Home Artikel Teladan Mohammad Natsir di Tengah Hutan (1)

Teladan Mohammad Natsir di Tengah Hutan (1)

1712
0

Oeh: Tan Kabasaran (Mantan Pengawal Pak Natsir di Hutan dan Tokoh Masyumi Sumatra Barat)

Agak “istimewa” dari yang lain. Pertama kali bertemu, bukan saya yang mendatangi, tapi pak Natsir yang datang  ke Bukittinggi di awal Januari 1950. Beliau mengundang saya bertatap-muka.

Saya baru berusia 22 tahun tapi sudah bekeluarga, ketika mengayuh sepeda menginggalkan  rumah di Birugo menuju jalan Luruih untuk memenuhi undangan  bertemu pak Natsir di Markas Masyumi Sumatera Tengah. Saat itu beliau baru jadi Ketua Partai Masyumi.

Memang,  sejak usia mantah (muda) saya sudah berkecimpung di markas GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia). Di sini saya mulai dari tukang sapu,  hingga jadi Pengurus Wilayah GPII Sumatera Tengah.

Peristiwa pertamakali bertemu dengan pak Natsir sudah sangat-sangat lama berlalu. Sehingga saya  tak begitu ingat lagi  bagaimana  kesan  pertama  bertemu dengan  beliau.

Di antara  generasi pertama GPII dan Masyumi, saya  mungkin satu-satunya yang amat jarang menemui beliau ke Jakarta. Beliaulah  yang datang menemui saya.

“Angku Malin, kata pak Natsir (saat itu  saya belum bergelar Datuk), jangan jauh-jauh  dari ranah Minang. Saya minta Angku Malin  tetap saja  di kampung (Bukittinggi). Angku Malin  harus menjadi  tampatan (tujuan pertama) setiap pengurus Masyumi Pusat dan GPII Pusat  yang datang ke  ranah Minang.”

Amanah  itu, sampai  di usia laruik sanjo ini,  tetap saya pegang. Saya tak penah beranjak dari ranah Minang, kendati yang memberi amanah sudah lama berpulang ke pangkuan Allah Azza Wajalla.

Walau sangat jarang  keluar daerah, saya sangat mendalami garis dasar  perjuangan Masyumi  yaitu  mewujudkan  Islam sebagai Dasar Negara Indonesia. Mungkin sudah beratus  kali saya baca ulang  naskah pidato beliau  di muka sidang Konstituante  yang bertajuk  “Islam Sebagai Dasar Negara ”. Inilah yang pertama menarik saya  terjun ke GPII dan kemudian Masyumi.   Maka,  sebagai anggota Masyumi dan bagian  dari umat  Islam,  saya harus  tutut berjuang bagi terwujudnya  cita-cita  menjadikan Islam sebagai Dasar Negara dan berjuang mempersiapkan masyarakat  dengan berbagai kegiatan. Sebab, andai kata  Islam  berhasil dijadikan sebagai Dasar  Negara,  maka masyarakat telah siap  melaksanakan Syariat Islam  karena memang telah kita siapkan sejak awal. Dengan demikian masyarakat Indonesia tidak akan canggung lagi melaksanakan  hukum Islam. Karena tugas  menyiapkan mental masyarakat itulah, saya menjadi  punya  cukup banyak pengalaman dan kenangan bersama pak  Natsir.

Salah satu  persiapan mental umat melaksanakan Islam sebagai dasar negara  yang saya lakukan di Bukittinggi adalah  menyiapkan dan melaksanakan Kongres Alim Ulama se-Sumatera  selama sepekan di awal tahun 1967. Inilah  alek gadang  pertama yang berhasil mempertemukan para alim ulama di pulau  Sumatera dimana saya diamanahkan menjadi Kepala Sekretariat  persiapan dan pelaksananya.

Alhamdulillah, kongres Alim Ulama  se-Sumatera  selama lima hari itu  berakhir dengan  sukses. Lebih seratus tokoh Alim Ulama  di pulau Sumatera hadir. Kendati  tidak seluruh Alim Ulama  anggota Masyumi, namun Kongres itu berhasil melahirkan rekomendasi  yang intinya adalah juga tuntutan Masyumi.

Di antaranya  Kongres Alim Ulama  se Sumatera menuntut dibersihkannya pemerintahan dari unsur PKI. Bentuk Pengadilan Agama  mulai  dari Pusat hingga ke Kabupten/Kota di Indonesia. Tapi yang pokok bana sebagaimana tuntutan  Masyumi dan  kemudian  PRRI, adalah dimana Kongres Alim Ulama  dalam rekomendasi yang  ditandatangani  Buchari Tamam  selaku ketua dan Sofyan Hamzah Sekretaris  adalah, Pengurus Alim Ulama se Sumatera mempercayakan kepada Presiden membentuk  Kabinet yang dipimpin Mohammad  Hatta tanpa Dewan Nasional (DN) yang dipenuhi anasir  komunis/PKI.

Teladan di Tengah Hutan

Meski inti dari perjuangan pak Natsir adalah agar Negara yang baru merdeka tidak jatuh ke tangan komunis dan tidak terpecah belah menjadi beberapa Negara boneka bagi Negara Asing,  dan meskipun dukungan terhadap perjuangan pak Natsir  itu amat besar  seperti  rekomendasi Alim Ulama se-Sumatera itu,  tetapi tidak juga digubris rezim penguasa. Justru, jawaban yang diberikan pada pak Natsir adalah penyerbuan. Beliau  akhirnya  harus masuk hutan-keluar hutan, bahkan dipenjarakan. Tapi itulah  pak Natsir yang saya kenal. Beliau  seorang pemimpin  yang ikhlas dan istiqamah  dimana dan kapan pun,  bahkan  ditengah hutan sekalipun.

Saya adalah  kader  dengan status sebagai “pembawa tas” pak Natsir saat harus masuk hutan, keluar hutan. Tapi  sampai ke tengah hutan sekalipun saya mendapati  beliau yo bana pemimpin. Suatu ketika  di dalam hutan, saya menyaksikan beliau didatangi  orang kampung  yang mengantarkan pucuk ubi, nangka dan segala macam  sayuran. Memang orang kampung yang datang itu sudah terseleksi oleh kami.  Saya lupa namanya, dia datang  dengan pakaian kotor, berkeringat dan rambutnya kusut-masai. Tampaknya,  dari ladang dia langsung saja membawa sayuran dengan mengendap-ngendap terus ke  tempat persembunyian pak Natsir.

Oleh pak Natsir orang kampung yang datang dengan pakaiannya masih baluluak itu,  belum dibolehkan  pulang  sebelum makan sama-sama dengan beliau. Bahkan sampai ke tempat duduk pun beliau ‘istimewakan’.  Orang kampung itu  disuruh duduk di sebelah kanan  beliau,  di sebelah kiri beliau duduk ummi dan anak-anak beliau. Sedangkan saya oleh pak Natsir  di suruh duduk  di sebelah kiri orang kampung itu.

Berapa kali tampak  pak Natsir membasoi orang kampung itu. “Buekan samba, tambuahlah,” begitu sapa  pak Natsir. Beliau juga tidak buru-buru membasuh tangan begitu nasi di piringnya licin (habis). Beliau menanti  orang kampung itu sampai  selesai makan, dan barulah sama-sama mencuci tangan.

Kebesaran pak Natsir juga tampak ketika beliau berbincang-bincang  dengan orang kampung itu. Memang Rasulullah pernah mengatakan, “Berbicaralah dengan orang,  sepanjang  pengetahuannya”. Itu dipraktekkan  pak Natsir dalam pembicaraan dengan orang kampung itu.

Beliau  memang bicarakan juga spirit perjuangan, tapi tidak dengan bahasa ‘tinggi’. Jadi, siapapun  yang mau datang  tidak dibebani rasa takut. Lain dengan pak Syaf (Syafruddin Prawiranegara) atau   pak Bur  (Burhanuddin Harahap), banyak  kawan-kawan takut bila disuruh berbicara empat mata  dengan beliau, ‘setelannya’ tinggi.

Pak Natsir kalau berbicara,  selalu menyesuaikan dengan audiensnya. Saat berbicara dengan pak Wali Nagari Sungai Batang, dia bicara tidak  secadiak Camat. Setiap orang yang pertama bertemu dengan beliau, cepat terpaut hatinya dan  merasa seperti sudah kenal lama.

Dari pengalaman selama  hampir dua tahun berada dalam rimba bersama pak Natsir, saya sangat merasakan betapa beliau adalah pemimpin sejati yang tidak ada duanya  di republik ini. Di masa susah itu, beliau benar  sama-sama susah dengan yang dipimpin. Ketika  mendaki bukit atau menuruni lembah,  beliau  sama-sama berjalan kaki  dengan kami. Minta dipapah saja  beliau tidak pernah, apalagi minta ditandu.

Teladan dari seorang pemimpin yang ikhlas itulah yang menumbuhsuburkan benih kesetiaan  di hati  para  kader hingga  tinggal  di pelosok kampung dan di pinggir hutan sekali pun. Kesetiaan  para kader pak Natsir itu saya saksikan langsung  ketika kami baru masuk hutan.

Rimbo (hutan) pertama yang kami huni adalah rimbo Sitalang. Ini merupakan kawasan terujung dari wilayah  Lubukbasung Utara berbatasan dengan Palembayan.

Dari kampung  Sitalang ke  rimbo Sitalang cuma berjarak  satu jam  berjalan kaki  saja. Amat dekat sebenar, bagi kaki  tentara terlatih. Pada sebuah dangau  di tengah rimba Sitalang itulah pak Natsir diungsikan dari kejaran tentara Soekarno yang sudah sampai di kampung Sitalang.  Lebih delapan bulan pak Natsir di  sini. Tapi tidak pernah tercium oleh  tentara Soekarno yang terpisahkan oleh jarak cuma  satu jam  jalan kaki saja.

Pemimpim Masyumi Sitalang  bersama masyarakat benar-benar berjuang menyelamatkan pak Natsir,  sehingga tidak ada orang yang tahu lokasinya. Bila pun ada yang tahu, tapi masyarakat benar-benar bisa menutup mulut. Begitulah kharisma pak Natsir di hati ummat. Andai beliau  bukan pemimpin paling dicintai ummat, maka pada hari kedua masuk hutan saja,  pak Natsir  sudah ditangkap. Ya, berapa jauhlah jarak kami dengan balatentara Sekarno. Hanya sekitar satu jam  perjalanan saja, dan bagi tentara terlatih tentu itu sangatlah dekat.

Hanya karena kegelisahan seorang  tua yang  menjadi penunjuk jalan,  akhirnya pak Natsir setuju melanjutkan  perjalan  dari rimbo Sitalang  menembus hutan  Palembayan,  kemudian turun ke  Kayu Pasak, lalu  berbelok ke desa Maur. Setelah  berdiam beberapa malam,  Ketua Masyumi Palembayan memandu kami  ke dalam hutan yang jarang  dilalui orang.

Saya mengawal pak Natsir  menuju tepi  Batang Masang. Menjelang malam dari sini pak Natsir  diberangkatkan  ke seberang  Batang Masang  dengan menaiki rakit. Di sebarang Batang Masang itulah  selama 11 bulan, pak Natsir diselamatkan. Padahal jaraknya  tidaklah jauh  dari  tentara musuh.  Dari  persembunyian itu masih jelas terdengar deru oto prah  (truk)  yang hilir-mudik  mengangkut  tentara Soekarno.

Pak Natsir  berada  di sana lebih 11 bulan dengan aman. Dan, barulah keluar dari hutan  melalui Aia Kijang setelah Ketua Dewan Perjuangan PRRI,  Ahmad Husein, mengumumkan dihentikannya perlawanan,  pada awal Juni 1961.  

 Tapi pengumunan penghentian perlawanan oleh  PRRI,  bukan akhir perjuangan. Sebenarnya,  perjuangan dengan cara dan nama lain,  sudah  diproklamirkan jauh sebelum pengumuman itu. Tepatnya,  di awal Januari tahun 1961. Dalam suatu upacara di Bonjol Pasaman, diproklamirkanlah Republik Persatuan Indonesia (RPI) yang diikuti pak Natsir sebagai Menteri PDK dan Agama,  sedangkan Presiden RPI adalah pak Syafruddin Prawiranegara.

 Setelah memproklamirkan RPI di Bonjol ,  rombongan kemudian dibagi  dua. Rombongan pak Syaf dan Burhanuddin  berjalan ke arah Timur, sedangkan rombongan pak Natsir,  Dahlan Djambek dan saya berjalan  ke arah ke Barat.

Adapun  sebab RPI diproklamirkan karena perjuangan PRRI akan  segera berakhir dan dibubarkan oleh pemerintahan Soekarno. Sedangkan cita-cita perjuangan  PRRI belum tercapai, terutama tentang Pembubaran Dewan Nasional dan pembersihan Kabinet dari unsur PKI.

 Karena tidak ada lagi jalan kompromi dengan rezim Soekarno,  maka ‘dilatuihkan bana‘ Republik  Persatuan Indonesia .  Jalannya upacara ya,  seperti  upacara militer dilengkapi  dengan pasukan militer, di antaranya pasukan  Batalyon Kemal Amin.

RPI merupakan gerakan lanjutan PRRI yang dilengkapi  dengan naskah Proklamasi dan UUD. Mukaddimah UUD RPI merupakan kutipan langsung dari Pidato Mohammad Natsir dalam suatu pertemuan lengkap  Dewan Perjuangan PRRI.  Masyarakat akan dapat membaca selengkapnya Mukaddimah UUD RPI  di buku Kapita Selecta III yang akan terbit.

 Memang, yang diproklamirkan tetap saja bernama Republik Persatuan Indonesia (RPI).Ya, sebenarnya pak Natsir, pak Syaf, pak Bur dan sejumlah tokoh sipil itu sangat cinta Republik Indonesia. Tadinya, sebelum  dibentuknya PRRI para tokoh sipil ini sudah membuktikan kecintaannya pada Republik Indonesia. Jadi sebelum meraka datang dan bergabung,  para Panglima  yang membentuk Dewan-Dewan Daerah sudah sampai  pada  rencana pemisahan diri dari NKRI. Bahkan rapat di Sungai Dareh arahnya memang sudah ke sana, berjuang  melepaskan diri dari Republik Indonesia. Tapi dengan  keberadaan pak Natsir, pak Syaf, pak Bur dan Mr. Asaat, cita-cita itu dapat dipadamkan. Orang berempat ini bertahan dengan seruan,  “Jangan!” dan makanya yang dibentuk bernama PRRI  bukan Republik Sumatera atau bukan seperti yang sudah lebih dulu diproklamirkan yaitu RMS (Republik Maluku Selatan).

 Jadi, pak Natsir cs ini bukan pemberontak.Karena yang akhirnya dibentuk hanya Pemerintahan Revolusioner  Republik Indonesia. Bukan pemerintahan  Negara Sumatera misalnya atau seperti RMS itu. Tetapi  setelah lebih  2,5 tahun berjalan,  tak ada juga titik temu antara PRRI dan pemerintahan Jakarta. Bahkan jaraknya makin lama makin jauh, sementara di Maluku, Sulawesi dan Kalimantan kian tumbuh gerakan separatis yang mengancam keutuhkan Republik Indonesia. Maka, diproklamirkanlah Republik Persatuan  Indonesia  itu. (bersambung)

Leave a Reply