Home Artikel Sekolah Kristen dan Kolonialisme

Sekolah Kristen dan Kolonialisme

4205
0


Oleh: Muhammad Isa Anshary (Peneliti Pusat Studi Peradaban Islam, Solo)

Sejarah menunjukkan bahwa Kristenisasi merupakan bagian tidak terpisahkan dari ekspansi kolonialisme. Agama Kristen datang dan menyebar di negeri kita seiring dengan datang dan menyebarnya kolonialisme Barat. Portugis maupun Belanda sama-sama datang dengan membawa misi Kristen. Di dalam Encyclopædie van Nederlandsch-Indië Jilid IV (Leiden: Martinus Nijhoff, 1905), hlm. 829 disebutkan, “Mengenai sikapnya terhadap perkara agama di kepulauan ini (Nusantara), orang Belanda berdasarkan contoh sama dengan orang Portugis. Di mana pun dia tinggal dan menjumpai pribumi Kristen, keadaan mereka itu tidak disia-siakannya. Sebaliknya, di mana pun belum ada pribumi Kristen, dia berusaha menyebarkan Kristen di tengah-tengah mereka.”

Di daerah-daerah yang berhasil ditaklukkan, pihak kolonial memfasilitasi pendirian sekolah-sekolah Kristen. Hal ini mempunyai arti penting bagi penyebaran Kristen maupun hegemoni kolonialis. Franciscus Xaverius (1506-1552), misionaris Portugis pengikut Ordo Jesuit yang sukses menyebarkan Kristen Katolik di Maluku, menegaskan bahwa untuk memperluas agama Kristen perlu didirikan sekolah di mana-mana, terutama di daerah-daerah non-Kristen. Dalam Ordo Jesuit, bidang pendidikan memang menjadi salah satu sarana kegiatan misi mereka yang sangat efektif dan efisien. Pada masa penjajahan Portugis itulah ordo ini datang ke Indonesia.

Menaklukkan Muslim Lewat Pendidikan

Mayoritas penduduk Maluku telah memeluk Islam ketika Portugis datang. Portugis memandang semua pemeluk Islam adalah bangsa Moor dan musuh Kristen yang harus diperangi. Selain memerangi secara fisik, Portugis juga berusaha menaklukkan Muslim Maluku melalui Kristenisasi. Oleh karena itu, sekolah Kristen didirikan di daerah-daerah Muslim.

Di Ternate, misalnya, Antonio Galvano mendirikan sekolah seminari untuk anak-anak para pemuka pribumi pada 1536. Sekolah sejenis kemudian didirikan di Pulau Solor dengan jumlah murid sebanyak 50 orang. Murid-murid dari golongan pribumi yang mampu mengikuti pelajaran dengan baik dan ingin melanjutkannya bisa meneruskan studi di Goa (India). Ketika itu, Goa merupakan pusat kekuatan orang-orang Portugis di Asia. Franciscus Xaverius berangkat dari Ternate ke Goa dengan membawa pemuda-pemuda Maluku untuk melanjutkan pelajarannya ke kota tersebut. Jumlah orang Kristen pribumi pun semakin meningkat. Pada 1546 di Ambon sudah terdapat tujuh buah kampung pemeluk Katolik Roma. (Sejarah Pendidikan di Indonesia Zaman Penjajahan, hlm. 8)

Memasuki abad 17 Belanda berhasil mengambil alih kekuasaan Portugis di Maluku. Belanda kemudian juga berhasil mengontrol pulau-pulau lain, terutama pulau Jawa. Mereka bersatu dalam Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Sebagai organisasi dagang swasta, VOC kurang melibatkan diri dalam kegiatan pendidikan dan menyerahkannya saja kepada gereja. Pendidikan tersebut disesuaikan dengan kepentingan VOC. Misalnya pengembangan agama Kristen Protestan melalui pendidikan sebagai sarana untuk membina dan meningkatkan loyalitas penduduk pribumi kepada penguasa baru, yaitu orang-orang Belanda. Pejabat VOC memberikan sejumlah beras kepada anak-anak yang datang ke sekolah. Di kemudian hari, orang terbiasa mengejek tentang “orang Kristen beras” Kompeni.

Jumlah sekolah Kristen semakin bertambah dan menyebar di berbagai wilayah Indonesia setelah lembaga-lembaga zending Eropa berdatangan pada pertengahan abad 19. Apabila memulai Kristenisasi di suatu daerah, para zendeling biasanya membuka pula sekolah dan lembaga kesehatan. Melalui kegiatan tersebut, zending sanggup memikat hati orang yang masih bersikap menolak terhadap Kristenisasi secara langsung. Di samping itu, sebagian zendeling yakin bahwa sekolah perlu untuk menuntun orang masuk ke dalam lingkungan peradaban Barat (Kristen) sehingga mereka dapat memahami pemberitaan agama Kristen.

Politik Etis Menyuburkan Sekolah Kristen

Politik etis (1901-1942 M) sejatinya merupakan upaya Kristenisasi dan sekulerisasi Pemerintah Hindia Belanda terhadap penduduk pribumi yang mayoritas beragama Islam. Pemerintah merasa punya hutang budi kepada pribumi. Oleh karena itu, Pemerintah ingin meningkatkan kemakmuran mereka. Salah satu sarananya adalah melalui pendidikan.

Pemerintah lalu membuka lebih banyak sekolah-sekolah model Barat untuk pribumi. Akan tetapi, Pemerintah kekurangan tenaga untuk menjalankannya. Menghadapi masalah demikian, Pemerintah bekerja sama dengan badan zending dan misi. Pemerintah memberikan subsidi kepada sekolah-sekolah Kristen karena aktivitas mereka dianggap sejalan dengan tujuan politik etis yang ingin memajukan peradaban pribumi. Padahal subsidi tersebut berasal dari pajak yang dibayarkan oleh penduduk yang mayoritas Muslim. Melalui lembaga pendidikan dan lembaga sosial, para zendeling dan misionaris berusaha melakukan Kristenisasi secara bertahap. Strategi ini disebut pre-evangelisation.

Di sekolah-sekolah Kristen, kesetiaan kepada pemerintah dan ratu Belanda ditanamkan ke dalam hati para murid. Doktrin yang demikian itu ditekankan karena para zendeling yakin bahwa orang Indonesia masih membutuhkan dan masih lama akan membutuhkan bimbingan mereka. Akibatnya ketika terjadi kebangkitan nasional, gerakan ini oleh kebanyakan para zendeling dipandang sebagai gerakan revolusioner yang patut ditolak.

Sekolah-sekolah Kristen berhasil memurtadkan banyak pribumi Muslim. Misalnya saja sekolah yang didirikan oleh Frans van Lith di Muntilan Jawa Tengah. Di desa kecil Semampir dia mendirikan sebuah sekolah desa dan sebuah bangunan gereja. Saat itulah dia memulai kompleks persekolahan Katolik di Muntilan, mulai dari Normaalschool pada 1900, sekolah guru berbahasa Belanda atau Kweekschool pada 1904, kemudian pendidikan guru-guru kepala pada 1906. Anak-anak lelaki yang masuk sekolah ini semuanya Muslim. Akan tetapi, mereka semua tamat sebagai orang Katolik. Beberapa dari kelompok siswa pertama bahkan melanjutkan studi mereka untuk menjadi imam.

Demikianlah, pendidikan menjadi senjata ampuh bagi misionaris maupun kolonialis dalam menaklukkan Islam. Orientalis penasihat pemerintah Hindia Belanda, Snouck Hurgronje, menyatakan dalam bukunya Nederland en de Islam hlm. 79, “Opvoeding en onderwijs zijn in staat de Moslims van het Islamstelsel te emancipeeren”. Artinya, “Pendidikan dan pelajaran dapat melepaskan kaum Muslim dari genggaman Islam.”

Pernyataan serupa juga disampaikan oleh tokoh misionaris Samuel M. Zwemer dalam Islam; A Challenge to Faith hlm. 211, “Semua kekuatan pendidikan, yang besar maupun yang kecil, dapat membantu meruntuhkan karang kebodohan dan takhayul luar biasa, yang menjadi tradisi Islam. Akan tetapi, karya pendidikan hanyalah persiapan. Kita harus bisa menembus hati nurani, atau gagal. Pendidikan hanyalah sarana untuk mencapai tujuan.”

Sebagai Muslim, tentu kita harus mengambil pelajaran dari sejarah ini. Wallahu a‘lam.*

 

Leave a Reply