Oleh: Wendi Zarman (Dosen Unikom Bandung)
Dakwah Nabi Muhammad SAW pada dasarnya merupakan sebuah proses pendidikan di dalam masyarakat sebab upaya dakwah ini dilakukan untuk menghasilkan manusia yang baik. Proses pendidikan yang dilakukan Nabi SAW tersebut mengandung banyak hikmah dan pelajaran yang dapat dijadikan teladan bagi umat Islam dalam mendidik masyarakat. Beberapa pelajaran yang dapat diambil dari dakwah Nabi Muhammad SAW : pertama para guru atau da‘i hendaknya merupakan orang-orang yang terbaik akhlaqnya karena manusia pada umumnya lebih mudah bersimpati dengan orang-orang yang suka berbuat baik kepada orang lain. Kedua, keyakinan sebagai unsur paling penting dalam suatu proses pendidikan masyarakat karena dengan keyakinan yang kuat seseorang dapat bersabar terhadap berbagai kesulitan hidup. Ketiga, dakwah harus berlandaskan ilmu yang kuat karena keyakinan akan kuat jika berlandaskan pada hujjah yang kuat juga.
1. Pendahuluan
Jika disimak para tokoh yang ditulis oleh Michael Hart di dalam karyanya mengenai tokoh-tokoh paling berpengaruh di dunia[1], maka dapat disimpulkan bahwa karya atau warisan ketokohan orang-orang berpengaruh itu pada umumnya berkisar pada dua hal. Pertama, karya-karya mereka berupa pikiran-pikiran besar yang mengubah masyarakat secara berarti, baik pada tingkat regional tertentu atau bahkan seluruh dunia. Kehebatan pikiran-pikiran besar ini terlihat ketika pikiran-pikiran itu menginspirasi dan mengilhami banyak orang dalam rentang waktu yang lama setelah tokoh-tokoh ini wafat. Bentuk pikiran-pikiran besar ini bisa seperti ajaran agama, filsafat, teori-teori sains, teori-teori sosial, serta berbagai karya seni dan sastra. Tokoh-tokoh yang masuk kelompok ini adalah Budha, Kong Hu Cu, Aristoteles, Isaac Newton Karl Marx, John Locke, Ludwig Van Beethoven, dan lain-lain.
Kedua, prestasi-prestasi nyata yang mengagumkan yang terwujud saat mereka hidup seperti daerah kekuasaan yang luas, suatu negara yang disegani, atau angkatan bersenjata yang kuat seperti diantaranya. Mereka yang termasuk kelompok ini diantaranya adalah Jengis Khan, Alexander Agung, Hitler, Napoleon Bonaparte, Mao Tse Tung, dan lain-lain. Walaupun sangat mungkin tokoh-tokoh ini juga memiliki pikiran-pikiran besar, namun orang-orang sesudah mereka lebih mengenang kebesaran mereka berdasarkan prestasi mereka yang bersifat fisik dibandingkan karya yang bersifat pemikiran.
Dari semua tokoh paling berpengaruh yang disebut Michael Hart dalam bukunya itu, Nabi Muhammad SAW merupakan tokoh paling berpengaruh yang memiliki keistimewaan tersendiri karena semua prestasi hebat para tokoh itu terkumpul di dalam diri beliau. Hanya dalam diri Nabi Muhammad SAW pikiran-pikiran besar diwujudkan sendiri dan mencapai keberhasilan besar pada masa hidup beliau. Beliau adalah satu-satunya pemimpin yang berhasil baik dalam urusan agama maupun urusan dunia. Tidak satupun tokoh yang disebut Michael Hart memiliki keistimewaan seperti ini. Atas alasan inilah mengapa Michael Hart menempatkan Nabi Muhammad SAW di peringkat pertama pemimpin paling berpengaruh di dunia.[2]
Sebenarnya jika dicermati lebih jauh terdapat kelebihan lain Nabi Muhammad SAW yang semakin menegaskan keistimewaan beliau atas tokoh-tokoh lain. Kelebihan itu adalah keberhasilan beliau menghasilkan insan-insan terbaik yang pernah muncul di pentas sejarah dalam jumlah besar. Pengertian terbaik di sini bukan semata-mata dalam arti kecerdasan akal (intelektual), kepemimpinan, keberanian, kekayaan, atau keberhasilan di medan perang, tetapi lebih dalam pengertian akhlaq yang merupakan wujud dari keshalihan seorang hamba Allah. Selain itu, beliau juga tidak sekedar menghasilkan beberapa gelintir tokoh ternama tetapi sebuah masyarakat yang beradab yang melanjutkan prestasi besar beliau. Ketika Alexander Agung, Hitler, Napoleon Bonaparte, Julius Caesar, atau Lenin wafat kita tidak melihat generasi penerus para tokoh berpengaruh ini melanjutkan prestasi-prestasi besar mereka sebagaimana para sahabat melanjutkan prestasi Nabi Muhammad SAW.
Sejarah mencatat bahwa setelah beliau wafat perkembangan wilayah Islam tidaklah berhenti malah berkembang semakin cepat karena terdapat semangat dakwah yang kuat dalam diri para sahabat untuk menyebarkan Islam ke seluruh dunia. Seiring dengan berkembangnya daerah kekuasaan Islam, para sahabat ini menyebar ke seluruh penjuru mengislamkan dan memakmurkan daerah-daerah yang telah ditaklukkan para tentara Islam. Dalam rentang sekitar satu abad setelah Nabi Muhammad SAW wafat, Islam telah tumbuh menjadi kekuatan yang tidak tertandingi oleh peradaban lain yang kekuasaannya menjangkau tiga benua (Asia, Afrika, Eropa) yang merentang dari Andalusia (Spanyol) hingga tanah Hindustan (India).
Ini adalah buah dari pendidikan Nabi Muhammad SAW yang mampu melakukan perubahan mendasar suatu masyarakat dalam waktu sangat singkat. Tidak berlebihan jika kita menyebutnya sebagai sebuah revolusi sosial. Semenjak merebaknya dakwah Nabi Muhammad SAW, Jazirah Arab berubah secara signifikan yaitu dari sebuah negeri yang kurang dikenal dan kalah pamor dari tetangganya Persia dan Rumawi kemudian muncul sebagai bangsa yang tercerahkan lalu secara mengagumkan bangkit mengambil alih kepemimpinan dunia dan tampil sebagai masyarakat berperadaban tinggi. Dengan demikian tidaklah berlebihan untuk menyebut Nabi Muhammad SAW adalah seorang pendidik yang paling istimewa yang pernah hadir dalam lintasan sejarah manusia. Keberhasilan ini membangkitkan sebuah pertanyaan : pendidikan seperti apakah yang mampu membangkitkan kekuatan dari sebuah masyarakat yang terpuruk dalam kegelapan kemudian bangkit menjadi peradaban yang penuh cahaya dalam waktu yang singkat.
2. Lebih Mudah Mengatasi Kebodohan Daripada Kesesatan
Ketika Nabi Muhammad SAW diutus untuk berdakwah di jazirah Arab, beliau mewarisi suatu masyarakat bodoh (jahiliah), yaitu mereka tidak bisa mengenali mana kebaikan dan mana keburukan. Bangsa Arab kala itu adalah bangsa yang kesenangannya adalah bermabuk-mabukan di setiap waktu; gemar berjudi yang terkadang taruhannya adalah istri mereka sendiri; menipu dan merampok sudah menjadi kelaziman; anak-anak perempuan dikuburkan; istri seorang laki-laki dapat diwariskan kepada anaknya sendiri; fanatik berlebihan terhadap suku sehingga perselisihan sepele dapat menimbulkan perang antar-suku; laki-laki dapat memiliki istri berapa saja yang mereka mau.[3]
Ramadhan al-Buthy di dalam kitab sirahnya menyebutkan bahwa memang masyarakat Arab pada masa itu berada dalam alam kebodohan, namun mereka tidak dalam keadaan tersesat. Kebejatan moral mereka lebih pada karena menuruti hawa nafsu yang tidak dibimbing oleh ilmu yang benar dan bukan berangkat dari keyakinan yang mapan. Masyarakat Arab pada masa itu ibarat sebuah bahan baku yang belum diolah sehingga lebih mudah untuk membinanya. Itu sebabnya bangsa Arab dipandang memiliki potensi baik sebagai tempat yang baik bagi berkembangnya Islam. Keadaan ini berbeda jika dibandingkan dengan dua negara besar saat itu, yaitu kerajaan Persia dan Byzantium yang lebih tepat disebut sebagai masyarakat yang tersesat. Di Persia berkembang ajaran Zoroaster penyembah api, sedangkan di Romawi telah berkembang ajaran Nasrani yang telah menyimpang dari ajaran tauhid Nabi Isa ‘alaihis salam. Kedua negara yang mengapit jazirah Arab pada masa itu juga mengalami kebejatan moral yang parah seperti juga yang terjadi pada bangsa Arab namun kerusakan ini dipelihara dan dibina suatu oleh pemikiran dan keyakinan yang telah mapan. Mereka terjebak dalam lubang kerusakan dengan penuh kesadaran, perencanaan dan pemikiran.[4]
Menurut Ramadhan al-Buthy, hal ini merupakan salah satu hikmah diturunkannya Islam di jazirah Arab dan bukan di tempat lain. Allah telah menyiapkan jazirah Arab sebagai tempat yang baik untuk bersemainya agama Islam.[5] Hal ini memberi pelajaran bahwa membina atau mendidik suatu masyarakat yang bodoh lebih mudah daripada yang tersesat. Hal ini karena masyarakat bodoh yang belum disusupi oleh pemikiran yang menyesatkan cenderung lebih terbuka ketika menerima pengetahuan baru. Sebaliknya masyarakat yang terlanjur sesat cenderung mempunyai sikap penolakan yang lebih besar ketika berhadapan dengan pengetahuan baru karena keyakinan mereka telah terbentuk secara kuat.
3. Kepribadian Mulia sebagai Modal Dakwah
Sebelum menyampaikan dakwah, Nabi Muhammad SAW memerlukan modal kepercayaan yang kuat dari masyarakat. Hal ini sangat penting agar seruan-seruan beliau mau didengar masyarakat. Apalagi seruan-seruan beliau merupakan sesuatu yang sangat bertentangan dengan tradisi dan keyakinan masyarakat masa itu. Menyerukan penyembahan hanya kepada Allah, Tuhan yang Esa, kepada masyarakat yang menyembah banyak tuhan atau berhala merupakan suatu seruan yang mengejutkan. Demikian juga pemberitaan beliau tentang adanya hari akhir kepada masyarakat yang hanya mengenal kehidupan dunia dan tidak punya visi kehidupan akhirat yang kekal tentulah merupakan suatu gagasan yang mengganggu ketenangan batin mereka.
Seruan-seruan Nabi SAW yang seringkali berlawanan dengan arus umum pandangan-alam (worldview) masyarakat Mekah masa itu tentu saja mengundang penolakan dari mereka. Ini adalah sesuatu yang lumrah terjadi di mana-mana. Paling tidak ada dua bentuk penolakan (resistensi) masyarakat ketika mereka berhadapan dengan seruan-seruan Nabi Muhammad SAW. Yang pertama adalah menertawakan dan mengolok-olok beliau seperti menyebut beliau sebagai orang gila[6] dan menuduh ucapan yang beliau katakan sebagai sihir.[7] Bila cara ini gagal, mereka mengambil langkah kedua yaitu berusaha menghentikan dakwah beliau secara lebih terencana, baik dengan cara halus maupun keras. Cara halus yang dimaksud misalnya dilakukan dengan cara melakukan perundingan dengan menawarkan harta dan kedudukan. Tawaran seperti ini praktis diabaikan oleh beliau. Sedangkan cara keras adalah dengan melakukan ancaman fisik terhadap beliau.
Meskipun terjadi penolakan, ternyata hal itu tidak mampu menghentikan dakwah Rasulullah SAW karena penolakan itu pada umumnya datang dari segelintir tokoh Mekah yang merasa kewibawaan mereka tersaingi oleh kharisma Nabi Muhammad SAW. Sebagian besar masyarakat sebenarnya bersimpati dengan dakwah Nabi Muhammad SAW, namun simpati ini tidak ditunjukkan secara terbuka karena hal itu akan menempatkan mereka dalam suatu konflik terbuka dengan tokoh papan atas Mekah. Masyarakat tahu pasti bahwa Nabi Muhammad SAW adalah orang yang terkenal paling baik kepribadiannya dan ini saja sudah cukup untuk membuat mereka bersimpati, terlepas dari apapun yang beliau serukan kepada masyarakat.
Sekurangnya, ada tiga kekuatan kepribadian Nabi Muhammad SAW. yang menjadi modal dasar beliau berdakwah. Pertama, kejujuran. Jauh sebelum beliau diangkat sebagai Rasul orang-orang Mekah sudah mengenal Nabi Muhammad SAW sebagai orang yang paling terpercaya ucapannya sehingga tidak heran orang menggelarinya dengan “al-Amin.” Jika seseorang telah digelari “al-Amin” maka tidak ada lagi alasan untuk tidak mempercayai perkataannya. Besarnya kepercayaan orang kepada beliau dapat dilihat ketika beliau hendak hijrah ke Madinah. Pada saat itu beliau harus menugaskan Ali bin Abi Thalib ra. untuk mengembalikan sejumlah barang orang lain yang dititipkan kepada beliau.[8] Padahal saat itu semua pengikut Nabi Muhammad SAW, kecuali Abu Bakar dan Ali, sudah berangkat meninggalkan Mekah menuju Yatsrib (Madinah). Berarti, kemungkinan besar barang-barang titipan itu merupakan milik orang non-Islam. Hal ini menunjukkan betapa besarnya kepercayaan orang-orang Mekah kepada Nabi Muhammad SAW meskipun mereka bukan pengikut beliau.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ketika Nabi Muhammad SAW mulai berdakwah secara terbuka beliau memanggil semua suku Quraisy agar mereka berkumpul di atas bukit Shafa, lalu ia berkata, “Bagaimana jika kukabarkan bahwa di lembah ini akan ada sepasukan kuda yang mengepung kalian, apakah kalian percaya?” Ini bukan pertanyaan yang sulit untuk dijawab karena orang-orang Mekah tahu persis kejujuran Muhammad SAW sehingga tanpa ragu mereka menjawab, “Percaya! Kami tidak pernah punya pengalaman dengan engkau kecuali kejujuran.”[9] Hal ini menunjukkan besarnya kepercayaan masyarakat terhadap semua ucapan beliau.
Kedua, kebersahajaan. Beliau adalah orang yang sederhana baik sebelum maupun sesudah berhasil menguasai jazirah Arab. Beliau juga tidak pernah terlibat dalam perbuatan yang sifatnya hura-hura dan bermewah-mewahan, termasuk juga setelah beliau menikahi Khadijah ra. yang masa itu merupakan salah seorang peniaga yang berhasil. Bahkan di masa mudanya sekalipun, Nabi Muhammad SAW belum pernah ikut-ikutan dalam segala bentuk acara pesta dan hura-hura. Dalam salah satu riwayat disebutkan bahwa Nabi SAW pernah dua kali menginginkan hadir dalam suatu pesta. Namun niat itu gagal kedua-duanya, dan sejak itu beliau tidak pernah menginginkan terlibat dalam pesta semacam itu.[10] Bagaimanapun juga, termasuk di dalam masyarakat yang serba-boleh (permisif) dan suka bersenang-senang (hedonis) sekalipun, orang-orang yang terjaga dari kegiatan hura-hura akan selalu mendapat penghormatan yang tinggi dari masyarakat. Di samping itu, kebersahajaan akan memutus kemungkinan tuduhan orang-orang bahwa dakwah Nabi SAW dilakukan demi mendapat harta dan kedudukan.
Ketiga, kedermawanan. Nabi Muhammad SAW merupakan orang yang sangat dermawan sehingga riwayat tentang kedemawanan ini sangat banyak dan dengan mudah bisa kita temukan di dalam berbagai kitab sirah atau hadits. Sejak sebelum diutus sebagai Rasul, Nabi Muhammad SAW sudah terkenal sebagai orang paling dermawan meskipun beliau dalam keadaan sempit. Beliau selalu memberi jika diminta dan hal itu dilakukannya dengan senang hati. Beliau juga lebih mementingkan orang lain daripada dirinya. Bahkan ketika beliau diberi sesuatu, beliau akan membalasnya dengan yang lebih baik. Kalau beliau berhutang, beliau selalu mengembalikan lebih banyak daripada yang dipinjamnya. Kedermawanan ini dilakukan baik sebelum maupun sesudah beliau diangkat sebagai Rasul Allah SWT.[11]
Tiga kepribadian mulia ini – masih banyak kepribadian mulia Nabi SAW yang lainnya – ini merupakan beberapa kunci keberhasilan Nabi Muhammad SAW. Pada dasarnya, orang-orang yang memiliki sifat lurus (cenderung kepada kebenaran) dan akal yang sehat tidak mungkin dapat menolak seruan Nabi Muhammad SAW. Dalam bentuk pertanyaan yang sederhana : bagaimana mungkin bisa menuduh dusta ucapan dari seseorang yang terkenal paling jujur? Bagaimana mungkin menolak ajakan orang yang demikian bersahaja sehingga semua yang dilakukannya tidak pernah diniatkan untuk memperoleh harta atau kedudukan?; bagaimana bisa menentang ajakan seseorang yang paling banyak berbuat baik dan dermawan kepada orang orang lain? Dengan ketiga modal kepribadian mulia ini saja orang tidak akan bisa menolak seruan Nabi Muhammad SAW, kecuali memang di dalam dirinya terdapat dorongan untuk menolak kebenaran.
4. Dakwah sebagai Proses Pendidikan
Pada dasarnya tujuan pendidikan adalah untuk membentuk menghasilkan orang-orang baik – Ini berlaku di mana saja, baik di masyarakat muslim maupun bukan-muslim. Namun demikian, pengertian baik di sini tidaklah sama antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Konsep baik dan buruk ini sangat sangat terkait dengan pandangan-alam (worldview) masyarakat bersangkutan. Sebagai contoh, di dalam masyarakat Barat yang sekular dan hanya memiliki visi keduniawian, manusia yang baik adalah manusia berguna bagi negaranya serta taat kepada hukum yang berlaku. Dalam hal ini Islam memiliki padangan yang berbeda mengenai pengertian orang baik. Di dalam Islam tujuan pendidikan selalu bersifat religius karena manusia diciptakan untuk mengabdi kepada Allah. Al-Qur’an menjelaskan :
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”[12]
Dengan demikian jelaslah bahwa yang dimaksud dengan orang baik adalah orang yang menyadari kedudukan dirinya sebagai hamba Allah yang berkewajiban untuk beribadah kepada-Nya dan menaati segala aturan-Nya. Meskipun Islam pun mengakui bahwa setiap orang juga seyogyanya berguna bagi negara dan taat pada hukum, namun hal itu tidak boleh terlepas dari konteks ketaatannya kepada Allah.
Jika dakwah diartikan sebagai seruan kepada manusia agar beriman kepada Allah dan pada apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, berarti tujuan yang hendak dicapai dakwah adalah sama dengan tujuan pendidikan. Dengan pengertian ini berarti dakwah pada dasarnya merupakan suatu bentuk proses pendidikan juga.
[1] Michael Hart, 100 Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, (Jakarta : PT Dunia Pustaka Jaya, 1978)
[2] Ibid
[3] Abul Hasan al-Hasani al-Nadwi, Sirah Nabawiyah Sejarah Lengkap Nabi Muhammad SAW, cet ke-2, diterjemahkan oleh M. Halabi Hamdi, Istiqamah, Ali Fadli, (Yogyakarta: Mardhiyah Press, 2006), hal 25-30
[4] Ramadhan al-Buthy, Sirah Nabawiyah Analisis Ilmiah Manhajiah Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah SAW, diterjemahkan olehAunur Rafiq Shaleh Tamhid (Jakarta : Robbani Press, 1999), hal. 8-11
[5] Ibid, hal. 8-11
[6] QS. al-Qalam (68) : 51, Ash Shaaffat (37) : 37, al-Mu’minuun (23) : 70
[7] QS. Huud (11) : 7, al-Anbiyaa’ (21) : 3, Saba’ (34) : 43.
[8] Al-Hasani al-Nadwi, Sirah Nabawiyah Sejarah Lengkap Nabi Muhammad SAW, cet ke-2, diterjemahkan oleh M. Halabi Hamdi, Istiqamah, Ali Fadli, (Yogyakarta: Mardhiyah Press, 2006), hal. 185-186
[9]ibid, hal 122
[10] Ramadhan al-Buthy, Sirah Nabawiyah Analisis Ilmiah Manhajiah Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah SAW, diterjemahkan olehAunur Rafiq Shaleh Tamhid (Jakarta : Robbani Press, 1999), hal. 35
[11] Ibnul Qayyim al-Jauziyah, Mukhtasar Zaadul Maad, diterjemahkan oleh Marsuni as-Sasaky (Jakarta: Penerbit Akbar, 2008), hal 69-71
[12] QS. Adz Dzaariyat (51) : 56