Home Lentera Islam Metodologi Studi Islam

Metodologi Studi Islam

6029
0

Metodologi Studi Islam

Metodologi pengkajian Islam adalah pendekatan (approach) atau kerangka kerja (framework) dalam memahami atau mengkaji Islam. Metodologi pengkajian bukan hanya metode pengajaran (tariqat al-tadris atau tariqat al-ta’lim) atau cara penyampaian suatu materi atau sobyek agar dapat dipahami murid atau mahasiswa. Metodologi lebih tepat dipahami sebagai manhaj al-fikri atau manhaj al-dirasah yang tercermin di dalam struktur silabus dan kandungan masing-masing mata kuliah.

Pada sekitar separoh kedua abad 20 metodologi pengkajian Islam mengalami pergeseran yang cukup penting. Hal ini disebabkan oleh suatu kenyataan bahwa Islam dikaji oleh Muslim dan juga oleh non-Muslim.

Kajian yang dilakukan oleh non-Muslim, khususnya oleh orientalis, sedikit banyak dipengaruhi secara sosiologis oleh cara pandang dan pengalaman manusia Barat dan secara saintifik oleh perkembangan metodologi penelitian atau penyelidikan dalam ilmu-ilmu sosial di Barat.

Metodologi orientalis ini secara perlahan-lahan mempengaruhi metodologi pengkajian Islam di perguruan tinggi. Hal ini karena timbulnya kecenderungan di kalangan cendekiawan Muslim belajar kepada orientalis di Barat atau membanjirnya buku orientalis sebagai alternatif bacaan cendekiawan Muslim. Dalam situasi seperti ini pengkajian Islam dengan pendekatan tradisional telah tercampur, kalau tidak disaingi, oleh pendekatan orientalis.

Tapi yang pasti kajian orientalis itu berbeda dengan kajian para ulama dalam tradisi intelektual Islam. Kajian orientalis tidak berdasarkan keimanan (faith-based) sehingga tidak selalu dapat bersikap adil.

Artinya ketika mengkaji Islam mereka tidak dapat memahami dan meletakkan suatu konsep dalam tradisi intelektual Islam sebagai bagian dari struktur konsep yang tercermin dalam pandangan hidup Islam. Konsep ilmu yang dalam Islam berdimensi iman dan amal, misalnya, dipahami hanya sebagai ilmu dan diperoleh hanya dengan rasio.

Karena kehilangan dimensi iman maka ilmu tidak lagi berguna dan berkaitan dengan taqarrub kepada Allah. Karena konsep ilmu tidak diletakkan sebagai bagian dari struktur konseptual Islam, maka ilmu tidak lagi berhubungan dengan amal.

Demikianlah, kerancuan-kerancuan itu begitu banyak dan saling berkaitan. sehingga pembuktiannya memerlukan kajian konseptual yang panjang. Bagi yang tidak membaca secara kritis, kajian orientalis akan nampak rasional dan obyektif serta sejalan dengan tuntutan keilmuan kontemporer, tapi secara konseptual mengandung kerancuan-kerancuan.

Oleh sebab itu sedalam apapun ilmu yang dituntut dengan pendekatan ini tidak akan mencapai keimanan dan tidak mempengaruhi kualitas pengalaman keagamaan seseorang. Apalagi, cara pandang orientalis itu sendiri sudah tentu diwarnai oleh bias-bias kultural, politik (Lihat Edward Said, Orientalism, Vintage, New York, 1979, 1-3,5) tradisi dan kepercayaan (lihat Asaf Hussain et al,  Orientalism, Islam, and Islamists, Vermont, Amana Books, 1984, hlm. 15) yang merupakan pandangan hidup (worldview) mereka.

Dengan pandangan hidup Barat yang terkenal dengan doktrin dualisme, dikotomis dan sekulerisme itu maka pandangan orientalis terhadap Islam bersifat parsial. Kajian-kajian dalam bidang Syari’at tidak berkaitan dengan Akidah, kajian akidah tidak dikaitkan dengan akhlaq.

Demikian pula kajian filsafat, politik, ekonomi, kebudayaan dan sebagainya terlepas dari kajian terhadap konsep-konsep seminal dalam al-Qur’an. Demikian pula kajian al-Qur’an tidak berdasarkan pada ilmu metodologi tafsir, tapi justru menggunakan metodologi Bibel.

Akhirnya, wajah pengkajian Islam berubah menjadi dua atau dalam perspektif yang serba dualistis: normatif atau historis, tekstual atau kontekstual, literal atau liberal dan sebagainya. Hal ini tercermin dari pernyataan Charles J. Adams dibawah ini:

…in contrast to the strong, indeed almost exclusive, textual and philological orientation of traditional Islamic studies, we have in this volume papers that deal, for example, with such subjects as Islamic worship, popular religious practice and the many-faceted significance of Qur’anic recitation in the daily lives of pious Muslim. The emphasis falls upon an exposition of Islam as it is experienced and lived by members of community.

Although the ideal forms of a normative Islam are not lost to sight, the recognition is brought to bear that the reality of religion has its locus in the experience of the devotee and that scholars must, above all else, subject themselves to that experience. (Richard C. Martin (ed), Approach To Islam In Religious Studies, Oneworld, Oxford, 2001, viii-ix

Kutipan diatas menunjukkan suatu asumsi akan adanya jenis-jenis pendekatan terhadap Islam. Pendekatan bersifat tekstual dan ekslusif (traditional Islamic studies), pendekatan sosiologis (Islam as it is experienced and lived) dan pendekatan Islam normatif (ideal form of a normative Islam).

Pendekatan seperti itu sah-sah saja asalkan merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan. Masalahnya, dengan pendekatan seperti itu akan muncul Islam yang diamalkan dan Islam yang diajarkan, atau dengan kata lain Islam akan terbagi-bagi menjadi Islam historis dan Islam normatif, Islam sebagai agama dan Islam sebagai pemikiran keagamaan, yang pertama absolute yang kedua relatif.

Akibat pendekatan seperti ini maka teks (nass) dengan konteks sosial yang selalu berubah dipertentangkan. Karena pendekatan sosial lebih menonjol maka teks (nass) al-Qur’an pun tidak lagi dibaca secara filologis, tapi dengan metodologi hermeneutika. Metode ini menjanjikan interpretasi-interpretasi sosiologis, politis, psikologis, ontologis dan historis dan sebagainya.

Dengan pendekatan ini otomatis makna-makna teks dalam tradisi intelektual Islam menjadi bermasalah. Pendekatan seperti ini menjadi semakin populer di kalangan cendekiawan Muslim akhir-akhir ini, khususnya ketika doktrin-doktrin postmodernisme seperti relativisme, pluralisme dan anti otoritas dianggap sebagai sesuatu yang tidak “haram” diterapkan dalam pengkajian Islam.

Meski pendekatan ini pada prakteknya cenderung dekonstruktif terhadap metodologi tradisional beberapa cendekiawan Muslim yang pro-Barat malah menganggapnya sebagai pemikiran alternatif, pemikiran baru atau pembaharuan pemikiran Islam (tajdid).

Sekedar contoh marilah kita lihat bagaimana perjalanan pemahaman orientalis mempengaruhi pemikir Muslim. Para orientalis dari generasi ke generasi menyatakan bahwa al-Qur’an adalah karangan Muhammad.

Hal ini dapat dibaca dari pernyataan G.Sale, [Dalam bukunya The Quran: Commonly called al-Qur’an:Preliminary Discoursei, (1734)], Sir William Muir [Dalam bukunya Life of Mahomet (1860)], A.N. Wollaston [Dalam bukunya The Religion of The Koran (1905)], H. Lammens, [Dalam  Islam Belief and Institution (1926)], Champion & Short [Dalam bukunya Reading from World Religious Fawcett, (1959),] JB. Glubb, [Dalam bukunya The Life and Time of Muhammad (1970)] dan M. Rodinson [Dalam bukunya Islam and Capitalism (1977)]. Dan tidak ketinggalan pula Montgomery Watt dalam Muhammad: Prophet and Statesman menyatakan bahwa al-Qur’an adalah produk dari imajinasi kreatif Nabi Muhammad (Product of Creative Imagination). (Asaf Hussain, “The Ideology of Orientalism”, hlm. 15).

Pemahaman orientalis diatas diterjemahkan oleh Muhammad Arkoun menjadi begini: al-Qur’an adalah wahyu Tuhan tapi ia diucapkan oleh Muhammad dan dengan bahasa Muhammad sebagai manusia biasa.

Senada dengan itu seorang cendekiawan Muslim liberal dari Mesir bernama Nasr Hamid Abu Zayd menyatakan bahwa karena al-Qur’an turun dalam ruang sejarah Arab maka ia adalah produk budaya Arab (muntaj thaqafi).

Implikasi ide ini adalah bahwa al-Qur’an bukan firman Allah yang suci dan perlu disucikan dan disakralkan dan karena itu umat Islam tidak terlalu fanatik berpegang pada al-Qur’an; dan agar umat Islam mau menafsirkan al-Qur’an tanpa takut-takut, karena ia hanya perkataan manusia biasa.

Jadi dengan hanya sebuah pengandaian atau asumsi (assumption) bahwa al-Qur’an tidak diturunkan secara lafdhan tapi secara ma’nan, maka metodologi dan framework pengkajiannya bisa berubah sama sekali dan bisa bertentangan dengan metodologi tradisional.

Kesimpulannya akan berakibat pada sikap dan perlakuan kita terhadap teks (nass) dan boleh jadi mengakibatkan desakralisasi teks dan bahkan dekonstruksi makna teks. Metodologi seperti ini tentu bukan pengembangan yang merujuk kepada tradisi intelektual dalam Islam, tapi lebih merupakan perubahan atau penggantian framework yang belum tentu bebas dari kerancuan.

Maka dari itu perlu upaya-upaya yang mempertahankan dan juga mengembangkan dan bukan merubah metodologi tradisional seperti yang digambarkan diatas. Dan tuduhan bahwa para ulama dahulu yang dituduh melulu menggunakan pendekatan tekstual eksklusif dan tidak kontekstual serta statis perlu dipertanyakan.