Home Artikel Ritual Kuno di Lereng Merapi

Ritual Kuno di Lereng Merapi

4329
0

Banyak cerita beredar seputar bentuk-bentuk ritual kuno di wilayah lereng Merapi. Salah satunya adalah  ajaran Bhairawa Tantra, yang   merupakan bentuk sinkretisme dari agama tertentu. Awalnya keyakinan ini hanya berkembang di elit politis Keraton saja dan berfungsi untuk menjaga kewibawaan penguasa. Cara pandang utama dari aliran ini adalah dengan memperturutkan hawa nafsu, sehingga kecenderungan jiwa akan lebih mudah diarahkan untuk menjauhi nafsu-nafsu tersebut. Menurut ajaran ini, orang hendaknya jangan menahan nafsu, bahkan sebaiknya manusia itu memperturutkan hawa nafsu. Sebab bila manusia terpuaskan nafsunya, maka jiwanya akan menjadi merdeka. (Dr. Prijohutomo. Sedjarah Kebudajaan Indonesia I: Bangsa Hindu. (Jakarta-Groningen: J.B. Wolter, 1953:89)

Bhairawa Tantra muncul kurang lebih pada abad ke-6 M di Benggala sebelah Timur. Dari sini, lalu tersebar ke Utara melalui Tibet, Mongolia, masuk ke Cina dan Jepang. Sementara itu cabang yang lain tersebar ke arah Timur memasuki daerah Asia Tenggara, termasuk Indonesia.  Selain di Jawa, sekte ini juga menyebar di Sumatra serta berangsur-angsur bersatu dengan tenung dan kepercayaan pada kanibalisme. Seorang raja terkenal dari kerajaan Melayu kuno, diceritakan menerima pelantikannya di tengah-tengah lapangan bangkai, sambil duduk di atas timbunan bangkai, tertawa minum darah, dan menghadap korban manusia yang menebarkan bau busuk. Akan tetapi, semua ini bagi Adityawarman sangat semerbak baunya.

Pengikut sekte Bhairawa Tantra berusaha mencapai kebebasan dan pencerahan (moksa) dengan cara yang sesingkat-singkatnya. Ciri-ciri mereka adalah anti asketisme dan anti berpikir. Menurut mereka, pencerahan bisa diraih melalui sebuah kejenuhan total terhadap kenikmatan duniawi. Tujuan secara penuh memanjakan kenikmatan hidup dengan tanpa mengenal kekangan moral ini puncaknya adalah untuk melenyapkan segala hasrat terhadap semua kenikmatan itu. Dengan memenuhi segala hasratnya, seorang pengikut sekte ini akhirnya tidak merasakan apa pun selain rasa jijik terhadap kenikmatan tersebut.

Bentuk ritual sekte ini meliputi apa yang dikenal dengan sebutan ma-lima atau pancamakara. Ritual Ma-lima tersebut terdiri dari  matsiya (ikan), mamsa (daging), madya (minuman keras), mudra (ekstase melalui tarian yang terkadang bersifat erotis atau melibatkan makhluk halus hingga “kerasukan”), dan maithuna (seks bebas). (Lihat, HM Rasjidi, Islam dan Kebatinan. (Jakarta: Jajasan Islam Studi Club Indonesia, 1967, juga R. Soekmono. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Cetakan V. (Yogyakarta: Kanisius, 1988).

Dalam bentuk yang paling esoterik, pemujaan yang bersifat Tantrik memang memerlukan persembahan berupa manusia. Ritualnya meliputi persembahan berupa meminum darah manusia dan memakan dagingnya. (Lihat, Paul Michel Munoz. Kerajaan-kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia. Terjemahan. (Yogyakarta: Mitra Abadi, 2006:253, 448).

Ada juga ritual seks bebas dan minum minuman keras yang dilakukan ditempat peribadatan berupa lapangan (padang) bernama Lemah Citra atau Setra. Ritual tersebut dilakukan untuk mendapatkan cakti. Oleh karena itu aliran ini juga sering disebut sebagai saktiisme. Pada era selanjutnya dapat dijumpai sisa-sisanya dalam apa yang disebut dengan istilah kasekten. (Koentjoroningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Cetakan XXI. (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2010:347).

Praktik mistik yang lain yang masih eksis di lereng Merapi adalah ritual telanjang yang dilakukan di Candi Lumbung pada setiap awal bulan Suro. Ritus ini dilakukan tengah malam selepas pukul 00.00 WIB dengan bertelanjang bulat mengelilingi Candi Lumbung sambil membaca mantra-mantra khusus di bawah panduan seorang pemimpin upacara. (Majalah Liberty, 11-20/1/2008).

Ritual ini juga masih memiliki kemiripan sebagai sisa ritual Bhairawa Tantra. Di daerah sekitar Merapi,  bekas-bekas setra (tempat pengorbanan manusia dan area persetubuhan masal dalam ritus bairawa) yang lain juga dapat ditemukan. Sampai sekitar tahun 2006, tempat pemujaan berupa Setra masih dapat ditemui di Bon Bimo. Namun di tempat petilasan itu saat ini telah didirikan sebuah masjid oleh masyarakat setempat.

Konon, berdasarkan cerita yang beredar di masyarakat,  saat tempat itu hendak didirikan masjid, batu yang menjadi “altar” penyembelihan gadis perawan di Bon Bimo itu mengeluarkan suara tangisan di malam hari. Banyak penduduk sekitar bisa mendengarnya. Namun masyarakat setempat kini telah memilih Islam dan sebuah masjid berdiri atas kehendak warga desa di tempat itu.

Tradisi ritual semacam ini tentu saja sudah ditinggalkan masyarakat sekitar lereng Merapi. Sebagian besar mereka kini memeluk agama Islam. Bahkan, tradisi-tradisi sesudahnya, seperti penanaman kepala kerbau juga berangsur ditinggalkan oleh masyarakat. Pemahaman Islam telah mengubah persepsi mereka tentang makna ibadah dan “kurban”.

Ironisnya, kini dengan berlindung dibalik slogan “kearifan lokal” ada pemerintah daerah setempat berupaya mengkomersialisasikan ritual yang sebenarnya mulai ditinggalkan tersebut. Dalam cara pandang ini kebudayaan dianggap sebagai sebuah bentuk stagnasi sebuah periode sejarah. Kebudayaan ditempatkan sebagai obyek mati yang statis dalam merespon perkembangan kebudayaan manusia.

Padahal cara pandang ini sebenarnya sangat aneh sebab merupakan cara pandang lama yang telah banyak ditinggalkan. Van Peursen, pakar strategi kebudayaan, menyebutkan cara pandang terhadap kebudayaan hari ini telah bergeser, dimana setiap orang merupakan kekuatan pembentuk kebudayaan. (Van Peursen, Strategi Kebudayaan. (Yogyakarta: Penerbitan Kanisius, 1976:12).

Dengan kondisi budaya dan agama seperti itu, bisa dibayangkan betapa besar tantangan yang dihadapi oleh Wali Songo saat menyebarkan Islam di tanah Jawa. Mereka harus menyadarkan para pengikut Bhairawa Tantra. Melalui proses yang lama dan tidak mudah, ajaran sekte ini akhirnya ditinggalkan orang. Sisa-sisa ajaran Bhairawa Tantra memang masih bisa ditemukan pada sebagian individu. Hingga kini, Islamisasi di lereng Merapi terus berjalan meski harus berhadapan dengan Kristenisasi dan nativisasi.  (***)

Leave a Reply