INSAF kali ini membahas tema yang sedang hangat diperbincangkan oleh khalayak, mengenai bagaimana landasan ideologi serta konsekuensi sosial yang akan terjadi apabila RUU P-KS ini disahkan menjadi UU. Banyak masyarakat yang bertanya-tanya apa dan bagaimana sebenarnya RUU P-KS.
INSISTS menginisiasi diskusi mengenai tema ini, dengan mengundang Sekertaris Komisi Pengkajian dan Penelitian MUI, Dr. Rida Hesti Ratnasari. Setelah menelisiknya dengan seksama, Dr. Rida mengatakan bahwa naskah akademik RUU ini kental dengan agenda feminisme radikal, yang berpandangan bahwa perempuan seharusnya diberi kemerdekaan “kontrol seksual” atas tubuhnya. Ia pun mengajak masyarakat untuk berdiskusi tanpa menjadikannya sebagai komoditas isu, namun mendudukkannya menggunakan akal yang mustanir (cemerlang), yakni menghubungkan fakta dan tatanan yang telah digariskan Tuhan sebagai konsekuensi penciptaan.
Pandangan tersebut berangkat dari asumsi bahwa budaya patriarki mengakibatkan tubuh perempuan dianggap objek utama penindasan yang dilakukan oleh kaum lelaki. Ini jika dibiarkan tentunya akan membahayakan kondisi ketahanan keluarga di Indonesia, juga bertabrakan dengan nilai-nilai norma bangsa kita yang merupakan bangsa beragama.
Latar belakang yang mendorong sebagian pihak untuk menuntut pengesahan RUU P-KS ini adalah tingginya angka kekerasan seksual di Indonesia. Komnas perempuan mencatat bahwa kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2017 menunjukkan angka kekerasan seksual di ranah privat/nasional di posisi tertinggi, di bawah kekerasan fisik. Kemudian, menurut KPAI, jumlah laporan yang masuk tak pernah kurang dari 100 laporan sejak tahun 2011.
Data singkat ini menunjukkan maraknya kasus kekerasan terhadap perempuan patut menjadi perhatian dan diatur solusinya oleh Negara, namun justru akan kontradiktif apabila ternyata RUU ini dilandasi agenda feminisme radikal. RUU ini berpotensi membuat perempuan mempunyai hak secara bebas terhadap tubuhnya.
Perempuan yang melakukan hubungan di luar nikah atas dasar suka sama suka, misalnya, tidak bisa disebut perzinaan dan diperkarakan secara pidana. Sebaliknya, jika suami meminta untuk dilayani istri namun sang istri menolak karena alasan-alasan yang bisa didiskusikan, ia justru bisa dituntut telah melakukan tindakan pidana.
Sikap yang longgar seperti ini dapat menumbuhsuburkan seks bebas serta mengancam keharmonisan rumah tangga. Itulah beberapa kecil dari kosekuensi sosial jika RUU ini disahkan. Untuk mencegah hal tersebut, sekaligus mencegah terjadinya kekerasan seksual seperti perhatian utama RUU ini, Dr. Rida mengajukan beberapa langkah strategis.
Pertama, penataan perilaku hadir lebih preventif, menutup pintu-pintu kekerasan dan kejahatan seksual dengan melindungi pihak rentan, menegakkan penataan perilaku bermartabat dan memelihara tubuh sesuai aturan Allah. Kedua, kekerasan dan kejahatan seksual dimaknai sebagai penggunaan organ seks tidak sesuai dengan konsekuensi diciptakannya (pro live bukan pro-choice, melestarikan jenis manusia, bukan sekedar untuk pemuasan biologis, hiburan dan kesenangan). Ketiga, kontrol seksual dengan ‘klaim’ adanya kelompok pemaksaan, telah mengaburkan tindakan pelacuran dari jerat hukum, bahkan pelarangan pelacuran digiring sebagai pelanggaran atas kedaulatan tubuh dan kontrol seksual (penolakan Perda Pelarangan Pelacuran kota Tangerang 2005 juga menggunakan perspektif Pengarus Utamaan Gender-PUG).
Keempat, terjadi blunder antara permasalahan dengan solusi, yakni perempuan rentan menjadi korban kekerasan seksual namun solusi justru diberi kedaulatan atas tubuh dan kontrol seksual untuk memilih dan berbuat atau tidak berbuat. Kelima, konteks kekerasan seksual memberikan kesempatan mengklaim ‘dipaksa’ atau sadar atas pilihan sendiri, bagaimana consent dibuat dalam relasi harmoni keluarga? Keenam, kelompok rentan semestinya diberikan penguatan, pemahaman, kesadaran bagaimana memperlakukan tubuh dan organ seksual, bukan diberikan legitimasi kedaulatan atas tubuh dan kontrol seksual.
Ketujuh, individu-individu sebagai penyusun keluarga merupakan miskonsepsi besar, karena kumpulan individu saja bukan menjadikan struktur keluarga. Keluarga ada karena adanya ikatan, nilai, norma, kesepakatan dengan fungsi-fungsinya. Kedelapan, kamuflase harmoni dalam keluarga yang disarankan oleh Feminisme melalui kedaulatan atas tubuh dan kontrol seksual, saling meringankan beban secara egaliter, dan menguntungkan laki-laki, adalah utopia karena saling bertentangan dengan cita-cita, fakta, dan masalah.
Terakhir, absensi perempuan dalam ranah pengembangan pengetahuan, pembangunan dan keterwakilan strategis diperjuangkan dengan peningkatan kapabilitas dalam keluhuran mematuhi penataan Sang Pemilik Otoritas, bukan bersikeras dengan stand point kelompok atau individualnya. Beliau berpesan sekaligus menutup forum, “Mari bersama membangun kesadaran bermartabat dalam bangsa Beragama”.
Penulis : Isna Nur Fajria, Rizqi Fadhila, Syaidina Sapta Wilandra
Penyunting : Ismail Al-‘Alam