Home Berita Penjelasan Penting tentang Status Otoritas Al-Ghazali dalam Ilmu Hadis –Catatan INSISTS Saturday...

Penjelasan Penting tentang Status Otoritas Al-Ghazali dalam Ilmu Hadis –Catatan INSISTS Saturday Forum (INSAF) 09/03/2019

2402
0

Abu Hamid Al-Ghazali pernah membuat sang guru, Imam Haramain al-Juwaini, terkagum atas capaian intelektualnya. “Engkau lautan yang menenggelamkan,” kata Sang Imam Makkah dan Madinah. Lautan merupakan tamsil dari ketenangan sekaligus kedalaman ilmunya. Di antara semua karya Al-Ghazali, Kitab Ihya ‘Ulumuddin menjadi contoh terbaik dari kedalaman ilmu tersebut. Namun gugatan terhadapnya juga tak sedikit, terutama di dalam hadis-hadis yang digunakan Al-Ghazali untuk berargumen melalui Ihya.

“Ulama terawal yang mempersoalkan hadis-hadis di dalam Ihya adalah ulama hadis, Ibnu Jauzi,” terang Mudir Pondok Pesantren at-Taqwa, Dr. Muhammad Ardiansyah, M.Pd.I, dalam INSISTS Saturday Forum (INSAF) Sabtu lalu (9/3). Ibnu Jauzi mengatakan bahwa banyak hadis maudhu’ (palsu) di dalam Ihya, karena Al-Ghazali tak memahami ilmu naqli, sehingga seperti pencari kayu bakar di malam hari. Tanpa penerangan, ia akan mengambil apa saja yang bisa diraihnya, padahal belum tentu itu adalah kayu.

Pandangan ini kemudian diamini oleh ulama lain yang datang kemudian, seperti Ibn Taimiyah, al-Dzahabi, dan Ibn Katsir, sedangkan al-Thurthusyi bahkan mengatakan “Aku tidak mengetahui kitab lain di atas bumi ini yang lebih banyak kedustaannya dibanding Ihya’.” Meski demikian Ibn Jauzi masih tetap membuat ringkasan  atas kitab Ihya’, yang sudah dihilangkan unsur-unsur “hadis maudhu’-nya”, karena mengakui manfaat di dalam kitab tersebut.

Penelusuran yang lebih berhati-hati diperlihatkan oleh Tajuddin al-Subki, yang menemukan bahwa 900-an hadis di dalam Ihya’ tak memiliki sanad, tetapi beliau pun tak terburu-buru menghukuminya. Al-‘Iraqi bahkan secara khusus meneliti satu demi satu sanad hadis di dalam Ihya’ yang dalam hitungan ulama selanjutnya, Mahmud Said Mamduh, berjumlah 4848 hadis itu. Dari keseluruhan, hanya 6% saja yang tak ditemukan sanadnya, sedangkan selebihnya berstatus shahih, hasan, dan dhaif. Para ulama membolehkan penggunaan hadis dhaif sebagai penguat bagi keutamaan amal.

Dr. Ardi kemudian memberikan beberapa contoh dari hadis yang dianggap bermasalah, tetapi setelah diteliti kembali dengan lebih rinci statusnya lemah, tak sampai palsu. Sebagia yang lain bahkan shahih. Yang patut dicatat adalah, Ihya’ bukanlah sebuah kitab hadis sebagaimana Bukhari dan Muslim. Dalam menukil Hadits, sebenarnya al-Ghazali menggunakan beberapa metode, antara lain (1) langsung mengutip matan Hadits setelah menyebut nama Rasulullah, sahabat atau dengan isyarat lain; (2) langsung menyebutkan keshahihannya, dan (3) riwayat secara makna.

 

Slides materi ini dapat diunduh di sini.

 

Leave a Reply