Home Ghawzul Fikr Menggugat Syariat

Menggugat Syariat

1562
0

Tahun 2007 lalu saya bersama Abdullahi Ahmad an-Naim membedah buku terjemahannya. Judul bukunya adalah Islam dan Negara Sekuler, Menegosiasikan Masa Depan Syariat Islam. Sebagai salah seorang pembedah saya mengemukakan beberapa kritikan. Diantaranya saya mengkritik konsepnya tentang syariat, Negara, public reason dan sebagainya.

Menurutnya, syariat Islam tercipta selama tiga abad pertama Hijrah. Syariah hanyalah interpretasi Muslim atas kitab suci mereka.  Muslim generasi awal “tidak mengenal dan tidak menerapkan syariat” (hal.33).

Nampaknya, ia tidak percaya bahwa dalam al-Qur’an terdapat syariat atau hukum. Kalau syariat diartikan jalan berarti juga ingkar bahwa Islam adalah jalan. Jadi syariat itu dibuat oleh manusia. Di akhir diskusi dia menghadiahi saya bukunya itu dan menorehkan tanda tangan serta menulis “With profound appreciation”. Mungkin dia menerima kritikan saya. Wallahu a’lam

Teori an-Naim lalu saya kaitkan dengan definisi Cheryl Bernard dari Rand Coorporation, AS. Dalam bukunya Civil Democratic Islam, Cheryl mendefinisikan syariat sebagai the entire body of Islamic law and guidance, based on the Quran, hadith and scholarly judgments, and open to selective use and interpretation.

Intinya syariat itu adalah produk hukum. Seorang pembela Islam Liberal menulis dalam sebuah koran “Tidak ada hukum Tuhan, yang ada hanya hukum manusia”. Ketiganya bermaksud sama mengartikan syariat sebagai hasil “interpretasi manusia Muslim” terhadap kitab sucinya.

Apa yang dimaksud “interpretasi” ternyata beda dari Tafsir atau Ta’wil. Interpretasi mementingkan sejarah teks. Al-Qur’an dibedah sejarahnya, dikait-kaitkan dengan situasi politik, sosial, psikologis, ideologi dan sebagainya.

Alhasil, al-Qur’an menjadi bukan wahyu suci, tapi produk budaya Arab. Tafsir pun tidak lagi berkaitan dengan teks, tapi dengan budaya di sekitar teks. Maka, sebab khusus ayat itu diturunkan (khusus-u-sabab) lebih penting dari arti eksplisit (perintah) ayat itu (umum-ul-lafz).

Karena teori ini para ulama mufassir pun dicurigai sebagai memiliki kepentingan, kalau tidak terjerat kondisi sosial budaya. Lalu timbul rumus “Penafsiran ulama itu kondisional dan relatif, yang mutlak hanya Tuhan”. Para Kyai di pesantren bingung. Cara berpikir seperti itu tidak ada dalam kitab kuning.

Ternyata itu semua adalah bagian dari skenario intelektual untuk menumpas Muslim fundamentalis. Buktinya terdapat pada saran Cheryl Bernard “Challenge their interpretation of Islam and expose inaccuracies” (tantanglah interpretasi mereka [fundamentalis]tentang Islam dan beberkan ketidak-akuratannya).

Saran ini ditaati cendekiawan Muslim liberal dengan penuh takzim. Respon para dosen Ilmu Tafsir malah lebih kreatif  “Satu ayat seribu tafsir”, “Kitab-kitab Tafsir klasik tidak relevan lagi”, bahkan “Tidak kontekstual”.

Untuk membuktikan “seribu tafsir” muncullah tafsir baru untuk menjual “dagangan” feminisme radikal, misalnya. Seorang profesor pemikiran Islam menyatakan bahwa “lesbianisme itu halal”. Sekumpulan dosen fakultas syariah menyatakan bahwa homoseksualisme itu tidak dilarang syariat Islam. Tafsir “baru” menghasilkan syariat (hukum) “baru”. Hukum “baru” nikah beda agama, hukum waris, wanita menjadi imam laki-laki, hak wanita menceraikan suami dan sebagainya muncul mengejutkan.

Tafsir-tafsir “baru” itu nampaknya adalah peng“amalan” dari dawuh Cheryl Bernard. Menafsirkan berarti to depart from, modify, and selectively ignore elements of the original religious doctrine. (menyimpang dari, memodifikasi, dan secara selektif mengesampingkan elemen-elemen dari doktrin keagamaan yang asli). Itulah liberalisasi syariat. “Siapapun bebas menafsirkan hukum apa saja. Siapapun bebas menciptakan syariat. Islam adalah liberal”.

Bukan hanya itu, liberalisasi plus sekularisasi menolak praktik syariat. Ketika sejumlah daerah sepakat menyusun PERDA bagi pelanggar tindak a-moral seperti mencuri, minuman keras, berzina, berjudi dan berkelahi, semua orang sepakat dan gembira.

Tapi ketika orang-orang liberal sekuler mencium “bau” syariat, sontak mereka protes. Meski tidak berbunyi “perda syariat”, perda itu dianggap “inkonstitusional” dan “menyulut disintegrasi bangsa”.

Ketika pornografi merajalela di tanah air, semua sepakat itu merusak moral bangsa. Semua pun sepakat untuk diatur dalam Undang-Undang Pornografi (UUP). Namun, begitu terdengar bahwa pornografi itu haram hukumnya, RUUP itu menuai badai protes. Memberlakukan UUP dianggap sebagai Islamisasi, “memberangus kebebasan seni dan kreatifitas” dan “membunuh budaya”.

Karena menolak syariat konon perumus RUU Pornografi bingung mencari batasan (hudud). Apa batasan aurat dalam seni, kreatifitas dan budaya? Berapa cm (centimeter) goyang yang diperbolehkan, berapa cm (centimeter) paha boleh dibuka?. Ternyata syariat ditolak, nurani pun digasak. To do away with the one is to do away with another, kata Nietzsche.

Padahal ketika, Spice Girl, grup musik Inggris tahun 90an pentas di Perancis mereka dilempari telur busuk. Gara-gara berpakaian tak senonoh.  Ternyata, orang sekuler pun masih punya nurani. Mengapa negeri Muslim ini tidak. Boleh jadi, goyang “ngebor” dangdut Indonesia di Perancis sana haram hukumnya.

Muslim negeri nampak begitu kompak-toleran pada kemaksiatan. Ketika yang liberal menegaskan “tidak ada hukum Tuhan”, yang sekuler akur “tidak ada yang haram di negeri ini”. Para artis tambah yakin “Buka-bukaan boleh asal profesional”.

Artinya anda boleh berbuat dosa asal dibayar tinggi”. “Anda boleh selingkuh (berzina) asal tidak menyakiti orang lain”. Prinsipnya benar-benar mem-Barat. Itulah liberal yang menurut Cheryl are the most Westernized.

Sejatinya, syariat tidak lain dari hukum, undang-undang atau jalan. Undang-undang yang sesuai dengan nurani atau fitrah manusia. Jalan hidup yang membebaskan, menyucikan, menenangkan, dan membersihkan manusia dari segala nestapa kehidupan dunia.

Siapa yang taat hukum akan melangkah menemukan fitrah diri. Yang melanggar akan menentangnya alias menzalimi diri sendiri (zalim li nafsihi), awal dari kezaliman yang lebih besar yaitu ingkar Tuhan.

Tapi Muslim yang baik adalah yang menjadikan syariat sebagai jalan. Bukan kewajiban tiap keperluan. “Saya tidak hanya wajib puasa, misalnya, tapi perlu”. Taat dan berserah diri pada aturan itulah ber-islam. Pesan Nabi “Berserah dirilah anda akan selamat (aslim taslam)”, selamat dari kejahatan diri, manusia dan kehidupan.