) di bumi. Ungkapan wakil di sini merefleksikan amanah, artinya kehidupan manusia adalah bertujuan untuk menjalankan amanah Allah di bumi.
Maka sains dalam Islam bukan bertujuan untuk menurutkan kemauan manusia, melainkan dalam rangka menunaikan amanah Allah di bumi. Itu sebabnya tujuan dasar sains dalam sejarah Islam dikembangkan untuk kepentingan amal shalih, baik ibadah maupun muamalah. Misalnya, astronomi untuk memperkirakan waktu-waktu ibadah, matematika untuk menghitung warisan, kedokteran untuk menolong manusia, dan lain sebagainya.
Dari uraian yang singkat di atas (meski masih belum lengkap) dapat kita lihat betapa wacana sains Islam atau pengislaman sains bukanlah wacana yang mengada-ada atau utopia belaka. Harus diakui bahwa tidak mudah meyakinkan hal ini sebab mayoritas kita (umat Islam) dididik di dalam paradigma pendidikan yang sekularistik ketika membahas sains. Namun dengan kesungguhan dan ketekunan para ulama dan ilmuwan yang dilandasi dengan niat yang ikhlas, insya Allah, gagasan ini akan terus berkembang dan mendapat tempat di masyarakat. Wallahua’lam.*
Penulis adalah peneliti di di Institut Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan (PIMPIN) Bandung
sains tidak butuh embel2 apapun termasuk sains islam, apa itu? sains ya sains universal nggak perlu ditambahin agama, sains kristen, sains hindu, sains budha juga nggak ada itu, lantas apa maksudnya dengan, para pengkritik itu sebenarnya tidak betul2 mendalami wacana tersebut?
semakin didalami semakin tidak jelas kata sains digabung dg kata islam dibelakangnya, mohon jelaskan wacana yg mana?
Bagaimana bisa “sains” (dalam islam) pertama-tama harus mengakui wujud Allah, sementara “Allah” itu sendiri tidak bisa diinderai?
Sains itu tidak bermain-main dalam ranah kalbu yang bersifat relatif dan personal. Objek sains itu adalah sesuatu yang bisa diobservasi.
Dengan cara pikir yang sama, siapapun bisa saja mengarang frase “sains kristiani”, “sains yudaisme”, “sains zoroastrianisme”, dan sebagainya.
Saya pikir, kesalahan cara pikir anda di sini adalah menempatkan ihwal “iman kepada Allah” sebagai dasar berpikir, bukan sebagai HASIL DARI BERPIKIR.
Ateisme, sebagai contoh, adalah hasil dari berpikir. BUKAN DASAR BERPIKIR. Ketika ada seorang saintis ateis yang menjadikan ateisme sebagai dasar berpikir dalam memandang fenomena alam, akan saya kritisi.
Untuk memahami sains islam mesti serius dengan niat jihad untuk memahami sains yang benar, yang hasilnya pantas diberi pahala oleh Allah.
@brajang & Aldi: Apakah Anda mengakui adanya Ekonomi Islam atau Pendidikan Islam? Kalau iya, mengapa tidak bisa ada Sains Islam? Bukankah semua itu lahir dari pemikiran/ilmu, bukan hanya sains saja yang pakai ilmu.
Yang perlu dijawab oleh pengritik Sains Islam adalah mengapa sains mesti universal. Padahal jangankan dengan Islam, sains di zaman Yunani Kuno saja berbeda dengan sains modern. Artinya, sains tidak mesti universal.
Lalu, bahwa jika ada Sains Islam berarti boleh saja Sains Kristen, Sains Hindu, dan seterusnya. Ya, mengapa tidak? Masalahnya, apakah teologi agama tersebut mampu melahirkan sains versi agama tersebut, sekurangnya ada klaim dari penganut agama tersebut? Tidak ada, khan. Hanya dari dunia Islam saja yang mengklaim ada Sains Islam.
saya sangat mengagumi gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer yang digagas oleh Syed Naquib Alatas sebagai MahaGuru para peneliti Insists. Sampai sekarang, saya sangat menunggu kelanjutan dari gagasan Islamisasi Imu Pengetahuan Kontemporer dan sampai mana batasnya. Kalau boleh saran, buku2 karya para saintis muslim pada zaman dahulu – seperti Ibnu Sina, Al Khawarizmi dan lain sebagainya bisa diterjemahkan kedalam bahasa indonesia sebagai bahan studi.
menurut saya,, jika kita berbicara tentang sains, maka pada awalnya sains itu netral, tetapi karena sains yang mengembangkan adalah manusia, maka saiins akan berkembang sesuai dengan ideologi manusia tersebut,, sehingga akan memunculkan teori atau aplikasi sesuai dengan ideologi yng di anut oleh penggagas sains tersebut,, oleh karena itu, jika muslim,telah memahami ideologi Islam (islamic worldview) dengan benar,maka sains yang dihasilkan juga akan sesuai dengan Islam, dengan demikian,adalah penting untuk membentuk pemahaman, Islam sebagai Idelologi kepada umat islam,,,
sains adalah pengetahuan yang dikembangakan sesuai dengan ideologi (worldview) yang di anut oleh penggagasnya,sehingga ketika muslim telah menjadikan islam sebagai ideologi, maka sains yang dihasilkan akan sesuai dengan Islam
Islamisasi ilmu adalah jihad besar, proyek seumur hidup, perlu kesadaran dan kesabaran,dan bagaimanapun merupakan sebagian dari hidayah. Perjuangan itu akan lebih berat ketika berhadapan dengan “ilmuwan muslim” yang merasa “sudah islam” krn sdh melakukan ritual rukun islam, padahal perilakunya belum tentu dilandasi oleh rukun iman.
Mungkin…mengupas rukun iman secara sains atau hubungannya dengan sains , merupakan awal yg lebih mudah untuk diterima….Wallahu’alam
Saya tertarik dengan istilah2 yang dikemukakan sebagai salah satu istilah baru dalam membahaskan tentang ilmu semasa. Bagi mewujudkan satu keadaan yang kon sisten dan seimbang dalam menelusuri budaya ilmu, adalah baik kiranya istilah2 itu diberikan makna dan maksud khas seperti yang diperkenalkan oleh sesiapa sahaja intelektual atau ilmuan supaya ianya jelas dan terang. Saya juga pohon supaya dua istilah (sains islam dan pengislaman sains) itu sendiri diberikan makna dan maksud tersendiri memandangkan ramai yang mungkin mempunyai pendapat dan pandangan yang lain mengenai kedua2 istilah tersebut. Bukan apa, supaya kita bersifat lebih adil dalam menggunakannya.