Home Artikel Fatwa: Amanah Diniyah atau Kompromi Politis?

Fatwa: Amanah Diniyah atau Kompromi Politis?

960
0

Oleh: Henri Shalahuddin (Peneliti MIUMI)

 Pada tanggal 27/11/2012, Harian Republika memuat artikel Haidar Bagir dengan tema “Proporsional Menyikapi Fatwa”. Pada intinya Haidar menganggap bahwa tulisan KH.Dr. Ma’ruf Amin yang memperkuat fatwa MUI Sampang dan MUI Jatim kurang tepat. Anggapan Haidar ini didasarkan karena fatwa MUI Jatim menyatakan Syiah sebagai aliran sesat seharusnya dibatasi pada kasus Sampang, bukan semua Syiah.

Haidar menyebutkan bahwa mainstream Syiah mengharuskan bersikap hormat terhadap Sahabat Nabi. Bahkan untuk meyakinkan klaimnya ini, ia menyatakan: “Sekadar ilustrasi, dalam buku-buku yang ditulis para ulama Syiah, kita tak dapat menemui periwayatan “peristiwa al-ifk” yang melibatkan dakwaan perselingkuhan kepada Siti Aisyah”. Benarkah demikian? Artikel ini bermaksud menguraikan pandangan beberapa ulama Syiah terkemuka tentang istri-istri dan Sahabat Nabi yang terabadikan dalam kitab-kitab Syiah. Dengan demikian diharapkan artikel ini bisa membantu memahami ajaran Syiah dari sisi yang lebih lengkap, tanpa harus memutuskan hal-hal yang bersifat mu’amalah.

Pandangan terhadap Istri Nabi

 Berkenaan dengan “Hadits al-Ifk” atau peristiwa dusta yang dituduhkan kaum munafik terhadap Aisyah ra., tidak sedikit kitab-kitab ulama Syiah mu’tabar yang membenarkan tuduhan tersebut. Di antaranya adalah sebagai berikut: 1) Ali bin Ibrahim al-Qummi dalam karyanya, “Tafsir al-Qummi”, menyebutkan bahwa maksud kata “khiyanat” dalam QS. 66:10 adalah perbuatan zina dan keharusan ditegakkan hukuman kepada Fulanah (Aisyah) yang berselingkuh dengan Fulan dalam suatu perjalanan. [Darul Kutub, Qum Iran, vol. II, 1387H, hal. 377]. 2)Syeikh ‘Ali al-‘Amili al-Bayadhi penulis kitab “Shirat al-Mustaqim ila Mustaqqi l-Taqdim”, melabeli istri Nabi dalam satu fasal dengan sebutan Ummu l-Syurur (ibu kejahatan) terkait dengan peristiwa “Jamal”. Ia menyesalkan kenapa kaum muslimin masih mengambil periwayatan hadits darinya, padahal seperti disebut dalamQS. 33:33 Aisyah telah mengingkari perintah Tuhan dan Nabinya untuk berdiam di rumah. (vol. III, hal. 161). Syeikh ‘Ali al-‘Amili juga menjelaskan bahwa maksud orang-orang yang dibersihkan dari tuduhan zina dalam QS. 24: 26 adalah untuk Rasulullah saja, bukan untuk Aisyah.

3) Dalam “Kitab al-Thaharah”, pemimpin revolusi Iran, Imam al-Khumaini menyatakan bahwa ‘Aisyah, Thalhah, Zubair, Mu’awiyah dan orang-orang sejenisnya meskipun secara lahiriyah tidak najis, tapi mereka lebih buruk dan menjijikkan daripada anjing dan babi. (vol. III, hal. 457). 4) al-Tabarsi, al-Ihtijaj menjelaskan bahwa kemuliaan istri-istri nabi tetap terjaga selama mereka mentaati Allah, namun kemuliaan itu gugur dan tidak layak disebut ummul mukminin ketika salah seorang dari mereka melawan kepemimpinan Ali dalam peristiwa Jamal (1421H, hal. 463). 4) Muhammad al-‘Iyasyi dalam karyanya, “Tafsir al-‘Iyasyi” menukil periwayatan ‘Abdu l-Shamad ibn Basyir bahwa penyebab kematian Rasulullah karena diracun oleh Abu Bakar, Umar dan kedua putrinya. maka empat tokoh itu disebut sebagai makhluk Allah yang paling buruk. (vol I, hal. 342). Berkenaan dengan QS. 16:92, Al-‘Iyasyi mengatakan bahwa yang maksud ayat itu adalah Aisyah telah mengurai keimanannya. [vol. III, hal 22]

Pandangan terhadap Sahabat Nabi

Banyak di kalangan ulama Syiah terkemuka yang berpendapat bahwa melaknat dan menista para Sahabat Nabi diyakini sebagai ibadah dan salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Pelaknatan ini sering dibaca setiap selesai shalat wajib (lihat: Imam al-Kulaini, al-Kafi, vol. III, hal. 194, Muhammad al-Tuursiirkani, Kitab La-aliul Akhbar, vol. IV, hal. 92). Bahkan Doa dan wirid yang berisikan laknat terhadap Sahabat diyakini lebih utama daripada bersalawat atas Nabi, mengucapkan dan menjawab salam. (Kitab Majma’ al-Nuraini wa Multaqa l-Bahraini, vol. II, hal. 292)

Maka tidak aneh jika di antara mereka menulis satu kitab khusus untuk menista Umar, mertua Nabi dan menantu Ali dengan tema: ‘Iqdu l-Durari fi Idkhal al-surur ‘ala binti sayyidil Basyar.Namunpenulisnya seperti dikatakan dalam mukaddimah kitab,lebih suka menyebut kitabnya dengan ‘Iqdu l-Durari fi Baqri Bathni ‘Umar (=Kalung Permata tentang Mutilasi Perut Umar).

Sebagai bentuk taqarrub, tidak sedikit kitab-kitab Syiah yang mengemas pelaknatan Sahabat dalam bentuk doa. Salah satunya adalah “Doa Dua Berhala Quraisy” dalam kitab al-Misbah yang ditulis oleh Syeikh al-Kaf’ami. Doa yang ditujukan melaknat Abu Bakar dan Umar ini diyakini memiliki derajat yang tinggi dan merupakan zikir yang mulia. Bagi kaum Syiah bahwa siapa yang membaca doa ini akan dicukupi kebutuhannya dan dikabulkan cita-citanya. Bahkan disebutkan pahalanya seperti para pemanah yang menyertai Nabi pada perang Badar dan Hunain dengan satu juta anak panah. Sebelum melantunkan doa, dianjurkan memukul paha kanan tiga kali dan mengucapkan: “Ya Maulaya, Ya Sahibazzaman”, kemudian melafalkan doa Dua Berhala Quraisy.(Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, al-Najaf al-Asyraf, cet. II, 1349H: 552).Hal senada juga diamini oleh Syeikh Muhammad Baqir al-Majlisi dalam karyanya Bihar al-Anwar (vol. 50, cet. III, 1983:316)

Penistaan terhadap Sahabat juga dilakukan oleh Ni’matullah Jazairi dalam “al-Anwar al-Nu’maniyah”. Dia menuduh Abu Bakar ra., berbuat syirik dengan memakai kalung berhala saat shalat di belakang Nabi dan bersujud untuknya. (vol. I, hal. 53). Sementara itu dalam kitab “Ilzaam al-Naashib Fii Itsbaatil-Hujjah Al-Ghaaib” Abu Bakr dan ‘Umar disebut sebagai Fir’aun dan Haman.(vol. II hal. 231). Dan masih banyak lagi kitab-kitab Syiah yang menjadi saksi atas ritual menista para Sahabat ini. Dengan perkembangan teknologi informasi semuanya bisa diperoleh melalui internet, termasuk kitab-kitab versi PDF yang ditulis oleh ulama Syiah atau berbagai buku yang berkenaan dengannya semisal‘Ulama l-Syi’ah Yaqulun.

Memang diperlukan kehati-hatian dalam menyikapi aliran Syiah yang telah eksis berabad-abad ini. Terlebih lagi aliran Syiah tidak tunggal, tetapi terpecah dalam sekte-sekte, salah satunya adalah Rafidhah yang jelas penyimpangannya. Menurut Ibnu Taimiyyah dalam Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah, sekte Syiah yang tergolong rafidhah adalah Syiah Itsna ‘Asyriyah dan Isma ’iliyyah. Penyebutan rafidhah karena mereka menolak pernyataan Imam Zaid bin Ali yang tetap memuliakan Abu Bakar dan Umar ketika beliau diminta untuk menista keduanya. Maka berdasarkan peristiwa itu, Ahlussunnah, Syiah Zaidiyyah dan Ibadhiyah menyematkan lebel ini untuk Syiah Itsna ‘Asyriyah dan Isma ’iliyyah. (vol. I, hal. 35). Maka jika demikian halnya, fatwa MUI Jatim ini bisa disebut on the right track.Wallahu A’lam wa Ahkam bi l-Sawab.*

Leave a Reply