Home Artikel Filsafat Sains Abu Rayhan al-Biruni

Filsafat Sains Abu Rayhan al-Biruni

14345
0

Oleh: Febri Daus – Peneliti Wacana Fikir Islam (WAFI) Padang

Beberapa penelitian sains modern menunjukan pentingnya mengkaji kembali sejarah dan falsafah sains. Tujuannya agar ilmuan modern dapat mengambil manfaat dari kajian yang telah dihasilkan oleh sarjana-sarjana besar terdahulu baik dalam hal pragmatis maupun filosofis. Kemudian, mempelajari sejarah dan pemikiran saintis dapat kembali menguatkan dan menemukan identitas diri yang tidak dapat dipisahkan dari mata rantai keterlibatan saintis sebelumnya. Oleh sebab itu, dalam Saturday Forum 3 Juli 2021 INSISTS mengundang Dr. Usep Mohamad Ishaq membentangkan penelitian mengenai Filsafat Sains Abu Rayhan al-Biruni dengan bahasan pokok yang dibahas pada kajian ini yaitu biografi singkat, karya-karta serta sumbangan, filsafat sains: studi awal serta kesimpulan.

Diawali dengan memperkenalkan biodata singkat Abu Rayhan al-Biruni (Selanjutnya disebut al-Biruni). Nama lengkap Abū al-Rayhān ibn Ahmad al-Bīrūnī Lahir di Bīrūn (Kyat, Kath, Khiva) Uzbekistan tahun 973 M, beberapa  ada yang memberikan informasi yang berbeda tentang tempat kelahirannya. Menurut Dr. Usep, hal ini disebabkan ketokohan sarjana muslim ini, namun, argumentasi ini belum disertai bukti-bukti yang kuat. Wafat di Ghanza Afghanistan 1048 M. Beliau hidup sezaman dengan filsuf dan saintis muslim seperti Ibn al-Haytham, Ibn Sīnā, Ibrāhīm al-Zarqālī, dan para sarjana muslim termasuk ikhwanus shafa.

Al-Biruni adalah seorang polimatik yang banyak menulis karya dalam bidang fisika, astronomi, astrologi, filsafat, matematika, dan bidang lainnya yang total keseluruhannya 146 karya atau lebih. Dalam bidang astronomi, matematika dan geografi sumbangan beliau seperti pemisahan ilmu trigonometri dari astronomi serta menyederhanakan dan menjadikannya sebagai cabang ilmu,  komentar terhadap karya Euclides, komentar terhadap astronom Ptolemeus dan Khorezmi, penentuan arah kiblat, penentuan ukuran bumi dengan cara mengamati penurunan horizon dari puncak Gunung Nandana, dan lain sebagainya. Tak hanya itu, ia Juga seorang poliglot yang menguasai berbagai bahasa seperti Sansekerta, Parsi, Arab, Yunani, Suryani, dan bahasa lain.

Perhitungan tinggi gunung, dan Radius Bumi

Dalam pandangannya, sains adalah kegiatan untuk menyelesaikan permasalahan saintifik yang berkaitan erat dengan perintah agama dan tidak boleh melanggar aturan agama, serta membantu dalam menjawab permasalahan masyarakat. Sedangkan, tujuan utama sains adalah untuk memperoleh ridha Allah dan mengambil ibrah (pelajaran), seperti yang diungkapkan dalam bukunya The Exhaustive Treatise On Shadows “… dan untuk diriku aku berusaha untuk mendekati keridhaanNya dan untuk senantiasa memelihara KarunianNya…”. Lebih lanjut dalam buku ini, ia juga menjelaskan bahwa ilmu-ilmu seperti astronomi dan matematika tidak dapat dipisahkan dari agama dalam pengembangannya. Agama ditempatkan sebagai hal paling sentral yakni sebagai cara pandang dalam pengembangan sains. Serta sains juga merupakan produk yang digunakan untuk membantu penyelesaian masalah-masalah keagamaan, seperti permasalahan ibadah dan menjawab kesulitan pelaksanaannya. Karena itu, ia mendorong agar para matematikawan untuk membersihkan niat, menekankan kejujuran dan keadilan dalam kegiatan keilmiahan, serta aktif dalam penyelesaian permasalahan masyarakat dan tidak mengejar kekayaan dengan keilmuan yang mereka miliki.

Tak hanya menyarankan keadilan, al-Biruni juga menerapkan konsep keadilan dalam karya-karya ilmiahnya seperti penilaiannya terhadap doktrin-dokrin agama Hindu. Dengan tidak pernah membuat tuduhan-tuduhan tidak mendasar serta mengutip dengan lengkap argumen doktrin keagamaan mereka dengan sepenuhnya jika dirasa hal itu akan menjelaskan perkara yang dibahas. Dan menjadikan Islam sebagai ukuran kebenaran dan tidak mensejajarkan pemahaman Islam dengan Hindu. Tak hanya mengkritik doktrin agama, ia juga banyak melakukan kritik terhadap pandangan filsafat dan sains yang bertentangan dengan agama dan mazhab teologi yang dianutnya, seperti yang ditulis Nasr “al- Biruni considers the idea that the world is eternal as the most abhorrent of the Aristotelian doctrines and that which is most opposed to the Islamic perspective”.

Lebih lanjut, secara Epistimologis, al-Biruni mengakui kebenaran dari berbagai sumber dan saluran ilmu seperti Khabar Shadiq, Akal, dan Indra. Untuk Khabar Shadiq, ia membagi menjadi dua bagian. Pertama, wahyu sebagai kabar yang sudah pasti benar. Hal ini tergambar dari berbagai karyanya yang sering mengutip wahyu secara verbatim. Misalnya dalam al-Jamahir, “… Karena itulah, mau tidak mau, bumi bertindak sesuai dengan perintahnya. Allah berfirman: ”Dan apakah mereka (orang-orang kafir itu buta, sehingga) tidak melihat bahwa Kami telah menciptakan bagi (kemanfaatan) mereka dari apa yang telah dilakukan oleh tangan (atau kekuasaan) Kami, berupa binatang-binatang ternak, lalu (setelah Kami menciptakannya), mereka menjadi para pemilik (berkuasa) atasnya? Dan Kami menundukkannya (binantang-binatang ternak) untuk mereka, maka sebagian menjadi tunggangan mereka dan sebagian mereka makan. Dan mereka memperoleh padanya manfaat-manfaat dan minuman. Maka, tidakkah mereka bersyukur?” Jika manusia tidak diberikan karunia ini dari Allah maka dia tidak akan mampu mengendalikan bahkan hal terkecil sekalipun.

Kedua, Laporan sejarah dan informasi saintifik dari para sarjana sebelumnya, yang ia tempatkan di bawah pengamatan (observasi) dan eksperimen. Karena bagi al-Biruni bisa saja hasil pengamatan sebelumnya keliru, misalnya ia mengatakan “what we has been observed and experienced is against what has been heard from reports” (al-Jamahir, 128), “Hamzah says char crystal in some ways resembles glass But I have neither observed Chis nor tested it” (al Jamahir, 160). Karena baginya tradisi tentang suatu peristiwa yang tidak bertentangan dengan hukum logika atau hukum fisika akan selalu bergantung benar atau salahnya pada karakter reporter, yang dipengaruhi oleh perbedaan kepentingan.  (Alberuni’s India, 3).

 

Selanjutnya, dalam pengamatan fenomena alam al-Biruni juga melakukan penggabungan eksperimen dan matematika seperti dalam penentuan radius bumi dengan menggunakan astrolab dalam mengukur sudut gunung dan horizon dengan penggunakan trigonometri. Sarjana muslim ini juga menentang kesimpulan-kesimpulan yang tidak saintifik, seperti mengkrtitik ahli astrologi yang mengaitkan benda langit dengan kehidupan manusia tanpa landasan ilmiah, serta telah memulai usaha pemisahan astrologi dan astronomi.

Al-Biruni adalah salah satu contoh Ilmuan besar Islam yang disebut al Attas dalam penutup karya agungnya sebagai pendahulu kita yang besar dan takut kepada Allah Subhanahu wa Ta ‘ala serta yang memiliki tilikan yang tajam, pemikiran yang tinggi dan kedalaman spiritual telah bekerja untuk membangun sistem pemikiran dan amalan yang cemerlang dan gemilang, dengan pertolongan dan bimbingan Allah. Dan jika kita berharap untuk bangkit pada tahapan yang sama maka kita perlu dengan rendah hati meniru mereka untuk mengusahakan ukuran-ukuran yang bersifat jangka panjang dan berpandangan jauh.

Leave a Reply