Home Artikel Peradaban Bukan Diukur Dari Kemajuan Seni

Peradaban Bukan Diukur Dari Kemajuan Seni

1125
0

Hal itu dinyatakan Direktur Eksekutif Insists, Adnin Armas dalam Bedah Jurnal Islamia di Masjid Darussalam Depok, Ahad lalu (2/12). Dalam acara itu Adnin juga menegaskan  bahwa peradaban diukur dengan sejauh mana penggunaan akal dan akhlak yang tinggi. Dari sinilah nampak jelas bahwa Islam mempunyai peradaban yang tinggi dibanding Hindu dan Budha yang di Indonesia dibangga-banggakan karena meninggalkan Candi Borobudur dan Prambanan.

“Peninggalan-peninggalan Islam lebih tinggi tingkat peradabannya, dengan mewariskan bahasa Melayu yang digunakan sedikitnya 300 juta orang di seluruh kawasan Melayu ini dan juga meninggalkan kitab-kitab yang bermutu karya ulama-ulama Islam yang ditulis dalam bahasa Jawi, selain bahasa Arab,”terangnya. Adnin menyebut diantaranya adalah karya-karya Hamzah Fanshuri, Yusuf al Makassari, Nuruddin ar Raniri dan lain-lain.

Warisan-warisan Islam yang berharga itu sengaja ditutup-tutupi dan yang dibesar-besarkan adalah warisan Candi Hindu dan Budha oleh orientalis-orientalis Belanda. “Borobudur itu kan sudah lama terkubur, tapi sengaja dipugar dan direnovasi oleh orientalis Belanda (Raffles). Anda bisa baca dalam Jurnal Islamia ini,”paparnya. Masyarakat di sekitar pembangunan Candi itu malahan tidak senang bahkan sebagian melarikan diri karena pembangunan Candi itu. “Terutama masyarakat kasta bawah dari kalangan Paria atau Sudra yang dieksploitasi atau menjadi korban dari pembangunan Candi itu,”tegas Adnin Armas, Pemimpin Redaksi Majalah Gontor.

Sebenarnya agama-agama selain Islam, hanya untuk masyarakat setempat atau tersebar di masyarakat setempat. Misalnya Hindu untuk India, Budha  untuk Cina, Budha untuk Jepang dan seterusnya. Maka bila dikatakan bahwa Sriwijaya kekuasaannya sangat luas dan mengakar di Sumatera, kenyataannya tidak. Agama Budha hampir tidak ada bekasnya di Sumatera, bahkan seluruh Sumatera sejak dulu diwarnai Islam. “Karena agama Budha dan Hindu bukan agama misi. Yakni mereka tidak punya semangat untuk mengkonversi kepercayaan orang lain. Sehingga agama mereka tidak mengakar atau tersebar luas ke seluruh Nusantara atau dunia. Tapi orientalis Belanda sengaja menjelekkan Islam dengan menganggap Islam di Nusantara ini laksana ‘pelitur’ (cat) dalam kayu. Apabila pelitur ini dikorek sedikit saja, maka akan hilang,”terangnya.

Mengutip Profesor Alatas, Adnin menyatakan bahwa para sarjana Belanda, para orientalis selalu mengatakan bahwa puncak peradaban Nusantara/Melayu ada pada Hindu dan Budha dan  ukuran kejayaan peradaban adalah candi, patung atau seni.  Hal itulah yang selalu diajarkan oeh para orientalis (dan kini juga di sekolah-sekolah), sehingga banyak murid yang terpengaruh.  Masyarakat Yunani tidak dikatakan maju, meski maju seninya sebelum adanya Plato, atau Persia yang terkenal dengan seninya sebelum kedatangan Islam.

Seperti juga apakah bangunan Piramid yang dibangun Firaun dikatakan ‘simbol’ peradaban yang tinggi? Justru malah sebaliknya, bangunan itu menunjukkan peradaban yang rendah, karena banyaknya korban rakyat kecil akibat pembangunan Piramid itu.  “Maka peradaban tidak hanya dilihat pada segi lahirnya, tapi juga pada ‘batinnya’,”papar Adnin.

Maka untuk mengukur peradaban tidak hanya pada bangunan seni, tapi juga pada bahasa yang digunakan, perkembangan pemikiran dan pandangan hidup masyarakat. Karya-karya yang ditulis tentu lebih tinggi nilai peradabannya dan juga perubahan masyarakat dari animisme, tidak mengenal Tuhan menjadi bertauhid, mengenal Tuhan tentu lebih unggul peradabannya.

Selain itu, mengutip Jurnal Islamia, Adnin menyatakan bahwa pendapat orientalis yang menyatakan bahwa Islam datang ke Nusantara dibawa pedagang Gujarat juga tidak tepat. “Islam datang ke Nusantara langsung dibawa oleh para ulama-ulama dari Timur Tengah. Para Dai itu memang punya niatan untuk mendakwahkan Islam ini ke sini> Mungkin saja kemudian ada pedagang Gujarat yang menyebarkan atau para dai itu berdakwah sambil berdagang,”terangnya. Untuk lebih jelasnya ia menyarankan para peserta untuk membaca Jurnal Islamia yang bertajuk : Pembebasan Nusantara, Antara Islamisasi dan Kolonialisasi.* (nh)

 

Leave a Reply