Jum’at, 16 September 2011, pagi hari, sekitar pukul 08.00, para pecinta dakwah Islam diguncang oleh sebuah berita besar: Ustadz Muzayyin Abdul Wahab meninggal dunia dalam usia 59 tahun. SMS berita menyebar. Sesuai permintaan putrinya yang saat itu sedang berada di Jawa Timur, diperkirakan jenazah baru dimakamkan malam harinya.
Sekitar pukul 18.15, saya tiba di Muslimah Center Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, di Cipayung, Jakarta Timur. Alhamdulillah, saya masih “keburu” untuk menshalatkan jenazah Ustadz Muzayyin. Diumumkan, shalat itu sudah yang ke-14 kali, dipimpin oleh Ustadz Abdul Wahid Alwi. Masjid Muslimah Center mampu menampung sekitar 400 jamaah. Dan saya mendapatkan deretan shaf hampir belakang.
Ustadz Wahid Alwi, Wakil Ketua Umum Dewan Da’wah, mengimami shalat jenazah sambil terus terisak-isak berusaha menahan tangis. Ia tak mampu menahan tangis duka, kehilangan sahabat terdekatnya. Setelah itu, masih ada beberapa kali lagi rombongan peziarah yang melaksanakan shalat untuk jenazah Ustadz Muzayyin, yang tiba di Muslimah Center sore hari, dari Rumah Sakit Holistik, Purwakarta. .
Jumat siang itu, saya sempat mengirim SMS kepada seorang pimpinan redaksi media Islam: “Telah wafat Ustadz Muzayyin Abdul Wahab, seorang pejuang sejati. Mohon bisa dibuatkan profil khususnya.”
Esok harinya, ternyata media itu tidak memuat berita apa pun tentang :”kepergian” Ustadz Muzayyin. Saya maklum. Ustadz Muzayyin mungkin tidak menarik perhatian media. Ia bukan dai kondang. Ia bukan penceramah yang pintar melucu dan berakting. Ia bukan artis. Ia bukan selebritis. Hidupnya jauh dari berita dan liputan media.
Justru, itulah salah satu kelebihan pejuang yang ;luar biasa ini. Saya sudah mendengar namanya sejak tahun 1980-an, saat masih kuliah di IPB. Beliau dikenal sebagai salah satu aktivis dan tokoh muda dalam dunia dakwah. Awal tahun 1997, saya berkesempatan mengenal sosok ini lebih dekat, saat bersama-sama umrah dan mengunjungi Negara Yordan. Masih tersimpan, foto-foto kami saat bersama-sama mandi di Laut Mati. Melalui Ustadz Muzayyin inilah saya mengenal banyak pelajaran dakwah yang diajarkan oleh para tokoh besar seperti Mohammad Natsir, Sjafrudin Prawiranegara, Profesor Rasjidi, dan sebagainya. Ia bukan hanya bercerita, tapi dia juga menjadi bagian dari berbagai pekerjaaan dakwah itu.
Bertahun-tahun, saya mencoba mengenal lebih dekat tokoh yang terbilang bertubuh mungil ini. Wajahnya lembut. Tutur katanya teratur dan santun, tidak meledak-ledak. Kepiawaiannya yang sangat istimewa adalah dalam pengajaran Siroh Nabi, sejarah perjuangan Nabi Muhammad saw. Tapi, kehebatan Ustadz Muzayyin yang fantastis adalah pada karya-karya dakwahnya. Ia bicara seperlunya. Tapi, kerja-kerja dakwah terus dilakukannya tanpa henti, sampai akhir hayatnya.
Di sejumlah daerah yang saya kunjungi, saya menjumpai “jejak-jejak dakwah” Ustadz Muzayyin. Ratusan Masjid yang dibangun Dewan Da’wah di berbagai pelosok Indonesia, bisa dikatakan ada jejak keterlibatannya. Tapi, bukan hanya itu. Saya terperanjat saat mengunjungi sebuah Pesantren Tahfidzul Quran terkenal di Pekalongan, beberapa tahun lalu. Pimpinannya, seorang Ibu berusia 80 tahun, bercerita, bahwa Ustadz Muzayyin banyak membantu dalam berbagai hal. Padahal, namanya tidak ada di situ. Di sebuah pesantren terkenal di daerah Tawangmangu juga tidak ada tertera nama Ustadz Muzayyin di prasastinya. Tapi, pimpinannya mengakui jasa Ustadz Muzayyin yang luar biasa dalam pendirian dan perjalanan pesantren bergengsi tersebut.
Menurut Ustadz Wahid Alwi, salah satu kelebihan Ustadz Muzayyin adalah keinginannya untuk bergaul dan berbuat baik pada berbagai pihak, meskipun dengan yang berbeda pendapat. Bahkan, dia nyaris tak terusik emosinya, jika yang disinggung adalah pribadinya. “Tetapi jika yang disinggung adalah Islam dan dakwah Islam, dia cepat sekali memberikan reaksi,” tutur Ustadz Wahid, yang di awal Ramadhan sempat berobat di tempat yang sama dengan sahabatnya itu.
Terhadap orang yang menentang dakwahnya pun, Ustadz Muzayyin tak segan mengunjunginya saat dia sakit. “Ketika beliau sedang dirawat di rumah sakit, beliau keluar bertakziyah ke rumah orang yang selalu memusuhi dakwahnya,” tutur seorang muridnya.
Kehadiran ribuan orang saat kewafatan Ustadz Muzayyin menunjukkan bahwa sosok yang satu ini benar-benar sangat dicintai. Jumat siang itu, seorang pengurus masjid dekat rumah saya, mengumumkan “kepergian” Ustadz Muzayyin sambil menangis. Padahal, mungkin sangat sedikit jamaah shalat Jumat yang mengenal Ustadz Muzayyin. Pengurus Madjid itu pun bukan keluarga Ustadz Muzayyin.
Tanda-tanda kepergian Ustadz Muzayyin sudah dirasakan oleh beberapa muridnya, sejak akhir Ramadhan 1432 H. Imam Zamroji, salah satu murid terkemukanya, berkisah, saat i’tikaf di Masjid Islamic Center, Ustadz berpesan, bahwa apa yang sudah baik hendaknya diteruskan. Dakwah harus terus dilanjutkan, tidak boleh terhenti. “Ini sepertinya Ramadhan saya yang terakhir,” begitu tutur Ustadz Muzayyin, seperti ditirukan Imam Zamroji.
Tanggal 25 Ramadhan 1432, Ustadz Muzayyin berpindah i’tikaf ke kampung halamannya di satu daerah di Boyolali. Ungkapan serupa, bahwa ini Ramadhannya yang terakhir, juga diulang kembali. Usai Idul Fithri, ia kembali ke Jakarta. Lagi-lagi, kepada keluarga dan murid-muridnya ia juga berpesan, agar pengajian harus terus dilanjutkan. Jangan tergantung pada dia.
Ada kisah lain, sebelum Ustadz Muzayyin balik kampung di bukan Ramadhan lalu. Imam Zamroji dan beberapa murid terdekat Ustadz Muzayyin, membawa anak-anak mereka ke rumah Sang Ustadz. Anak-anak yang sedang belajar di beberapa pesantren itu diajak melihat-lihat koleksi Kitab Sang Ustadz, sambil berpesan, “Ini semua harus dibaca!” Satu persatu mereka kemudian diberi hadiah uang Rp 50.000.
“Ustadz Muzayyin sangat senang dengan kehadiran orang-orang berilmu atau yang sedang menuntut ilmu,” kenang Imam Zamroji, yang sudah belajar pada Ustadz Muzayyin sejak tahun 1990. Begitu senangnya dia jika ada orang berilmu mengunjungi rumahnya, ia berusaha menyiapkan semaksimal mungkin untuk menyenangkan tamunya.
Sang Ustadz memang sosok yang haus ilmu. Di tengah-tengah kesibukan dan belitan penyakit “gagal-ginjal” yang menderanya, lulusan King Abdul Aziz University Jeddah tahun 1985 ini masih menyempatkan diri kuliah S-2 di sebuah Perguruan Tinggi Islam di Jakarta. Tesisnya belum sempat diselesaikan sampai akhir hayatnya.
Ustadz Muzayyin adalah sebuah teladan yang luar biasa: dalam dakwah dan dalam kehidupan pribadi serta keluarga. Saat memberikan sambutan, dengan berlinang air mata, Ketua Umum Dewan Da’wah, Ustadz Syuhada Bahri berkisah tentang kesabaran Ustadz Muzayyin dalam merawat istrinya yang terbaring sakit selama delapan tahun. Sejumlah anggota keluarga dan murid serta sahabat terdekat yang saya hubungi, mengaku tidak pernah mendengar, mengapa Ustadz Muzayyin tidak menikah lagi.
Hanya, seorang adiknya mengungkapkan kesannya, bahwa Ustadz Muzayyin begitu menyayangi istrinya sehingga tidak ingin menurunkan motivasi istrinya untuk sembuh, meskipun selama delapan tahun dia harus merawat istrinya yang terbaring sakit. Padahal, menurut seorang muridnya, pihak keluarga istri sudah merelakan Sang Ustadz untuk menikah lagi.
“Kesabaran beliau ini sangat luar biasa,” kata Ustadz Syuhada, sambil berurai air mata. Ya, sebuah kesabaran yang sulit tertandingi. Tiga tahun terakhir, Ustadz Muzayyin sendiri sebenarnya membutuhkan perawatan intentsif. Ia diuji oleh Allah SWT, menderita penyakit gagal ginjal, dan harus menjalani cuci-darah dua kali dalam sepekan. Toh, aktivitas dakwahnya tidak pernah kendor. “Beliau itu terkadang lupa akan kondisinya. Berbicara berjam-jam tentang masalah dakwah, padahal dalam kondisi sakit,” tutur seorang muridnya.
Dan akhirnya… hanya selang empat bulan setelah istrinya wafat, Sang Ustadz pun menyusulnya. Saya masih ingat, empat bulan lalu, di tempat yang sama, di Masjid Muslimah Center, Ustaz Muzayyin sendiri yang memimpin shalat jenazah dan memberikan sambutan. Sambil terisak-isak, Sang Ustadz berkisah tentang “kepergian” istrinya dan memintakan maaf serta keikhlasan tentang berbagai urusan kepada para hadirin saat itu.
Itulah sosok Sang Ustadz teladan. Menurut Imam Zamroji, selama berpuluh tahun menimba ilmu dan kehidupan pada Sang Ustadz, ada satu ungkapan yang terus-menerus disampaikan. Yakni, bahwa yang terpenting dalam dakwah adalah keteladanan yang baik (qudwah hasanah). Dan Sang Ustadz dicintai oleh murid-muridnya karena ia bukan hanya berbicara, tetapi berusaha sekuat tenaga menjadikan kehidupannya sebagai teladan dakwah.
****
Saya bersyukur kepada Allah, diberi kesempatan cukup panjang berinteraksi dengan Sang Ustadz teladan ini. Catatan ini ditulis saat berada di atas Kapal penyeberangan Selat Sunda, dalam perjalanan pulang dari Kota Bandar Lampung, menghadiri sebuah acara pernikahan Ustadz Pesantren Husnayain. Di tengah lautan, banyak kenangan bersama Sang Ustadz yang mencoba saya ingat-ingat kembali. Alhamdulillah, saya diingatkan pada SMS terakhir yang pernah saya terima dari Sang Ustadz. Ketika saya telusuri, ternyata SMS itu masih ada.
SMS dari Ustadz Muzayyin bertanggal 19 Mei 2011, pukul 19.45, itu berbunyi: “Buku tulisan antum yang berjudul Pancasila sudah saya terima. Jazakumullahu khairan. Dulu, sekitar (tahun) (19)82-(19)83, Profesor Doktor M. Rasjidi di celah-celah sidang tahunan Majlis Ta’sisi Rabithah, beliau berazam: “Saya mau menulis buku kritik terhadap Pancasila yang sering disalahgunakan dan juga falsafinya. Tapi saya mewasiatkan keluarga supaya buku diterbitkan sesudah saya mati.” Sepulang dari Saudi, saya coba mengingatkan dan menanyakan beliau tentang azam beliau itu. Beliau hanya tersenyum khas. Sesudah beliau wafat saya Tanya Ibu (Rasjidi), tapi katanya beliau tidak meninggalkan tulisan yang dimaksud. Alhamdulillah niat baik beliau, antum yang melanjutkan, walaupun antum sesungguhnya tidak tahu niat beliau tersebut. Tapi ini justru member arti orisinalitas gagasan antum. Substansinya pikiran dua generasi yang berbeda ini adalah sama. Selamat!! (MAW).”
Buku saya yang dimaksud Ustadz Muzayyin berjudul Pancasila bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam (Jakarta: GIP, 2010). Memang selama ini, dia tidak pernah bercerita tentang azam Prof. Rasjidi tersebut. Tapi, membaca berbagai karya HM Rasjidi, saya bisa memahami, tentu beliau sangat terusik dengan berbagai usaha untuk menindas umat Islam dan dakwah Islam, dengan mengatasnamakan Pancasila. Upaya Ustadz Muzayyin menagih azam Pak Rasjidi untuk menulis tentang Pancasila juga menunjukkan kepedulian dan kesungguhannya dalam urusan dakwah Islam.
Buku Pancasila itu juga saya tulis dengan latar belakang yang hampir sama. Begitu banyaknya pihak yang selama ini bicara dan mengajarkan Pancasila, tetapi mengabaikan makna Pancasila sebagaimana dipahami oleh para perumusnya dan lepas dari “makna kata-kata kunci dalam Islam” yang terdapat dalam sila-sila Pancasila, seperti makna adil, adab, hikmah, musyawarah, dan sebagainya. Kini, misalnya, banyak pejabat Muslim bicara tentang keadilan dan manusia beradab, tetapi tanpa merujuk pada makna istilah adil dan adab sebagaimana dijelaskan dalam ajaran Islam. Aneh, jika mengaku adil dan beradab, tetapi mengembangkan kemusyrikan kepada Allah SWT dan mengingkari utusan-Nya.
Di tahun 1970-1980-an, pelajar yang berjilbab dituduh anti-Pancasila, hanya karena berjilbab. Ada seorang Menteri di era Orde Baru yang menolak mengucapkan salam Islam, karena menurutnya, dia bukan meterinya orang Islam saja. Meskipun dia mengaku beragama Islam. Di era reformasi, masih ada berbagai pihak yang menuduh, penerapan syariat Islam sebagai hal yang bertentangan dengan Pancasila dan menghancurkan NKRI.
SMS Sang Ustadz teladan itu sangat bermakna, bagi saya khususnya. Beliau memang sangat mencintai ilmu dan dakwah Islam. Dan untuk pertama kalinya saya saksikan, usai doa dilantunkan, seorang yang berdiri di tepi makam ustadz Muzayyin Abdul Wahab, meneriakkan takbir tiga kali: Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar… Kita lanjutkan perjuangan! Dan ratusan hadirin pun menyambutnya: Allahu Akbar!
Selamat jalan Sang Ustadz teladan! Mudah-mudahan Allah SWT menerima semua amal beliau dan mengampuni segala kesalahannya. Lebih penting, kita bisa meneladaninya, melanjutkan perjuangan dakwah Islam…. Yang baik kita lanjutkan, bahkan kita tingkatkan. Yang kurang kita sempurnakan. Yang keliru, kita perbaiki. Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu’anhu. (Depok, 19 September 2011).