Home Artikel Wacana Pluralisme Agama di Malaysia

Wacana Pluralisme Agama di Malaysia

2362
0

Oleh: Dr. Adian Husaini

Pada Hari Sabtu (22/9/2012), pukul 21.00-23.00, saya dan rombongan Rektor Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor, berkesempatan menghadiri kuliah terbuka (Saturday Night Lecture)  Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas di Kampus Internasional UTM.  Kuliah rutin Prof. Naquib al-Attas ini diselenggarakan oleh Center for Advanced Studies on Islam, Science, and Civilization (CASIS) –UTM  yang didirikan dan dipimpin oleh Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud.

Sebenarnya, tujuan utama delegasi UIKA Bogor ke Kuala Lumpur adalah penandatanganan Nota Kesepahaman antara UIKA dengan Universiti Teknologi Malaysia, sebuah universitas besar dengan mahasiswa internasional lebih dari 4.000 orang.  Namun, kami bersyukur sempat juga mengikuti kuliah umum Prof. Naquib al-Attas, yang pernah mengunjungi UIKA di tahun 1990-an.  Kota Bogor juga sangat akrab dengan Prof. al-Attas, sebab di masa kecil beliau pernah tinggal di sini. Beliau adalah cucu dari Habib Abdullah bin Muhsin al-Attas, yang di daerah Empang Bogor popular dengan sebutan “Habib Kramat”.

Malam itu Prof. Naquib al-Attas banyak menguraikan makna dari sejumlah istilah penting dan popular dalam kajian Islam, seperti makna ad-Din, religion, knowledge, ilmu pengetahuan, ilmu pengenalan, ma’rifat, dan sebagainya.  Sekitar 300 peserta memenuhi auditorium Kampus Internasional UTM.  Mereka cukup beragam; ada guru besar, pejabat tinggi negara, pengusaha, kalangan professional, mahasiswa, dan juga hadirin dari Indonesia, Singapura, Thailand, dan sebagainya.

Di usianya yang k3-83, Prof. al-Attas masih mampu memberikan kuliah dengan lancar selama hampir tiga jam.  Al-Attas terkenal dengan teorinya, bahwa “Islam is the only genuine revealed religion”; Islam adalah satu-satunya agama wahyu yang murni.  Selain Islam, menurut al-Attas, masuk kategori agama budaya (cultural religion).  Sudah seyogyanya, setiap Muslim meyakini kebenaran dan keistimewaan Islam sebagai nama satu agama dan juga sebagai cara yang benar dalam berserah diri kepada Allah (submission to Allah). Keyakinan orang Muslim itu sepatutnya dihormati, sebagaimana juga kaum Muslim menghormati keyakinan agama-agama lainnya.

Dalam kaitan inilah, Prof.al-Attas mengkritik paham Pluralisme Agama yang secara intoleran melarang kaum Muslim – dan pemeluk agama-agama lain — untuk meyakini kebenaran agamanya masing-masing. Dalam karya monumentalnya, Prolegomena to the Metaphysic of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), al-Attas sudah mengkritik paham Trancendent Unity of Religion – satu jenis Pluralisme Agama – yang kian marak disebarkan akhir-akhir ini.   Malam itu, Prof. Al-Attas menegaskan kembali kekeliruan paham Pluralisme Agama dan menepis berbagai tudingan yang menyatakan bahwa umat Islam tidak toleran terhadap umat beragama lainnya.

Penjelasan Prof. al-Attas tentang kekeliruan paham Pluralisme tentu saja sangat penting di Malaysia saat ini. Sebab, wacana Pluralisme tampaknya sedang hangat-hangatnya di Malaysia.  Saat kunjungan ke Malaysia itu, saya menerima hadiah sebuah buku berjudul “Pluralisme Agama: Satu Gerakan Iblis Memurtadkan Ummah”, yang diterbitkan Muafakat, Kuala Lumpur, 2012.  Membaca buku ini, tampak wacana Pluralisme sedang sangat gencar diperbincangkan di Malaysia.  Memandang begitu pentingnya isi buku ini, maka begitu tiba di Jakarta, pada 26 September 2012, buku ini langsung saya bahas dalam acara Dialog Malam di Radio Dakta 107 FM, jam 20.00-22.00 WIB.

Seingat saya, di tahun 2003, saat memulai kuliah di ISTAC-IIUM, wacana Pluralisme Agama masih asing di banyak aktivis Islam di Malaysia.  Saat membentang fakta dan data tentang Pluralisme Agama di Indonesia,  dalam berbagai forum diskusi, banyak tokoh dan cendekiawan di Malaysia, menyatakan, bahwa pendapat-pendapat sejumlah kaum Pluralis di Indonesia sangat ekstrim, sampai membenarkan semua agama. Paham semacam itu, kata mereka ketika itu,  sulit berkembang di Malaysia, karena pemerintah Malaysia bertugas menjaga aqidah Islam, sebagaimana diamanahkan dalam Konstitusi.

Tetapi, kini, wacana Pluralisme Agama pun sudah tampak mulai berkembang, meskipun masih mendapatkan tantangan yang sengit dari berbagai kalangan cendekiawan ulung seperti Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas.  Tahun 2006, umat Islam di Malaysia pernah dihebohkan dengan terbitnya buku berjudul “Islam dan Pluralisme” dengan biaya dari Konrad Adenauer Foundation. Diantara cendekiwan yang tulisannya dalam buku tersebut  adalah Nurcholish Madjid, John Hick, dan Asghar Ali Engineer.

Kini, wacana Pluralisme Agama  makin meluas, apalagi setelah tokoh politik Anwar Ibrahim juga secara terbuka menyampaikan  pidatonya yang berisi dukungan terhadap paham ini. Buku “Pluralisme Agama: Satu Gerakan Iblis Memurtadkan Ummah” yang diedit oleh aktivis Islam senior di Malaysia, Ismail Mina Ahmad,  ini banyak mengupas dan mengkritisi pidato Anwar Ibrahim di London School of Economics, 18 Maret 2010.  Adalah penting untuk menyimak petikan-petikan isi pidato Anwar Ibrahim tersebut:

“…. it is a stark reality of our world that  certain religious groups hold that only certain fundamental doctrines may lead to salvation. This exclusivist  outlook unfortunately cuts across the board as between religions as well as within the denominations….”
“Back in the 13th century, the mystical poet Jalaluddin al-Rumi wrote in the Masnawi: The Lamps are different but the Light is the same, it comes from Beyond; if Thou keep looking at the lamp, thou art lost; for thence arises the appearance of number and plurality…”

“Today, freedom of religion without which there can be no religious pluralism, is an entrenched constitutional liberty in the established democracies. As such, favouring one religion over another or granting it a position at the expense of others may be considered as being against the spirit of religious pluralism. Yet this still happens even in certain established democracies in Europe while in the Middle East and in South East Asia this ambivalence has been virtually taken for granted until recently.

This is why the discourse on religious pluralism must deal with the fundamental question of freedom of religion and by association the freedom of conscience. The question arises as to whether it is diversity of religions which makes the divided world more divided or the denial of religious freedom that causes it.

I believe I’am not alone in saying that for religious pluralism to flourish in a divided world, it is morally unacceptable to say to people of other faiths: We believe in Our God and we believe we are right; you believe in your God, but what you believe in is wrong….

Whatever the religion, whether it be Islam, Christianity, Judaism, Sikhism, Hinduism and many others, I believe that the higher truths which go beyond mere practice and ritual all converge on the singular truth; and that is from God we were sent forth and unto God shall we return.

Yet certain leaders of the major world religions continue to make exclusivist claims to the eternal truths rather that accepting the commonality  that blinds us. If we accept that there can be unity in diversity, religious pluralism can therefore be a unifying force, not a cause of division. That is the way to take us away from darkness into light, from war to peace and from hatred and evil to love and kindness.”

 
Demikianlah isi pidato Anwar Ibrahim yang diterjemahkan dalam buku tersebut sebagai berikut:

“… ia realiti yang terbentang ‘penuh telanjang’ di dunia kita ini, bahawa golongan-golongan agama tertentu menganggap hanya ajaran asasi tertentu sahaja yang membawa ke jalan keselamatan, syurga. Pandangan yang eksklusif, tertutup ini, sayangnya tersebar secara meluas dalam hubungan antara agama-agama dan juga dalam kerangka mereka yang sama agamanya….”

“Kembali ke belakang, dalam abad ke-13, penyair sufi Rumi menggubah dalam Masnawinya: Lampu-lampu berlainan, tetapi Cahaya itu sama, ia datang dari Seberang Sana; kalau anda terus menerus melihat pada lampu, kamu tersesat; kerana dari sana timbul rupa lahir pada bilangan dan kemajemukan….”

“Pada hari ini, kebebasan beragama yang tanpanya tidak ada pluralisme agama, adalah suatu kebebasan yang tertanam teguh sebagai kebebasan dalam perelembagaan dalam negara-negara demokrasi yang terkenal teguh kedudukannya. Dengan demikian, maka memihak kepada sesuatu agama dan tidak yang lain atau memberikannya kedudukan yang merugikan yang lain boleh dianggap sebagai bertentangan dengan semangat pluralisme agama. Tetapi ini masih berlaku walaupun dalam negara-negara demokrasi yang teguh kedudukannya di Eropah, manakala di Timur Tengah pula dan di Asia Tenggara sikap bercanggahan antara dua perkara berlawanan ini disifat sebagai perkara lumrah yang biasa (taken for granted) sehingga akhir-akhir ini.

Sebab itulah maka wacana tentang pluralisme agama mesti berhadapan dengan persoalan asasi berkenaan dengan kebebasan beragama dan dengan mengaitkannya dengan kebebasan dhamir manusia (freedom of conscience). Persoalan yang timbul ialah adakah kepelbagaian agama yang menjadikan dunia terbahagi-bahagi itu menjadi lebih terbahagi-bahagi lagi sifatnya, ataupun penafian kebebasan beragama yang menjadi penyebab baginya.

Saya percaya bahawa saya bukan keseorangan dalam membuat kenyataan bahawa untuk pluralisme agama berkembang subur dalam dunia yang terbahagi-bahagi  sifatnya ini, maka adalah perkara yang tidak boleh diterima dari segi moral untuk seseorang itu berkata kepada orang lain yang mempunyai sistem kepercayaan   lain daripadanya: “Kami beriman kepada Tuhan kami dan kami percaya kami benar, anda percaya kepada tuhan anda, tetapi apa yang anda percaya adalah tidak benar….

Apa juga agamanya, sama ada ia itu Islam, Kristian, Sikh, Hindu dan banyak lagi yang lain, saya percaya bahawa kebenaran-kebenaran yang lebih tinggi (higher truths) yang mengatasi amalan-amalan semata (mere practice)  dan ibadat semuanya terpusat atas kebenaran yang satu itu (singular truth): bahawa dari Allah kita datang dan kepada Allah kita kembali.

Tetapi ada pemimpin-pemimpin tertentu agama-agama dunia yang terus-menerus membuat dakwaan yang eksklusif (exclusivist claims) tentang mereka memiliki kebenaran yang kekal abadi dan tidak sangat menerima perkara-perkara yang sama (commonality) yang menghubungkan kita semua. Kalaulah kita menerima bahawa memang ada persatuan dalam kepelbagaian, maka Pluralisme Agama menjadi satu tenaga penyatuan, bukan sebab bagi perpecahan. Itulah jalannya untuk menarik kita keluar daripada kegelapan kepada cahaya, daripada perang kepada damai, daripada kebencian dan kejahatan kepada kasih sayang dan kebaikan.”

*****

Demikian sejumlah petikan paparan Anwar Ibrahim tentang Pluralisme Agama. Silakan masing-masing menilai sendiri, bagaimana isi pidato Anwar tersebut.  Isi pidato itu sangat jelas mendukung paham Pluralisme Agama. Terlepas dari motivasi pidato tersebut, yang jelas,  pendapat Anwar tentang Pluralisme Agama itu segera menuai banyak debat dan kritik oleh aktivis dan cendekiawan di Malaysia. Mantan Presiden Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM) Dr. Yusri bin Dato’ Hj Mohamad, menyatakan, bahwa dengan penekanan pada “kesamaan” dan “kesetaraan” dalam semua hal, termasuk dalam hal beragama, maka Pluralisme Agama akhirnya akan menggerus konsep keyakinan “Iman-kufur”, “tawhid-syirik”. (hal. 190).  Ini artinya, Pluralisme Agama sudah memasuki wilayah yang paling mendasar dalam ajaran Islam, yaitu aspek aqidah atau keimanan.

Dr. Yusri juga mengingatkan bahwa Pluralisme Agama juga mengancam tatanan kelembagaan di Malaysia, dimana saat ini, menurut artikel 3 Perlembagaan Persekutuan, Malaysia  adalah sebuah negara beragama, dan agamanya ialah Islam. Karena itulah, simpul Yusri:  “Pluralisme Agama sangat berpotensi untuk menghakis kemurnian aqidah para penganut Islam di Malaysia secara sedar mahupun tidak. Pluralisme Agama juga membuka pintu kepada kemusyrikan dan kekufuran. Jika sudut aqidah umat Islam sudah berkompromi maka sebenarnya keseluruhan jati-diri keagamaan umat itu sendiri suah tergadai.” (hal. 192).

Cendekiawan Muslim Malaysia, Dr. Mohd Farid Mohd Shahran, menulis, bahwa Pluralisme Agama termasuk bentuk kekeliruan ilmu atau sufasta’iyyah (sophism) yang ditolak oleh aqidah Islam. Pluralisme yang menerima kebenaran semua agama – menurut cara pandang agama masing-masing – adalah jenis sufasta’iyah al-indiyyah yang tidak menerima satu  kebenaran yang objektif dan mutlak, sebagaimana disyaratkan dalam aqidah Islam.  Imam al-Nasafi telah menegaskan kemampuan akal manusia dalam meraih kebenaran mutlak secara bersama dan menolak pandangan nisbi kaum sofis.  Menegaskan pendapat Imam Nasafi, Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas menyatakan: “penyangkalan terhadap kemungkinan dan objektiviti ilmu pengetahuan akan mengakibatkan hancurnya dasar  yang tidak hanya menjadi akar bagi agama, tetapi juga bagi semua jenis sains.” (hal. 193).

Karena itu, Dr. Farid – murid Prof. Syed Naquib al-Attas di ISTAC-IIUM  — menyimpulkan: “Sekiranya kita menerima paham Pluralisme Agama, ia bukan sahaja bertentangan dengan prinsip aqidah Islam, malah juga bertentangan dengan prinsip akal yang sihat. Ini kerana akal tidak boleh menerima dua hakikat yang sama-sama benar akan tetapi saling bertentangan untuk wujud di satu masa. Ini bertentangan dengan prinsip asas dalam logic iaitu the principle of non-contradiction.” (hal. 193).

Pakar Pluralisme Agama dari Internastional Islamic University Malaysia (IIUM),  Dr. Anis Malik Thoha, menguraikan pandangan Prof. John Hick  yang sering ditempatkan sebagai “nabinya” kaum Pluralis Agama. Kata Hick: “… the great religious traditions are to be regarded as alternative soteriological “spaces” within which, or “ways” along which, men and women can find salvation/liberation/fulfillment.”      

Menurut Hick, betapa pun agama-agama itu berbeda satu sama lain, tetapi hakikatnya agama-agama itu adalah media atau cara-cara/jalan-jalan yang sama abash/valid  dan sama-sama otentik untuk menuju satu tujuan yang satu san sama, atau untuk meraih keselamatan. Dengan demikian, masing-masing dari pemeluk agama-agama tersebut tidak boleh mengklaim bahwa agamanya sendiri yang benar secara absolute dan mutlak.  

Dr. Anis mengingatkan, bahwa meskipun sekilas doktrin Pluralisme Agama tampak cantik, indah, dan menjanjikan perdamaian, tetapi jika dicermati dengan seksama, “doktrin ini sesungguhnya telah melakukan pembodohan yang luar biasa dahsyat, penodaan harkat dan martabat manusia, penjungkirbalikan logika normal dan, pada akhirnya, pengingkaran eksistensi agama-agama itu sendiri.” (hal. 169).

*****

Membaca buku “Pluralisme Agama: Satu Gerakan Iblis Memurtadkan Ummah” terbitan Muafakat Malaysia ini saya benar-benar sedih dan khawatir.  Pluralisme Agama yang sebenarnya merupakan musuh dan senjata pemusnah masal terhadap agama-agama justru kini mulai disosialisasikan dan dikembangkan di Malaysia, sebuah negeri Muslim yang masih menempatkan Islam sebagai agama resmi. (Tentang bahaya Pluralisme Agama bagi agama-agama lihat E-Book berjudul: Pluralisme Agama: Musuh Agama-agama, di www.adianhusaini.com).

Yang lebih merisaukan, gagasan Pluralisme Agama ini diusung tokoh terkenal yang sebelumnya sangat dikenal sebagai aktivis Islam.  Fenomena seperti ini juga sudah terjadi di Indonesia. Meskipun MUI sudah mengharamkan faham ini, tetapi Pluralisme Agama terus dikembangkan dan tokoh-tokoh yang pengusungnya dipuja-puja oleh banyak orang, khususnya media massa.

Perkembangan wacana Pluralisme Agama di Malaysia ini menjadi kajian yang menarik. Bagi kaum Muslim di wilayah Melayu-Indonesia, ini merupakan ujian dan tantangan dakwah yang semakin berat.  Kita tidak mungkin lari dari tantangan ini. Kita hanya wajib menjelaskan dan mengingatkan.  Tanggung jawab masing-masing orang di hadapan Allah nantinya.

Yang penting, semoga kita dan keluarga kita terhindar dari paham-paham yang menyesatkan dan semoga Allah melindungi para pejuang Islam, yang terus gigih berjihad fi-sabilillah, dalam penegakan aqidah dan ajaran-ajaran Islam di bumi Melayu-Indonesia. Amin.* Depok, 5 Oktober 2012.

 

Leave a Reply