Home Artikel Peranan Islam dalam Pergerakan Kemerdekaan

Peranan Islam dalam Pergerakan Kemerdekaan

12385
0


Oleh : Mohamad Roem (Tokoh Masyumi dan Mantan Wakil Perdana Menteri RI)

Hari kebangkitan nasional ditentukan pada tanggal 20 Mei 1908, yaitu hari lahirnya perkumpulan Budi Utomo. Pada waktu itu tercantum sebagai tujuan Budi Utomo: “de harmonische ontwikkeling van Land en volk van Java en Madura.” Dalam bahasa sekarang: “kemajuan yang harmonis bagi nusa dan bangsa Jawa dan Madura”. (hal. 12 dari Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia, karangan Drs. Susanto Tirtoprodjo SH). Bagi Budi Utomo bangsa adalah Jawa dan Madura.

Begitulah pada waktu itu perkataan “nasional” belum mempunyai arti seperti pada saat ini. Nasional pada saat sekarang mempunyai arti yang meliputi seluruh tanah air, dan tanah air itu adalah Indonesia, yang daerahnya meliputi seluruh kepulauan bekas jajahan Nederland.

Perkumpulan yang kedua sesudah Budi Utomo, ialah Sarekat Islam yang dalam sejarah lahirnya ditentukan dengan tahun 1912.

Sebelum pergerakan nasional yang pertama itu didirikan, dengan sendirinya sudah ada kesadaran di kalangan bangsa pribumi, bahwa dengan mengadakan perkumpulan orang dapat mencapai sesuatu tujuan. Kalangan bangsa pribumi sudah merasakan dan menyadari keadaan masyarakat, dan merasakan majalah “Medan Priyayi” yang terbit di Bandung, waktu RM Tirtoadisurjo mendirikan Sarekat Dagang Islam di Bogor, memberikan keterangan sebagai berikut:

“Bagi tiap orang sudah jelas, bahwa masa sekarang ini, adalah dinamakan zaman kemajuan. Cita-cita kita ialah, kemajuan itu tidak hanya kata-kata belaka.  Juga bagi kita orang Islam terletak kewajiban untuk memberikan darma bakti kita dan karena itu kita memutuskan mendirikan perkumpulan Sarekat Dagang Islam.”

Marilah kita catat dua hal dalam kata sambutan tersebut:

  1. Cita-cita untuk mencapai kemajuan jangan hanya kata-kata belaka.
  2. Kewajiban umat Islam untuk memberikan darma baktinya.

Kalau Budi Utomo membatasi langkah=langkahnya untuk mencapai kemajuan di Jawa dan Madura, maka Tirtoasudirjo  alam pikirannya ditujukan kepada umat Islam, yang daerahnya tentu lebih luas, sebab di luar Jawa dan Madura, juga terdapat umat Islam.

Sarekat Dagang Islam yang didirikan di Surakarta mendapat sukses besar. Salah satu aktivitasnya ialah dapat bertindak atau mengadakan reaksi terhadap golongan Cina, antara lain mengadakan pemboikotan.

Bagi yang berkuasa di Solo, sepak terjang anggauta-anggauta perkumpulan baru itu menimbulkan kekhawatiran, dan pada tanggal 12 Agustus 1912, Sarekat Dagang Islam atas perintah Residen Solo “dischors” oleh Pemerintah Kerajaan Surakarta.  Rumah-rumah pemimpin digeledah, akan tetapi karena tidak terdapat bukti apa-apa, maka ‘schorsing” dicabut pada tanggal 26 Agustus 1912.

Tujuan Sarekat Dagang Islam di Solo di formulir sebagai berikut:

  1. Mencapai rasa persaudaraan antara anggauta-anggautanya
  2. Mengusahakan persatuan dan rasa saling membantu antara umat Islam
  3. Dengan segala usaha yang sah, dan tidak bertentangan dengan peraturan negara dan pemerintah, berusaha meningkatkan rakyat untuk mencapai kemajuan, kesejahteraan dan kebesaran kerajaan.

Meskipun Sarekat Dagang Islam didirikan di Solo, tapi perhatian sudah ditujukan ke lain daerah. Karena itu sudah diadakan propaganda  ke Jawa Timur. Salah satu aksi yang diadakan oleh perkumpulan tersebut yaitu mengadakan aksi terhadap orang Cina yang menutup tokonya serta mengakibatkan rakyat mendapat kesulitan. Adapun aksi orang Cina itu disebabkan oleh karena tindakan polisi terhadap orang Cina.

Waktu itu hanya ada pers Belanda dan Cina Melayu. Atas dorongan pemimpin-pemimpin Sarekat Dagang Islam, di Surabaya diusahakan agar bangsa pribumi mempunyai pers sendiri untuk keperluan macam-macam, antara lain periklanan.

Karena waktu mendirikan perkumpulan di Solo belum tegas bahwa SDI tidak hanya untuk Surakarta saja, maka pada tanggal 10 September 1912 SDI didirikan lagi di Surabaya dengan akte notaris. Pada saat ini muncullah nama Umar Said Tjokroaminoto, akan tetapi yang menjadi pemimpin-pemimpinnya masih semua dari Solo. Dari 10 orang pendiri itu ada 5 pedagang batik, 4 orang pegawai kesunanan dan seorang partikelir, yaitu Tjokroaminoto. Nama perkumpulan: Sarekat Islam.

Dengan surat permohonan tanggal 14 September 1912, statute perkumpulan tersebut dimajukan kepada Pemerintah untuk mendapat pengesahan. Daerah perkumpulan tersebut tidak dibatasi pada suatu tempat saja.

Sebagai tujuan perkumpulan dinyatakan:

  1. Mengembangkan semangat berdagang di kalangan bumi putera
  2. Memberi bantuan kepada anggautanya, yang mendapat kesulitan di luar kesalahan sendiri
  3. Mengusahakan peningkatan perkembangan spirituil dan kepentingan materiil golongan bumiputera
  4. Memberantas pengertian yang salah tentang agama Islam, dan memajukan hidup diantara rakyat menurut hukum dan kebiasaan agama Islam
  5. Semua itu akan diusahakan dengan daya upaya yang sah dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.

Dengan tidak menunggu pengesahan dari pemerintah, Sarekat Islam mengadakan Kongresnya yang pertama di Surabaya pada tanggal 13 Januari 1913. Rapat Raksasa di stadium Surabaya menggemparkan masyarakat, terutama masyarakat Belanda dan Pemerintahnya.

Sampai saat ini tanda-tanda kebangkitan terdapat di kalangan golongan terpelajar saja. Akan tetapi dengan adanya rapat terbuka yang pertama ini terbukti semangat itu juga meliputi kalangan rakyat.

Kalangan Belanda terkejut dan bertanya-tanya dari mana pemimpin-pemimpin baru ini yang berdiri di luar kalangan yang berkuasa, mendapatkan haknya untuk menamakan dirinya sebagai pemimpin rakyat dan menjadi pembela kepentingan rakyat. Rupa-rupanya masyarakat bumiputera sedang menuntut hak menempatkan wakail-wakil mereka sendiri di samping badan-badan pemerintah yang resmi, sebagai “pembela dan penuntut yang permanen” dan senantiasa bersedia untuk menuntut dan mengeluh. Dan tidak saja di daerah-daerah yang langsung diperintah oleh Pemerintah Belanda tetapi juga di daerah kerajaan Solo beribu-ribu orang dating dari golongan rakyat untuk mendengarkan, bagaimana keluhan-keluhan mereka dan keinginan-keinginan mereka diucapkan dan dibicarakan dengan cara terbuka. Beribu-ribu rakyat mendengarkan dengan cara terbuka bagaimana dengan tidak takut keluhan  mereka dan keinginan mereka menurut pemimpin-pemimpin baru ini dapat dilaksanakan.

Karena itu Sarekat Islam mencapai sukses. Tidak saja karena member kesempatan untuk memajukan pengaduan tentang tidak keadilan yang dirasakan secara pribadi, tapi juga menyoroti kelakuan-kelakuan yang tidak layak para pejabat. Juga untuk menyatakan keberatan-keberatan tentang keadaan yang tidak baik di bidang sosial, hukum dan ekonomi.

Para petugas pemerintah baik golongan Belanda maupun golongan bumiputra, yang sudah biasa menjalankan tugasnya tanpa kritik terbuka, terutama bagian pamong praja, sangat terkesan oleh tanda-tanda kebangkitan kesadaran rakyat ini, yang tidak member ampun kepada siapapun juga. Siapa pun juga dikritik tanpa tedeng aling-aling.

Di kalangan pers Belanda tanda-tanda itu sudah disambut dan macam-macam berita dan hasutan sudah dikeluarkan agar Pemerintah Hindia Belanda mengambil tindakan.

Untuk menjawab segala fitnahan pihak Belanda itu, Umar Said Tjokroaminoto yang memimpin kongres tesebut mengatakan: “Kita loyal terhadap pemerintah, kita puas di bawah pemerintah Belanda, tidak benar, bahwa kita bermaksud mengacau, tidak benar bahwa kita ingin berkelahi, siapa mengatakan hal itu atau mengira, ia tidak benar dalam fikirannya; semua itu tidak benar, seribu kali tidak benar.”

Dalam pidatonya yang sangat mengesankan itu, ia mengatakan bahwa Sarekat Islam bukan partai politik, dan bukan partai yang menghendaki revolusi.

Dalam pada itu dalam kongres itu untuk pertama kalinya apa yang menjadi isi hati rakyat mendapat kesempatan dikemukakan dengan cara yang terbuka, isi hati rakyat tentang kedudukannya dalam masyarakat dan Negara.

Intisari apa yang dinamakan politik mendapat manifestasi dalam kongres pertama di Surabaya itu. Kongres partai yang belum mendapat pengesahan dari Pemerintah Hindia Belanda.

Pada tanggal 30 Juni 1913 keluarlah keputusan pemerintah Hindia Belanda yang menolak untuk memberi  pengesahan kepada Sarekat Islam, tapi Pemerintah mengatakan akan memberi pengesahan kalau Sarekat Islam minta izin bagi Sarekat Islam yang bersifat lokal.

Dalam bukunya LM Sitorus: “Sejarah Pergerakan Kebangsaan Indonesia” (Cetakan kedua, 1951, hal 14) tersebut: “Ketika penganjur-penganjur Sarekat Islam memajukan permintaan untuk mensyahkan Sarekat Islam sebagai “badan hukum” (rechtspersoon) dan dengan itu mengakui Sarekat Islam sebagai pergerakan di seluruh Indonesia, permintaan yang semacam itu ditolah oleh GG Idenburg. Beliau mengetahui bahwa Sarekat Islam yang menjadi satu pergerakan adalah satu ancaman besar bagi kedudukan Hindia Belanda.”

Mr Susanto Tirtoprodjo dalam bukunya “Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia” halaman 27, mengatakan: “Nyatalah bahwa perkumpulan Sarekat Islam ini adalah berlainan dengan Budi Utomo yang dalam praktek mendapat anggauta hanya dari kalangan atas saja. Sarekat Islam berhasil mendapat anggauta-anggauta di kalangan rakyat banyak, sehingga dalam waktu singkat meluas menjadi perkumpulan yang banyak anggautanya.”

Di samping itu Sarekat Islam tidak membatasi daerahnya, dan daerahnya adalah seluruh wilayah kekuasaan Hindia Belanda.

Ada dua ikatan dalam itu, ikatan negatif dan positif.

Ikatan negatif ialah suatu kekuasaan dari luar yaitu Belanda, yang sangat menentukan segala hal yang berkenaan dengan nasib rakyat.

Ikatan yang positif adalah Agama Islam, agama bagian besar rakyat di seluruh tanah air.

Ada suatu factor lagi yang penting yang terdapat dalam agama Islam. Rakyat Indonesia pada waktu sudah sadar akan nasibnya dan sudah bangun untuk berusaha memperbaiki nasib. Masyarakat pada waktu itu merupakan mayarakat yang terbagi dalam tiga lapisan:

-Lapisan golongan Belanda yang kedudukannya terbaik, karena mereka tergolong kepada yang berkuasa.

-Lapisan Cina dan golongan Timur Asing, yang ekonomis lebih baik dan ikut menghisap dan memeras rakyat Indonesia.

-Lapisan rakyat sendiri, yang meskipun di rumah sendiri dan Negara sendiri, nasibnya paling buruk.

Agama Islam adalah agama yang mengajarkan keadilan dan mengajarkan bahwa semua bangsa dan manusia itu sama. Maka kita mengerti bahwa agama Islam tidak saja menjadi ikatan bagi seluruh rakyat di seluruh tanah air, tapi ajarannya tentang persatuan segala bangsa dan manusia pegangan yang kuat bagi kebangkitan nasional yang sedang lahir.

Dapat dikatakan bahwa juga di kalangan bangsa Indonesia umumnya, golongan Jawa khususnya, yang masih mengenal sekedar pembagian antara golongan rendah dan tinggi. Agama Islam adalah pedoman yang kuat dalam cita-cita mencapai kedudukan berdasarkan persamaan.

Penolakan untuk mengesahkan Sarekat Islam untuk seluruh daerah Hindia Belanda, disertai kesediaan memberi pengesahan kepada Sarekat Islam sebagai perkumpulan Lokal.

Melalui konsultasi dengan Pemerintah maka dibuatlah model statuten untuk Sarekat Islam lokal, yang pada garis besarnya sama dengan tujuan Sarekat Islam untuk seluruh wilayah.

Dalam pada itu maka usaha untuk mempersatukan Sarekat Islam seluruh wilayah diteruskan. Pada tahun 1914 sudah terbentuk 56 Sarekat Islam lokal dan pada tahun 1915 diadakan usaha untuk membentuk Central Sarekat Islam.

Di tahun 1916 maka terdapat pengesahan untuk Central Sarekat Islam sebagai Badan Hukum, dimana anggauta-anggautanya ialah Lokal Sarekat Islam.

Maka datanglah saatnya untuk mengadakan Kongres Nasional Pertama Central Sarekat Islam, yang diadakan di Bandung dari tanggal 17 sampai 24 Juni 1916.

Kongres ini dihadiri oleh 80 utusan dari Jawa, Sumatra, Kalimantan, Bali dan Sulawesi. Dari pemimpin-pemimpin pusat yang hadir adalah nama-nama seperti Tjokroaminoto, Abdul Muis, Hasan Djajadiningrat, Ardiwinata, Muhamad Jusuf.

Soal-soal yang dibicarakan dalam kongres tersebut, antara lain:

“Langkah-langkah yang harus diusahakan agar dengan jalan bertahap dan sesuai dengan hukum mencapai pemerintahan sendiri atau setidaknya hak ikut serta dalam menjalankan urusan negara,”oleh Tjokroaminoto.

“Soal tanah partikelir”, oleh Abdul Muis. Abdul Muis juga mengadakan ceramah tentang kebutuhan adanya sekolah untuk mendidik guru agama Islam.

Yang menjadi intisari Kongres tersebut ialah pidato ketuanya, Tjokroaminoto dalam rapat terbuka di alun-alun Bandung pada hari Minggu tanggal 18 Juni. Pidato itu semata-mata pidato politik, mengenai soal kenegaraan, keinginan rakyat untuk ikut serta dalam menentukan nasib sendiri(Bacalah karangan saya “Kongres Nasional Pertama Central Sarekat Islam”, Abadi, tanggal 18 Juni tahun 1970).

Kemudian dengan cepat sekali Sarekat Islam mencapai kemajuan, yang berarti mencapai rakyat banyak di seluruh tanah air, yang meliputi wilayah Hindia Netherland dan membangkitkan semangat untuk menjadi satu bangsa yang merdeka.

Tiap tahun Sarekat Islam mengadakan kongres yang dinamakan Kongres Nasional. Nasional berarti menyangkut atau meliputi seluruh daerah tanah air.

Kongres Nasional kedua diadakan di Jakarta Nopember 1917. Dalam Kongres ini Pimpinan Pusat Central Sarekat Islam tetap berpendirian, bahwa maksud dan tujuan seperti diterangkan oleh Tjokroaminoto dalam kongres pertama, akan dicapai dengan jalan parlementer dan damai. Akan tetapi ditambahkan, jika jalan damai itu terbukti sia-sia dan jalan parlementer tidak mendatangkan hasil, karena ia senantiasa terbentur pada benteng-benteng kesewenang-wenangan dan penindasan, maka anggauta-anggauta Sarekat Islam akan cukup ikhlas mengorbankan diri bagi negara dan kawan-kawan senegara, jika hal yang demikian itu benar-benar perlu.

Kongres kedua ini menentukan keterangan asas sebagai berikut:

Central Sarekat Islam berusaha agar pengaruh rakyat dalam pemerintahan semakin meningkat supaya mencapai pemerintahan sendiri.

Central Sarekat Islam tidak mengakui hak rakyat manapun untuk memerintah rakyat lain atau sebagian rakyat lain.

Karena sebagian rakyat hidup dalam keadaan yang menyedihkan, maka Central Sarekat Islam akan berjuang memberantas penjajahan oleh “kapitalisme yang berdosa”.

Kongres Nasional Ketiga yang diadakan di Surabaya, akhir September sampai awal Oktober 1918 menyatakan, menyatakan Central Sarekat Islam menentang Pemerintah jika menjadi pelindung “kapitalisme yang berdosa”.

Pada waktu itu sudah terasa pengaruh gerakan sosialisme yang sudah sampai di tanah air. Gagasan perjuangan kelas sudah sampai disini, akan tetapi Central Sarekat Islam masih dapat memelihara kepribadiannya. Perjuangan kelas ditafsirkan dengan kaum sana dan kaum sini. Golongan kapitalis adalah pihak Belanda, golongan proletariat adalah golongan bumiputera, yang keadaannya sebenarnya tidak berlainan dengan kedudukan proletariat.

Kongres Nasional keempat diadakan di Surabaya akhir Oktober sampai awal Nopmeber tahun 1919. Dalam kongres ini sudah dibentuk “Indische Vakcentrale”, yaitu Gabungan Sarekat-Sarekat Buruh. Sesuai dengan tafsir asas dan program usaha, maka tujuan Vakcentrale itu adalah: “mendapatkan kekuasaan untuk mengadakan perubahan dalam masyarakat secara revolusioner yang wajar.” Dalam berjuang mencapai tujuan itu, maka golongan buruh harus disiapkan untuk menjalankan tugasnya yang akan dipikul dalam masyarakat yang sosialistis.

Central Sarekat Islam berusaha mencapai tujuan ini dengan tiga macam jalan, yaitu: politik yang sosial demokratis, perjuangan buruh dengan dasar perjuangan klas dan gerakan koperasi.

Timbul pertanyaan: Apakah peranan Islam dalam semua ini?

Ketua Central Sarekat Islam (Tjokroaminoto –pen) menjawab: “Memberantas nafsu penjajahan dan kapitalisme Belanda, yang menindas beribu-ribu, sekali lagi beribu-ribu rakyat, sehingga mereka menjadi melarat. Apakah nanti yang akan datang, apakah sosialisme atau nasososiolisme, kita harus menunggu dengan sabar. Sekarang perjuangan ditujukan terhadap penjajahan dan kapitalisme. Untuk itu Sarekat Islam harus mempersatukan rakyat untuk berjuang dengan segala tenaga.”

Teranglah bahwa yang dimaksud dengan peranan Islam adalah satu-satunya ikatan bagi seluruh bangsa.

Pemimpin-pemimpin Sarekat Islam menyadari bahwa tugasnya berat dan beraneka warna-warna. Karena itu dibentuk 5 buah komite (panitia) untuk mempelajari berbagai-bagai masalah:

  1. Panitia politik, dengan tugas untuk mempelajari asas dan tujuan Sarekat Islam dan menyesuaikan dengan perkembangan-perkembangan terkahir juga dalam hubungannya dengan lain-lain perserikatan.
  2. Panitia, untuk mempelajari bagaimana caranya memurnikan agama dari segala takhyul dan lain-lain salah pengertian tentang hubungan agama dan sosialisme, dan bagaimana agama Islam memandang lain-lain kepentingan rakyat.
  3. Panitia Adat. Mempelajari adat dan bagaimana caranya menghapuskan bagian-bagian adat kuno yang tidak sesuai dengan semangat zaman. Disebut “adat sembah dan jongkok”, keduanya disebut dua hal yang memalukan bangsa; mempelajari bagaimana mempersatukan bahasa, termasuk mempersatukan bahasa daerah, artinya bagaimana mencapai bahasa satu dalam bahasa Jawa, tanpa bahasa Inggil dan rendah; mempelajari dan mengusahakan agar timbul pengertian tentang hak dan hukum wanita dan pria; bagaimana caranya membatasi poligami.
  4. Panitia pergerakan kaum buruh. Untuk mempelajari berbagai-bagai soal yang mengenai kaum buruh, perhubungan antara serikat-serikat buruh. Hubungan dengan kaum buruh di luar negeri.
  5. Panitia koperasi, untuk mempelajari segala persoalan mengenai koperasi.

Begitulah sekedar gambaran yang kita dapati dalam kongres-kongres nasional yang diadakan tiap tahun oleh Sarekat Islam. Nasional dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu seluruh tanah air yang meliputi seluruh kepulauan Indonesia, yang berada dalam penjajahan Nederland.

Kita akan dapat gambaran betapa Sarekat Islam sudah merintis jalan, kalau dihitung dari kongres nasional ke-4, sembilan tahun kemudian, tahun 1928, Kongres Pemuda mengadakan sumpahnya:

Kami bangsa Indonesia menyatakan berbangsa satu, Bangsa Indonesia

Kami bangsa Indonesia menyatakan bertanah air satu, tanah air Indonesia

Kami bangsa Indonesia menyatakan berbahasa satu, bahasa Indonesia.*

(Penataran Dewan Dakwah, 1975 dalam buku Bunga Rampai dari Sejarah (II), Mohamad Roem, Bulan Bintang, 1977).

 

 

 

Leave a Reply