Salah satu tawaran utama para pemikir Posmodernisme adalah kenisbian (relativitas) kebenaran. Menurut mereka, kemampuan logika (logos) manusia tak mampu menjangkau kebenaran utuh tentang realitas seperti yang diharapkan para filsuf dan saintis modern. Posmodernis seperti Derrida menunjukkan penyebab hal tersebut adalah karena bahasa, yang digunakan manusia untuk menggambarkan realitas, tak pernah sungguh-sungguh memadai untuk tujuan tersebut. Demikian dijelaskan oleh Peneliti Senior sekaligus salah satu pendiri INSISTS, Adnin Armas, M.A., dalam INSISTS Saturday Forum, Sabtu (2/2/2018) pekan lalu.
Dampak dari pandangan Posmodern itu, ketika dikaitkan dengan konsep waktu, adalah kenisbian dan -pada akhirnya- kenihilan makna waktu. Keberadaan waktu, termasuk manusia di dalamnya, selalu dipandang bersifat kontingen, yakni mewujud secara kebetulan dan tak ajeg, bisa lenyap seketika, sehingga terkesan tanpa alasan dan tanpa tujuan. Segala usaha manusia yang berkaitan dengan waktu, seperti kebudayaan, adalah sesuatu yang tak bermakna. Kalau pun ada usaha untuk memahami makna dari praktik kebudayaan atau keagamaan manusia, bagi Posmodernis, itu adalah tindakan bermain-main belaka. Makna tindakan tersebut bisa dibentuk melalui sejarah yang sudah usang di masa lalu, harapan manusia di masa depan, atau kejadian-kejadian di masa kini. Semua pemaknaan itu disejajarkan sebagai kebenaran makna yang bisa dipilih, tetapi tidak ada kepastian tentang mana yang lebih benar dibanding yang lain. Pandangan ini berdampak pada kesadaran manusia tentang kemajuan, pembangunan, etika, dan sebagainya.
Menurut Adnin, pandangan tentang waktu yang seperti Posmodernis itu, jika dinilai dari pandangan hidup Islam, adalah batil, sesat, dan menyesatkan. Islam memiliki konsep sendiri tentang waktu, yang berangkat dari dan berakhir kepada makna keberadaan alam semesta dan manusia di dalamnya sesuai Wahyu. Wahyu itu sendiri mengandung kebenaran abadi di luar waktu, karena ia adalah firman Allah yang tak terperangkap oleh waktu. Wahyu selalu dapat dipahami oleh manusia dari zaman ke zaman karena terdapat orang-orang yang memiliki kemampuan akaliah untuk memahami wahyu dan realitas, yakni para ulama. Wahyu juga menjelaskan dari mana manusia dan alam semesta berasal, untuk apa keberadaannya di dunia ini, dan ke mana arah yang dituju (yakni, akhirat).
Meski mengambil tema yang “berat”, ISF kali ini dipenuhi oleh para peserta. Kursi yang tersedia di Aula INSISTS hampir semua terpenuhi.