Home Artikel Islam Liberal: Gerakan Transnasional yang dinaturalisasikan

Islam Liberal: Gerakan Transnasional yang dinaturalisasikan

8284
1
http://pykorry.com/why-liberalism-is-the-enemy-among-the-right/

Mohammad Syam’un Salim – Staff Media & Penerbitan INSISTS

Ahad, 15 September 2019, INSISTS kembali mengadakan seminar sehari. Kali ini tema yang diangkat adalah “Fenomena Transnasional Islam Liberal di Dunia Akademik”. Sebuah tema yang sebetulnya tidak asing, khususnya dalam tumbuh kembang wacana pemikiran Islam di Indonesia. Seminar sehari ini terbagi menjadi dua sesi: di mana sesi pertama diisi oleh dua narasumber. Pertama Dr. Nirwan Syafrin yang secara khusus memaparkan fakta-fakta penting terkait pemikiran liberal di dunia Arab, dan dilanjutkan oleh Dr. Syamsuddin Arif, yang dengan gamblang menjelaskan persoalan Syahrur dan diabolisme ilmiah.

Di sesi awal, Dr. Nirwan menjelasan  pembagian-pembagian; periodesasi pemikiran Islam  yang terdiri dari klasik, pre modern, modern dan kontemporer. Tipologinya; liberal, salafi dan eklektik. Dari pembagian itu, Dr. Nirwan memaparkan temuannya bahwa bila dipetakan, pintu masuk dari liberalisme di dunia Arab dimulai dengan invasi Napoleon ke Mesir di tahun 1798. Gerakan liberalisasi kemudian semakin menguat lagi dengan dikirimnya beberapa pelajar Mesir untuk melanjutkan studinya di negara-negara Eropa; lewat program yang dicanankan oleh Muhammad Ali di tahun 1813. Dari catatan Dr. Nirwan, hasil dari program tadi muncul beberapa tokoh; salah satunya Rif’ah Ali Tahtawi yang menerjemahkan beberapa buku pemikir Barat ke dalam bahasa Arab.

Hasil dari gerakan penerjemahan itu, muncul nama-nama seperti Syibli Syumail (1860-1917), Farah Antun (1874-1922) dari al-Jami’ah al-Utsmaniyah, Ya’qub Sarruf (1852-1927), Faris Nimr (1856-1951), Salamah Musa (1888-1958) dst. Pada lanjutannya, melahirkan nama-nama pemikir liberal Muslim, seperti; Qasim Amin, Luthfi Al-Sayyid, Muhammad Husain Haykal, Taha Husain juga Ali Abd al-Raziq. Perlu dicatat, di sela-sela penjelasan yang berkaitan dengan tokoh pemikir liberal Muslim, Dr. Nirwan memberikan tambahan bahwa Jalaluddin al‐Afghani juga Muhammad Abduh, bukan termasuk liberal; sebagaimana yang populer di telinga banyak orang.

Sebab baik Afghani maupun Abduh tidak sekalipun mengkampanyekan pemisahan Agama dengan Negara. Bahkan, keduanya secara eksplisit menyatakan bahwa Islam sejatinya sudah cukup modern. Maka kalau hanya ingin menjadi peradaban yang maju, Islam tidak perlu mencari-cari formulasi dari peradaban manapun—Barat tanpa terkecuali. Bahkan keduanya secara serius, menyebarkan ide pan-Islamisme; yaitu sebuah ajakan untuk kembali kepada Islam; di tengah-tengah populernya jargon sekuler. Oleh itu, bagi Dr. Nirwan kedua tokoh sentral ini tidak bisa dikatakan masuk dalam kategori liberal, karena secara garis besar pemikirannya tidak beririsan dengan ide-ide liberal.

Kemudian, gerakan Liberal-Sekuler ini semakin meluas lagi, disebabkan kekalahan bangsa Arab dalam peperangan melawan Israel di tahun 1967. Dr. Nirwan melanjutkan; kekalahan itu, secara emosional memunculkan bentuk frustasi yang mendalam di kalangan kelompok elit Arab. Di mana akibat dari peristiwa itu, bangsa Arab merasa terluka dan melampiaskan luka itu lewat kemarahan dan sikap emosi; dengan mengkritisi tradisi, nilai, ulama, politik, sosial, agama, tanpa terkecuali akal Arab.

Di sini, masyarakat Arab memasuki periode yang disebut marhalah al-naqd al-ma’rifi. Peristiwa demi peristiwa itu pada muaranya melahirkan gerakan untuk bersikap skeptis pada Islam “sceptics of Islam”. Sebuah gerakan yang mulai mempertanyakan kembali prinsip-prinsip agama Islam yang telah mapan. Menariknya, ide liberalisasi juga sekularisasi pada titik tertentu sebenarnya menyalahi prinsip yang ia bawa sendiri; yaitu menggunakan dalil kitab suci sebagai basis pendapat. Di satu sisi ada upaya berlepas; bebas, liberty dari dalil-dalil agama karena dianggap kuno; tidak kontekstual, tapi di sisi yang bersamaan dengan malu-malu, (masih) menggunakan dalil-dalil agama tersebut untuk menjustifikasi keyakinannya. Maxisme, Freudisme, Strukturalisme, Dekonstruksionisme, Feminisme dll, berusaha mencari pembenaran lewat dalil agama.

Sikap yang tidak konsisten dan paradok ini menurut Louay Safi dalam “the Challenge of Modernity” digunakan untuk menegaskan bahwa pemikiran liberal dan sekuler bukan sesuatu yang asing di mata agama “..realized that they cannot win the struggle for their modernist project without taking head on the theoretical basis of religious ideas, that is without turath interpreting the Islamic heritage and using it in support of their claims to legitimacy”. Ini berarti pada kenyataannya, ide liberal sebebas apapun klaimnya tetap tidak bisa terlepas dari dalil-dalil agama; minimal sebagai upaya pembenaran, agar idenya dapat diterima oleh masyarakat secara luas.

Dari itu, buku-buku seperti “Min al-Turath ila al-Thawrah” karya Tayyib Tazini, “al-Nazrah al-Maddiyah fi al-Falsafah al-Islamiyah” karya Husayn Muruwwah, “Naqd al-‘Aql al-Islami” karya Mohammad Arkoun, “Naqd al-‘Aql al-Arabi” karya Abid al-Jabiri, “al-Turath wa al-Tajdid” karya Hassan Hanafi, hingga “Nasiyyah al-Qur’an” karya Nasr Hamid Abu Zayd dll, beredar dengan bebas di pasaran. Anehnya, buku-buku ini beredar lepas tanpa ada upaya kritik yang memadahi; buku-buku ini menjadi rujukan di beberapa perguruan tinggi khususnya Indonesia. Di sini, fenomena transnasional Islam liberal di dunia akademik berawal dan bermula.

Lebih jauh lagi, di sesi akhir dan Tanya jawab, Dr. Nirwan memberi sebuah simpulan penting terkait ciri khas dari gerakan liberalisasi ini, di antaranya: pertama, gerakan liberalisasi membongkar struktur terdasar epistemologi Islam yaitu; al-Qur’an, dilanjutkan dengan membongkar struktur-struktur yang lain setelahnya. Kedua, Islam hanya dianggap sebagai norma dan etika semata, tidak disertai dengan syariat. Ini berarti, upaya dekonstruksi dan desakralisasi tampak jelas terlihat. Ketiga, I’adatu Tafsir yaitu adanya upaya menghadirkan tafsir ulang, dan metodologi khas Barat: hermeneutika sebagai pendekatan.

Keempat, inkonsisten dan tidak fair melihat persoalan. Ini bisa dilihat dari bagaimana kalangan liberal dan para pengagumnya begitu kritis kepada para ulama, tetapi di saat yang bersamaan daya kritis itu hilang begitu saja ketika bersinggungan dengan karya-karya yang berupaya menyelisihi Islam; tanpa telaah yang mendalam, mereka menerima begitu saja. Bahkan auto benar dengan sendirinya. Kelima, Ideologisasi dan indoktrinasi dalam bentuk baru. Ciri kelima ini terlihat, bagaimana narasi mengikuti al-Qur’an, sunnah dengan para Ulama salih, dianggap indoktriner. Padahal di saat yang bersamaan, narasi tersebut secara tidak langsung juga bermakna indoktriner; kalangan liberal menginginkan semua umat muslim mengikuti apa yang selama ini mereka hasilkan. Ini adalah bentuk lain dari indoktrinasi dan ideologisasi. Persis seperti peribahasa melayu: “menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri”.

Sejalan dengan itu, Dr. Syamsuddin Arif dalam seminar lanjutan juga menyebutkan bahwa salah satu dari hasil liberalisasi adalah krisis otoritas. Di mana dalil-dalil agama, tidak lagi dipahami dengan merujuk kepada ulama yang mu’tabar tetapi malah merujuk kepada yang tidak menguasai ilmu agama sama sekali, dengan dalih relativisme kebenaran tafsir, kebebasan berpendapat dan berpikir. Gagasan ini menurut Dr. Syamsuddin tidak realistis, naif dan patut untuk dicurigai. Tidak realistis karena riilnya tidak semua penafsiran harus diterima, begitu pula sebaliknya. Penafsiran yang dimaksudkan untuk justifikasi pada ideologi tertentu, kepentingan atau ambisi tertentu; yang menggiring pada paham-paham tertentu jelas ditolak dan tidak bisa diterima dengan alasan apapun.

Naif karena seruan itu akan kembali dan menyerang dirinya sendiri “self defeating”. Keyakinan atas adanya relativitas terhadap tafsir, secara tidak langsung merelatifkan tafsirannya sendiri, dan mengisaratkan bahwa kata-katanya sendiri tidak layak untuk diikuti. Sedang patut untuk ‘dicurigai’ karena ada kemungkinan bahwa seruan itu jangan-jangan adalah tuntutan agar dirinya yang belum layak untuk menafsirkan diberikan hak dan kesempatan untuk menafsirkan al-Qur’an; untuk mengakomodir keyakinannya “bisa dibayangkan apa yang terjadi jika pramugari berlagak menjadi pilot atau perawat berlagak sebagai dokter” pungkas dosen pascasarjana alumni Gontor yang asli betawi ini.

Lebih dalam lagi, Dr. Syamsuddin secara khusus menjabarkan kesalahan-kesalahan Syahrur berserta pengikutnya dalam menyimpulkan ayat-ayat ahkam yang ada di dalam al-Qur’an. Misalnya saja ketidakonsistenan syahrur dalam membaca terminologi milkul yamin. Dalam beberapa penjelasan Syahrur menerangkan milkul yamin sebagai “patner seksual” tetapi pada lembaran lain, ia menjelaskan milkul yamin sebagai “hubungan antara tuan dengan budak”; yaitu sebuah predikat. Ini jelas terlihat janggal. Sebab secara logika ‘substance’ tidak bisa disamakan dengan predikat, begitupun sebaliknya.

Selain itu—dalam kasus milkul yamin ini—penjelasan Syahrur juga terindikasi dekat dengan Shiah. Hal ini tampak dari pengakuannya bahwa nikah mut’ah merupakan satu bentuk dari akad milkul yamin “nikahu al-mut’ah shaklun min ashkali ‘uqud milku al-yamin”. Selain nikah mut’ah, turunan dari milkul yamin ini antara lain; nikah muhallil, nikah urf, nikah misyar, nikah misfar, nikah friend, nikah hibah, al-musakanah, dan akad ihson. Dari penelusuran Dr. Syamsuddin, semua turunan dari milkul yamin ini, bila dilihat dari kacamata fiqih, masuk pada kategori haram oleh jumhur ulama. Artinya tidak ada satupun dari ulama yang memperbolehkan nikah-nikah yang disebutkan syahrur sebelumnya.

Dengan demikian, pernyataan bahwa Syahrur (disertasi Abdul Aziz) menghalalkan zina, adalah tepat. Sebab segala macam turunan dari milkul yamin masuk pada kategori hubungan seksual yang dilarang oleh mayoritas ulama. Oleh itu, berkenaan dengan konsep milkul yamin ini, Dr. Syamsuddin mensinyalir bahwa Abdul Aziz menggunakan hermeneutika hukum ala Syahrur sebagai pretext guna mendekonstruksi syariah. Dari disertasi Abdul Aziz juga diketemukan paham relativisme epistemologis dan pluralisme hukum. Di mana secara terang benderang Abdul Aziz mengutip Syahrur menyebutkan bahwa milkul yamin sebagai hubungan seksual yang sah dan diperbolehkan di dalam Islam.

Di sini, Syahrur sepertinya terpengaruh oleh paradigma sekuler liberal dalam melihat hubungan seksual. Di Barat hampir seluruh hubungan seksual diperbolehkan, asal dilandasi oleh suka sama suka; tanpa keterpaksaan. Mulai dari pernikahan secara resmi, non pernikahan yang terbagi menjadi cohabitation (kumpul kebo), promisculity (pergaulan bebas), infidelity (perselingkuhan), hingga LGBTQ (lesbian, gay, biseksual, transgender dan queer), semua diperbolehkan. Jadi Syahrur beserta pengagumnya sejatinya—dalam kasus ini—secara tidak langsung, ingin, membungkus upaya  legalisasi seks bebas dengan mengatasnamakan hak asasi manusia (HAM), dan membalutnya dengan kajian-kajian akademis.

Di akhir penjelasannya, Dr. Syamsuddin memberikan simpulan analisa, bahwa apa yang dihasilkan Syahrur ini memuat beberapa hal yang perlu dicatat dengan tinta merah. Pertama, Syahrur mendasari simpulannya dengan melakukan tafsir secara liberal “bi ra’yi al-fasid”. Ini bisa dilihat dari bagaimana Syahrur memberikan tafsiran yang tidak terikat oleh pakem apapun. Kedua, membuat kesimpulan hukum tanpa disertai ilmu yang memadahi “bi ghairi ‘ilm”. Sebagai lulusan teknik sipil, dan tidak punya latar belakang belajar agama secara serius, Syahrur bukan saja tidak otoritatif, tapi juga tampak tidak professional dan bukan ranahnya. Ketiga, secara terang-terangan mengabaikan prinsip-prinsip ilmu tafsir. Dan yang terakhir, mengabaikan otoritas; para ahli hukum. Syahrur membuat tafsiran sendiri, tanpa sekalipun merujuk kepada yang punya otoritas di bidangnya.

Dari itu, gagasan liberalisasi pemikiran sejatinya bermasalah bahkan sejak dari awal mulanya; mulai dari problematika dari sisi terminologi atau istilah, yang dibahas, epistemologinya, sampai pada kesalahan logika; yang paling jelas terlihat berupa inkonsistensi dalam mengutarakan argumen. Upaya-upaya liberalisasi pada muaranya tidak jauh dari upaya dekonstruksi syariah, desakralisasi teks dengan kedok ilmiah, objektif, punya nilai universal, akademis, yang sejak awal sama sekali tidak mencerminkan keseluruhannya. Maka tidak berlebihan, bila agenda liberalisasi ini disebut sebagai gerakan transnasional yang dinaturalisasikan dengan penuh kepentingan dan dipaksa-paksakan, jauh dari kesan akademis yang selama ini disuarakan dan dibangga-banggakan. Wallahu a’lam.[]

1 COMMENT

Leave a Reply