Home Artikel Kesatuan Piagam Jakarta dan Pancasila (1)

Kesatuan Piagam Jakarta dan Pancasila (1)

6134
0

Oleh: Nuim Hidayat  (Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Kota Depok)

 Ketika 2004, Hidayat Nur Wahid menjadi Ketua MPR, langsung diinterupsi seorang anggota DPR dari PDIP, bahwa jangan sekali-kali membawa-bawa Piagam Jakarta. Begitu pula ketika banyak UU di negeri ini yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, kalangan Kristiani menyatakan : “Kita memerlukan presiden yang tegas dan berani menentang segala intrik atau manuver-manuver kelompok tertentu yang ingin merongrong Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini. Ketika kelompok ini merasa gagal memperjuangkan diperlakukannya “Piagam Jakarta”, kini mereka membangun perjuangan ini lewat jalur legislasi. Mereka memasukkan nilai-nilai agama mereka ke dalam perundang-undangan.  Kini ada banyak UU yang mengarah kepada syariah, misalnya UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Wakaf, UU Sisdiknas, UU Perbankan Syariah, UU Surat Berharga Syariah (SUKUK), UU Yayasan, UU Arbitrase, UU Pornografi dan Pornoakasi, dan lain-lain. Apapun alasannya semuanya ini bertentangan dengan prinsip dasar negara ini.” (Tabloid Kristen, Reformata edisi 110/2009).

Konferensi Wali Gereja Indonesia, induk kaum Katolik di Indonesia, pernah mengirim surat kepada calon presiden SBY yang isinya: “Untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, kami menganjurkan kepada presiden dan wakil presiden terpilih untuk membatalkan 151 peraturan daerah ini dan yang semacamnya serta tidak pernah akan mengesahkan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan konstitusi Republik Indonesia.” (Adian Husaini, Pancasila bukan untk Menindas Hak konstitusional Umat Islam, GIP).

Kini KWI dan LSm-LSM sekuler di Indonesia menggugat perda-perda yang berkaitan syariah ini.  Menurut mereka Perda yang ditelurkan sejak 1999-2009 ini diskriminatif. Di Jawa Barat ada 35 Perda, Bali 31, Sumbar 26, Kalsel 17, Sulsel 16, NTB 13, Jatim 11, Aceh 7, Banten 6, Sumsel 5, Lampung 3, Riau 2, Gorontalo 2, Bengkulu 2, Sumut 1, Sulteng 1, NTT 1, Kalteng 1, Kalbar 1, Yogyakarta 1, Jateng 1 dan Bangka Belitung 1 Perda. (lihat Indopos, 10 Juni 2012).

Mereka kini menyorot Pemda Tasikmalaya yang mengeluarkan Perda No. 12 tahun 2009 tentang Membangun Tata Nilai Kehidupan Kemasyarakatan Berlandaskan Ajaran Islam dan Norma Sosial Masyarakat Kota Tasikmalaya. Anggota Komnas Perempuan Arimbi Herupoetri menyatakan,”Seseorang cara berpakaian diatur. Itu kita bilang bertentangan dengan konstitusi. Pergi siang dan malam diatur. Perempuan kalau keluar malam maka dibilang tidak baik. Bila dikriminalkan itu di Tasik yang kita pantau waktu itu.” Ia juga menyatakan bahwa kebanyakan korban perda syariah terebut adalah perempuan. Sebab yang dinilai selalu dikaitkan dengan wanita. Misalnya baju harus panjang dan tidak boleh tipis. Tidak boleh keluar malam.

Anggota Komnas Perempuan Andy Yetriyani mengatakan di akhir 2011, sudah ada 207 kebijakan diskriminatif atas nama agama dan moralitas yang terdapat di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten dan kota. Setiap tahun kebijakan diskriminatif serupa ini selalu bertambah, 189 kebijakan diskriminatif di tahun 2010 dari 154 kebijakan diskriminatif yang dilaporkan Komnas Perempuan pada 2009. Sebanyak 78 dari 207 kebijakan daerah tersebut secara langsung diskriminatif terhadap perempuan. (Indopos,  10 Juni 2012).

Kewenangan Pemda memutuskan –khususnya bidang agama ini- dianggap bertentangan dengan Undang-undang. Khususnya UU no. 22 tahun 1999 pasal 7 ayat 1 dan 2, yaitu bahwa pemerintah daerah dalam ayat 1 disebutkan tidak mempunyai kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiscal, agama serta kewenangan lain. Ayat menjelaskan kewenangan bidang lain yaitu kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro dan dana perimbangan keuangan. Selain ini sistem administrasi Negara dan lembaga perekonomian Negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya alam serta teknologi yang strategis.

 

Masalah Piagam Jakarta

Mengapa Piagam Jakarta –yang dianggap kini menjelma dalam Perda-Perda ini- selalu menjadi momok kalangan Kristen? Padahal bila ditelusuri sejarahnya, Piagam Jakarta adalah Dokumen Negara yang sah di negeri ini. Piagam Jakarta sesuai dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah menjiwai dan merupakan satu rangkaian kesatuan dengan UUD 45.

Piagam Jakarta yang berisi Pembukaan UUD 45 (hanya perkataan “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya diganti Ketuhanan Yang Maha Esa”) dirumuskan oleh Panitia Sembilan. Panitia kecil yang dibentuk menjelang kemerdekaan RI yang diambil dari anggota-anggota BPUPKI. Anggota Panitia Sembilan ini meliputi wakil kalangan nasionalis sekuler, Kristen dan nasionalis Islam. Mereka adalah : Soekarno, Mohammad Hatta, AA Maramis, Kahar Muzakkir, Abikusno Tjokrosuyoso, Agus Salim, Wahid Hasyim, Mohammad Yamin dan Ahmad Soebardjo.

Panitia Sembilan ini yang merumuskan Pembukaan UUD 45 yang rencananya akan dibaca pada proklamasi 17 Agustus 1945. Maka tokoh NU yang juga mantan Menteri Agama RI KH Saifuddin Zuhri menyatakan:  “Tidak sedikit orang yang melupakan bahwa justru Piagam Jakarta lah yang dengan tegas-tegas menyebut kelima sila dalam Pancasila mendahului pengesahan UUD 1945 itu sendiri.”

Nasib Piagam Jakarta

Setelah rapat berhari-hari –Soekarno mneyebutnya ‘berkeringat-keringat’—akhirnya pada 22 Juni 1945 Piagam Jakarta disahkan bersama. Dalam persidangan itu –baca buku Piagam Jakarta karya Endang Saifuddin Anshari—debat berlangsung sengit. Mulai dari masalah presiden harus orang Islam, dasar Negara harus Islam dan lain-lain.  Setelah perdebatan berlangsung lama, maka disetujuilah Piagam Jakarta yang isinya pembukaan UUD 45 yang juga mencakup Pancasila. Dimana sila I berbunyi Ketuhanan Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-Pemeluknya.

Piagam Jakarta yang dikawal empat tokoh Islam ini bila kita cermati beda dengan Pancasila rumusan Soekarno dan Yamin. Dimana masalah Ketuhanan, Keadilan dan Musyawarah mendapat tempat yang penting dalam sila-sila itu.

Tapi sayangnya Piagam Jakarta yang telah matang disetujui bersama untuk dibacakan pada proklamasi tanggal17 Agustus dan akan disahkan pada 18 Agustus 1945 itu digagalkan Soekarno dan kawan-kawannya. Pagi-pagi buta jam 4, Soekarno mengajak Hatta ke rumah Laksamana Maeda untuk merumuskan teks proklamasi. Naskah dari Panitia Sembilan dimentahkan di rumah perwira Jepang itu dan diganti coret-coretan teks proklamasi yang sangat ringkas.

Dan ujungnya pada tanggal 18 Agustus 1945, Piagam Jakarta juga diubah mendasar. Lewat rapat kilat  yang berlangsung tidak sampai tiga jam,  hal-hal penting yang berkenaan dengan Islam dicoret dari naskah aslinya.  Dalam rapat yang mendadak yang diinisiatif oleh Soekarno (dan Hatta) itu,  empat wakil umat Islam yang ikut dalam penyusunan Piagam Jakarta tidak hadir. Yang hadir adalah Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo. Yang lain adalah Soekarno, Hatta, Supomo, Radjiman Wedyodiningrat, Soeroso, Soetardjo, Oto Iskandar Dinata, Abdul Kadir, Soerjomihardjo, Purbojo, Yap Tjwan Bing, Latuharhary, Amir, Abbas, Mohammad Hasan, Hamdhani, Ratulangi, Andi Pangeran dan I Bagus Ketut Pudja.

Dalam rapat yang dipimpin Soekarno yang berlangsung pada jam 11.30-13.45 itu diputuskan : Pertama, Kata Mukaddimah diganti dengan kata Pembukaan. Kedua, Dalam Preambul (Piagam Jakarta), anak kalimat: “berdasarkan kepada Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, diubah menjadi “berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ketiga, Pasal 6 ayat 1, “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam”, kata-kata “dan beragama Islam” dicoret. Keempat, Sejalan dengan perubahan yang kedua di atas, maka Pasal 29 ayat 1 menjadi “Negara yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, sebagai pengganti “Negara berdasarkan atas Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

Keputusan Soekarno-Hatta dan orang-orang nasionalis sekuler itu (karena ancaman dari orang-orang Kristen Indonesia Timur), akhirnya dikecam keras oleh tokoh Islam Prawoto Mangkusasmito. Ia menyebut ada ‘pertanyaan sejarah’. Ia mengatakan: “Apa sebab rumus Piagam Jakarta yang diperdapat dengan susah payah, dengan memeras otak dan tenaga berhari-hari oleh tokoh-tokoh terkemuka dari bangsa kita, kemudian di dalam rapat “Panitia Persiapan Kemerdekaan” pada tanggal 18 Agustus 1945 di dalam beberapa menit saja dapat diubah? Apa, apa, apa sebabnya?”

Tahun 1957, dalam Sidang Konstituante, KH M Isa Anshari juga menggugat pencoretan tujuh kata itu : “Kejadian yang mencolok mata itu, dirasakan oleh umat Islam sebagai suatu permainan sulap yang masih diliputi oleh kabut rahasia sebagai permainan politik pat gulipat terhadap golongannya, akan tetapi mereka diam tidak mengadakan tantangan dan perlawanan karena jiwa toleransi mereka. Tidak dapat dihindari pertanyaan: “Kekuatan apakah yang mendorong dari belakang hingga perubahan itu terjadi? Penulis tidak tahu apakah pertanyaan ini masih dapat dijawab dengan jujur dan tepat. Apakah sebabnya Ir Soekarno yang selama sidang-sidang Badan Penyelidik dengan mati-matian mempertahankan Piagam Jakarta, kemudian justru memelopori usaha untuk mengubahnya? Penulis tidak tahu.”

Meski tokoh-tokoh Islam saat itu protes keras, karena merasa dikhianati oleh Soekarno, tapi mereka lebih memilih jalan damai. Kecuali mungkin DI/TII karena merasa sangat kecewa dengan berbagai tindakan Soekarno dalam pemerintahannya. Apalagi Soekarno saat itu berjanji bahwa di masa damai nanti akan lebih tenang menyusun kembali Undang-Undang Dasar. (bersambung)

Leave a Reply