Home Artikel Teladan Mohammad Natsir di Tengah Hutan (2)

Teladan Mohammad Natsir di Tengah Hutan (2)

1401
0

Sidang Tengah Malam Melawan Baptis

Oleh: Tan Kabasaran (Mantan Pengawal Pak Natsir di Hutan dan Tokoh Masyumi Sumatra Barat)

Ada kenangan  yang  membuat saya  tak pernah tidur terkait dengan  pak Natsir. Saat itu rencana orang Kristen untuk mendirikan Rumah Sakit Baptis hampir saja terwujud. Mereka  telah berjuang sejak tahun 1962 dan hampir  mendapatkan tanah  setahun kemudian.

 Awalnya, mereka mencari tanah dekat Ateh Tambuo Bukittinggi, mereka telah melakukan pendekatan dan hampir dapat membeli tanah itu. Tapi Allah SWT berkehendak lain, rencana jangka panjang mereka dengan RS Baptis itu  “bocor” keluar. Saya berhasil mendapatkan anggaran dasar mereka  melalui seorang kader yang menyamar dan melamar sebagai tukang kayu pada mereka. Kader ini berhasil mendapatkan anggaran dasar mereka. Betapa terkejutnya saya membaca AD RS Baptis itu. Ada satu pasal yang tegas berbunyi “bahwa usaha Rumah Sakit Baptis dan sosial lainnya, adalah dalam rangka Pengabaran Injil ke daerah-daerah.”

 

 Bocoran itu  lalu kami sebarkan ke masyarakat sehingga setiap upaya Baptis membeli tanah, berhasil kami gagalkan.  Untuk menggalakkan penjualan tanah di  Ateh Tambuo itu,  kami datangi Ninik Mamak dan penghulu kaum di situ, kami paparkan tujuan RS Baptis itu.

 Gagal  di Atah Tambuo,  pengurus Baptis  berpindah ke  Panganak di belakang RS Mukhtar sekarang. Mereka melobi lagi pemuka kaum di sana, tapi  malamnya  saya datang pula menemui penghulu kaumnya, memaparkan tujuan  RS Baptis  dengan bukit  anggaran dasar mereka. Maka, rencana Baptis mendapatkan tanah, gagal  lagi.

Tak kehilangan akal, pengurus Baptis lari lagi ke dekat Simpang Mandiangin, ada tanah seluas  dua hektar yang diincernya.  Kami rangkaki pula ke situ, maka gagal lagi.

 Akhirnya, Baptis berhasil mendapatkan sebidang tanah di Luak Anyia, tapi  bukan tanah  ulayat kaum. Hanya sebidang tanah milik pribadi seorang wanita asal Bayur Maninjau yang bersuamikan seorang cina keturunan Taiwan.  Tadinya tanah ini akan dia bangunan perumahan, tapi daerah  keburu bergolak. Baptis berhasil mendapatkan tanah tanah milik pribadi itu. Notaris yang mengurus jual-beli itu melaporkan pada saya. “Nyiak, sebagai notaris saya tak bisa mengelak tugas. Namun yang jelas kini saya bocorkan informasi bahwa  tanah itu sudah dibeli Baptis. Kini terserah inyiak, mau diapakan fakta ini,” kata Notaris itu.

 Saya dan teman-teman lalu bermufakat, apa langkah langkah yang harus dilakukan,  karena secara fakta  tanah itu sudah lepas ke Baptis. Ada teman yang pasrah dengan telah resminya transaksi dihadapan notarius.”Sudahlah, lah lapeh kijang karimbo,“ujarnya mengibaratkan.

 Kemudian kami  “tabik pangana”, perjuangan harus diarahkan bukan lagi pada  pemilik tanah karena “kijang lah lapeh karimbo”, tetapi kepada “pemilik” kota ini yaitu pemerintah. Caranya dengan  mendesak   DPRD bersidang dan mengeluarkan keputusan agar Walikota tidak memberi izin pembangunan RS Baptis.

 Tanpa menunggu besok, di larut malam itu juga kami memburu ketua DPRD Bukit Tinggi. Waktu itu dijabat oleh pak Munir Marzuki Datuk Sutan Maharajo, beliau juga Ketua  Masyumi sekaligus  Ketua Muhammadiyah Bukittinggi. Kami datang  ke rumahnya. Kami paparkan semua kejadian dan bukti   bahwa RS Baptis sudah mendapatkan tanah. Lalu beliau bertanya,“Apa rencana tuan-tuan lagi?”

Saya angkat bicara mewakili teman-teman. “Kami minta DPRD  melaksanakan rapat pleno darurat dengan keputusan  melarang Walikota Bukittinggi memberikan izin bangunan kepada Baptis”.

 Bagai “gayung bersambut”, ketua DPRD terbakar semangatnya. “Ya, akan saya  desak kawan-kawan agar melaksanakan rapat darurat,”  tegasnya. “Jangan tunggu sehari dua, pak. Sedapatnya DPRD  cepat bersidang,”  desak saya.

 Sebagai ketua Masyumi, pak Munir Marzuki tentu sudah sangat sependapat dengan kami. Tapi bagaimana dengan  anggota DPRD lainnya?. Rupanya, kader Masyumi  yang  di parlemen memang  teruji  kesetiaannya pada perjuangan umat. Besok paginya, pak Munir mendadak mengumpulkan  anggota  dewan,  lalu membicarakan tuntutan kami  yang mendesak dilaksanakannya ‘sidang istimewa’  DPRD Bukittinggi dengan agenda tunggal melahirkan keputusan  melarang saudara Walikota mengeluarkan izin bangunan bagi RS Baptis.

 Saya maklum, saat itu cukup hangat perdebatan  di internal DPRD,  tapi saya juga tahu  para kader Masyumi di sana tetap setia dengan garis perjuangan Islam sebagai Dasar Negara dan penegakan Syariat Islam di tengah masyarakat. Karena itu saya juga yakin mereka akan turut  menggagalkan setiap rencana pemurtadan dan   penghancuran aqidah umat,  seperti melalui rencana pembangunan RS Baptis itu.

  Maka, singkat kata, dalam perdebatan yang cukup hangat di siang itu, akhirnya DPRD sepakat menggelar Sidang Darurat. Bahkan tuntutan kami agar Sidang Darurat dilaksanakan dalam tempo 1×24 jam lagi, ternyata mereka penuhi. Walau saat itu   puasa (Ramadhan). Besok malamnya,  DPRD  Bukittinggi melaksanakan Sidang Darurat di kantornya,  di sebelah Masjid Raya sekarang.

 Inilah peristiwa pertama  DPRD bersidang malam hari,   dengan agenda tunggal  yang terkait dengan nasib umat. Sidang dilaksanakan  setelah shalat tarawih  yang dipimpin langsung oleh Ketua DPRD Munir Marzuki. Hebatnya lagi, umat Islam  di kota Bukittinggi juga  datang berduyun-duyun  menyaksikan jalannya sidang karena  pak Munir Marzuki  tidak saja  menyurati semua anggota dewan  untuk melaksanakan sidang nanti malam, tetapi beliau juga menembuskan surat undangan itu kepada pengurus Masjid dan Ormas Islam di kota Bukittinggi. Tentu, bergegas kami mengantarkan tembusan surat itu sehingga dapat dibacakan pengurus Masjid dihadapan jamaah tarwih. Dampaknya luar biasa,  dari masjid  umat berduyun-duyun datang menyaksikan sidang istimewa DPRD. Ratusan kaum ibu bahkan datang sambil tetap mengenakan telekung. Massa membludak  hingga menutup jalan raya, pengeras suara terpaksa dipasang di tengah jalan.  Kata demi kata  yang terucap dalam sidang,  jelas terdengar oleh massa. Mereka  berulangkali meneriakan takbir  “Allahu Akbar!”

 Di dalam   gedung,  saya dan  pengurus MUI  duduk berhadapan dengan pengurus Baptis yang sengaja dihadirkan agar mendengar langsung apa keputusan DPRD. Semula mereka keberatan hadir, namun setelah dijamin keselamatannya, mereka akhirnya datang  juga.

 Nyaris tidak ada perdebatan berarti dalam Sidang Darurat  DPRD Bukittinggi di tengah malam  itu. Menjelang makan sahur Ketua DPRD tampil membacakan hasil Keputusan Sidang Darurat  yang isinya adalah DPRD Bukittinggi memutuskan “Melarang  saudara Walikota Bukitinggi  memberikan Izin Mendirikan Bangunan kepada Yayasan Baptis untuk mendirikan Rumah Sakit  Baptis  di Luhak Anyir Bukittinggi.”

 Keputusan DPRD itu  disambut  pekikan takbir oleh  ribuan massa. Sebagian orang tua dan kaum ibu  saya lihat melakukan sujud syukur. Dari pelopak mata mereka  meneteskan air mata haru  di  kedinginan udara malam  yang membalut kota Bukittinggi.

 Saya dan teman-teman beranggapan sejak palu diketuk Ketua DPRD malam itu  maka  perjuangan telah selesai. Tapi rupanya pihak Baptis tidak kehilangan akal. Melalui orang-orangnya,  mereka berhasil mendekati Komandan Korem. Mereka kemudian diberikan tanah tentara yang kini berlokasi di RSU Pusat  sekarang.  Saya dan teman-kawan terus menggalang aksi penolakan. Sehinggap pada suatu hari  saya bersama pengurus Majelis Ulama Bukittinggi dipanggil oleh Komandan Korem ke rumah Dinasnya. Tanpa rasa  takut  saya memenuhi panggilan itu.  Dengan suara tegas Komandan Korem menyatakan “Saya sudah izinkan kepada Baptis mendirikan Rumah Sakit di sana.”  Tanpa meminta  apa pendapat kami,  dia langsung mengeluarkan peringatan “Jika masih ada  yang banyak bicara, tiga Batalyon di belakang saya,’  tegasnya lantang.

 Diancam  tuan rumah seperti  itu,  kami diam saja. Tak ada yang berucap sepatah katapun juga. Ada pegangan kami saat itu  yaitu pepatah Arab yang artinya, ‘Jika ada orang teler yang  bicara padamu, tak usah dijawab. Jawaban yang paling santiang, adalah diam.’

 Di awal Juli 1968, datanglah pak Natsir dari Jakarta.  Beliau diundang oleh Gubernur Sumbar, ketika itu pak Harun Zain dan Walikota Padang Akhirun Yahya. Ketika itu  pak Harun berpikir  bagaimana  mengembalikan dan membangkitkan  harga diri orang Minang  yang merasa ‘kalah’  pasca PRRI.  Rupanya ada yang menyarankan pak Harun,  kalau itu tujuannya undanglah  pak Natsir agar  berkenan datang ke Sumatera Barat. Akhirnya Gubernur dan juga Walikota Padang  mengundang pak Natsir.  Saya langsung ikut mendamping beliau sejak mendarat  di Bandara Tabing Padang hingga berhari-hari  kami turun ke daerah-daerah. Bertemulah pak Natsir dengan orang banyak  dan  kawan-kawan seperjuangan dulu.

 Setelah  menginap di rumah kontrakan saya di Siteba, esoknya kami memenuhi undangan Gubernur dan Walikota Padang,  setelah itu dilanjutkanlah perjalanan ke Batusangkar, 50 Kota hingga  sampai ke desa Aia Kijang  tempat kami  terakhir turun dulu (keluar dari hutan),  terus ke ke Bukittinggi, lalu ke Padang Lua. Setiba  di Pakan Sinayan kami distop oleh masyarakat.Rupanya mereka rindu  melihat wajah pak Natsir. Kami diarak kemudian dibawa singgah ke rumah ibu Asma Malim yang sejak belia sudah menjadi aktivis terkemuka Muslimat Masyumi. Dari Pakan Sinayaan  terus ke Embun Pagi dan menurun ke Manjau melalui kelok 44, lalu berbelok ke kiri  untuk  terus ke Sungai Batang.

 Dalam perjalanan ini  saya satu mobil dengan beliau. Di sinilah kami berdialog tentang masalah pembangunan RS Baptis. Saya jelaskan kronologis perjuangan yang telah dilalui  dalam upaya menggagalkan pembangunan RS yang bermisi pemurtadan dan kristenisasi. Pak Natsir setuju dengan  tujuan perjuangan kami,  tetapi tidak dengan cara-cara  yang kami tempuh.

 Pak Natsir  berkata, “Kalau begitu  caranya Angku-Angku menentang Baptis, maka suatu ketika  orang banyak akan menghadap pada  Angku-angku.  Untuk itu buatlah  Rumah Sakit  karena dibutuhkan orang banyak. Tentang caranya, nanti kita persamakan. “

 Jawab saya, “Kalau itu yang harus saya sampaikan ke orang banyak,  lidah saya belum masin  lagi, pak.” Setiba di Nagari Sungai Batang, kami  berkunjung ke rumah Wali Nagari, kawan seperjuangan juga. Namanya Ismail, tapi kami biasa memanggilnya “Mai”. “Angku Mai, pinjam  mesin tik, ya,”  kata pak Natsir setelah kami melepaskan rangkik-rangkik  agak sebentar. Pak Wali kaget,  tapi langsung bergerak mengambil mesin tik  dengan kertasnya sekalian. Seingat saya ketika itu kertasnya  hanya jenis kertas koran ukuran setengah folio.  Belum ada kertas HVS  seperti sekarang.

 Saya diperintahkan  mengetik  apa yang diimlakkan (didiktekan)  pak Natsir. Isi  surat kecil itu persisnya saya lupa,  tapi  intinya:”Perlu mengubah cara  engku-engku sekalian dalam menghadapi lawan yang semakin hari semakin kuat. Yaitu dengan membuat amal-amal yang bermafaat bagi umat. Umpanya,  membuat Rumah Sakit Islam di Bukittingi. Pikirkanlah ini, dan nanti  kita persamakan. “

 Setelah diketik, surat kecil setengah folio itu beliau baca dengan teliti,  lalu beliau tandatangani.  Surat itu  beliau lipat empat,  lalu beliau masukkan ke dalam saku baju saya.

 Setelah pak Natsir  kembali ke Jakarta,  surat kecil  pak Natsir saya serahkan ke Buya Datuk Palimokayo. “Buya, ini  surat yang diberikan pak Natsir untuk kita bersama. Bacalah,”  pinta saya. Dengan cekatan Buya Datuk  bergegas membacanya. Setelah  itu, beliau minta saya segera mengundang beberapa teman untuk rapat. Rapat pertama  di rumah Buya Datuk Palimokayo. Ada delapan orang yang hadir, di antaranya saya sendiri dan Buya Datuk, H. Anwar,  M. Bakri Datuk Rajo  Sampono, Baharudin Kari Basa, Hasan Basri, ibu Naimah Djambek dan Hj. Syarifah.

 Rapat pertama itu  baru menghasilkan satu keputusan yaitu  sepakat  membentuk sebuah badan  yang diberi nama  Lembaga  Kesehatan Dakwah. Di hari-hari berikut,   tiga kali  pengurus Lembaga Kesehatan Dakwah melaksanakan rapat. Pertama di Surau Inyiak Djambek, kali kedua dan ketiga di Jambu Aia di rumah Buya Datuk.  Rapat terakhir  barulah  melahirkan keputusan bahwa  perlu dibangun Rumah Sakit Islam di Bukitinggi.

 Tapi pertanyaan kemudian muncul, “Bagaimana caranya? ” Tak  seorang pun diantara kami yang tunjuk tangan. Akhirnya peserta  rapat  menambah satu lagi keputusan,  yaitu  menyurati pak Natsir  minta beliau mengirimkan seorang tenaga  ahli di bidangnya, yaitu bidang pembangunan Rumah Sakit  beserta isinya.

 Maka ditulislah  surat  setebal dua halaman yang intinya meminta pak Natsir mengirimkan tenaga ahli. Surat itu  ditandatangani oleh   H.M D. Palimokayo selaku Ketua Lembaga Kesehatan Dakwah  dan saya  selaku Sekretaris. Saat itu saya belum bergelar Datuk Tan Kabasaran, tapi Tuanku Sulaiman atau   M.S Tk. Sulaiman.

Surat kami  cepat direspon pak Natsir. Beliau  mengirim seorang tenaga ahli  yaitu bapak Mr. Ezeddin  dengan tugas penyambung tangan Yayasan Kesehatan Dakwah  dalam membangun Rumah Sakit Islam. Cita-cita membangun Rumah Sakit Islam kemudian hari berhasil diwujudkan. Tidak hanya di Bukittinggi, pak Natsir juga memprakarsai  pembangunan RS Islam Yarsi di Padang, Padang Panjang, Payakumbuh,  Panti dan  di Kapar  Pasaman.

 Dalam  perjuangan membangun RSI  Ibnu Sina di kelima lokasi itu, pak Natsir adalah pemrakarsanya. Bahkan  sejak priode Pengurus Yayasan Rumah Sakit Islam (Yarsi) diketuai Tamrin Manan, SH  dan saya Wakil Ketua, sengaja kami cantumkan dalam anggaran dasar Yarsi  bahwa pak Natsir baik sebagai peribadi maupun sebagai ketua Dewan Dakwah Islamiyah Pusat,  adalah  sebagai pemrakarsa berdirinya Rumah Sakit Islam Yarsi itu. 

***

 

 Andai Saja Pak Natsir Didengarkan

 Satu hal yang tak saya lupakan adalah ketika ikut merintis  lahirnya Majelis Ulama  Sumatera Barat, pada tahun 1967. Ini merupakan  Majelis Ulama pertama di Indonesia, MUI baru terbentuk tahun 1975.

 Ditengah gencarnya kami  melawan rencana pembangunan RS Baptis,  saya dan beberapa kawan menjadi panitia penyelangara Mubes Alim Ulama se Sumatera Barat bertempat di masjid  Jamik Birugo  Bukittinggi. Mubes itu berhasil membentuk  Majlis Ulama Sumatera Barat dengan pengurus terdiri dari Buya Datuk Palimo Kayo, Buya Zas, Iskandar Zulkarnaini dan buya Datuk  Nagari Basa. Saya sebagai Wakil Sekretaris.

 Majlis Ulama Sumbar berjalan sampai tahun 1975 ketika terbentukMUI  di tingkat nasional. Perjuangan Majelis Ulama Sumbar yang berat adalah menghadapi  masalah     RS Baptis dan genacarnya kristenisasi hingga ke pelosok Pasaman.

 Setelah terbentuk MUI di Jakarta,  Januari 1975, datanglah Buya Hamka  ke Bukitinggi maka MUI Sumbar yang sudah ada  –dalam suatu pertemuan yang dipandu  Buya Hamka–  langsung  dilebur menjadi MUI Sumbar. Dengan penyesuaian struktur kepengurusan menurut  format MUI.

 Ketika Buya Hamka datang dan terbentuknya MUI itulah, kami timbang-terimakan masalah RS Baptis. Oleh Buya Hamka  masalah itu benar-benar ditindak lanjuti dengan berulangkali mendesak pemeritah Pusat.  Akhirnya pemeritah pusat turun tangan. Mulanya berupaya membeli dan mengambil alih RS Baptis itu  untuk dijadkan RSUD. Tapi pihak Baptis tidak mau menjual.  Mereka mau menjual bila pemerintah menyediakan lokasi di daerah lain. Buya Hamka dan MUI terus  melobi pemerintah. Akhirnya Baptis mendapatkan tempat di  Bandar Lampung. Di sana dibangun RS Imanuel yang  cukup megah.

 Dalam suatu  dialog kami di atas mobil,  beliau juga pernah berpesan bahwa kebenaran itu sama dengan harimau. Kalau sudah keluar dari sarangnya, dia harus menangkap mangsanya. Cuma  tergantung waktu,  cepat atau lambat. Kadang baru keluar dari sarang Harimau sudah menerkam rusa yang melintas. Kadang berhari-hari baru bertemu kijang.

 Kebenaran sama dengan itu. “Kebenaran harus kita sampaikan, apapun resikonya,” kata pak Natsir. Hanya saja  kebenaran itu  ada yang cepat diterima, ada yang lambat, setelah bertahun-tahun kita menyampaikan. Contohnya tentang  PKI. Masyumi sejak awal tahun 50-an sudah  mengingatkan bahwa PKI itu musuh. PKI jangan dibawa bersama-sama dalam  kabinet. Tapi tidak pernah didengar rezim Soekarno, bahkan orang-orang PKI  diberi tempat dan jabatan.

 Kesadaran akan peringatan Masyumi  tentang bahaya PKI,  baru  tumbuh tahun 1965. “Tapi harus dibayar dengan tujuh jenderal. Kalaulah sejak awal 50-an  Pemerintah  mendengarkan Masyumi, ‘penebusan’ dengan tujuh jendral itu tidak perlu terjadi. Tapi apa boleh buat, awak yang sejak awal melawan PKI, awak pula  yang dimusuhi.

Begitulah kebenaran, cepat atau lambat  dia akan  diikuti. Yan penting, cepat sampaikan kebenaran itu. Jangan ragu, jangan gentar, dan itu telah dilakukan  pak Natsir dengan perbuatan.

 Jauh sebelum meletusnya PRRI,  pak Natsir sudah menelan pahitnya akibat menyampaikan kebenaran. Bahkan pada suatu malam,  rumahnya  diteror  pemuda rakyat. Allah SWT menakdirkan pak Natsir  berhasil meloloskan diri  menuju Padang. Jadi, beliau  ke Sumbar bukan kesengajaan untuk ikut PRRI, tapi karena merasa sudah terancam nyawanya di Jakata. Namun  ada pula hikmahnya ketika pak Natsir dan beberapa tokoh sipil seperti Pak Syaf  dan  Burhanudin  ikut PRRI.  Jika tak ada mereka di dalam, PRRI sudah menjadi gerakan separatis  pemisahan diri,  seperti  RMS atau  GAM.  Peta Indonesia akan berubah, paling  hanya  tinggal Jawa-Bali saja.

Tapi itulah pak Natsir, dia berani mengatakan ‘Jangan!”  dihadapan para pemimpin Dewan Militer ketika PRRI akan mengambil langkah pemisahan diri dalam pertemuan di  Sungai Dareh.

***

Leave a Reply