Home Artikel Dakwah Nabi Muhammad SAW: Suatu Konsep Pendidikan (2)

Dakwah Nabi Muhammad SAW: Suatu Konsep Pendidikan (2)

2211
0

 Oleh: Wendi Zarman (Dosen Unikom Bandung)

1.            Konsep Dakwah Nabi Muhammad SAW

1.1.          Mendahulukan Keyakinan Sebelum Perintah dan Larangan

Imam al-Ghazali menyebutkan dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin bahwa ilmu yang fardhu ‘ain – ilmu yang wajib bagi setiap muslim sehingga ia terhindar dari berbuat dosa kepada Allah – itu ada dua jenis. Yang pertama adalah ilmu mukasyafah, yaitu ilmu yang wajib diketahui saja. Yang kedua adalah ilmu mua’amalah, yaitu ilmu yang wajib diketahui dan diamalkan. Menurut al-Ghazali ilmu mukasyafah ini terlalu rumit tapi bisa dicapai dengan mengamalkan ilmu mu’amalah. Jadi, dari kedua ilmu ini hanya ilmu mu’amalah saja yang bisa dipraktikkan. [1]

Ilmu mu’amalah mencakup tiga hal. Pertama, segala hal yang terkait dengan keyakinan (i’tiqad). Kedua, segala hal yang harus dilakukan (perintah), dan ketiga, segala sesuatu yang harus ditinggalkan (larangan).[2] Ketiga hal ini adalah inti dari ajaran Nabi Muhammad SAW. Meskipun al-Qur’an dan Sunnah tidak semuanya berbicara tentang aqidah, perintah, atau larangan secara langsung, namun secara tersirat selalu ada kaitannya dengan ketiga hal ini. Misalnya, ketika al-Qur’an membahas tentang alam semesta, maka secara tersirat maupun tersurat al Qur’an menjelaskan tentang keyakinan kepada Allah SWT sebagai satu-satunya pemilik dan pemelihara alam semesta. Demikian juga ketika al-Qur’an berbicara tentang kisah-kisah orang yang dimurkai Allah, terdapat larangan untuk tidak mengulangi perbuatan orang-orang tersebut.

Dari ketiganya, keyakinan adalah ilmu yang paling awal dan paling penting sebab keyakinanlah yang mendorong seseorang melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan. Itu sebabnya sebelum seseorang terikat dengan syariat Islam ia harus memulainya dengan mendeklarasikan keyakinannya (syahadat). Tanpa keyakinan, berarti tidak ada kewajiban melaksanakan perintah atau meninggalkan larangan.

Nabi Muhammad SAW – yang selalu mendapat bimbingan Allah SWT dalam menjalankan tugas dakwahnya – menyadari betul bahwa kunci perubahan terletak pada kekokohan keyakinan. Tanpa keyakinan orang akan bimbang dan hidup tanpa arah sehingga setiap langkahnya selalu diliputi keraguan. Dengan kata lain, keyakinan inilah yang menjadi kekuatan setiap amal dan tidak ada amal yang sempurna kecuali berangkat dari keyakinan yang sempurna. Itu sebabnya di masa permulaan dakwah, Nabi SAW secara terus menerus membina aqidah umat Islam. Hal ini bersesuaian dengan tema ayat-ayat Makiyyah yang diturunkan pada fase pertama dakwah, yaitu saat umat Islam belum melakukan hijrah ke Madinah, dimana kebanyakan ayat-ayat yang turun itu merupakan ayat-ayat tentang aqidah atau tauhid yang membahas tentang kewajiban hanya beribadah kepada Allah, bukti tentang kebenaran risalah Nabi Muhammad SAW, hari pembalasan, surga, dan neraka. Sedangkan pada fase kedua, yaitu sesudah hijrah, ayat-ayat Qur’an cenderung lebih banyak membahas tentang kewajiban dan larangan seperti masalah ibadah, muamalah, keluarga, warisan, jihad, dan lain-lain. [3]

1.2.          Ilmu Yang Kokoh

Pada dasarnya agama Islam adalah agama yang berdiri di atas hujjah ilmu, bukan suatu dogma yang tanpa dasar. Terdapat banyak sekali ayat Qur’an tentang keutamaan ilmu dan orang-orang yang berilmu, demikian juga di dalam hadits Nabi dan atsar (pendapat sahabat). Para ulama sepakat bahwa menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Hal ini bukanlah sesuatu yang berlebihan, karena Allah telah memberikan perlengkapan yang dibutuhkan manusia untuk bisa mengenal kebenaran seperti penglihatan, pendengaran, akal, dan hati, sehingga manusia tidak punya alasan kalau sampai dirinya tersesat. Penyebab ketersesatan bukanlah karena tidak bisa mengenali kebenaran tetapi lebih karena tidak mau atau malas menggunakan faslitas yang Allah berikan tersebut. Itulah sebabnya banyak sekali al-Qur’an menyindir orang-orang yang malas berpikir dengan ungkapan seperti “apakah kamu tidak memikirkannya?” atau “apakah kamu tidak menggunakan akal?” Bahkan, al-Qur’an mencela sikap ikut-ikutan atau mengerjakan sesuatu yang tanpa dasar pengetahuan yang kuat.

 

 “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”[4]

Ketika Nabi Muhammad SAW berdakwah beliau tidak hanya meminta orang-orang mengikuti beliau, tetapi juga menyodorkan bukti dan argumentasi mengapa mereka harus mengikuti seruan beliau. Beliau tidak ingin pendengarnya pasif, menerima begitu saja apa yang beliau katakan, tetapi juga meminta mereka memikirkannya baik-baik. Di dalam al Qur’an juga disebutkan bahwa tidak ada paksaan dalam agama.[5] Ini berarti bahwa keislaman seseorang harus dilakukan dengan kesadaran bukan karena paksaan atau iming-iming tertentu (harta, kedudukan, wanita, dll). Satu-satunya jalan sampai pada kesadaran adalah dengan ilmu, karena dengan ilmulah manusia bisa menangkap makna dari semua tanda-tanda kebesaran Allah.[6]

Jika Nabi Muhammad SAW sendiri mengajarkan bahwa manusia tidak dipaksa masuk Islam kecuali jika dilakukan dengan kesadaran, sedangkan untuk memperoleh kesadaran harus dengan ilmu, maka ajakan Nabi Muhammad SAW agar orang-orang mengikuti seruannya pastilah berlandaskan pada ilmu. Para sahabat mengikuti Nabi Muhammad SAW bukan karena mengharap keuntungan duniawi tetapi karena mengetahui kebenaran dan kebenaran itu tertanam ke dalam hati mereka. Mereka tahu bahwa yang mereka perjuangkan itu jauh lebih berharga dari perbendaharaan dunia manapun, sehingga mereka tidak pernah bisa diiming-imingi dengan harta atau kedudukan. Cyrus, seorang pejabat dalam pemerintahan Heraklius di Bizantium berusaha menyogok tentara Muslim pimpinan Amr bin Ash ketika terkepung di Babilonia (640 M). Ia mengirim utusan untuk bernegosiasi dengan pasukan Muslim. Ibn Abdul Hakam menuliskan kesan utusan Cyrus saat menyaksikan keadaan pasukan Muslim :

“Kita melihat orang-orang yang lebih menyukai kematian ketimbang kehidupan, sangat bersahaja dan sama sekali tidak tertarik dengan kehidupan dunia. Mereka duduk di atas tanah, dan makan dengan bertelekan. Mereka duduk di atas tanah dengan bertelekan. Pemimpin mereka tidak ada bedanya dengan lainnya; orang rendahan tidak bisa dibedakan dengan petinggi; begitu juga antara tuan dan budaknya. Dan ketika tiba waktu shalat, tidak seorangpun mangkir, semua membasuh ujung-ujung tubuhnya dan melaksanakan shalat dengan khidmat.” [7]

1.3.          Aktif Mendatangi Masyarakat

Setelah Nabi Muhammad SAW diangkat sebagai rasul – setelah turunnya wahyu pertama – Nabi Muhammad SAW tidak hanya diam di rumahnya, menunggu orang-orang datang mendengar nasihatnya. Beliau bukanlah seperti seorang pertapa yang berdiam diri di dalam gua atau puncak bukit mencari ketenangan batin atau ilham pencerahan. Meskipun beliau pernah mengalami fase menyendiri di gua Hira, proses itu tidaklah berlangsung selamanya. Begitu sampai ilmu (wahyu)[8], beliau meninggalkan aktivitas menyendiri di gua Hira kemudian pergi keluar menyampaikan kebenaran.

Islam adalah agama dakwah, yang artinya senantiasa aktif menyeru manusia agar mengikuti jalan yang lurus sesuai yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Masyarakat yang bodoh (jahil) seringkali tidak mengerti mengapa mereka harus belajar dan mengubah keyakinan yang selama ini mereka pegang. Kebodohan membuat mereka tidak menyadari betapa pentingnya ilmu. Itu sebabnya orang bodoh sulit keluar dari lingkaran kebodohan kecuali jika dibantu oleh kehadiran orang-orang yang secara intensif menasihati dan mengajarkan mereka tentang kebenaran. Itulah gunanya Allah menurunkan para nabi agar manusia mendapat peringatan tentang jalan yang benar dan yang salah. Disamping itu keaktifan seorang da‘i  juga akan membantu menyempurnakan informasi yang kurang, sehingga dapat mengokohkan pendirian mereka yang masih ragu, menambah semangat bagi yang malas, serta membentengi diri dari suara-suara yang bertentangan dengan kebenaran. Inilah makna penting dari firman Allah :

 “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”[9]

Oleh karena itu seorang da‘i  hendaknya aktif mendatangi masyarakat sebagaimana telah dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Beliau mendatangi dan mendakwahi setiap kabilah tanpa terkecuali. Beliau juga mengunjungi tempat-tempat keramaian seperti di bukit Shafa atau di sekitaran Ka’bah. Musim Haji merupakan waktu yang ditunggu-tunggu karena pada waktu ini banyak peziarah yang datang mengunjungi Mekah untuk menunaikan Haji. Beliau juga ada kalanya keluar kota mengunjungi tempat lain untuk seperti Thaif untuk berdakwah. Terkadang juga beliau tidak mengunjungi langsung, tetapi meminta sahabat untuk menggantikan beliau seperti Mush’ab bin Umair yang beliau utus ke Yatsrib untuk mengajar penduduk kota tersebut. Setiap kali berkumpul dengan sahabat beliau selalu menjadikan kesempatan itu untuk menyampaikan nasihat. Pendeknya, dalam setiap kesempatan dan tempat beliau terus senantiasa mengingatkan manusia tentang kebenaran dan mengajar mereka ilmu pengetahuan.

2.            Penutup

Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa dakwah merupakan suatu proses mendidik masyarakat agar menjadi masyarakat yang baik, yaitu masyarakat yang senantiasa taat kepada perintah Tuhannya dan merefleksikan ketaatan tersebut dalam kehidupannya. Belajar dari perjalanan dakwah Rasulullah SAW, umat Islam dapat mengambil pelajaran bagaimana suatu proses dakwah seharusnya dilaksanakan. Pertama, para guru atau dai hendaknya merupakan orang-orang yang terbaik akhlaqnya karena manusia pada umumnya lebih mudah bersimpati dengan orang-orang yang suka berbuat baik kepada orang lain. Simpati ini akan memudahkan penerimaan masyarakat terhadap seruan dakwah. Kedua, keyakinan merupakan unsur paling penting dalam suatu proses pendidikan masyarakat karena dengan keyakinan yang kuat seseorang dapat bersabar terhadap berbagai kesulitan hidup. Oleh karena itu para da’i hendaknya terlebih dahulu memberikan perhatian kepada mengokohkan keyakinan sebelum mengimplementasikan keyakinan tersebut dalam bentuk perintah dan larangan.

Ketiga, dakwah sebagai proses pendidikan harus berlandaskan ilmu yang kuat karena keyakinan akan kuat jika berlandaskan pada hujjah yang kuat juga. Hal ini sejalan dengan prinsip Islam yang mewajibkan setiap perbuatan harus berlandaskan ilmu karena setiap perbuatan harus dipertanggungjawabkan nanti di hadapan mahkamah Allah SWT. Selain itu tanpa ilmu yang kuat keyakinan hanya akan menjadi dogma yang sangat mudah tergerus oleh berbagai kesulitan atau godaan kehidupan. Keempat, para da‘i  harus aktif mendatangi masyarakat karena masyarakat harus disadarkan dan diberitahu tentang kebenaran. Masyarakat yang bodoh cenderung sulit mencapai kebenaran kecuali kebenaran tersebut dihadirkan ke hadapan mereka.

Demikianlah beliau mencontohkan cara mendidik manusia dan teladan inilah yang patut diikuti oleh umat Islam, khususnya bagi para da‘i  yang mendapat amanah mendidik umat. Pada dasarnya keberhasilan dakwah Nabi Muhammad SAW adalah keberhasilan yang manusiawi meskipun di dalamnya terdapat unsur-unsur kemukjizatan yang berada diluar jangkauan nalar dan kebiasaan manusia. Artinya, bahwa kaum Muslim yang mewarisi dan meneladani ajaran-ajaran beliau akan dapat, dengan izin Allah, mencapai keberhasilan yang serupa jika mau belajar dari cara beliau berdakwah, meskipun tingkat keberhasilan tersebut tidak akan mampu menyamai keberhasilan beliau karena beliau SAW diberi keistimewaan oleh Allah sebagai nabi yang selalu dibimbing oleh wahyu Allah.

Wallahu a’lam bi ash-shawab.*  

 

Daftar Pustaka

Al Qur’an al-Karim

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, 2007. Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam, Pulau Pinang, Penerbit Universiti Sains Malaysia.

Al-Buthy, Ramadhan, 1999. Sirah Nabawiyah Analisis Ilmiah Manhajiah Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah SAW, Terj. Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, Jakarta, Robbani Press.

Al-Ghazali, 2003. Ihya ‘Ulumuddin, Jilid 1, Terj. Moh. Zuhri, Muqoffin Muctar, Muqorrobin Misbah,  Semarang, Penerbit Asy Syifa.

Al-Jauziyah, Ibnul Qayyim, 2008. Mukhtasar Zaadul Maad, Terj. Marsuni as-Sasaky, Jakarta, Penerbit Akbar.

Al-Nadwi, Abul Hasan al-Hasani, 2006. Sirah Nabawiyah Sejarah Lengkap Nabi Muhammad SAW,  Terj. M. Halabi Hamdi, Istiqamah, Ali Fadli, Yogyakarta, Mardhiyah Press.

Al-Qattan, Manna’ Khalil, 2007. Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, Terj. Mudzakir AS, Jakarta, Pustaka Litera AntarNusa.

Hart, Michael, 1978. 100 Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, Jakarta, PT Dunia Pustaka Jaya.

Hitti, Philip K,. 2006. History of the Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, Jakarta, Penerbit Serambi.


[1] Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin, Jilid 1, diterjemahkan oleh Moh. Zuhri, Muqoffin Muctar, Muqorrobin Misbah (Semarang : Penerbit Asy Syifa, 2003), hal 6-7

[2] Ibid, hal 46-52

[3] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, cetakan ke-10, diterjemahkan oleh Mudzakir AS., (Jakarta : Pustaka Litera AntarNusa, 2007), hal 86-88

[4] QS. al-Israa’ (17) : 36

[5] QS. al-Baqarah (2) : 256

[6] SMN al-Attas mendefinisikan ilmu sebagai sampainya makna pada jiwa atau  sampainya jiwa kepada makna. Lihat, S.M.N. al-Attas, Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam, (Pulau Pinang, Penerbit Universiti Sains Malaysia, 2007), hal. 39

[7] Philip K. Hitti, History of the Arabs, diterjemahkan oleh R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta: Penerbit Serambi,2006), hal. 202

[8] QS. al ‘Alaq (96) : 1-5

[9] QS. al-‘Ashr (103) : 1-3

Leave a Reply