Oleh: Dr. Ahmad Alim(Pengasuh PP Ulil Albab, Bogor)
Kurikulum Pendidikan Jiwa Menurut Ibn Jauzi
Konsep Ibn Jauzi tentang kurikulum pendidikan jiwa berangkat dari pandangan bahwa jiwa manusia satu kesatuan dari tiga unsur penting, yaitu akal, ghadhab, syahwat. Dengan demikian muatan pendidikan yang diberikan harus diarahkan untuk memenuhi kebutuhannya yang berdimensi permanen dan spiritual, serta memenuhi kebutuhannya yang berdimensi material dan emosional. [1] Menurut Ibn Jauzi untuk memenuhi kebutuhan material emosional dibutuhkan kurikulum yang bersifat aqliyah atau kauniyah, sedangkan untuk memenuhi kebutuhan keruhanian atau spiritual dibutuhkan kurikulum naqliyah atau syar’iyah. Ibn Jauzi berkata :
وأول ما ينبغي النظر فيه: معرفة الله تعالى بالدليل، ومعلوم أن من رأى السماء مرفوعة، والأرض موضوعة، وشاهد الأبنية المحكمة خصوصًا في جسد نفسه؛ علم أنه لا بد للصنعة من صانع، وللمبني من بان.
“Pertama kali yang seharusnya direnungkan adalah mengetahui Allah dengan bukti, dan tentunya sudah maklum bahwa seseorang yang melihat langit yang ditinggikan, dan bumi yang dihamparkan, serta menyaksikan bangunan yang kokoh, lebih-lebih menyaksikan tanda-tanda kebesaran pada dirinya, maka tidak mau tidak, tentu segala ciptaan pasti ada yang menciptakan, demikian juga bangunan, tentu ada yang membangun.”[2]
Ungkapan Ibn Jauzi tersebut menunjukkan dengan jelas pentingnya ilmu aqliyah (rasional) atau tajribiyah (empiris), karena dengannya manusia mampu berfikir untuk membaca dan mentadaburi keagungan Allah di jagad alam raya ini, sehingga hal itu akan menumbuhkan dan menambahkan keimanan dalam dirinya terhadap Allah yang maha mencipta (al-Khaliq ).[3]
Ilmu aqliyah saja tidak cukup, karena hal itu akan menjerumuskan manusia pada pendewaan akal, sebagaimana yang terjadi dalam tradisi keilmuan Barat. Lebih lanjut Ibn Jauzi menegaskan bahwa ilmu yang hanya didasarkan pada aqliyah saja maka hal itu merupakan penyebab utama kesesatan Iblis, karena ia mengukur dirinya hanya sebatas pada pandangan logika dan mengesampingkan pandangan nash yakni perintah dari Tuhannya.[4] Hal itu tampak jelas ketika Iblis memainkan logikanya seraya mengatakan, “aku lebih baik dari adam, karena adam diciptakan dari tanah sementara aku diciptakan dari api”, tanpa melihat siapa yang memerintahkan dibalik semua itu.[5] Maka dari itu, ilmu aqliyah harus dipandu oleh ilmu naqliyah. Ibn Jauzi berkata :
فإذا ثبت عنده وجود الخالق -جل وعلا- وصدق الرسول صلى الله عليه وسلم؛ وجب تسليم عناية إلى الشرع، فمتى لم يفعل؛ دل على خلل في اعتقاده.
“Maka ketika sesorang telah tetap pada dirinya pengakuan akan adanya sang pencipta azza wa jalla, dan telah membenarkan Rasulnya saw, maka wajib baginya untuk menerima syari’at, [6] jika tidak, maka hal itu menunjukkan bahwa ada cacat dalam aqidahnya.[7]
Jadi ilmu adalah terintegrasi antara ilmu aqliyah yang merupakan satu kesatuan utuh yang saling melengkapi dan bukan dualisme. Dengan demikian dalam kurikulum pendidikan jiwa, Ibn jauzi tidak mengkhususkan pada mata pelajaran tertentu, akan tetapi lebih kepada internalisasi keruhanian pada setiap pelajaran, baik yang sifatnya aqliyah maupun naqliyah.[8]
B. Metodologi Pendidikan Jiwa Menurut Ibn Jauzi
Pendidikan jiwa sebagai jalan dan latihan untuk merealisir kesucian batin dalam upaya menuju kedekatan dengan Allah (taqarrub ilallah) memerlukan metodologi. Menurut Ibn Jauzi metode tersebut terdiri dari tiga tahapan berikut ini :
1. Tahkliyah
Secara umum istilah Tahliyah memiliki akar yang sama dengan Takhalli, yang memiliki arti sebuah proses mengosongkan jiwa dari segala kecenderungan yang jelek. Pengosongan jiwa ini berangkat dari sebuah paradigma bahwa Allah adalah dzat yang maha suci, maka agar dapat berada dekat atau bersama dengan-Nya haruslah yang suci pula. Minyak tidak bisa menyatu dengan air, demikian halnya dengan jiwa manusia yang kotor tidak mungkin bisa bersama dengan Allah yang suci.[9] Maka langkah awal yang harus dilakukan adalah mengosongkan diri dari segala hal yang dapat mengotori hati dari pengaruh-pengaruh nafs ammarah[10], dan mentranformasikannya menjadi nafs lawwamah, [11] yang pada gilirannya meningkat menjadi nafs mutmainnah.[12]
Menurut Ibn Jauzi hawa nafsu pada dasarnya memiliki kecenderungan naluriah terhadap sesuatu yang selaras dengannya. Kecenderungan ini sebenarnya tidaklah tercela selama diperbolehkan syariat. Yang tercela , apabila ia melampaui batas kebolehan tersebut. Kalau orang menganggap hawa nafsu mutlak tercela, itu karena ia biasanya diliputi hal-hal yang tidak dihalalkan syariat, atau menjadikan yang dibolehkan syariat itu melampaui batas.[13] Maka dari itu Ibn Jauzi mendefinisikan Tahliyah sebagai sebuah upaya pencegahan diri dari ajakan hawa nafsu dari segala kecenderungan yang dapat menjatuhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang diharamkan Allah. Lebih lanjut Ibn Jauzi berkata :
نهى النفس عن الهوى عما تهوى من المحارم .
Takhliyah adalah mencegah jiwa dari hawa nafsu dari apa yang disukai oleh nafsu dari perkara-perkara yang haram.[14]
Dari uraian Ibn Jauzi di atas, nampak jelas bahwa takhliyah merupakan sebuah upaya pengosongan diri dari hawa nafsu. Oleh karena itu hawa nafsu harus dikendalikan. Tentu saja dibutuhkan sebuah langkah yang extra hati-hati dalam proses pengendaliannya. karena menurut Ibn Jauzi hawa nafsu memiliki tipu daya yang picik (makayid) , dari kepicikan tersebut banyak dari manusia dibuatnya terpedaya, karena tabiat hawa nafsu selalu mengajak kesenangan, sementara manusia sendiri juga tertarik dengan kesenagan tersebut. Kehati-hatian ini sangat dibutuhkan agar tidak terjebak kedalam makayid tersebut. Ibn Jauzi berkata :
فإياك إياك أن تغتر بعزمك على ترك الهوى، مع مقاربة الفتنة، فإن الهوى مكايد.
“Berhati-hatilah, kemudian berhati-hatilah, jangan sampai engkau terpedaya dengan keinginanmu yang kuat untuk meninggalkan hawa nafsu, sementara engkau mengiringinya dengan mendekati fitnah, karena sesungguhnya hawa nafsu memiliki tipu daya. [15]
Lebih lanjut Ibn Jauzi menegaskan bahwa kepicikan hawa nafsu ini terangkum dalam dua fitnah , yaitu fitnah syubhat dan syahwat. Syubhat merupakan bentuk kesamaran yang ditiupkan oleh syetan ke dalam hati manusia, agar mereka senantiasa berada dalam keragu-raguan. Sedangkan syahwat merupakan insting fitrah yang dengannya jiwa menyukai dan cenderung kepadanya. [16] Syubhat memiliki banyak cabang, namun yang paling menonjol dan paling banyak tersebar sepanjang masa, dan paling besar bahayanya, serta menjauhkan manusia dari jalan penyucian jiwa, ada tiga yaitu syirik, munafik, bid’ah. Sebagaimana syubhat memiliki banyak cabang, syahwat juga memiliki banyak cabang, Ibn Jauzi sendiri dalam Al-Thib Al-Ruhani menyebutkan kurang lebih ada tujuh belas macam syahwat yang akan menghancurkan jiwa manusia, yaitu syahwat birahi, rakus (al-syarrah), syahwat kekuasaan, bakhil, boros (tabdzir), dusta (kadzib), dengki (hasad), dendam, marah, sombong, ujub, pamer (riya’), berpikir keterlaluan (fudhul al-fikr), terlalu sedih (fudhul al-huzni), terlalu senang (fudhul al-farah), malas (kasl), pesimis (himmah daniyah).
2. Tahliyah
Usai melakukan proses pengosongan diri dari cengkraman hawa nafsu, maka tahap berikutnya adalah pengisian jiwa dengan menghiasinya dengan sifat-sifat terpuji. Kebiasaan-kebiasaan lama yang buruk telah ditinggalkan diganti dengan kebiasaan kebiasaan baru yang lebih baik, sehingga tercipta pula kepribadian yang baru. Inilah yang dimaksud dengan tahliyah. Hal itu sebagaimana dikatakan oleh Ibn Jauzi :
من أحب تصفية الأحوال، فليجتهد في تصفية الأعمال
“Barangsiapa yang ingin mensucikan dirinya, maka hendaklah bersungguh-sungguh dalam mensucikan amalnya.”[17]
Dari uraian Ibn Jauzi tersebut menunjukkan bahwa dalam rangka mensucikan jiwa, harus diiringi dengan mensucikannya dengan melakukan berbagai amalan-amalan yang akan menghiasi jiwa tersebut. Dalam tahliyah sebagai proses penghiasan jiwa dengan berbagai amal shaleh memerlukan beberapa tahapan penting (maqamat). Dimana antara tahapan satu dengan tahapan yang lainnya masih saling ada keterkaitan. Menurut Ibn jauzi Tahapan-tahapan itu adalah sebagai berikut: (a) Mujahadah (b) Taubat Nasuha (c) Sabar (d) Muhasabah (e) Tafakkur (f) Khauf (g) Raja’ (berharap) (h) Mahabbah
3. Tahqiq Ubudiyah (Aktualisasi sikap)
Setelah melakukan tahap pertama dan kedua, yakni proses Takhliyah dan Tahliyah, maka tahap berikutnya adalah tahqiq ubudiyyah. Tahqiq memiliki makna aplikasi (muthabaqah), kesesuaian (muwafaqah), penetapan (itsbat), pemurnian (takhlish). [18] Sementara makna ubudiyah adalah bentuk pengabdian seorang hamba kepada Allah semata, dengan mengerjakan apa saja yang dicintai-Nya dan diridhai-Nya, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, baik yang lahir maupun yang batin.[19] Dengan demikian, bahwa yang dimaksud tahqiq ubudiyyah ini merupakan suatu proses untuk mengaktualisasikan dari nilai ibadah yang Ia kerjakan, untuk kemudian mengaplikasikannya dalam perilaku kehidupan sehari-hari sebagai bentuk pengabdian kepada Allah. Menurut Ibn Jauzi tahqiq ubudiyah merupakan suatu proses pengejawantahan dari ilmu dan amal untuk menuju manusia yang abid. Artinya manusia yang senantiasa menghambakan diri hanya kepada-Nya dan mengaplikasikan ubudiyahnya tersebut dalam bentuk akhlak yang nyata. Lebih lanjut Ibn Jauzi berkata :
وعلى الحقيقة، فليست الفضائل الكاملة إلا الجمع بين العلم والعمل، فإذا حصلا رفعات صاحبهما إلى تحقيق معرفة الخالق سبحانه وتعالى، وحركاه إلى محبته وخشيته والشوق إليه.
“Pada hakikatnya, tidaklah didapatkan keutamaan yang sempurna, kecuali mampu mengumpulkan antara ilmu dan amal. Jika seseorang sudah mampu mengumpulkan keduanya, maka hal itu akan membawa pelakunya kepada derajat mengenal Allah, dan menggerakkannya kepada kecintaan kepada-Nya, dan takut kepada-Nya, serta rindu kepada-Nya.[20]
Pandangan Ibn Jauzi tersebut mengindikasikan bahwa kesempurnaan agama seseorang, tidak akan pernah mencapai kesempurnaan, kecuali dengan tahqiq ubudiyah. Kemudian tahqiq ubudiyah ini tidak akan terwujud, kecuali dengan mengintegrasikan antara ilmu dan amal.
Penutup
Demikianlah Pendidikan Jiwa menurut Ibn Jauzi, yang sangat relevan untuk diterapkan dalam era modern, dimana manusia telah banyak mengalami krisis kejiwaan. Khazanah pemikiran yang disampaikan oleh Ibn Jauzi, masih sangat jarang dipahami oleh para sarjana Muslim, khususnya yang bergerak dalam Ilmu psikologi modern. Mudah-mudahan tulisan yang ringkas ini dapat merangsang tumbuhnya minar para sarjana Muslim untuk menggali lebih jauh pemikiran Ibn Jauzi dan juga para pemikir Muslim klasik lainnya. Wallahu a’lam bil-shawab.*
Daftar Pustaka:
Abdirrahman al-Maghraawi, Muhammad, 1420 H. Al-Mufassiruun baina Ta’wiil wal Itsbaat fii Ayati Al- Shifaat, Saudi Arabia, Muassasah ar-Risalah.
Al-Ghazali, 2003. Ihya’ Ulum Al-Din, Beirut, Maktabah Al-Ashriyah.
Capra , Fritjof, 1984. The Turning Point : Scince, Society, And The Rising Culture, New York, Bantam.
Goleman, Daniel, 1995. Emotional Intelligence : Why It Can Matter More Than IQ ?, London.
Jauzi, Jauzi, 1993. Al-Khis ‘Ala Thalab Al-Ilm, Iskandariyyah, Muassasah Syabab Al-Jami’ah.
Jauzi, Ibn, 1993. Al-Thibb Al-Ruhi, tahqiq Abdul Aziz Izzuddin Al-Sairawani, Damaskus, Dar Al-Anwar.
Jauzi, Ibn, 1986. Al-Thib Al-Ruhani, Kairo, Maktabah Al-Tsaqafah.
Jauzi, Ibn, 1990. Ruh Al-Arwah, Beirut, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah.
Miskawaih, Ibn, 1398 H. Tahdzib Al-Akhlaq, Beirut, Dar Maktabah Al-Hayat.
Miskawaih, Ibn, 1994. Tahdzib Al-Akhlaq, terj. Menuju Kesempurnaan Akhlak, Bandung, Mizan.
Siregar, Rivay, 2002. Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, Jakarta, Raja Grafindo Persada.
Internet:
http://www.pitoyo.com, 22 April 2009
[1] – Ibn Jauzi, Al-Thib Al-Ruhani, Ibid, lihat juga Ibn Jauzi, Luftah Al-Kabid, hlm. 502
[2] – Ibn Jauzi, Luftah Al-Kabid, Ibid
[3] – Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Fushilat ayat 53
سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ.
Kelak kami perlihatkan kepada mereka tentang ayat-ayat kami yang ada di angkasa, dan juga yang ada pada diri mereka, sehingga jelas bagi mereka bahwa Allah maha benar (haq).
[4] – Ibn Jauzi, Talbis Iblis, hlm. 4,65
[5] – Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 12 :
قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ
Allah berfirman kepada Iblis : apa yang menyebabkanmu membangkang tidak mau bersujud ketika aku memerintahkanmu?, Iblis menjawab : saya lebih baik daripada Adam, engkau ciptakanku dari api sementara Adam engkau ciptakan dari tanah.
[6] – Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Anfal ayat 24 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ
Wahai orang-orang yang beriman penuhilah panggilan Allah dan Rasulnya ketika menyeru kalian terhadap apa yang akan menghidupkan hati kalian.
[7] – Ibn Jauzi, Luftah Al-Kabid, hlm. 501
[8] – Ibn Jauzi, Talbis Iblis, hlm. 178
[9] – Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 242
[10] – Menurut Ibn Jauzi nafs ammarah adalah nafs yang selalu mengajak pada kesenangan-kesenangan yang tidak diridhai ( syahwat ). ( Ibn Jauzi, Zad Al-Masir,Vol. IV, hlm.241 )
[11] – Menurut Ibn Jauzi nafs lawwamah adalah nafs yang mencela dirinya sendiri, baik saat melakukan kebaikan, maupun kemunkara, karena pada dasarnya nafs tersebut posisinya selalu berada dintara kebaikan dan keburukan ( Ibn Jauzi, Zad Al-Masir, Vol. VIII, hlm.416)
[12] – Menurut Ibn Jauzi jiwa muthmainah adalah jiwa yang sempurna, karena ia adalah jiwa yang telah ridla dan diridlai oleh Allah,dan yang kelak akan dipannggil untuk menghadap Allah dengan panggilan yang mulia untuk masuk dalam barisan hambanya yang pilihan dan surganya yang penuh kenikmatan. (Ibn Jauzi, Zad Al-masir, Vol.IX, hlm. 123 )
[13] – Ibn Jauzi, Al-Thib Al-Ruhani, hlm.
[14] – Ibn Jauzi, Zad Al-Masir, Ibid
[15] – Ibn Jauzi, Shaid Al-Khathit, hlm.26
[16] – Ibn Jauzi , Talbis Iblis, hlm. 19
[17] – Ibn Jauzi, Shaid Al-Khathir, hlm.31
[18] – Al-Ashfahani, Mufradat Alfadz Al-Qur’an,hlm. 247, Al-Jurjani, Al-Ta’rifat, hlm.55
[19] – Definisi ini sesuai dengan apa yang digagas oleh Ibnu Taimiyyah ketika menjelaskan makna ibadah adalah: اسم جامع لكل ما يحبه الله ويرضاه من الأقوال والأعمال الباطنة والظاهرة
Ibadah adalah Satu nama yang mencakup setiap perkara yang dicintai dan diridhoi Allah Ta’ala, baik itu perkataan maupun perbuatan, yang tersembunyi (batin) maupun yang nampak (dzahir).” (Ibn Taimiyah, Al-‘Ubudiyyyah, hlm. 44)
[20] – Ibn Jauzi, Luftah Al-Kabid, Ibid Hlm. 500