Salah satu pemikir yang rajin mengemukakan gagasan pembaruan dalam syariat Islam adalah Abdullahi Ahmed an-Na’im. Pemikir asal Sudan yang kini bermukim di Amerika ini rajin memasarkan nilai-nilai Barat (HAM, Hukum Internasional, dan sebagainya) ke dunia Islam. Baginya, syari’ah Islam telah gagal berdialog dengan masyarakat modern. Karena itu, perlu dibaharui. Sebenarnya apa yang Na’im lakukan?
Bagaimana cara Na’im mempebarui syariat Islam?
Pertama, Na’im menjadikan diterapkannya nilai-nilai dan budaya Barat sebagai Maqasid as-Syari’ah, (tujuan syaria’ah), sebab menurutnya, nilai-nilai modern itu bersifat universal. Di sini Na’im menggeser peran teks sebagai ‘wasilah’ yang mengandung syari’ah kepada budaya Barat. Maksudnya, jika ingin menemukan ‘tujuan syari’ah’, harus dicari pada budaya Barat.
Cara pandang seperti ini oleh ‘Abdul Majid al-Najjar dilihat sebagai akar kesalahan kaum liberalis, sebab memisahkan antara maqsad (objektif) dan syara’ yang menjadi wasilah kepada tujuan (objektif) itu. Padahal, dua hal itu tidak boleh dipahami secara terpisah. Sebab, para ulama Islam sangat paham, bahwa Maqasid as-Syari’ah itu ada pada syara’, haytsuma wujida al-Shar’a fa tsamma al-maslahah.
Na’im, dalam bukunya, Toward an Islamic Reformation juga mengatakan syari’ah yang selama ini kita kenal dan terapkan hanyalah produk interpretasi ulama Muslim di tiga abad pertama Islam; terikat oleh ruang dan waktu. Karena itu, bagi Na’im, syari’at itu bukan wahyu itu sendiri, bukan produk Tuhan. Sehingga ia bersifat relatif; tidak memiliki unsur Ketuhanan, tidak abadi dan tidak mengikat.
Tentu, pandangan relativistik Na’im terhadap syari’ah tidak tepat. Sebab, syari’ah adalah an nushush al muqaddasah dari al-Qur’an dan Sunnah yang mutawatir yang sama sekali belum tercampuri oleh pemikiran manusia. Dalam wujud seperti ini, syari’ah disebut at thariqoh al mustaqimah (jalan/cara yang lurus). Ini sejalan dengan pendapat Ibn Athir, yaitu bahwa syari’ah merupakan ketentuan agama yang diwajibkan Allah ke atas hamba-Nya. Karena itu, syari’ah Islam tidak akan pernah berubah, sebab ia langsung dari Allah SWT (A1-Ma’idah: 15-16). Yang berubah hanya uslub (metodologi) pengajaran dan dakwah.
Selain itu, pandangan bahwa Syari’ah hanya produk pemikiran manusia dapat menimbulkan implikasi keagamaan yang cukup besar. Sebab, ia akan selalu digugat untuk dinegosiasikan dengan konteks ruang dan waktu. Bahkan, hal itu juga akan menegasikan kesakralan agama Islam itu sendiri, melonggarkan ikatan religiusitas manusia, yang akan berakhir dengan rendahnya tingkat kepatuhan manusia untuk menjalankan tuntutan syari’ah-nya. Di sini, Na’im sejatinya telah merendahkan Islam sebagai Agama rekayasa manusia.
Sebagai ganti syari’ah, Na’im mengusulkan, syari’ah yang akan dijadikan hukum publik atau perundang-undangan harus senantiasa diuji dalam Nalar Publik (public reason). Yaitu sebuah ruang dialog dan debat yang berakar pada Civil Society. Di sanalah maksud, alasan dan tujuan suatu syari’ah diuji dan diperdebatkan oleh masyarakat luas. Namun sayang, bagaimanapun syari’ah seperti yang saat ini ada tetap ia tolak. Sebab bertentangan dengan nilai-nilai dan budaya Barat, ujarnya, sebagaimana ia tulis dalam bukunya, Islam and The Secular State.
Padahal, konsep Na’im tentang nalar publik itu sendiri masih sangat debatable. Dominasi kekuasaan, finansial dan media massa, konflik kepentingan, dan perbedaan level ilmu pengetahuan masyarakat menjadi kendala yang tak terhindarkan. Apalagi, semuanya hanya dibangun di atas pertimbangan suka atau tidak. Bisa jadi, pagi disetujui siang sudah dianulir.
Uraian singkat ini menunjukkan bahwa Na’im gagal membedakan antara teks dan tafsir, wahyu dan pikiran manusia. Karena itu, apa yang dikerjakan Na’im bukan sebuah tajdid terhadap Syari’ah Islam, tapi sedang memasarkan paham-paham yang lahir dari perut Barat Modern dan Post-Modern, yakni paham kebebasan (liberalisme), relativisme, dan hedonisme. Jadi, bukan Islam yang sedang ia perjuangkan, tapi paham-paham Barat yang hari-hari ini sedang berkuasa.
(Mahasiswa S2-ISID Gontor)