Home Artikel Problematika Pendidikan Islam Kontemporer (2)

Problematika Pendidikan Islam Kontemporer (2)

1454
0

Oleh: Dr. Nirwan Syafrin Manurung (Dosen Pasca Sarjana UIKA Bogor)

Kenapa ilmu sedemikian penting dalam Islam? Karena dalam Islam, iman tanpa dasar ilmu alias taqlid dinyatakan tidak sah. Seorang yang mengaku mukmin wajib memiliki dalil, bukti atau argumentasi, meskipun itu ijmali (dalil global tidak detail), atas klaim keimanannya. Dengan demikian, kesaksian akan keesaan Allah dan Muhammad pesuruh Allah seperti yang tersimpul dalam kalimah syahadatayn bukanlah pengakuan lisan tanpa alasan, ucapan tanpa landasan; syahadah dalam perspektif Islam adalah kesaksian yang berkonotasi pada ilmu yang berdasarkan bukti.

Kamus al-Muhit menjelaskan bahwa salah satu arti syadahah adalah khabar qati’ (berita/khabar yang pasti) dan musyahadah bermakna mu’ayanah yang berarti kesaksian dengan panca indera. Pepatah Arab mengatakan bahwa wa laysa al-khabar ka al-mu’ayanah (tidaklah berita itu sama seperti kesaksian). Jadi syahadah bisa berarti bahwa seseorang itu menyaksikan objek yang disyahdahkannya seolah-olah objek tersebut hadir di depannya, disaksikannya dengan panca inderanya, atau diketahuinya dengan pengetahuan yang pasti.

Dalam bahasa Inggris, syahadah biasanya diartikan dengan testimony, testify dan witness. Longman Dictionary of Contemporary English menjelaskan bahwa salah satu dari maksud testimony adalah “a fact or situation that shows or proves something very clearly” (fakta atau situasi yang menunjukkan atau membuktikan sesuatu itu dengan jelas); testify pula dimaknai dengan “to be a clear sign that something is true” (tanda yang jelas bahwa sesuatu itu benar). Hampir semakna dengan testimony and testify, witness diartikan diartikan sebagai “someone who sees a crime or an accident and can describe what happened” (seseorang yang menyaksikan kriminlaitas atau peristiwa/kecelekaan dan dapat menjelaskan apa yang terjadi tersebut); to be witness berarti “to be present when something happens and watch it happening” (hadir ketika sesuatu terjadi dan melihat itu terjadi).

Berdasarkan makna diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa syahadah adalah pengakuan yang dibangun atas dasar ilmu yang diperoleh dari pengalaman dan panca indera. Maka seorang yang mengucapkan kalimah syahadah berarti bahwa orang tersebut benar-benar dan sungguh-sungguh menyaksikan bahwa memang tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad Pesuruh Allah. Jadi kesaksiannya atas objek yang disaksikannya bukanlah doktrin, bukan juga paksaan, apalagi sekedar tradisi yang diikuti, tapi ia adalah kesaksian dimana orang yang menyaksikan objek yang disaksikannya tersebut tidak bisa berkata selain harus mengakuinya. Dalam konteks ini Faruqi menjelaskan bahwa “iman adalah sesuatu yang terjadi kepada seseorang, dimana kebenaran atau fakta dari sebuah objek tampil di depan wajahnya dan meyakinkannya tanpa ada keraguan tentang kebenarannya. Ia bagaikan kebenaran kesimpulan geometri, dimana premis yang terdahulu mendorong seseorang untuk mengetahui tentang kebenaran konklusinya tanpa bisa menghindar.” [1] Lebih lanjut al-Faruqi menjelaskan:  

iman is truth given to the mind, not to man’s credulity. The truths, or propositions, of iman are not mysteries, stumbling blocks, unknowablw and unreasonable but critical and rational. They have been subjected to doubt dan emerged from testing confirmed and established as true. No more pleading on their behalf is necessary. Whoever acknowledges them as true is reasonable, whoever persists in denying or doubting unreasonable.[2]  

 

Karena ilmu terkait dengan iman, maka menuntut ilmu pasti erat hubungannya dengan ibadah. Sebagai ibadah, maka menuntut tidak bisa tidak harus didasarkan pada niat ikhlas yang tulus untuk mencari ridha Allah. Kemewahan dunia serta jabatan bukanlah tujuan utama dari pendidikan. Demikian juga mencari kerja bukanlah tujuan akhir dari proses panjang pendidikan.Hampir seluruh ‘ulama sepakat menempatkan niat baik sebagai syarat utama dalam mencari ilmu. Ibn Jama’ah dalam Tadhkirah al-Sami’ wa al-Mutakallim fi Adab al-‘Alim wal Muta’allim, misalnya pernah menyatakan bahwa salah satu adab seorang murid adalah memliki niat yang baik, ikhlas karena Allah swt, bukan untuk mengejar ijazah, apalagi jabatan.

الثانى: حسن النية فى طلب العلم بأن يقصد به وجه الله عز وجل و العمل به و إحياء الشريعة و تنوير قلبه وتحلية باطنه  و القرب من الله يوم لقائه.

Yang kedua: niat yang baik dalam menuntut ilmu, bahwa dia bermaksud untuk mencari ridha Allah semata, mengamalkan ilmu tersebut, menghidupkan Syari’at, menyinari hatinya, menghiasi batinnya dan dekat kepada Allah ketika bertemu.

 

Senada dengan Ibn Jama’ah, Syaikh Zarnuji dalam karyanya Ta’lim al-Muta‘allim juga menempatkannya sebagai syarat pertama untu mencari ilmu. Zarnuji mensinyalir beberapa kelompok orang yang telah berusaha sungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, akan tapi mereka gagal memperoleh apa yang mereka inginkan, mereka baahkan diharamkan mengecapi manfaat dan buah dari ilmu tersebut, yaitu mengamalkan ilmu tersebut, semuanya sebab mereka telah salah jalan dan meninggalkan syarat-syaratnya.[3]  Dan salah satu syarat terpenting yang harus dimiliki oleh seorang penuntu ilmut adalah niat baik semata-mata karena Allah.

 وبنبغى أن ينوي المتعلم بطلب العلم رضا الله تعالى و الدار الآخرة و إزالة الجهل عن نفسه و عن سائر الجهال

 و إحياء الدين و إبقاء الإسلام فإن بقاء الإسلام باالعلم.[4] (المرجع نفسه, 12)

Maksudnya: sewajarnya seorang penuntut ilmu itu berniat mencari ridha Allah, kehidupan Akhirat, menghilangkan kebodohan dari dirinya dan dari diri seluruh orang bodoh, menghidupkan agama, dan mengekalkan Islam, sesungguhnya kekalnya Islam ini bergantung pada ilmu.

 

            Sangat disayangkan niat ikhlas seperti ini nyaris hilang di tengah-tengah pendidikan kita. Murid bersekolah hanya untuk mendapatkan ijazah, sementara guru mengajar demi untuk gaji. Menurut al-Faruqi inilah sesungguhnya musibah terbesar yang di alami dunia pendidikan kita dimana para pendidiknya tidak memiliki visi Islam dan termotivasi oleh tujuannya yang mulia (The teachers in the Muslim World universities are not possessed by the vision of Islam, and are not driven by its cause is certainly the greatest calamity of Muslim education.)[5]

Kenapa Faruqi memberikan harga yang tinggi pada motivasi? Karena menurut pandangannya tidak ada pencarian ilmu yang genuine (murni) tanpa spirit (jiwa). Jiwa itulah yang menjadi driving force, penggerak dalam diri seseorang itu. Tanpa jiwa ini, sudah pasti dia tidak akan bergerak. Jiwa/spirit itu sendiri digerakkan oleh pandangannya tentang dirinya, dunia dan realitas; pandangan ini digerakkan oleh Agama; maka jiwa tadi digerakkan oleh Agamanya. Karena setiap bangsa dan peradaban memiliki jiwa dan ruhnya sendiri, maka jiwa tadi tidak bisa dijiplak.  Di Barat, lanjut Faruqi, ide nasionalisme telah menjadi inspirasi bagi universitas-universitas selama dua ratus tahun, karena filsafat Romantisisme telah menggantikan posisi Tuhan Kristen dimana “la nation” (the nation/negara) sebagai Tujuan Akhir (ultimate reality). Filsafat ini sangat bertentangan sekali dengan filsafat hidup dan pendidikan yang diajarkan Islam. Dalam pandangan Islam, tujuan akhir dari kehidupan seorang adalah Allah Swt, “Ultimate loyalty to the nation-state, is therefore, not only impossible to him; it is blasphemous.” (Kesetian sejati kepada negara-bangsa bukan hanya mustahil baginya (seorang Muslim), tapi juga dianggap sebagai bentuk kemurtadan) Inilah sesungguhnya poin penting yang membedakan sistem pendidikan Islam dengan Barat. Berbeda dengan Barat yang bertujuan hanya sekedar untuk menciptakan abdi negara yang baik (good citizen), tujuan pendidikan Islam adalah “the recognition of the proper places of things in the order of creation, such that it leads to the recognition of the proper place of God in the order of being and existence.”[6] (Mengetahui tempat yang tepat dari sesuatu dalam susunan ciptaanNya yang dapat menggiringnya pada pengakuan akan posisi yang tepat bagi Allah dalam susunan makhluk dan wujud). Jadi ilmu pada prinsipnya adalah untuk mengenal Allah. Dan pendidikan, menurut al-Attas dengan demikian bertujuan menghasilkan manusia yang baik (to produce a good man) bukan a good citizen. Karena dia yakin a good man akan otomatis menjadi a good citizen, tapi tidak sebaliknya, seorang good citizen belum tentu good citizen.[7]

Kita bisa saja menjiplak gedung, perkantoran, perpustakaan, ruang laboratory, ruang kelas dan lain-lain yang dimiliki Barat. Akan tetapi tidak bisa menjiplak jiwa dan pandangan hidupnya. Itulah sebabnya kenapa meskipun sudah dua ratus tahun sistem pendidikan di dunia Islam di baratkan dan disekulerkan, umat Islam masih gagal melahirkan sesuatu yang berarti yang bisa menandingi Barat baik dalam kreativitasnya maupun keunggulannya.[8]

            

 

PENDIDIKAN DI TENGAH ARUS PERANG PEMIKIRAN

Sejak peristiwa 11 September 2001, dunia Islam dihadapkan pada situasi yang cukup sulit. Sejak itu perang melawan terorisme dikumandangkan. Sayangnya istilah terorisme itu sendiri belum begitu jelas. Maka siapapun bisa di anggap teroris sesuai dengan kepentingan.

Hampir seluruh penganalisa dan political establishment Barat sepakat bahwa perang melawan terorisme pada esensinya adalah perang ideologi, gagasan, dan pemikiran (war of ideas atau battle of ideas). U.S. National Strategy for Combating Terrorism (September 2006) menyatakan bahwa “In the long run, winning the War on Terror means winning the battle of ideas.” (Dalam jangka panjang, menang dalam perang melawan Teror berarti menang dalam pertarungan ide) U.S. National Strategy for Homeland Security (October 2007) mengafirmasi pernyataan ini dengan mengatakan “the War on Terror is a different kind of war—not only a battle of arms but also a battle of ideas.” (Perang melawan terror merupakan bentuk lain dari peperangan – bukan sekedar perang bersenjata tapi juga perang ide).[9] Angel Rabasa dkk dalam laporan penelitian mereka yang terangkum dalam Building Moderate Muslim Network juga mempertegas hal tersebut di atas dengan berkata “The struggle underway throughout much of the Muslim world is essentially a war of ideas. Its outcome will determine the future direction of the Muslim world… It profoundly affects the security of the West.”[10] (Pertarungan yang sedang berlangsung di kebanyakan negara Muslim pada esensisnya adalah perang ide. Hasilnya akan menentukan masa depan dunia Islam … hal itu sangat mempengaruhi keamanan Barat). Sebenarnya tidak ada yang baru dari pernyataan di atas. Naquib al-Attas dalam karyanya Islam and Secularism menyatakan bahwa pertarungan antara Islam dan Barat adalah pertarungan abadi mengingat perbedaan worldview kedua peradaban tersebut yang begitu significant yang hampir mustahil untuk dipertemukan.

            Ide dan pemikiran bersifat fluid (cair). Ia mengalir bagaikan air. Sebuah ide tidak bisa dipaksakan dengan kekuatan fisik, tapi haruslah dengan argumentasi. John Dewey, seorang ahli falsafah pendidikan terkenal, pernah mengungkapkan “All reform which rest simply upon the enactment of law. Or the threatening of certain penalties, or upon changes in mechanical or outward arrangements, are transitory and futile.” (Seluruh upaya pembaharuan yang hanya bergantung pada penerapan hukum, atau ancaman hukuman, atau sekedar perubahan pada susunan mekanis dan luaran semata, hanya sebuah transisi dan akan gagal) dan jalan terbaik untuk menyebarkan ide adalah melalui pendidikan.

Para penguasa di Barat sadar betul akan hal ini sehingga mereka tidak ragu untuk melakukan investasi besar-besaran dalam bidang ini dengan menggelontorkan miliaran dolar di berbagai belahan negara, terutama di dunia Islam, guna untuk mencapai tujuan ini. Dalam penelitian mereka, Angel Rabasa dkk sampai pada kesimpulan bahwa institusi pendidikan Islam yang berkembang di Asia Tenggara bisa dijadikan “pusat/markas” dalam perang pemikiran. “Southeast Asia has an extraordinarily large and well-developed structure of Islamic educational institutions that can be a resource of critical importance in the ongoing war of ideas within the Muslim world, as well as in the effort to build moderate Muslim networks proposed in this study.[11] (Asia Tenggara memiliki institusi pendidikan Islam yang sangat besar dan terstruktur dengan rapih yang bisa dijadikan sebagai sumber yang sangat penting dalan perang ide yang sedang berlangsung di dunia Muslim, juga sebagai upaya membangun jaringan Muslim moderat seperti yang di ajukan di dalam kajian ini) Atas dasar itu, mereka lantas menyarankan agar pendanaan program yang dijalankan oleh kelompok sekuler dan moderat ini diberikan prioritas dan perhatian yang cukup. “Funding for education and cultural programs run by secular or moderate Muslim organizations should be a priority, to counter the influence of radical Islamic religious schools and institutions.”[12] Sepertinya saran tersebut di dengar. Maka belakangan ini begitu banyak dana yang digelontorkan untuk membantu bidang pendidikan. Beasiswa disediakan, cabang universitas tersebut di didirikan di negara-negara yang dijadikan target. Semua bertujuan untuk membantu mereka memenangkan perang melawan musuh yang mereka sebut terorisme tersebut.

Dalam perang ini, dunia pesantren akhir-akhir ini telah menjadi sorotan tajam mengingat beberapa yang terlibat dalam gerakan yang mereka sebut sebagai terorisme merupakan alumni pesantren. Mereka menduga bahwa pesantren adalah sarang dimana benih-benih terorisme dipupuk baik. Jadi untuk menghapuskan terorisme, maka benih tersebut harus segera dipangkas. Itu berarti pesantren harus melakukan tranformasi dan perubahan baik sistem maupun muatan pendidikannya. Untuk tujuan ini, para kiyai dan guru-guru di pesantrenpun didatangi, diberikan wejangan-wejangan keIslaman baru yang dianggap lebih ramah, inklusif dan pluralis. Islam  model ini biasanya disebut dengan Islam Liberal. Islam model ini mendapat dukungan kuat oleh beberapa institusi yang berkepentingan. Dana dikucurkan, programpun digulirkan, agar supaya pesantren merubah wajahnya dan jati dirinya. Meski sedemikian intens, masih banyak pesantren serta kiyai yang bertahan dalam keislaman yang mereka warisi sejak dari Rasulullah. Pun begitu, tidak sedikit juga yang terjebak dalam lingkaran “liberalism.”

Pada 21 Mei 2010, Republika Online memberitakan seorang ulama di Surabaya terlibat memfasilitasi pernikahan dua perempuan alias lesbianism.[13] Sebelumnya umat Islam Indonesia juga pernah dihebohkan dengan pandangan seorang figur pesantren yang merekomendasikan perubahan waktu pelaksaan ibadah haji dari ayyam al-tashriq pada bulan Dzul Hijjah kepada waktu lain yang dianggap tidak terlalu sesak;[14] pernah juga segelintir tokoh pesantren dan cendekiawan Muslim mendukung shalat dengan dwi bahasa (Arab-Indonesia) dan juga perempuan jadi khatib dan imam shalat Jum’at.[15] Masalah lain termasuk gugatan beberapa cendekiawan Muslim terhadap otentisitas (keaslian) al-Qur’an, hukum waris Islam, hukum nikah perempuan, serta ajakan untuk meyakini semua agama sama-sama benar dan semuanya bisa menggiring manusia ke dalam surga. Masih banyak pandangan-pandangan liberal nyeleneh lain yang belakangan ini mulai merebak dan menyeruak menjangkiti ‘aqidah umat Islam. Dalam upanya merespon perkembangan ini, Majlis Ulama Indonesia dalam Munasnya tahun 2005 akhirnya sepakat mengeluarkan fatwa haram terhadap ajaran tersebut.

Demikian beberapa problema pendidikan yang dialami oleh dunia Islam saat ini. Diharapkan dengan identifikasi problema ini, akan muncul tulisan-tulisan lain yang memberikan jawaban kenapa persoalan yang sedang kita hadapi.

            Masalah yang terjadi dalam pendidikan di Indonesia perlu dipecahkan dengan kerjasama sinergis pihak-pihak yang terkait. Kaum cendekiawan/ulama, orang tua, guru dan pemerintah mesti serius menangani problematika mendasar masyarakat ini. Bila tidak, maka generasi lemah akan terus lahir dan mewarnai negeri ini sehingga negeri ini tidak bisa mencapai baldatun thayyibatun warabbun ghafur.*

 

Daftar Pustaka:

Abu Sulaymān, Abdul Hāmid, 1993. Towards an Islamic heory of International Relations, Herndon, Virginia: International Institute of Islamic Thought.

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, 1993. Islam and Secularism, Kuala Lumpur, International Institute of Islamic Thought and Civilization.

Al-Faruqi, Isma’il Raji, 1995. Al-Tawhid: Its Implications for Thought and Life, Herndon, Virginia: International Institute of Islamic Thought

Al-Faruqi, Isma’il Raji, 1402/1982. Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan, Virginia, Herndon, International Institute of Islamic Thought.

Makdisi, George Makdisi, 1981. The Rise of Colleges Institutions of Learning in Islam and the West, Edinburgh,  Edinburgh University Press.

Rosenthal, Franz, 2007, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam, Leiden and Boston, E. J. Brill.

Rabasa dkk, Angel M., 2004. The Muslim World After 9/11, Santa Monica, CA, RAND Corporation.

Shifa al-Attas (ed.), Sharifah, 1996.  Islam and the Challenge of Modernity, Kuala Lumpur, International Institute of Islamic Thought and Civilization.

 

Jurnal:

 

Abdel Wahhab Al Messiri, “The Secularization of the Social Sciences: Perspectives from the Islamization of Knowledge,” dalam Mona M. Abul-Fadl (ed.), Proceedings Twenty First Annual Conference (Virginia: IIIT), 4.

Antulio J. Echevarria II, Wars of Ideas and The War of Ideas, (US, June 2008), 1.

Mohamad Abdalla, “Ibn Khaldun On The Fate of Islamic Science After the 11th Century,” Islam & Science, vol. 5, No. 1 (Summer 2007), 61-70. 

Sobhi Mahmassani, “Muslims: Decadence and Renaissance,” The Muslim World, Vol. XLIV, No. 3 and 4, July and October 1954, 185-201;

Taha  Jabir al-‘Alwani, “Taqlid and The Stagnation of the Muslim Mind,” The American Journal of Islamic Social Sciences, vol. 8, No. 3, 1991: 513-524; idem, “The Crisis in Fiqh and The Methodology of Ijtihad,” The American Journal of Islamic Social Sciences, Vol. 8, No. 2, 1991: 317-337.

Wael B. Hallaq, “Was the gate of Ijtihad closed,” The International Journal of Middle East Studies, No. 8 (1984), 3-43.

 

 

Internet:

 

http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nusantara/10/05/26/117186-astaghfirullahada-kabar-pasangan-lesbian-menikah-secara-islam

Masdar F. Mas’udi, “Meninjau Ulang Waktu Pelaksanaan Haji,”

http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=480.

Wawancara K.H. Hussein Muhammad dan Nur Rofi’ah, “Perempuan Boleh Mengimami Laki-Laki”, 04/04/2005, http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=793.


[1] Isma’il Raji al-Faruqi, al-Tawhid: Its Implications for Thought and Life (Herndon, Virginia: International Institute of Islamic Thought, 1995), 41.

[2] Ibid., 41.

[3] Syaikh Zamuji, Ta’lim al-Muta’allim beserta terjemah, penterjemah: Abdul Kadir Aljufri (Surabaya: Mutiara Ilmu Surabaya, 1.

”فلما رأيت كثيرا من طلاب العلم فى زماننا يجدَون إلى العلم و لايصلون. ومن منافعه و ثمراته و هى العمل به و النشر يحرمون، لما أنهم أخطوا طريقه و تركوا شرائطه.

[4] Ibid., 12.

[5] al-Faruqi, Islamization of Knowledge,8.

[6] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Concept of Educationn (Kuala Lumpur: ISTAC, 1999), 19.

[7] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur, ISTAC, 1993), 150.

[8] Faruqi, “Islamization of Knowledge: Problems, Principles and Perspectives,” dalam Islam: Source and Purpose of Knowledge (Herdon: IIIT, 1981), 22-23

[9] Antulio J. Echevarria II, Wars of Ideas and The War of Ideas, (US, June 2008), 1.

[10]  (Santa Monica: RAND Corporation, 2007), iii.

[11]  Ibid., 109.

[12] Angel M. Rabasa dkk, The Muslim World After 9/11 (Santa Monica, CA: RAND Corporation, 2004), 409. Sederhananya Sekulerisme biasanya diartikan sebagai pemisahan institusi agama dari institusi negara. Tapi bagi Abdel Wahhab Al Messiri sekulerisme lebih dari itu ia juga berkonotasi pada pemisahan total kehidupan dunia dari segala bentuk nilai, baik itu nilai agama ataupun nilai manusiawi. Singkatnya sekulerisme dalam konsepsi ini sama dengan ateisme. (Secularism or secularizing process is a process of separation, not of religion and state, but of values and the world: the world here being both man and nature; values here are not necessarily religious, or even moral, but actually, they are also human values, any values for that matter.) Abdel Wahhab Al Messiri, “The Secularization of the Social Sciences: Perspectives from the Islamization of Knowledge,” dalam Mona M. Abul-Fadl (ed.), Proceedings Twenty First Annual Conference (Virginia: IIIT), 4.

Moderatisme biasanya diartikan dengan wasatiyyah. Al-Qurtubi menjelaskan yang di maksud dengan al-wasat adalah al-‘adl, lawan kata al-ghuluw (berlebihan) dan al-taqsir (kurang dari yang seharusnya). al-wasat dengan demikian berarti berada di posisi tengah. Gambaran ini terangkum dalam Hadits Rasul yang berbunyi “khayrul umur awsatuha” (sebaik-baik urusan adalah pertengahan). Para ‘ulama klasik biasanya menggunakan istilah inshaf, I’tidal, atau iqtishad untuk menjelaskan posisi ini. Imam al-Ghazali menggunakan istilah terakhir untuk judul bukunya dalam Ilm Kalam (teologi), al-Iqtishad fil I’tiqad. Sayang istilah ini belakangan ini telah disabotase. Wasatiyyah cenderung di artikan liberal, yaitu yang mengusung konsep kesetaraan gender, kebebasan individu, menghormati hak minoritas non-Muslim, mendukung sistem demokrasi serta menolak konsep negara Islam atau aplikasi Syari’ah Islam melalui jalur formal (negara).

[13] http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nusantara/10/05/26/117186-astaghfirullahada-kabar-pasangan-lesbian-menikah-secara-islam

[14] Masdar F. Mas’udi, “Meninjau Ulang Waktu Pelaksanaan Haji,”

http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=480.

[15] lihat wawancara K.H. Hussein Muhammad dan Nur Rofi’ah, “Perempuan Boleh Mengimami Laki-Laki”, 04/04/2005, http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=793.

Leave a Reply