Setelah beberapa bulan “mati suri”, Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) kembali dibahas. ICMI danPemerintah mengadakan seminar nasional “Menganalisis Dimensi Sosial Budaya dan Agama dalam RUU KKG” di Auditorium KH. H.M Rasjidi, Kementerian Agama, Rabu (14/11/2012). Dalam kesempatan kali ini, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) memberikan naskah usulan untuk RUU KKG kepada Ketua Panja Komisi VIII dari fraksi Partai Golkar, Dr. Hj. Chairun Nisa.
Hadir dalam seminar tersebut, Menteri Agama, Suryadharma Ali, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Gumelar, Ahli Hukum Tata negara, Prof. Jimly Ashshiddiqie, Ketua Panja Komisi VIII DPR, Dr. Chairun Nisa dan Prof. Aida Vitayala.
Prof. Jimly mengatakan bahwa kesetaraan bukan berarti kesamaan dan kesetaraan tidak sama dengan kesamaan. Prinsip dari RUU KKG adalah anti diskriminasi.
“Kita bicara tentang substansi kebijakan, Kita bicara tentang perempuan dan laki-laki, bukan kesamaan tapi kesetaraan. Prinsip dari RUU KKG ini adalah anti diskriminasi. Spirit anti diskriminasi adalah non derogable rights”, jelas Prof. Jimly.
Tidak hanya itu, Dr. Chairun Nisa juga mengatakan bahwa RUU KKG ini berbeda dari RUU lainnya yang dibahas oleh Komisi VIII.
“Di Komisi VIII, RUU jaminan produk halal, masih ada belum kesepahaman antara DPR dan pemerintah juga RUU Penyelenggaraan Haji, tapi bedanya RUU KKG sudah ada kesepahaman antara pemerintah dan DPR”, terang Dr. Chairun Nisa, ketua Panja Komisi VIII DPR RI dari Fraksi Golkar.
Kemudian Aida Vitayala mengungkapkan bahwa Gender itu tidak sama dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. “Gender itu tidak sama dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Ada jenis kelamin sekunder dan jenis kelamin tersier. Ciri biologis primer tidak dapat berubah, ciri biologis sekunder alternatif, biologis tersier, ini yang dapat diubah, sesuai komitmen norma setempat”, jelas Aida.
Ia juga mengungkapkan dari tahun 1990-2000, di Indonesia sebelum ada gender, perempuan itu sudah kerja, sudah berkarier, 80% karena mereka harus bekerja. Tidak lagi dipersoalkan perempuan di rumah dan laki-laki di luar rumah.
Dalam kesempatan tersebut, seorang peserta perempuan, mengusulkan agar ada pelatihan Gender pada ustadzah-ustadzah yang banyak di Majelis Ta’lim, selain itu ia juga mempertanyakan banyaknya Perda-perda di Aceh yang bertentangan dengan RUU KKG.
Menurut Aida, diantara enam alasan wanita di dunia untuk tidak berkeluarga adalah untuk mencapai the Top Carrier. Dari 1000 CEO yang ada di dunia ada 40 perempuan (majalah Fortune), tidak menikah karena sulit menyeimbangkan kehidupan.* (Sarah, reporter hidayatullah.com)