Adil sejak dalam pikiran, dibuktikan dalam perbuatan
Oleh: Muhammad Syam’un Salim
Dalam sebuah risalah, Hamka menyebutkan bahwa keadilan itu bukan netral. Keadilan adalah memihak kepada kebenaran. Pandangan Hamka terdengar to the poin, dan mungkin untuk sebagian orang terkesan ekstrim—khususnya bagi akademisi liberal. Namun begitulah karakter Hamka, amat tegas pada hal-hal prinsipil; menyampaikan nilai Islam apa adanya, bukan ada apanya. Namun tidak banyak yang tahu, kisah hidup Hamka dipenuhi oleh perjuangan cukup berat.
Dikisahkan, di masa mudanya Hamka mengalami konflik dengan ayahnya sendiri: Haji Rasul. Hamka muda juga mengalami kesulitan belajar, dan diremehkan oleh para pendakwah di masanya, hingga mengalami dinamika kehidupan yang amat keras hampir di sepanjang hayatnya. Tetapi, di luar dari kisah pedih juga problematika hidupnya, sepertinya semua sepakat akan kapasitas hingga otoritas Hamka di bidang keilmuan, termasuk keluhuran budinya. Apa rahasianya? Jawaban sederhananya, Hamka telah adil pada dirinya sendiri.
Dalam tradisi Islam, istilah adil biasanya dimaknai sebagai “wad’u syai’ fi mawdi’ihi” menempatkan sesuatu pada tempatnya. Namun pemaknaan yang lebih jauh, sebagaimana yang diterangkan oleh Raghib al-Isfahani, istilah keadilan tidak sebatas pada kesamaan “lafzun yaqtadhi ma’na al-musawat” atau terbatas pada “proportionality” belaka, namun di dalamnya mengandung arti kebijaksanaan atau “hikmah”. Selain juga bermakna baik dalam timbangan akal “yaqtadhi al-aql husnahu” keadilan juga haruslah sesuai dengan timbangan syariat/agama “wa adlun yu’rafu kaunuhu adlan bi as-syar’i”.
Maka dari pemaknaan ini, kita bisa melihat bahwa keadilan–ini dalam bahasa Toshihiko Izutsu–punya medan makna (semantic field) yang saling berelasi kuat, di antaranya: (1) amr “command” (2) ada’ “deliver” (3) amanah “trust” (4) ahl “worthy” (5) hukm “judge” (6) nas “people”. Sebagaimana yang termaktub dalam QS. al-Nisa [4]: 58. Pemaknaan ini kemudian semakin rinci dan luas lagi.
Al-Tabari dalam tafsirnya menegaskan bahwa keadilan merupakan bentuk perintah Allah Swt “‘ala ma amarakumullah bi ada’i kulla syai'” maka ia bersumber dari Allah Swt “wa dzalika hukmullah alladzi anzalahu fi kitabih”, tidak bersumber dari selainNya. Al-Zabidi kemudian mempertajam makna keadilan pada “mustaqim” atau lurus. Arti lurus ini kemudian diperkuat dengan meniadakan segala urusan dari perkara-perkara syahwat kemanusiaan kepada hawa nafsu “alladzi la yamilu bihi al-hawa”.
Dengan demikian, ukuran keadilan tidak terletak pada pertimbangan manusia semata, namun ia berada pada timbangan syari’at yang bersumber dari Allah Swt. Di sini, dimensi keadilan dalam Islam semakin kompleks dan kaya. Keadilan tidak saja menjadi nilai yang bersifat duniawi, namun juga di saat yang sama benilai ukhrawi.
Pemaknaan keadilan dalam al-Qur’an ini menyimpulkan pada pemahaman Islam yang amat khas, yang berbeda secara fundamental dengan pemahaman keadilan lainnya. Bahwa (1) adil meliputi sisi keilmuan “epistemic justice” (2) adil juga merefleksikan kebijaksanaan “wisdom” (3) dan yang amat khas lagi dari keduanya, adil juga menyasar pada diri manusia itu sendiri “personal justice”.
Maka Islam menggambarkan ketidakadilan tidak semata-mata pada perkara legal atau persoalan hukum “law”, sosial, politik, hingga perkara moral. Namun ketidakadilan dapat terjadi pada domain keilmuan. Pada aspek ini, orang-orang liberal yang acapkali dengan sengaja menyembunyikan kebenaran, memanipulasi data demi kepentingannya, berdusta demi sebuah kedudukan atau jabatan, sejatinya adalah orang-orang yang tidak adil secara keilmuan “epistemic justice”.
Ketidakadilan di dalam Islam tidak terbatas pada perlakuan kita (diri) pada orang lain (batas sosial), namun juga perlakuan kita pada diri kita sendiri (batas personal).
Kita sering mendengar ungkapan “emang kenapa? guwe kan! gak ngerugiin elo, suka-suka guwe dong!” “hidup selama gak ngerugiin orang lain mah, woles bae bre”—atau dengan ungkapan yang semisal—sambil di saat yang sama, secara sadar tingkah lakunya telah dan akan terus merugikan diri sendiri.
Maka, orang-orang yang secara sadar bermaksiat, memperturutkan hawa nafsunya adalah orang-orang yang tidak adil “faman ya’mal dzalika faqadh dzalama nafsah” (QS. al-Baqarah [1]: 231) ia telah zalim atau tidak adil pada diri sendiri “wa ma dzalamuna wa lakin kanu anfusahum yadzlimun” (QS. al-Baqarah [1]: 57). Demikianlah makna adil yang sebenarnya.
Kisah Hamka, bagaimana ia berdamai dengan ayahnya, bagaimana ia menyelesaikan badai persoalannya dengan belajar ke Makkah, bagaimana ia memegang nilai-nilai keislaman, bagaimana ia merespon kepada yang tidak sepaham, bagaimana ia bersikap kepada yang memfitnahnya, dengan sederet budi baik yang dihasilkannya, barangkali adalah hasil dari bagaimana Hamka telah adil pada dirinya sendiri. Jika Pram dalam Bumi Manusia menyebut “adil sejak dalam pikiran”, maka Hamka telah adil sejak dalam pikiran dan dibuktikan dalam perbuatan. Wallahu a’lam