Mantan Menhan AS, Paul Wolfowitz, pernah membuat pernyataan pada 2002, “This is a battle of ideas and a battle for minds”. Katanya, yang terjadi saat ini adalah perang ide dan perang untuk menaklukkan pemikiran.
Setahun sesudahnya, Condoleezza Rice setuju bahwa, “To win the war on terror, we must win a war of ideas.” Jadi, kata Rice, untuk memenangkan peperangan melawan terorisme, kita harus memenangkan peperangan pendapat.”
Memang, menurut laporan dari David E. Kaplan, segala pandangan, saran, rekomendasi dan inisiatif kebijakan dan solusi, secara resmi telah diambil dan dijalankan dengam sungguh-sungguh oleh AS sejak 2003 atas nama “perang melawan terorisme global” di bawah strategi besar yang disebut “The Muslim World Outreach”.
Kaplan menuangkan strateginya secara ringkas dalam judul laporannya, “Hearts, Minds, and Dollars: In an Unseen Front in the War on Terrorism, America is Spending Millions…To Change the Very Face of Islam.” (Hati, Pikiran dan Dolar: Di front tak kasat mata dalam perang melawan terorisme, Amerika mengeluarkan berjuta-juta…untuk mengubah wajah Islam sesungguhnya).
Cukup jelas bahwa tujuan utama reformasi pendidikan yang diminta adalah bukanlah “reconstruct” (merekonstruksi, memperbaiki) tapi “deconstruct” (merombak), “change” (mengganti) wajah Islam yang sebenarnya. Namun, akal sehat, mestinya penasaran dan bertanya, apakah dalam kondisi demikian Islam akan tetap memiliki identitas utuhnya?
Patut diperhatikan, strategi ini dijalankan sepenuhnya melalui kemitraan atau “tenaga sewaan lokal” yang dianggap menghargai nilai-nilai seperti demokrasi, hak perempuan, toleransi, dan pluralisme. Untuk tujuan ini, Zeyno Baran, seorang analis terorisme dari the Nixon Centre yang memberi masukan tentang strategi tersebut, mengusulkan: “Anda sediakan uang dan membantu menciptakan ruang politik untuk kalangan Muslim moderat untuk dapat mengatur, menerbitkan, menyiarkan dan menerjemahkan karya-karya mereka.” Baran juga menyerukan: “Perhatikan pada wilayah-wilayah pinggiran. Di sanalah akan datang perubahan!”
Strategi ini mengungkap dengan jelas mengapa kekuatan global telah sedemikian kuat mencengkeram negara-negara Muslim seperti Indonesia, Pakistan, dan Turki. Juga, bagian kutipan dari laporan Kaplan perlu dicermati:
Tidak ada upaya yang lebih menonjol dari di Indonesia, negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, dengan jumlah penduduk 240 juta. Meskipun merupakan benteng Islam moderat, negara ini telah melahirkan beberapa grup Islam radikal yang mencakup lepasan al Qaeda yaitu Jemaah Islamiyah, yang bertanggung jawab atas Bom Bali 2002 yang menewaskan 202 orang. Dengan bekerja di belakang layar, USAID kini membantu pendanaan lebih dari 30 organisasi Muslim di negri ini.
Termasuk dalam daftar bantuan dana: think tank Islam yang membantu perkembangan penelitian ilmiah yang menunjukkan kompatibilitas Islam liberal dengan demokrasi dan HAM.
Laporan 2005 ini dikonfirmasi dan ditekankan lebih jauh oleh Angel Rabasa et al. dari RAND dalam monograf mereka pada 2007 dengan judul Building Moderate Muslim Networks (Membangun Jejaring Muslim Moderat). Berikut sebagian analisis dan sarannya:
“Asia Tenggara memiliki lembaga-lembaga pendidikan Islam yang strukturnya amat sangat besar dan matang yang dapat menjadi sumber daya yang kritis dan penting dalam berlangsungnya peperangan gpendapat di dalam dunia Muslim world, sekaligus dalam upaya membangun jejaring Muslim moderat yang diusulkan dalam studi. Sehubungan dengan fokus geografis, kami mengusulkan pergeseran prioritas dari wilayah Timur Tengah ke wilayah Muslim yang memungkinkan adanya kebebasan gerak yang lebih besar, lingkungannya lebih terbuka terhadap kegiatan yang pengaruh, dan keberhasilannya lebih memungkinkan dan jelas. Pendakatan saat ini berfokus pada Timur Tengah, dengan mengakui bahwa pendapat-pendapat radikal berasal dari Timur Tengah dan dari sana disebarkan ke seluruh penjuru dunia Muslim, termasuk komunitas Muslim diaspora di Eropah dan Amerika Utara. Pendekatan alternatif adalah untuk mencari arah kebalikannya dari pendapat-pendapat tersebut. Teks-teks penting yang berasal dari para pemikir, intelektual, aktivis, dan pemimpin di Muslim diaspora, Turki, Indonesia dan tempat lainnya harus diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab dan seluasnya disebarkan.” (Angel Rabasa et al., Building Moderate Muslim Networks, 109).
Singkatnya, dunia pendidikan di dunia Muslim kini secara halus atau terbuka diminta oleh “Sang Tuan” untuk secara “sukarela” meliberalkan diri dengan mempromosikan berbagai proyek pendidikan demokrasi, pluralisme, hak asasi manusia, multikulturalisme, kesetaraan gender, dan sebagainya. Bukan menjadikan Islam sebagai “kacamata” atau “cara pandang” dalam menilai paham-paham yang dating dari luar Islam. Tapi, sebaliknya! Paham-paham dari luar itulah yang harus dijadikan sebagai basis atau tolok ukur dalam menilai ajaran Islam. Apakah ajaran-ajaran Islam itu masih layak atau sudah using di mata Barat. Jika perlu, carikan dalil-nya dalam al-Quran dan hadits Nabi atau tradisi keilmuan Islam.
Lebih jauh tentang kajian masalah ini, silakan dirujuk buku dan artikel-artikel berikut ini: Roger C. Molander et al., Strategic Information Warfare: A New Face of War (dibuat oleh Kementrian Pertahanan), (Santa Monica, CA: RAND Corporation, 1996); Edward P. Djerejian (ketua), “Changing Minds Winning Peace: A New Strategic Direction for U.S. Public Diplomacy in the Arab & Muslim World,” Laporan dari Grup Penasihat untuk Diplomasi Publik bagi Dunia Arab dan Muslim (the Advisory Group on Public Diplomacy for the Arab and Muslim World) (Diserahkan kepada Committee on Appropriations, Dewan Perwakilan Rakyat Amerika (U.S. House of Representatives), pada 1 Oktober, 2003), hlm. 15, 22, 49; Cheryl Benard, Civil Democratic Islam: Partenrs, Resources, and Strategies (Santa Monica, CA: RAND Corporation, 2003), hlm. 65-66; Angel Rabasa et al., The Muslim World after 9/11, (Santa Monica, CA: RAND Corporation, 2004), passim; ——– et al., Building Moderate Muslim Networks (Santa Monica, CA: RAND Corporation, 2007), passim; ——–, Radical Islam in East Africa (Santa Monica, CA: RAND Corporation, 2009), pp. 37, 39; David smock and Qamar-ul Huda, “Islamic Peacemaking Since 9/11” (Laporan Khusus), (Washington , DC: USIP, 2009).
Wallahu a’lam bil-shawab. (***)