Pada 7 Juni 2014, di tengah-tengah masa kampanye, capres Jokowi berziarah ke Makam Habib Abdullah bin Muhsin al-Attas, di kawasan Empang, Bogor. Kabarnya, ada calon presiden sebelumnya yang juga berziarah ke Makam Habib Abdullah yang dalam sebuah buku disebut sebagai salah satu dari 17 habib yang berpengaruh di Indonesia. Habib Abdullah bin Muhsin al-Attas lebih dikenal dengan sebutan Habib Keramat Empang Bogor. Banyak kisah tentang “kewalian” dan “karomah” yang dimilikinya beredar luas di masyarakat.
Untuk apa para peziarah itu mengunjungi Makam Habib Keramat? Sadarkah mereka, siapa sosok yang mereka kunjungi makamnya itu? Sang Habib adalah ulama besar. Itu bisa dilihat dari hasil didikannya. Para muridnya— dengan izin Allah—menjadi ula ma-ulama terkenal, di antaranya Habib Alwi bin Muhammad bin Thahir Al- Haddad (mufti Kerajaan Johor).
Sejarawan, Alwi Alatas, menemukan bahwa menurut akhbar Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, Habib Abdullah bin Muhsin al-Attas wafat pada 29 April 1933. Ia disebut sebagai tokoh terkenal (bekende persoonlijk heid) dan seorang yang sangat dihormati (de overledene stond in hoog aanzien). Bupati Bogor hadir dalam proses pemakaman tersebut. Padahal, Habib Keramat pernah dimasukkan ke dalam penjara oleh Pemerintah Hindia Belanda, bahkan harus dirantai lehernya. Kononnya, menurut cerita yang beredar di masyarakat, kepala penjara justru ke mudian terjangkit penyakit misterius dan atas saran sang Habib ia bisa sembuh jika lehernya juga dikalungi rantai. Wallahu A’lam.
Mungkin pula tidak banyak peziarah yang paham, bahwa dari garis keturunan Habib Keramat di kemudian hari lahir seorang cucunya yang dikenal sebagai salah satu ilmuwan besar dunia internasional, bernama Syed Muhammad Naquib al-Attas. Hasil penelusuran Prof Wan Mohd Nor Wan Daud menemukan bahwa Syed Naquib al-Attas merupakan keturunan ke-37 dari silsilah Rasulullah SAW, bertemu pada garis Hussein bin Ali bin Abi Thalib RA (lihat, Wan Mohd Nor Wan Daud, “Prof. Dr. Syed Muham mad Naquib al-Attas: an Introduction” dalam Commemorative Volume on the Conferment of the al-Ghazali Chair of Islamic Thought, Kuala Lumpur: ISTAC,1993).
Siapa Prof Naquib al-Attas? Sampai naskah ini ditulis (25 November 2014), masyarakat internasional masih bisa menikmati sebuah wawancara menarik di Youtube, antara Hamza Yusuf, direktur Zaytuna Institute Amerika Serikat, de ngan Prof Syed Muhammad Naquib al- Attas. Tahun 2009, Hamza Yusuf dinobatkan sebagai “the Western world’s most influential Islamic scholar” dalam “The 500 Most Influential Muslims”, suntingan John Esposito dan Ibrahim Kalin, (2009).
Dalam wawancara itu, Hamza Yusuf menyebut Prof al-Attas sebagai ulama dan filosof besar di zaman ini yang memiliki pengaruh besar di dunia Islam. Ia mengakui banyak mendapat manfaat dari karya-karya Prof al-Attas yang dibacanya. Hamza Yusuf bertanya, “What you think is the central crisis, taking place right now in the muslim world?” Dijawab oleh Prof al-Attas, “I said it is loss of adab.” Hilang adab alias tidak beradab (kata halus dari “biadab”), itulah kata kunci dari akar dari seluruh krisis yang dihadapi umat dan dunia Islam dewasa ini. Karena itu, jika umat Islam ingin bangkit dan terbebas dari berbagai krisis yang membelit mereka, pahamilah adab dan didiklah umat ini agar mereka menjadi manusia-manusia yang beradab.
Adalah Prof. Wan Mohd Nor yang kemudian menguraikan dalam berbagai karyanya, bahwa salah satu sumbangan besar dari Prof. al-Attas terhadap umat Islam di zaman ini adalah pemikirannya tentang adab. Menurut Prof. Wan Mohd Nor, salah satu idea ulung dalam arena pemikiran Muslim modern yang ditemui semua dan diberikan satu uraian amat sistematik dan menyeluruh oleh al-Attas adalah konsep adab. Menurut Prof. Wan Mohd Nor, “Konsep Islam yang begitu penting ini telah ditemui semula oleh beliau lalu dihuraikan secara sistematik dan dihubungjalinkan dengan istilah-istilah lain yang terdapat dalam ruang lingkup ontologi, epistemologi dan pendidikan, etika, estetika, dan ekologi.” (Lihat, Wan Mohd Nor Wan Daud, “Al-Attas: Ilmuwan Penyambung Tradisi Pembaharuan Tulen”, dalam Mohd Zaidi Ismail dan Wan Suhaimi wan Abdullah, Adab dan Peradaban: Karya Pengi’tirafan untuk Syed Muhammad Naquib al-Attas, hlm. 45).
Kedudukan Adab
Di masa kecil, Prof. al-Attas sempat mendapat pendidikan di Bogor dan Madrasah al-Urwatul Wutsqa Sukabumi (1941-1946). Nama dan pemikirannya sudah dikenal luas di Indonesia, sejak tahun 1981, saat Penerbit Pustaka Bandung—Perpustakaan Salman ITB, menerbitkan karya klasiknya, berjudul Islam and Secularism, dalam edisi Indonesia. Hingga kini, di usianya yang ke-83 tahun, ia masih konsisten dengan teori yang diungkapkannya, sejak awal 1970-an, bahwa akar masalah umat Islam adalah “hilang adab”, loss of adab. Tahun 1980-an itu pula, bukunya, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, diterbitkan di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1990, cet. Ke-4).
Pentingnya adab dalam kehidupan manusia sudah banyak pula dikemukakan oleh para ulama terdahulu. Imam Ibnu Katsir, dalam Kitab Tafsirnya, menyebutkan, bahwa Ali bin Abi Thalib r.a. memaknai perintah Allah “Qū anfusakum wa-ahlȋkum nārā”, dengan “addibūhum wa ‘allimūhum (didiklah mereka agar beradab dan ajari mereka ilmu). Nabi Muhammad SAW bersabda: (Muliakanlah anak-anakmu dan perbaikilah adab mereka” (HR Ibn Majah). Sejumlah ulama juga menulis kitab terkait dengan adab, seperti al-Mawardi (w. 450 H), menulis Adab ad-Dunya wa ad-Din, Muhammad bin Sahnun at-Tanwukhi (w. 256 H) menulis Adab al-Mu’allimin wa al-Muta’allimin, juga al-Khatib al-Baghdadi ( w. 463 H) menulis al-Jami’ li-Akhlaq al-Rawi wa Adab as-Sami’.
Pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari, menulis kitab khusus tentang Adab, berjudul, Ādabul Ālim wal-Muta’allim. Ditulis: ”at-Tawhīdu yūjibul īmāna, faman lā īmāna lahū lā tawhīda lahū; wal-īmānu yūjibu al-syarī’ata, faman lā syarī’ata lahū, lā īmāna lahū wa lā tawhīda lahū; wa al-syarī’atu yūjibu al-adaba, faman lā ādaba lahū, lā syarī’ata lahū wa lā īmāna lahū wa lā tawhīda lahū.” (Hasyim Asy’ari, Ādabul Ālim wal-Muta’allim, Jombang: Maktabah Turats Islamiy, 1415 H). Jadi, menurut Kyai Hasyim Asy’ari, Tauhid mewajibkan wujudnya iman. Barangsiapa tidak beriman, maka dia tidak bertauhid; dan iman mewajibkan syariat, maka barangsiapa yang tidak ada syariat padanya, maka dia tidak memiliki iman dan tidak bertauhid; dan syariat mewajibkan adanya adab; maka barangsiapa yang tidak beradab maka tiada syariat, tiada iman, dan tiada tauhid padanya.
Salah satu sumbangan besar Prof. Naquib al-Attas dalam dunia pemikiran Islam kontemporer adalah menguraikan definisi dan kedudukan adab dalam konteks dominasi paham sekularisme terhadap Islam. Tahun 1973, dalam bukunya, Risalah untuk Kaum Muslimin, Prof. al-Attas sudah menjelaskan makna adab secara terperinci. Dalam bukunya, Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam, (Pulau Pinang: USM, 2007, hlm. 42-43), Prof. al-Attas menjelaskan lebih jauh makna adab yang dimaksudnya:
“Adab, atau amalan, tindakan, dan perbuatan yang betul, itulah yang merupakan pengakuan yang dimaksudkan. Jadi, pendidikan itu adalah penyerapan adab ke dalam diri. Penjelmaan adab dalam diri-diri persendirian yang membentuk masyarakat sebagai suatu kumpulan membayangkan keadaan keadilan; dan keadilan itu sendiri adalah suatu yang menayangkan hikmah, yang merupakan cahaya nan terbit dari lampu nubuwwat, yang membolehkan si penerimanya mendapat tahu letaknya tempat yang betul dan wajar bagi suatu benda atau kewujudan makhluk. Keadaan berada pada tempat yang wajar itulah keadilan; dan adab itu perbuatan yang disadari yang dengannya kita menjelmakan keadaan berada pada tempat yang wajar. Jadi adab, dalam pengertian an dita’rifkan di sini, adalah juga suatu pancaran hikmah; dan berkenaan dengan masyarakat, adab itu peraturan adil yang terdapat di dalamnya. Dita’rifkan dengan ringkas, adab itu tampaknya keadilan sebagaimana dia dipancarkan oleh hikmah.”
Dalam pengantarnya untuk buku Aims and Objectives of Islamic Education (Jeddah: King Abdul Aziz University, 1979), al-Attas tidak menolak bahwa salah satu masalah besar yang dihadapi oleh umat Islam dewasa ini adalah masalah eksternal, berupa serbuan pemikiran-pemikiran yang merusak. “It is true that the Muslim mind is now undergoing profound infiltration of cultural and intelelectual elements alien to Islam.” Tetapi, menurut al-Attas, masalah eksternal itu hanyalah sebagian dari masalah yang melanda umat Islam. Ada masalah yang lebih mendasar lagi, yang harus dipahami dan disadari, agar umat dapat memberikan solusi bagi problematika umat tersebut. “Only by our consciousness and recognition and acknowledgement that serious internal causes have in fact contributed considerably to our general disarray will be able to discern the full truth that lies at the core of the dilemma we suffer today.” (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Aims and Objectives of Islamic Education (Jeddah: King Abdul Aziz University, 1979, hlm.1).
Dalam buku yang merupakan kumpulan makalah dalam Seminar Internasional Pendidikan Islam di Mekkah, 1977, Prof. al-Attas pun dengan tegas menyimpulkan, bahwa masalah mendasar internal umat Islam adalah “loss of adab”. Lebih jauh lagi, al-Attas menjelaskan, bahwa yang ia maksud sebagai “loss of adab” adalah: “lost of discipline – the discipline of body, mind, and soul; the discipline that assures the recognition and acknowledgement of one’s proper place in relation to one’s self, society, and community; the recognition and acknowledgement of one’s proper place in relation to one’s physical, intellectual, and spiritual capacities and potentials; the recognition and acknowledgement of the fact that knowledge and being are ordered hierarchically.” (Ibid, hlm. 2).
Pancasila: Dasar Negara Tauhid
Tiga kata penting dalam mewujudkan masyarakat yang ideal diurai dengan terperinci oleh Prof. al-Attas, yaitu kata: adab, adil, dan hikmah. Tiga kata itu dikenal pula sebagai kata-kata kunci dalam Islam (Islamic basic vocabularies), yang umat Islam — di mana pun, dan berbahasa apa pun – memiliki pemahaman yang sama terhadap makna tersebut. Uniknya, tiga kata itu disebutkan secara tegas dalam sila-sila Pancasila, setelah sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa, dan diakhiri dengan tujuan bernegara, yaitu terwujudnya “Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Kajian semantis dan historis terhadap makna adab, adil, dan hikmah dalam Pancasila sangatlah penting untuk mendapatkan makna Pancasila sebagaimana yang dikehendaki oleh para pendiri bangsa Indonesia. Dengan itu, tidak setiap orang bisa menafsirkan Pancasila semaunya sendiri. Haji Agus Salim, misalnya, sebagai salah satu perumus Pembukaan UUD 1945 – yang memuat teks Pancasila saat ini dalam BPUPK tahun 1945 – menulis tentang makna Ketuhanan Yang Maha Esa: “… saya ingat betul-betul bahwa di masa itu tidak ada diantara kita seorang pun yang ragu-ragu, bahwa dengan pokok dasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu maksudnya ‘aqidah, kepercayaan agama, dengan kekuatan keyakinan, bahwa kemerdekaan bangsa dan tanah air suatu hak yang diperoleh daripada rahmat karunia Tuhan Yang Maha Esa…”
Tentang manusia yang berpura-pura mengakui Ketuhanan Yang Maha Esa tetapi perilakunya justru mengajak manusia membesar-besarkan hawa nafsunya, loba dan tamak terhadap kebendaan, Haji Agus Salim pun menyeru, “… hendaklah kita memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa hidayah petunjuk dan bimbingan taufik-Nya.” (Lihat buku Seratus Tahun Haji Agus Salim, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996, hlm. 441-444).
Itulah makna adab kepada Tuhan Yang Maha Esa. Memahami dan “meletakkan” dirinya dengan betul, di tempat yang wajar, dalam berhadapan dengan Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT. Meyakini dan bersedia diatur oleh Allah SWT adalah adab kepada Sang Pencipta. Begitu juga tidak menserikatkan Allah dengan yang lain. Itu aqidah Islam. Itu makna Ketuhanan Yang Maha Esa. Muhammad Hatta, mencatat: “Dengan dasar-dasar ini sebagai pimpinan dan pegangan, pemerintahan negara pada hakekatnya tidak boleh menyimpang dari jalan yang lurus untuk mencapai kebahagiaan rakyat dan keselamatan masyarakat, perdamaian dunia serta persaudaraan bangsa-bangsa?” (Lihat, Mohammad Hatta, Pengertian Pancasila, Jakarta: CV Haji Masagung, 1989, hlm.31-33).
Banyak kaum Muslim memandang bahwa hilangnya “tujuh kata” dari sila pertama naskah Piagam Jakarta – dan digantikan dengan rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” — adalah sebuah kekalahan perjuangan Islam di Indonesia. Namun, tidak demikian halnya dengan I.J. Satyabudi, seorang penulis Kristen. Dalam bukunya yang berjudul Kontroversi Nama Allah (1994), ia justru mengakui keunggulan tokoh-tokoh Islam dalam perumusan sila pertama tersebut.
Satyabudi menulis: “Lalu, siapa sebenarnya yang lebih cerdas dan menguasai ruang persidangan ketika merumuskan Sila Pertama itu? Sangat jelas, Bapak-bapak Islam jauh lebih cerdas dari Bapak-bapak Kristen karena kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu identik dengan “Ketuhanan Yang Satu”! Kata Maha Esa itu memang harus berarti Satu. Oleh sebab itu, tidak ada peluang bagi keberbagaian Tuhan. Umat Kristen dan Hindu harus gigit jari dan menelan ludah atas kekalahan Bapak-bapak Kristen dan Hindu ketika menyusun Sila Pertama ini.”
Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Situbondo, Jawa Timur, 16 Rabi’ulawwal 1404 H/21 Desember 1983 menetapkan sejumlah keputusan: (1) Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam. (2) Bagi Nahdlatul Ulama (NU) Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia.(3) Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dan upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya. (Lihat, pengantar K.H. A. Mustofa Bisri berjudul “Pancasila Kembali” untuk buku As’ad Said Ali, Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan Berbangsa, (Jakarta: LP3ES, 2009).
Makna Tauhid pada dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa juga ditegaskan oleh Rois ‘Am NU KH Achmad Siddiq. Dalam satu makalahnya yang berjudul “Hubungan Agama dan Pancasila” yang dimuat dalam buku Peranan Agama dalam Pemantapan Ideologi Pancasila, terbitan Badan Litbang Agama, Jakarta 1984/1985, KH Achmad Siddiq, menyatakan: “Kata “Yang Maha Esa” pada sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) merupakan imbangan tujuh kata yang dihapus dari sila pertama menurut rumusan semula. Pergantian ini dapat diterima dengan pengertian bahwa kata “Yang Maha Esa” merupakan penegasan dari sila Ketuhanan, sehingga rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu mencerminkan pengertian tauhid (monoteisme murni) menurut akidah Islamiyah (surat al-Ikhlas). Kalau para pemeluk agama lain dapat menerimanya, maka kita bersyukur dan berdoa.”
Dalam ceramahnya sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia pada pertemuan dengan Wanhankamnas, 25 Agustus 1976, Prof. Hamka menjelaskan tentang makna Ketuhanan Yang Maha Esa: “Jadi, Ketuhanan Yang Maha Esa di pasal 29 itu bukanlah Tuhan yang lain, melainkan Allah! Tidak mungkin bertentangan dan berkacau di antara Preambul dengan materi undang-undang.” (Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, hal. 224).
Karena itu, jika ditelaah secara cermat dan jujur, berdasarkan proses penyusunan Pancasila itu sendiri, sebenarnya lebih masuk akal jika pemahaman Ketuhanan Yang Maha Esa lebih merujuk kepada konsep Ketuhanan dalam Islam, yaitu konsep Tauhid. Sebab, rumusan ”Ketuhanan Yang Maha Esa” itu memang datang dari para tokoh Islam, seperti KH Wachid Hasyim (NU), Kasman Singodimedjo, Ki Bagus Hadikusumo (Muhammadiyah), dan sebagainya. Rumusan itu juga muncul sebagai kompensasi dari dihapuskannya ”tujuh kata” (dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) dalam sidang penetapan UUD 1945, pada 18 Agustus 1945.
Pancasila yang resmi berlaku saat ini adalah rumusan Pancasila hasil sidang PPKI 18 Agustus 1945 yang kemudian diperkuat lagi dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dalam sejarah Indonesia, ada lima jenis rumusan Pancasila yang pernah diterapkan secara resmi. Pertama, rumusan Piagam Jakarta (yang sila pertama berbunyi: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya). Kedua, rumusan pembukaan UUD 1945 (yang sila pertama berbunyi: Ketuhanan Yang Maha Esa). Ketiga, rumusan versi Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS), yaitu: (1). Ketuhanan Yang Maha Esa, (2). Perikemanusiaan. (3). Kebangsaan (4) Kerakyatan dan (5) Keadilan Sosial. Rumusan ini berlaku 27 Desember 1949. Keempat, rumusan UUDS 1950 yang isinya sama dengan rumusan UUD RIS. Dan kelima, rumusan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang isinya sama dengan rumusan 18 Agustus 1945, tetapi ada penegasan bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.”
Prof. Muhammad Yamin, seorang perumus Lima Asas Negara disamping Soekarno yang juga penandatangan Piagam Jakarta, dalam bukunya, Pembahasan Undang-undang Dasar Republik Indonesia, menyatakan: “Ajaran filsafat Pancasila seperti berturut-turut diuraikan dalam kata pembuka Konstitusi Republik Indonesia 1945, dalam Mukaddimah Konstitusi Republik Indonesia Serikat tahun 1949 dan Konstitusi Republik Indonesia 1950 adalah seluruhnya berasal dari Piagam Jakarta bertanggal 22 Juni 1945 yang ditandatangani oleh sembilan orang Indonesia terkemuka, sebagai suatu pembangunan tinjauan hidup bangsa Indonesia bagaimana Negara Republik Indonesia harus dibentuk atas panduan ajaran itu.”
Jadi, Pancasila yang berlaku resmi sekarang adalah berbeda dengan konsep Pancasila yang diajukan oleh Soekarno pada 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPK. Ketika itu, Soekarno mengusulkan “lima dasar” untuk Indonesia Merdeka, yaitu: (1) Kebangsaan Indonesia (2) Internasionalisme atau Perikemanusiaan (3) Mufakat atau Demokrasi (4) Kesejahteraan Sosial (5) Ketuhanan.
Ketika memasuki pembahasan dalam Panitia Sembilan di BPUPK, rumusan itu berubah. Sila pertama menjadi: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Di sini tampak bahwa pandangan alam Islam yang tentunya diajukan oleh para tokoh Islam anggota Panitia Sembilan cukup mewarnai rumusan Pancasila tersebut. Rumusan ini bertahan sampai 18 Agustus 1945. Berubahnya urutan sila dari usulan Bung Karno menjadi rumusan versi Panitia Sembilan tersebut juga merupakan hal yang mendasar.
Tahun 1976, pemerintah RI membentuk Panitia Lima yang menerbitkan buku Uraian Pancasila. Anggota Panitia Lima ialah: Mohammad Hatta, Prof. H.A. Subardjo Djoyoadisuryo SH, Mr. Alex Andries Maramis, Prof. Sunario SH, dan Prof. Abdoel Gafar Pringgodigdo SH. Dalam uraiannya tentang kedudukan sila pertama, Panitia Lima merumuskan: ”Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa jadi dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kita, yang memberikan jiwa kepada usaha menyelenggarakan segala yang benar, adil dan baik, sedangkan dasar kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kelanjutan dalam perbuatan dan praktik hidup dari dasar yang memimpin tadi.” (Lihat, Muhammad Hatta, Pengertian Pancasila, (Jakarta: CV Haji Masagung, 1989).
Adalah menarik rumusan Tim Lima pimpinan Bung Harta tersebut, yang menyatakan, bahwa ”Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa jadi dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kita, yang memberikan jiwa kepada usaha menyelenggarakan segala yang benar, adil dan baik…” Pemaknaan seperti ini tentu bukanlah sembarangan, jika Ketuhanan Yang Maha Esa dimaknai sebagai konsep tauhid. Sebab, itu berarti, sama saja dengan menyatakan, bahwa tauhid Islam menjadi dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan Indonesia. Penafsiran semacam ini, bagi para tokoh Islam, jelas bukan mengada-ada. Jika dilihat sejak penyusunan Piagam Jakarta, sampai sidang PPKI 18 Agustus 1945, dan terakhir Dekrit Presiden 5 Juli 1959, tampak jelas semangat dan visi Ketuhanan Yang Maha Esa memang mengarah kepada konsep tauhid Islam.
Konsep Tauhid Islam berpijak di atas prinsip ”Laa ilaaha illallah, Muhammadur Rasuulullah” (Tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah). Seorang yang bertauhid, akan mengikrarkan dan meyakini, bahwa satu-satunya Tuhan yang berhak untuk disembah dan ditaati adalah Allah; bukan Tuhan yang lain. Hanya Allah semata. Allah adalah nama Tuhan yang ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ketiga.
Tauhid artinya Tauhidullah, yakni pengenalan dan pengakuan akan Allah Yang Maha Kuasa sebagai satu-satunya Tuhan. Orang yang menjadikan tuhan-tuhan selain Allah, disebut orang musyrik. Dan syirik adalah tindakan zalim yang sangat besar. (QS 31:13). ”Memang aniaya besarlah orang kepada dirinya kalau dia mengakui ada lagi Tuhan selain Allah, padahal selain Allah itu adalah alam belaka. Dia aniaya atas dirinya sebab Tuhan mengajaknya agar membebaskan jiwanya dari segala sesuatu, selain Allah,” tulis Prof. Hamka dalam tafsir Al Azhar. (Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988), juzu’ XXI, hal. 128).
Tauhid Islam juga mewajibkan pengakuan dan keimanan terhadap kenabian Muhammad saw. Dalam konsepsi Tauhid Islam, setelah diutusnya Muhammad saw, tidak mungkin seorang dapat mengenal Allah dan dapat mengetahui cara beribadah kepada Allah dengan benar, kecuali melalui nabi-Nya tersebut. Karena itu, Imam al-Ghazali dalam Fashlut Tafriqah menegaskan: ”Saya perlu menegaskan bahwa kufur itu adalah mendustakan Rasulullah saw dalam segala ajaran yang beliau bawa. Sedangkan iman adalah membenarkan (tashdiq) kepada seluruh ajaran yang beliau sampaikan.” (Imam al-Ghazali, Tauhidullah: Risalah Suci Hujjatul Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1998), hal. 181).
Konsep Tauhid Islam pun mewajibkan kaum Muslim untuk berlaku toleran terhadap kaum non-muslim. Tidak boleh ada pemaksaan terhadap orang lain untuk bertauhid, sebab telah jelas mana yang salah dan mana yang benar. (QS 2:256). Kaum muslim diwajibkan menghormati agama lain agar bisa menjalankan agamanya. Namun, Islam juga mewajibkan umatnya untuk menjaga iman mereka dari berbagai bentuk pemurtadan.
Dalam perspektif Tauhid Islam, seorang Muslim pasti sangat menjunjung tinggi nilai-nilai katauhidan dan berusaha keras untuk menjauhi kemusyrikan. Seorang Muslim pasti menolak usaha untuk menyamakan ketauhidan dan kemusyrikan; antara iman dan kufur; antara yang lurus dan yang sesat. Karena itu, seorang Muslim pasti menolak paham Pluralisme atau multikulturalisme, yang diartikan sebagai paham penyamaan semua agama, baik secara teologis maupun secara sosial-politik. Minimal, penolakan itu dilakukan dalam hati, sebagai bentuk pemenuhan kewajiban untuk mengingkari kemunkaran, sesuai yang sabda Nabi saw: jika seorang melihat kemunkaran maka ubahlah dengan tangan, lisan, atau hati.
Jadi, dalam kondisi negara apa pun, seorang Muslim tidak boleh kehilangan worldview Islam (pandangan alam Islam). Jika negaranya melakukan kebaikan, maka ia harus mengakui dan mendukungnya. Jika membuat kebijakan yang bertentangan dengan Islam, maka seorang Muslim wajib memahami dan mengingkarinya, sesuai dengan ketentuan dalam ajaran Islam. Cara pandang, sikap, dan amal seorang Muslim terhadap negaranya itulah yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat.
Menyimak sejarah dan makna kata-kata penting dalam Pembukaan UUD 1945 – yang memuat teks Pancasila – bisa disimpulkan bahwa para pendiri bangsa Indonesia sama sekali tidak mencitakan Indonesia sebagai negara “netral agama” atau “negara sekular”. Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 sarat dengan muatan Islamic Worldview (pandangan-alam Islam). Hilangnya “tujuh kata” dari Pembukaan UUD 1945, meskipun sangat disesalkan oleh umat Islam, sama sekali tidak membuang kerangka Islamic Worldview tersebut.
Itu bisa dibuktikan dari munculnya kata “Allah” dalam alinea ketiga Pembukaan UUD 1945. Allah adalah nama Tuhan bagi orang Islam, di mana pun. Satu-satunya agama di Indonesia yang Kitab Sucinya menyebut nama Tuhannya Allah adalah agama Islam. Karena itulah, sila Ketuhanan Yang Maha Esa, bermakna pengakuan akan Allah sebagai satu-satunya Tuhan. Munculnya istilah-istilah baku dalam Islam (Islamic basic vocabulary), seperti kata “adil”, “adab”, “musyawarah”, “hikmah”, “wakil” menunjukkan, bahwa UUD 1945 sama sekali tidak netral agama.
Karena itu, seyogyanya, pemahaman terhadap Pancasila dan UUD 1945 tidak dilepaskan dari kerangka Islamic worldview dan diseret ke kutub netral agama. Pemahaman semacam ini, selain keliru, juga akan berakhir dengan sia-sia, sebab kaum Muslim – secara umum — tidak mungkin bisa dilepaskan dari ajaran-ajaran Islam, baik secara aqidah maupun syariahnya. Guru besar Ilmu hukum Universitas Indonesia, Prof. Hazairin, dalam bukunya, Demokrasi Pancasila, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990, cet.ke-6), menulis: “bahwa yang dimaksud dengan Tuhan Yang Maha Esa itu ialah Allah, dengan konsekuensi (akibat mutlak) bahwa “Ketuhanan Yang Maha Esa” berarti pengakuan “Kekuasaan Allah” atau “Kedaulatan Allah”. (hal. 31). “Negara RI wajib menjalankan syariat Islam bagi orang Islam, syariat Nasrani bagi orang Nasrani dan syariat Hindu Bali bagi orang Bali, sekedar menjalankan syariat tersebut memerlukan perantaraan kekuasaan Negara.” (hal. 34).
Argumentasi Prof Hazairin tersebut sangat masuk akal. Sebab, dalam ajaran Islam, sekedar pengakuan saja terhadap Allah sebagai satu-satunya Tuhan belum memenuhi konsep Tauhid yang sempurna. Iblis pun telah mengakui Allah sebagai Tuhannya, tetapi dalam al-Quran, Iblis disebut kafir (abaa wastakbara wa-kaana minal kaafirin). Seorang Muslim yang baik tentulah tidak mau jika statusnya sama dengan Iblis, yakni hanya mengakui keberadaan Tuhan Yang Maha Esa tetapi membangkang terhadap aturan-aturan Allah SWT.
Karena itu, sangatlah keliru dan aneh, jika ada sebagian kalangan yang berkampanye, bahwa jika calon presidennya menang, maka pemerintahannya akan melarang munculnya peraturan daerah baru yang berlandaskan syariat Islam. (www.republika.co.id, 4 Juni 2014). Kita berharap, janganlah mendorong bangsa Indonesia untuk menyamai prestasi Iblis; makhluk yang hanya mengakui adanya Tuhan, tapi tidak mau tunduk dan patuh pada syariat-Nya. Wallahu a’lam bish-shawab. (Aceh, 17 Juni 2014).
Adab Kenegaraan dan Pendidikan
Dalam konsep adab, Prof. al-Attas sangat menekankan kemampuan seseorang untuk menempatkan sesuatu pada letaknya yang wajar. Hal terpenting, tentu saja, bagaimana meletakkan dirinya dengan betul dalam hubungan dengan Tuhannya. Dalam ceramahnya di Festival Islam Internasional di Manchester, 1975, Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas menjelaskan hakikat loyalitas tertinggi seorang manusia yang harus diberikan kepada Tuhannya: “State and governments change from time to time, and if loyalty were to be directed to them then the values will also change. So in Western society change is something natural. They says that society which does not change is strange and unnatural. Obviously if you will place your loyalty with Allah, He does not change. That what is meant by the validity of absolute values. We deny the possibility of relative values except in certain domains.”
Haji Agus Salim, salah satu cendekiawan Muslim terbesar Indonesia, pernah menulis artikel berjudul “Cinta Bangsa dan Tanah Air” (Harian Fajar Asia, 28 Juli 1928), yang isinya mengkritisi cara pandang nasionalisme sekular yang memuja “Ibu Pertiwi” secara berlebihan sehingga sampai menjadikan Ibu pertiwi itu sebagai “Tuhan”. Agus Salim menulis, “… demikian juga dalam cinta tanah air, kita mesti menujukan cita-cita kepada yang lebih tinggi daripada segala benda dan rupa dunia, yaitu kepada hak, keadilan, dan keutamaan yang batasnya dan ukurannya telah ditentukan oleh Allah Subhanahu wa-ta’ala.” (Lihat, buku Seratus Tahun Haji Agus Salim, 1996).
Al-Quran sangat menekankan, bahwa orang beriman dan bertaqwa berbeda derajatnya dengan orang fasik (jahat); orang berilmu berbeda derajatnya dengan orang bodoh; dan sebagainya. Meskipun sama-sama manusia dan warga negara, penjahat dimasukkan ke dalam penjara, sementara pelajar berprestasi diberikan penghargaan. Adalah tidak beradab, meletakkan pezina dan pelaku dosa besar lainnya lebih tinggi martabatnya di atas para ulama cendekiawan yang berakhlak mulia.
Termasuk adab yang penting adalah adab kepada penguasa; dengan cara meletakkan kedudukan penguasa pada tempatnya. Jika benar, maka ia didukung. Jika salah, maka kewajiban rakyat menyampaikan kebenaran. Bahkan, menyampaikan kebenaran kepada penguasa termasuk jihad yang utama (afdhalul jihad). Sebagian kalangan masih ada yang keliru memaknai “Kemanusiaan yang adil dan beradab” dalam perspektif “humanisme sekuler”. Misalnya, ada yang menyerukan, “Indonesia tanpa diskriminasi”. Atas nama pluralisme dan multikulturalisme, aliran sesat Ahmadiyah diminta agar diperlakukan sama dengan Muhammadiyah. Sebuah buku berjudul “Menjadi Indonesia tanpa Diskriminasi” (2014), mengecam diskriminasi terhadap kelompok LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Trangender). “Diskriminasi tersebut umumnya muncul akibat pandangan yang melihat kelompok LGBT sebagai sampah masyarakat, melanggar norma susila, adat dan agama.”
Inilah contoh pemikiran yang tidak adil dan beradab, karena membuang pertimbangan agama dalam memandang fenomena sosial. LGBT bukan sampah masyarakat, bukan untuk dizalimi. Tetapi perilaku homoseksual dan lesbian jelas bertentangan dengan ajaran agama. Sesuai konsep adab, laki-laki, perempuan, waria, harus diletakkan pada tempatnya yang wajar, sesuai dengan ketentuan Allah SWT; bukan mengikuti hawa nafsu dan kesepakatan semata.
Dalam kaitan adab kemasyarakatan, Prof. al-Attas, mencontohkan pentingnya memahami makna “kebebasan” sebagai “ikhtiyar” dan bukan “freedom” yang bermakna bebas memilih apa saja, baik memilih yang buruk maupun yang jahat. Dalam konsep ikhtiyar (dari kata “khair”, bermakna baik), seorang hanya bebas memilih yang baik. Pilihan untuk memilih yang jahat atau buruk, bukanlah kebebasan yang sebenarnya (not real freedom). “So, it is neither one’s right nor is it freedom to choose something evil, false, wrong, incorrect or imperfect,” simpul Dr. Wan Azhar, dalam artikelnya, “Islam on freedom of Religion” menjabarkan konsep adab al-Attas.
Aplikasi konsep adab yang penting adalah dalam soal keilmuan. Seorang beradab mengakui derajat dan martabat ilmu yang berbeda. Pendidikan yang beradab adalah yang meletakkan ilmu-ilmu fardhu ‘ain lebih tinggi kedudukannya dibandingkan ilmu fardhu kifayah. Ilmu-ilmu itu harus diletakkan pada tempatnya masing-masing dengan tepat. Simpul Prof. al-Attas: “They must be graded according to various levels and priorities. If one classifies the various sciences in relation to their priorities and puts each one of them in its proper place, then that is adab towards knowledge.”
Apakah Indonesia akan menjadi negara yang semakin adil dan beradab atau semakin tidak beradab? Kita lihat saja! Allah SWT akan meminta pertanggungjawaban kepada kita semua, khususnya para pemimpin negara, ulama, dan cendekiawan. Sebab, menurut Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin, rakyat rusak gara-gara penguasa rusak; penguasa rusak karena ulama rusak; dan ulama rusak karena cinta harta dan jabatan.
Adab dalam Pendidikan
Karena problem paling mendasar dari umat Islam adalah “hilang adab” (loss of adab), maka upaya untuk membangkitkan umat Islam secara mendasar pun harus dimulai dengan proses penanaman adab, yang oleh Prof. Naquib al-Attas disebut “ta’dib”. Inilah yang disebut sebagai Pendidikan, yaitu proses penanaman adab dalam diri seseorang. Dengan kata lain, tujuan pendidikan adalah menjadikan manusia yang beradab, yaitu manusia yang baik (good man).
Prof. Naquib al-Attas mendefinisikan adab sebagai “pengenalan serta pengakuan akan hak keadaan sesuatu dan kedudukan seseorang, dalam rencana susunan berperingkat martabat dan darjat, yang merupakan suatu hakikat yang berlaku dalam tabiat semesta.” Pengenalan adalah ilmu; pengakuan adalah amal. Maka, pengenalan tanpa pengakuan seperti ilmu tanpa amal; dan pengakuan tanpa pengenalan seperti amal tanpa ilmu. ”Keduanya sia-sia kerana yang satu mensifatkan keingkaran dan keangkuhan, dan yang satu lagi mensifatkan ketiadasedaran dan kejahilan,” demikian Prof. Naquib al-Attas.
Lebih jauh, Prof. Naquib menjelaskan, bahwa jatuh-bangunnya umat Islam, tergangtung sejauh mana mereka dapat memahami dan menerapkan konsep adab ini dalam kehidupan mereka. Lebih jauh, pakar filsafat Islam dan sejarah Melayu ini menjelaskan:
”Ta’rif adab yang dikemukakan di sini dan yang lahir dari pengertian Islam, dengan sendirinya menjelaskan bukan sahaja harus dia itu ditujukan maksud pengenaannya pada bangsa insani belaka; bahkan dia juga harus dikenakan pada keseluruhan alam tabi’i dan alam ruhani dan alam ilmi. Sebab, adab itu sesungguhnya suatu kelakuan yang harus diamalkan atau dilakukan terhadap diri, dan yang berdasarkan pada ilmu, maka kelakuan atau amalan itu bukan sahaja harus ditujukan kepada sesama insani, bahkan pada kenyataan makhluk jelata, yang merupakan ma’lumat bagi ilmu. Tiap sesuatu atau seseorang memiliki hak yang meletakkannya pada keadaan atau kedudukan yang sesuai bagi keperluannya. Ilmulah, dibimbing serta diyakini oleh hikmat, yang memberitahu atau memperkenalkan sehingga ketara tentang hak yang mensifatkan sesuatu atau seseorang itu; dan keadilan pula yang menjelaskan hukum tentang di manakah atau bagaimanakah letak keadaan atau kedudukannya. Apabila faham adab itu dirujukkan kepada sesama insan, maka dia bermaksud pada kesusilaan akhlakiah yang mencarakan kewajiban diri berperangai mengikut keperluan haknya dalam susunan berperingkat darjat yang terencana, umpamanya, dalam keluarga, dalam musharakat, dalam berbagai corak pergaulan kehidupan. Apabila dia dirujukkan pada alam ilmi pula, maka dia bermaksud pada ketertiban budi menyesuaikan haknya pada rencana susunan berperingkat martabat yang mensifatkan ilmu; umpamanya pengenalan serta pengakuan akan ilmu bahawa dia itu tersusun taraf keluhuran serta keutamannya, dari yang bersumber pada wahyu ke yang berpunca pada perolehan dan perolahan akal; dari yang fardu ain ke yang fardu kifayah; dari yang merupakan hidayah bagi kehidupan ke yang merupakan kegunaan amali baginya. Dan adab terhadap ilmu itu iaitu mengenali serta mengakui taraf keluhuran serta keutamaan yang terencana pada ilmu, nescaya dapat menghasilkan dalam diri pencapaian yang seksama terhadap meramukan, menurut taraf keperluannya, pelbagai macam ilmu yang membina keadilan dalam diri. Dan keadilan dalam diri itu menyesuaikan haknya pada kewajiban membimbingnya ke arah pengenalan serta pengakuan akan ilmu yang bersumberkan wahyu, yang menyesuaii hak diri jua, dan yang dengannya dapat menjelmakan akibat amali dalam diri sehingga menyelamatkannya dunia-akhirat.” (Uraian selengkapnya tentang adab bisa dikaji dalam buku Syed Muhammad Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001), hlm. 118-120).
Jadi, seperti ditegaskan oleh Prof. Naquib al-Attas, di dalam Islam, konsep ”adab” memang sangat terkait dengan pemahaman tentang wahyu. Orang beradab adalah yang dapat memahami dan mau meletakkan sesuatu pada tempatnya, sesuai dengan harkat dan martabat yang ditentukan oleh Allah. Di dalam Islam, orang yang tidak mengakui Allah sebagai satu-satunya Tuhan, bisa dikatakan tidak adil dan tidak beradab. Sebab, di dalam al-Quran, syirik dikatakan sebagai kezaliman besar, seperti dikatakan Lukman kepada anaknya: ”Wahai anakku, janganlah kamu menserikatkan Allah, sesungguhnya syirik adalah kezaliman yang besar.” (QS 31:13). Adalah tidak beradab mengangkat derajat makhluk ke derajat al-Khalik. Begitu juga menurunkan derajat al-Khalik ke derajat makhluk juga tindakan yang tidak beradab. Orang yang berilmu juga tidak sama derajatnya dengan orang bodoh. Begitu juga orang mukmin, tidak sama derajatnya dengan orang kafir (QS 98; QS 3:110, 119). Jadi, derajat manusia di hadapan Allah SWT tidaklah sama. Derajat seseorang di hadapan Allah tergantung pada keimanan dan ketaqwaannya.
Konsep adab seperti ini sesuai dengan istilah dan tujuan Pendidikan Islam itu sendiri, yaitu ta’dib dan tujuannya adalah membentuk manusia yang beradab (insan adaby). Prof. Naquib al-Attas dalam bukunya, Islam and Secularism, menggariskan tujuan pendidikan dalam Islam tesebut:
“The purpose for seeking knowledge in Islam is to inculcate goodness or justice in man as man and individual self. The aim of education in Islam is therefore to produce a good man… the fundamental element inherent in the Islamic concept of education is the inculcation of adab…” (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur: ISTAC, 2003), hlm. 150-151).
“Orang baik” atau good man, bisa dikatakan sebagai manusia yang memiliki berbagai nilai keutamaan dalam dirinya. Dengan berpijak kepada konsep adab dalam Islam, maka “manusia yang baik” atau “manusia yang beradab”, adalah manusia yang mengenal Tuhannya, mengenal dan mencintai Nabinya, menjadikan Nabi SAW sebagai uswah hasanah, menghormati para ulama sebagai pewaris Nabi, memahami dan melatakkan ilmu pada tempat yang terhormat – paham mana ilmu yang fardhu ain, dan mana yang fardhu kifayah; juga mana ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang merusak – dan memahami serta mampu menjalankan tugasnya sebagai khalifatullah fil-ardh dengan baik.
Karena itulah, Prof. Naquib al-Attas mengingatkan, bahwa problem utama umat Islam adalah problem kekacauan ilmu (confusion of knowledge), yang diakibatkan oleh hegemoni keilmuan sekuler dari Barat. . Dalam tulisannya yang berjudul ‘Dewesternization of Knowledge’ diungkapkan, bahwa sepanjang sejarahnya, manusia telah menghadapi banyak tantangan dan kekacauan. Tetapi, belum pernah, mereka menghadapi tantangan yang lebih serius daripada yang ditimbulkan oleh peradaban Barat saat ini. (Many challenges have arisen in the midst of man’s confusion throughout the ages, but none perhaps more serious and destructive to man than today’s challenge posed by Western Civilization). Kekacauan itu, menurut al-Attas, bersumber dari sistem keilmuan Barat itu sendiri. Al-Attas mencatat:
“I venture to maintain that the greatest challenge that has surreptitiously arisen in our age is the challenge of knowledge , indeed, not as against ignorance; but knowledge as conceived and disseminated throughout the world by Western civilization.”
Knowledge yang disebarkan Barat itu, menurut al-Attas, pada hakekatnya telah menjadi problematik, karena kehilangan tujuan yang benar; dan lebih menimbulkan kekacauan (chaos) dalam kehidupan manusia, ketimbang membawa perdamaian dan keadilan; knowledge yang seolah-olah benar, padahal memproduksi kekacauan dan skeptisisme (confusion and scepticism); bahkan knowledge yang untuk pertama kali dalam sejarah telah membawa kepada kekacauan dalam ‘the Three Kingdom of Nature’ yaitu dunia binatang, tumbuhan, dan mineral. Menurut al-Attas, bagi Barat, kebenaran fundamental dari agama, dipandang sekedar teoritis. Kebenaran absolut dinegasikan dan nilai-nilai relatif diterima. Tidak ada satu kepastian. Konsekuensinya, adalah penegasian Tuhan dan Akhirat dan menempatkan manusia sebagai satu-satunya yang berhak mengatur dunia. Manusia akhirnya dituhankan dan Tuhan pun dimanusiakan. (Man is deified and Deity humanised). (Jennifer M. Webb (ed.), Powerful Ideas: Perspectives on the Good Society, (Victoria, The Cranlana Program, 2002), vol 2, hlm. 231-240.).
Kurikulum Pendidikan
Kuatnya cengkeraman paham sekularisme bisa dilihat pada kasus perdebatan tentang kurikulum pendidikan di Indonesia. Di awal pemerintahannya, Kabinet Presiden Joko Widodo melakukan peninjauan terhadap Kurikulum 2013 yang sebelumnya telah menuai perdebatan panjang. Salah satu kritik yang terungkap, kurikulum 2013 dinilai “terlalu agamis”. Semua pelajaran, kata para pengkritik, dipaksa bermuara pada kompetensi inti: penghayatan agama. Kritik lain lebih menyorot soal aplikasi. Akhirnya, melalui Permen No 160/2014, tertanggal, 11 Desember 2014, Mendikbud Anies Baswedan menunda dan mengatur pelaksanaan kurikulum 2013.
Dari sisi semangat untuk penghayatan dan pengamalan ajaran agama, Kurikulum 2013 patut mendapat apresiasi. Dan itu sejalan dengan tujuan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, UU No 20 tahun 2003: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Juga, UU No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menekankan pentingnya pembentukan manusia beriman dan bertaqwa: “berkembangnya potensi Mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa.”
Merujuk kepada tujuan Pendidikan Nasional, pemerintah sepatutnya mengatur secara lebih jelas, bagaimana kriteria manusia beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia. Tentu saja, agama menjadi rujukan utama. Sebab, dalam pandangan Islam, Tuhan Yang Maha Esa (Allah SWT) sudah mengutus Rasul-Nya untuk menyampaikan pesan Tuhan, bagaimana cara menjadi manusia yang baik (manusia beriman dan bertaqwa).
Manusia baik adalah manusia yang baik di mata Tuhan. Itu kriteria utama. Presiden Jokowi, Mendikbud Anies — yang keduanya Muslim — tentu sepakat dengan hal itu. Hanya saja, hegemoni sekularisme dalam berbagai bidang kehidupan, tak jarang memaksa pemerintah membuat kebijakan yang tidak sesuai dengan ketentuan Tuhan. Bahkan, terkesan, pemerintah tampak merasa lebih pintar dari Tuhan.
Seorang Muslim, lulusan SD yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia, wajib bisa shalat dengan baik, bisa membaca al-Quran, berbakti pada orang tua, hormat pada guru, tidak curang saat ujian, dan sebagainya. Kriteria itu wajib dipenuhi oleh setiap Muslim (fardhu ‘ain). Lulusan SD bisa matematika itu baik. Tetapi, itu tidak wajib bagi setiap lulusan SD. Untuk menjadi manusia baik dan sukses, tidak mesti lulus matematika. Banyak manusia sukses meski tak lulus SD atau SMA.
Meletakkan ilmu matematika sama nilai dan derajatnya dengan ilmu aqidah dan akhlak merupakan tindakan yang tidak beradab terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Maka, manusia – apalagi pejabat pemerintah – yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan, sepatutnya merumuskan kurikulum pendidikan berdasarkan ketentuan konsep ilmu yang diajarkan Tuhan melalui para Nabi dan telah dirumuskan oleh para ulama.
Hantu Islam!
Ini fakta! Akibat kuatnya cengkeraman sekularisme dalam dunia pendidikan di Indonesia – yang nota bene merupakan warisan penjajah – menjadikan Islam sebagai panduan pendidikan masih dipandang tabu. Hingga kini, Pendidikan Islam masih menjadi sub-sistem pendidikan nasional. Bahwa, masih ada pendidikan umum dan pendidikan Islam; ada sekolah umum dan sekolah Islam; ada kurikulum pendidikan umum dan ada kurikulum pendidikan Islam.
Mengacu pada Tujuan Pendidikan Nasional, sepatutnya dikotomi semacam itu tidak perlu ada. Pendidikan Nasional adalah Pendidikan Islam; manusia yang baik menurut Undang-undang Pendidikan Nasional adalah manusia yang baik pula menurut Islam. Sebelum ujian akhir skripsi, seorang muslim mahasiswa UI, IPB, ITB, UGM, dan sebagainya, wajib diuji kemampuan dan pelaksanaan shalat lima waktunya, kefasihan bacaan al-Qurannya, dan ha-hal fardhu ‘ain lainnya. Tahun 2019, jangan ada lagi sarjana Muslim yang tidak shalat lima waktu, tidak bisa membaca al-Quran, dan tidak tahu bagaimana cara berwudhu dengan betul. Ini perintah agama, dan juga ketentuan UU Pendidikan Tinggi.
Itu idealnya. Faktanya, pemegang kebijakan dan pelaksana pendidikan di Indonesia kadangkala meletakkan “keindonesiaan” lebih tinggi dari “keislaman”. Upacara bendera diwajibkan, tetapi shalat lima waktu tidak diwajibkan. Jilbab tidak diwajibkan bagi muslimah, tetapi seragam tertentu diwajibkan, meskipun membuka aurat. Sebagian kalangan bahkan mengecam keras ketentuan jilbab bagi pelajar muslimah, tetapi tidak memprotes pemaksaan baju lengan pendek bagi mereka.
Pelajaran Pancasila dan Kewarganegaraan masih didominasi paham sekular yang melihat Islam sebagai “hantu”. Doktrin halus dan tersembunyi itu menekankan, bahwa “Anda tidak bisa menjadi Muslim yang baik dan orang Indonesia yang baik di satu waktu!” Dalam Kurikulum 2013, semangat menjadikan Islam sebagai “hantu” ini masih terlihat di sana-sini. Cara pandang Islam terhadap Pancasila dan kenegaraan dibuang jauh-jauh, digantikan dengan cara pandang sekular.
Sebut satu contoh, buku ajar “Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan” untuk SMP-MTs Kelas VII, jilid 1 (2013). Disebutkan, bahwa kompetensi inti pelajaran ini adalah: “Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya.” Sedangkan kompetensi dasarnya adalah: “Menghargai perilaku beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME dan berakhlak mulia dalam kehidupan di sekolah dan masyarakat.”
Anehnya, buku ini dibuka dengan bab “Sejarah Perumusan Pancasila” yang menyebutkan, bahwa nilai-nilai Pancasila sudah dirumuskan jauh sebelum dimulainya Zaman Sriwijaya/Majapahit, zaman Penjajahan Barat, zaman Jepang, hingga zaman Kemerdekaan. Sama sekali buku ini tidak menyebutkan adanya unsur Islam dalam perumusan Pancasila. Padahal, jelas sekali dalam Pembukaan UUD 1945, ada kata ‘Allah’ yang merupakan nama Tuhan resmi dalam Islam. Sejumlah istilah kunci Islam juga menjadi bagian dari Pancasila, seperti kata ‘adil’, ‘adab’, ‘hikmah’, dan ‘musyawarah’. Istilah-istilah itu tidak ditemukan di wilayah Nusantara sebelum masuknya Islam ke wilayah ini yang utamanya di bawa oleh para ulama dari kawasan Jazirah Arab.
Disebutkan juga dalam buku ini kisah tentang dihapuskannya tujuh kata dari sila pertama Pancasila, yaitu “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Hanya saja, buku ini tidak menyebutkan tentang adanya kesepakatan antara Bung Hatta dengan tokoh-tokoh Islam ketika itu, bahwa makna Ketuhanan Yang Maha Esa adalah “Tauhid” dalam pengertian Islam. Juga, dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menegaskan bahwa Piagam Jakarta adalah menjiwai dan merupakan satu kesatuan dengan UUD 1945.
Dalam ceramahnya sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia pada pertemuan dengan Wanhankamnas, 25 Agustus 1976, Prof. Hamka menjelaskan tentang makna Ketuhanan Yang Maha Esa: “Jadi, Ketuhanan Yang Maha Esa di pasal 29 itu bukanlah Tuhan yang lain, melainkan Allah! Tidak mungkin bertentangan dan berkacau di antara Preambul dengan materi undang-undang.” (Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, hlm. 224).
Dalam buku Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan untuk SD/MI Kelas IV (Buku Teks Pengayaan Kurikulum 2013), disebutkan bahwa, “Sila-sila Pancasila mengandung nilai-nilai luhur yang dapat dijadikan pedoman berperilaku bermasyarakat. Nilai-nilai luhur yang mencerminkan pengamalan sila-sila Pancasila sudah seharusnya dilaksanakan dengan baik oleh setiap warga negara.” Diantara nilai luhur Sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah, “Manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.” (hlm. 10).
Pernyataan itu patut dipertanyakan. Yang betul, bagi Muslim, untuk beriman (“iman” tidak sama dengan “percaya”), dan bertaqwa, cukup berpegang teguh kepada ajaran Islam. TIdak perlu ditambah dengan “menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab”.
Menjadikan Pancasila sebagai landasan amal juga menempatkan Pancasila sebagai pesaing agama, sehingga melebihi kadarnya. Seorang Muslim berbuat baik pada sesama karena yakin amal baik itu diperintah oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, bukan karena diperintah oleh Pancasila. Hingga kini pun, tak ada manusia Indonesia yang berani mengklaim menjadi contoh teladan dalam pengamalan Pancasila!
Bisa disimpulkan, buku Pendidikan Pencasila dan Kewarganegaraan semacam itu justru menjauhkan murid-murid Muslim dari agamanya, karena Pancasila hanya dipahami dalam perspektif sekular yang dijauhkan dari nilai keislaman. Materi ajar seperti ini pada ujungnya akan mempertentangkan antara Islam dan Pancasila, sebab Pancasila ditempatkan sebagai satu pandangan hidup dan pedoman amal tersendiri, yang ditempatkan sebagai tandingan bagi pandangan hidup Islam.
Materi PPKn sekular itu bisa mendorong siswa membuang ajaran agamanya ketika menerima pelajaran Pancasila dan kewarganegaraan. Minimal, siswa Muslim dipaksa bersikap mendua atau munafik; pura-pura menerima ajaran Pancasila yang sekular, sementara ia pun harus menerima pandangan hidup Islam. Dampaknya, bisa muncul dua kutub sikap: ekstrim sekular dan ekstrim keagamaan.
Paradoks
Dalam sebuah forum pendidikan di Medan (14/12/2014) lalu, seorang guru agama bercerita, ada siswanya bertanya, “Dalam pelajaran agama dikatakan bahwa manusia berasal dari Adam, sedangkan dalam pelajaran Sejarah dikatakan, bahwa manusia berasal dari kera. Mana yang benar?” Sang guru menjawab, “Kebenaran agama tidak bisa disamakan dengan kebenaran ilmiah.”
Jawaban sang guru tidak tepat. Sebab, itu membenarkan adanya dua kebenaran yang saling bertentangan, yaitu kebenaran agama dan kebenaran ilmiah. Seolah-olah, kebenaran agama bertentangan dengan kebenaran ilmiah; dan kebenaran al-Quran bukanlah kebenaran ilmiah; al-Quran bukan sumber ilmu. Meskipun demikian, munculnya logika seperti itu, bisa dimaklumi, sebab dalam kurikulum 2013, materi asal-usul manusia dari monyet masih tetap dipertahankan.
Simaklah sebuah buku berjudul “Sejarah Indonesia untuk SMA/MA Kelas X”, berdasarkan Kurikulum 2013. Buku terbitan sebuah penerbit terkenal ini menyebutkan, bahwa Karakter yang dikembangkan dalam pembahasan ini adalah: “Mensyukuri kebesaran Pencipta dan bertakwa kepada-Nya. Mempelajari secara ilmiah terjadinya alam semesta mengarahkan siswa untuk sadar bahwa di balik segala peristiwa sejarah, Tuhan memiliki maksud dan tujuan yang mulia untuk kita, dan karena itu mendorong kita untuk berserah hanya kepada-Nya.”
Uniknya, dalam pembahasan tentang sejarah manusia Indonesia tidak disebut sama sekali rujukan wahyu Allah. Semua pembahasan hanya berlandaskan empirisisme dan rasionalisme. Ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan tentang penciptaan manusia tidak dianggap sebagai sumber ilmu, sehingga tidak dimasukkan ke dalam kategori “ilmiah”.
Di halaman 77, 92, dan 93 ditampilkan lukisan nenek moyang bangsa Indonesia yang memperlihatkan sebuah keluarga homo erectus yang – katanya – berumur sekitar 900 tahun yang lalu, dimana mereka dilukiskan sebagai manusia purba yang mulutnya monyong dan bertelanjang bulat. Pada bagian rangkuman (hlm. 81) dikutip pendapat Charles Darwin (1809-1882) yang menyatakan, bahwa: “Manusia sekarang adalah bentuk sempurna dari sisa-sisa kehidupan purbakala yang berkembang dari jenis hominid, bangsa kera.”
Dikatakan dalam buku ini, bahwa pendekatan agama dan pendekatan sains (ilmu pengetahuan) dalam upaya memahami realitas alam semesta adalah berbeda. “Agama berada dalam tingkat eksistensial dan transendental (soal rasa, soal hati), sedangkan sains berada dalam tingkat faktual (soal pembuktian empiris). Dengan kata lain, agama dan sains memiliki otonomi masing-masing. Itu tidak berarti keyakinan keagamaan tidak rasional. Perasaan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu tetap dapat dijelaskan secara rasional. Singkatnya, agama dan sains (ilmu pengetahuan) tidak perlu dicampuradukkan.” (hlm. 81).
Cara pandang terhadap agama dan sains semacam itu jelas-jelas bersifat sekular dan paradoks. Inilah dogma yang diyakini oleh ilmuwan sekular, bahwa “wahyu Allah” bukan sumber ilmu. Cara pandang sekular semacam ini merupakan kesalahan epistemologis, yang memisahkan panca indera dan akal sebagai sumber ilmu, dengan khabar shadiq (true report) — dalam hal ini wahyu Allah — sebagai sumber ilmu. Padahal, dalam konsep keilmuan Islam, ketiga sumber ilmu itu diakui dan diletakkan pada tempatnya secara harmonis. Dalam Kitab Aqaid Nasafiah – kitab aqidah tertua yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu – dikatakan bahwa sebab manusia meraih ilmu ada tiga, yaitu: panca indera, akal, dan khabar shadiq.
Cara pandang keilmuan sekular dan ateistik itu pun salah secara ontologis. Sebab, hanya mendefinisikan “manusia” sebagai entitas jasadiah semata; menolak entitas “ruh” sebagai fakta dan objek ilmu yang seharusnya dipahami berdasarkan wahyu. Karena wahyu tidak dipandang sebagai sumber ilmu, maka “Ruh” dianggap tidak ada. Jika yang ditelaah dari manusia hanya tulang belulang, maka simpulan akhirnya bukan “Sejarah Manusia” tetapi “Sejarah Tulang Manusia”.
Teori manusia purba adalah suatu rekaan dari penyusunan tulang belulang makhluk purba yang kemudian difantasikan ke dalam wujud manusia purba atau manusia goa (cave man) yang telanjang, mulutnya monyong, dan hidupnya hanya untuk cari makan sebagaimana layaknya binatang. Tidak mengherankan, dalam cara pandang materialis semacam ini, siswa juga disajikan materi ajar tentang kebutuhan primer manusia yang berpuncak pada kebutuhan makan dan minum; bukan kebutuhan ibadah. Sebab, manusia dipandang sebagai kelas tertinggi dari binatang; bukan keturunan Nabi yang tujuan hidup utamanya adalah ibadah kepada Allah.
Walhasil, Kurikulum 2013 memang masih bermasalah, meskipun tampak ada kemajuan dalam semangat meletakkan agama di tempat terhormat. Bukan hanya soal teknik aplikasi, tetapi juga isi dan metodologinya. Nabi Muhammad saw berpesan: “Siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka berkatalah yang baik atau diam.”
Jika pemerintah tidak mampu membuat kurikulum yang baik – sesuai dengan ketentuan Tuhan Yang Maha Esa – maka pemerintah sebaiknya diam. Artinya, serahkan saja urusan kurikulum kepada orang tua, ulama, guru, ustad, dan pendidik lainnya. InsyaAllah mereka lebih paham. Pemerintah cukup menentukan standar kelulusan dan memberi bantuan serta bimbingan kepada yang memerlukan.
Usulan saya itu didasarkan pada realitas masih kuatnya cengkeraman paham sekularisme di dunia pendidikan, yang masih mendasarkan diri pada konsep-konsep keilmuan dan pendidikan sekular di Barat. Pada kondisi sekarang, dikotomi pendidikan Islam dan pendidikan umum masih sulit dihilangkan, meskipun UU Pendidikan Nasional dan UU Pendidikan Tinggi sudah memberi ruang yang semakin besar kepada pengembangan sistem pendidikan Islam. Pada kondisi seperti ini, pemerintah perlu menyadari keterbatasannya, dan memberikan otonomi yang semakin besar kepada institusi pendidikan Islam.
Sebagai contoh, dalam sistem Pendidikan Islam, yang sangat ditekankan pada kualifikasi guru, adalah kompetensi keikhlasan, keilmuan dan akhlaknya; bukan gelar akademik atau ijazah formalnya. Islam juga tidak mengenal sistem linierisme yang terlalu sempit dengan mengabaikan kualitas ilmu dan akhlak seorang guru. Karena itu, di dunia pesantren misalnya, seorang kyai bisa mengajarkan berbagai bidang ilmu seorang diri. Sistem pendidikan Islam semacam ini berbeda dengan sistem pendidikan sekular-kapitalis yang mendasarkan pendidikan sebagai suatu bentuk industri untuk mencetak pekerja atau barang tertentu. Mendidik seorang manusia memerlukan seni mendidik yang tinggi yang tidak bisa dibatasi dengan ketat seperti mencetak roti atau mobil.
Bagaimana pun dan apa pun tantangan dalam dunia politik dan pendidikan, pada akhirnya, hal itu terpulang kepada umat Islam sendiri. Saat ini, UU Pendidikan Nasional sebenarnya telah memberikan ruang yang cukup memadai kepada umat Islam untuk menata dan mengatur sistem pendidikan Islam. Yang diperlukan saat ini adalah pemahaman yang benar tentang konsep adab dalam pendidikan dan usaha pengaplikasian dalam sistem pendidikan yang nyata.
Penutup
Untuk menatap masa depan yang benar, kita harus mampu melihat masa lalu yang benar pula. Cara pemahaman sejarah harus benar, sebagaimana diajarkan dalam al-Quran. Sukses dan gagalnya dakwah tidak hanya dilihat dari aspek politik semata. Di tengah-tengah tantangan dakwah yang berat dan rumit – baik eksternal maupun internal – kita tidak punya pilihan, selain bersikap optimis akan masa depan dakwah Islam di Indonesia. Tujuan utama dakwah adalah membangun manusia-manusia Muslim agar menjadi manusia yang baik sehingga mampu mewujudan dan mengelola sebuah negara yang adil dan beradab.
Dengan perspektif sejarah yang benar, Indonesia adalah lahan dakwah yang diamanahkan oleh Rasulullah saw kepada umatnya, agar negeri ini menjadi negeri Muslim yang adil dan beradab. Untuk mewujudkan itu, diperlukan kader-kader dakwah yang unggul, khususnya ulama-ulama yang unggul yang mampu melanjutkan penegakan misi kenabian dengan membimbing umat di jalan yang benar.
Untuk itulah, bisa dikatakan, masa depan umat Islam Indonesia, baik dalam jangka waktu dekat ini (lima tahun), atau jangka panjangnya, ditentukan oleh sukses tidaknya pendidikan Islam di Indonesia. Apakah pendidikan Islam mampu melahirkan manusia-manusia unggul, generasi yang hebat, sebagaimana pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Wallahu a’lam bish-shawab. (Bekasi, 30 Desember 2014).