Kerancuan Pembaharuan pemikiran al-Qur’an Nashr Hamid Abu Zayd berawal dair konsep teks al-Qur’annya. Dalam pandangannya, sikap dan cara pandang umat Islam tidak sesuai dengan hakekat teks itu sendiri. Menurutnya, al-Qur’an hanyalah merupakan teks manusiawi. Proses pemanusiaan ini, menurutnya, sudah berlangsung sejak Nabi Muhammad menuturkan firman-firman “verbal” Tuhan itu dalam bentuk Bahasa Arab; bahasa orang-orang di Jazirah Arab.
Sehingga menurutnya, al-Qur’an tidak lebih dari sebuah “textus receptus”, yaitu sebuah teks yang secara objektif hadir ditengah-tengah manusia (kita). Jadi, sebagai sebuah teks al-Qur’an sama dengan teks-teks lainnya yang merupakan merupakan produk kultural. Dan ini menurutnya, nampak dari penggunaan bahasa Arab sebagai media.
Abu Zayd mengkritik anggapan masyarakat bahwa teks adalah sakral (taqdis al-nash). Cara pandang masyarakat ini, katanya, tidak hanya pada teks primer (al-Qur’an) atau teks sekunder (al-Hadits) saja, tetapi juga terhadap teks-teks tafsir, fiqh dan sebagainya. Menurutnya, kesalahan ini terlahir dari asumsi bahwa al-Qur’an dan teks-teks tersebut hadir tanpa pengaruh lingkungan sosial budaya. Cara pandang tersebut telah berimplikasi terhadap kesalahan cara baca yang yang saat ini dikenal sebagai tradisi (turats). Turats inilah yang kemudian dianggap paling otentik dipedomani dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Sehingga menurut Abu Zayd, terciptalah peradaban teks dalam masyarakat Islam.
Pemikiran al-Qur’an ala Abu Zayd diatas nampak dipengaruhi epistemologi Barat. Dengan pendekatan semiotika dan hermeneutika, Abu Zayd mengatakan bahwa teks keagamaan tidak terkecuali al-Qur’an adalah produk budaya (al-Muntaj l-Thaqafi). Dalam arti bahwa bahasa yang tertuang dalam teks al-Qur’an merupakan simbol atau kode manusia (human code) dalam mengartikulasikan kesadaran dan perasaannya.
Di sinilah kekeliruan Abu Zayd. Ia menilai bahwa al-Qur’an merupakan teks sastra Arab. Padhal, al-Qur’an bukanlah merupakan teks bahasa Arab biasa. Menurut Prof. Naquib al-Attas, Bahasa Arab al-Qur’an adalah bahasa Arab bentuk baru, yang sejumlah kosa-kata pada saat itu telah di-Islamkan maknanya. Al-Qur’an mengislamkan struktur-struktur konseptual, bidang-bidang semantik dan kosa kata, khususnya istilah-istilah dan konsep-konsep kunci, yang digunakan untuk memproyeksikan hal-hal yang bukan dari pandangan hidup Islam. Dan juga al-Qur’an mengislamkan dan membentuk makna-makna baru dalam kosa kata bahasa Arab
Selain itu, Abu Zayd tidak mendefinisikan secara eksplisit yang dimaksud dengan teks. Ia hanya mengungkapkan perbedaan antara nash (taks) dan mushhaf (buku). Menurutnya, nash (teks) berarti makna (dalalah) dan memerlukan pemahaman, penjelasan, dan interpretasi. Sedangkan mushhaf (buku) tidaklah demikian, karena ia telah tertransformasikan menjadi sesuatu’ (syay’), baik suatu karya estetik (tastakhdimu li al-zînah), atau alat untuk mendapatkan berkah Tuhan
Tampak dalam hal ini Abu Zayd terpengaruh distingsi Roland Barthes tentang ‘teks’ dan ‘karya’ (work). Ia hanya mengubah sedikit interpretasi dan istilahnya. Menurut Barthes, karya (work) adalah sebuah obyek yang selesai, sesuatau yang dapat dihitung (computable), yang menempati suatu ruang fisik. Sedangkan teks adalah sebuah ranah metodologis (methodological field). “Karya dipegang dalam tangan, teks dipegang dalam bahasa” (The work is held in hand, the text in language).
Analogi teks biasa dengan al-Quran yang merupakan wahyu Allah, tentunya tidak tepat. Bukti-bukti kemukjizatan al-Quran dan keotentikannya sebagai teks wahyu telah terpampang dengan jelas di hadapan manusia. Umat Islam yakin benar, bahwa nash al-Quran bukanlah redaksi manusia; bahkan bukan kata-kata Muhammad. Karena itulah, upaya para pembaru untuk menurunkan derajat teks al-Quran menjadi teks manusia, teks linguistik biasa, atau teks sejarah, hakikatnya sama saja dengan menolak kenabian Muhammad saw. Sebab, Nabi Muhammad saw sendiri yang menyatakan, bahwa al-Quran adalah Kalamullah, dan bukan kata-kata beliau. (***)
(Peserta Program Kaderisasi Ulama—ISID Gontor)