Home Berita Syahrur dan Fenomena Infiltrasi

Syahrur dan Fenomena Infiltrasi

3244
0

INSAF (Insists Saturday Forum) pekan ini mengangkat satu isu yang cukup viral di media sosial, khusunya pasca-diluluskannya Disertasi S3 di salah satu Institusi pendidikan tertinggi di Indonesia. Nama Muhammad Syahrur menjadi buah bibir di sejumlah halaqah pengajian, diskusi ilmiah, bahkan ruang akademik, sebagai akibat dari pemikirannya yang diangkat oleh disertasi tersebut. Dan Daden Robi Rahman kali ini berkesempatan menjadi pemateri di kajian rutin pekanan ini dengan berusaha mendeteksi adanya infiltrasi dalam penafsiran model Syahrur.

Di awal presentasinya, pria asli Garut ini mengatakan bahwa menyelami pemikiran Syahrur itu cukup rumit. Sebab ia multidisipliner, mencangkup ‘Ulum al-Qur`an, Tafsir, al-Fiqh wa Ushuluhu, Filologi, dan lain sebagainya. Sejumlah karya Syahrur juga cukup banyak misalnya; al-Kitab wa al-Qur`an; Qira`ah al-Mu’ashirah, Nahwa Ushul al-Jadidah, Tajfif Manabi’ al-Irhab, al-Sunnah al-Rasuliyyah wa al-Sunnah al-Nabawiyyah dan seterusnya. Tetapi kita tidak perlu terkagum-kagum dengannya, sebab ulama`-ulama` kita jauh lebih banyak yang mumpuni dari dia, ujarnya.

Secara sederhana, lanjut Daden, Syahrur menganut Epistemologi Kantianisme, namun ada plusnya. Jika Kant cukup terkenal dengan Rasionalisme Kritis yang menafikan aspek wahyu, maka Syahrur masih memberikan tempat bagi wahyu dalam model Rasionalisme-Kritis miliknya. Selain itu, ia juga mengakui perlunya penggunaan Hermeneutika dalam al-Kitab (al-Qur`an). Tepatnya model Paul Ricour, tegas Daden.

Hal lainnya, ia juga anti pada sininomitas bahasa Arab, apalagi kepada istilah-istilah dalam al-Qur`an. Sebagai contoh; Syahrur membedakan dan merekonstruksi ulang makna dalam istilah; al-Qur`an, al-Kitab, al-Furqan dan al-Tanzil. Bahkan, ia juga merekonstruksi rukum Islam yang lima hanya menjadi tiga; yaitu bertuhan, memiliki kitab dan mengajarkan kebaikan. Dengan pemikiran ini lantas ia berkesimpulan bahwa Muslim itu bukan sekadar orang Islam, tetapi ada Muslim Hindu, Muslim Kristen, dan lainnya.

Selanjutnya, alumnus Pascasarjana UNIDA Gontor ini memaparkan sejumlah kasus yang juga ditulis oleh Syahrur sebagai akibat dari basis epistemologinya tersebut, khususnya menyangkut isu Milk al-Yamin yang tengah viral. Menurutnya, konsep tersebut sungguh tidak fair dan terlalu dipaksa-paksa. Sebab makna milk al-Yamin di zaman dahulu dengan partner seks itu berbeda. Syahrur hanya mencari legitimasi dan dalil untuk fenomena yang sekarang terjadi, itupun juga terlalu dipaksa-paksa. Bukan dalil pokok itu dijadikan acuan untuk menghukumi fenomena yang ada, tapi justru sebalikanya. Hal ini tentu saja tidak dibenarkan dalam Islam.

Setelah memaparkan kerapuhan pemikiran Syahrur, beberapa peserta yang kali ini jumlahnya lebih dari 100 orang, mengajukan sejumlah pertanyaan. Adapula peserta live streaming dari Qatar yang bertanya melalui whatsapp dan kemudian dibacakan.

Di akhir kajian, Direktur Eksekutif INSISTS berkenan memberikan Epilog. Dalam pesan singkatnya ia menegaskan “setidaknya kita memang perlu sadar wacana-wacana seperti ini. Dan bukan hanya sadar, tetapi harus peka. Sebab virus seperti ini memiliki dampak yang lebih besar bahayanya bagi kita dan ummat Islam secara umum,”. Maka karena itu Imam al-Ghazali jauh-jauh hari telah mengingatkan melalui karyanya Ihya ‘Ulum al-Din; ‘Araftu al-Syarra la Li Syarri”. Maksudnya bahwa kita mempelajari hal semacam ini bukan untuk mengikuti, tetapi untuk mencegah dan menaggulani”, pungkasnya.

Leave a Reply