Menimbang Epistemologi Feminis: Relevansi dan Konsekuensi
Oleh: Henri Shalahuddin
Dalam perspektif teori feminis, pengetahuan diposisikan secara sosial. Tidak ada pengetahuan yang bersifat permanen, semuanya bergantung pada kondisi sosial yang melatarbelakanginya. Mirip seperti sifat pengetahuan menurut aliran relativisme, tetapi bedanya dalam teori feminis, pengkondisian pengetahuan secara sosial ditumpukan pada perspektif gender. Oleh karena itu, epistemologi feminis adalah pendekatan longgar yang terorganisasi terhadap teori pengetahuan (epistemologi), berbanding merujuk kepada suatu aliran atau teori tertentu.
Epistemologi feminis adalah hasil dari penteorian feminis tentang masalah gender dan epistemologi tradisional. Ia merupakan cara di mana gender mempengaruhi konsep dan sudut pandang kita tentang: a) konsep pengetahuan; b) praktik penelitian dan justifikasi. Meluasnya fokus kajian gender dalam ranah kebahasaan, telah meniscayakan perspektif gender untuk dimobilisasi kedalam semua aspek kehidupan manusia. Konsekuensinya, segala bidang kajian keilmuan tidak boleh mengabaikan perspektif gender, baik dalam ilmu-ilmu sosial, sains tekhnologi, maupun studi Islam.
Meskipun dulunya epistemologi feminis masih dianggap kontradiktif (oxymoron), tapi kini namanya sudah diakui, meskipun epistemologinya masih tak kunjung jelas. Namun menurut teoritikus feminis, istilah epistemologi feminis sering dirujuk untuk beberapa pengertian, seperti:
- cara wanita mengetahui,
- pengalaman wanita,
- atau pengetahuan wanita.
Pengertian ini dirasa asing bagi kalangan filsuf profesional dan menurut teori ilmu pengetahuan secara umum.
Karya feminis di bidang epistemologi bermula dari kritik terhadap tradisi, termasuk menyoal kembali tentang apa yang dimaksud dengan tradisi. Epistemologi feminis tidak bisa dipandang sebagai konsep gender yang identik dengan faktor ketertindasan, tetapi juga tidak bisa dipisahkan dari aspek penindasan itu. Sebagaimana konsep gender tidak bisa disamakan dengan jenis kelamin, tetapi juga tidak bisa dipisahkan dari jenis kelamin itu sendiri.
Strategi dan mobilisasi
Untuk menepis tuduhan bhw faham gender bersumber dari Barat-Kristen yg mempromosikan budaya free-sex, aborsi dan anti keluarga, feminis pada awalnya tidak menggunakan istilah “teologi feminis”, tapi menukarnya dengan ‘perspektif wanita’ dalam agama (analisis gender), dan menumpukan penelitiannya pada isu-isu kekerasan terhadap wanita.
Strategi pembelajaran inklusif gender dilakukan dengan berbagai cara, di antaranya: (a) menggunakan bahan mengajar yang ramah wanita, salah satunya dengan cara merujuk ulama wanita yang menyokong perspektif gender. (b) menyusun materi pembelajaran yang sesuai dengan pengalaman dan kepentingan laki-laki maupun wanita. (c) memasukkan tema-tema kesetaraan gender kedalam materi-materi pembelajaran.
Ahli-ahli epistemologi feminis telah mengembangkan pendekatan mereka terhadap kedudukan pengetahuan dalam tiga tradisi epistemologi yang luas: (i) teori sudut pandang [standpoint theory], (ii) postmodernisme, dan (iii) empirisme. Teori sudut pandang mengindentifikasi perspektif sosial tertentu sebagai keistimewaan epistemologis. Sudut pandang feminisme merupakan teori bahwa sains sosial feminis harus dipraktekkan dari sudut pandang kaum perempuan atau komunitas perempuan tertentu. Sementara postmodernisme menolak klaim adanya keistimewaan epistemologis dengan menekankan berbagai kemungkinan dan ketidakstabilan dari identitas sosial seseorang, dan menekankan dampak sebuah reprensentasi. Adapun empirisisme mencari standard dalam kerangka yang alami, di mana suatu lingkungan dalam kondisi tertentu bisa menghasilkan kesalahan, atau dijadikan sumber yang dapat dimanfaatkan untuk memajukan pengetahuan.
Sebagai sebuah gerakan yang lahir dari nuansa ketertindasan, feminisme tidak dibangun dengan teori yang rumit sebagaimana lazimnya sebuah aliran filsafat. Shulamit menjelaskan bahwa feminisme berawal dari pernyataan perempuan tentang kekuatannya. Di mana awalnya ia bukanlah teori tapi tindak personal itu sendiri. Filsuf feminis mulai bekerja di bidang terapan, karena feminisme sejak awal adalah sebuah gerakan politik yang berkaitan langsung dengan masalah praktis. Dengan pengalaman ketertindasan yang melatarbelakangi munculnya feminisme, maka konsep gender dipandang sebagai cara utama untuk menandai hubungan kekuasaan. Sistem patriarkhisme dipercayai sebagi faktor utama yang melahirkan tradisi penindasan terhadap perempuan.
Perempuan, Kelas dan keberagaman
Marlene LeGates menyatakan bahwa di antara kesalahan utama feminis yaitu menganggap semua wanita mempunyai karakter, kepentingan dan kepribadian yang sama. Feminis sering melupakan keberagaman yang ada pada setiap wanita yang berlainan suku, agama, kelas sosial dan bahkan orientasi seksual mereka.
Ketika Nelly Roussel menyuarakan pendapatnya berkenaan dengan kesamaan derajat di antara wanita pada awal abad 20, hampir semua wanita dari kelas atas dan menengah memiliki budak perempuan. Bahkan Anne Kenney dan rekan-rekan feminisnya di Inggris menganggap superioritas mereka lebih tinggi daripada wanita Asia yang dipandang sebagai wanita lemah.
Frances Ellen Watkins Harper, pembaharu Afrika-Amerika, mengingatkan dari pengalamannya bahwa menjadi orang kulit hitam berarti setiap orang kulit putih, termasuk setiap wanita kelas pekerja, bisa mendiskriminasikan Anda.
Feminisme bukan untuk semua wanita, tapi lebih sebagai gerakan politik elit wanita. Kemunculan gerakan “womanism” dari kalangan wanita kulit hitam, dan “woman of color” dari luar wanita kulit putih adalah bukti ketidakpuasan terhadap tujuan feminisme yang lebih berpihak pada kelas dan ras tertentu.
Kemunculan aliran-aliran feminisme tidak saja dimaknai sebagai keberagaman paham, tetapi juga realitas adanya keberagaman kepentingan politik di kalangan feminis.
Karakter Metode penelitian feminis
Penelitian feminis adalah penelitian yang mempertahankan nilai subjektivitas dan pengalaman pribadi wanita. Oleh itu, kasus-kasus yang diteliti lebih ditumpukan pada pengalaman ketertindasan wanita, baik secara kolektif maupun individu. Filosofis corak penelitian feminis ini adalah “the personal is political” (yang pribadi adalah politis), maksudnya bahwa penindasan yang terjadi di ranah pribadi wanita adalah penindasan yang terjadi di ranah publik.
Metode feminis bertujuan untuk menolak seksisme dan androsentrisme dalam ilmu sosial. Munculnya metode ini dilatarbelakangi oleh munculnya beberapa kasus seksisme yang dijumpai dalam buku-buku teks kedokteran, memasak, pornografi, dan periklanan.
Dengan metode feminis, penelitian tentang wacana gender diyakini lebih memiliki orisinalitas dalam memilih contoh dan kasus tentang tema kewanitaan, khususnya yang bersifat pribadi. Metode feminis juga diakui sebagai metode yang membebaskan dari sekat-sekat disiplin ilmu tertentu, dan mampu membentangkan judul-judul yang biasanya tidak dibahas dalam penulisan akademik, misalnya pengalaman-pengalaman ketertindasan perempuan dalam kehidupan rumah tangga.
Oleh karena itu, bagi feminis metode ilmiah tradisional adalah “dewa palsu” yang otoriter. Tirani metodologi bisa menghambat penemuan-penemuan baru. Mary Daly mengatakan bahwa di bawah patriarkhi, metode telah menghapus pertanyaan wanita secara menyeluruh, bahkan wanita pun tidak bisa mendengar dan merumuskan pertanyaan mereka sendiri hingga tidak dapat mengetahui pengalaman wanita lainnya. Daly tidak memulai penulisan bukunya dengan pertanyaan, tetapi dengan membentangkan beberapa penemuan, laporan, dan menganalisis hal-hal yang dalam disiplin ilmu sosial dipandang bukan sebagai data.
Feminis mengkritik androsentrisme dan patriarkhisme karena mengidentikkan norma manusia dengan laki-laki, tapi di sisi lain, feminis mengklaim bahwa feminine mode adalah hasil konstruk sosial, bukan sifat alami wanita. Maka feminis mendesak wanita mengadopsi sifat maskulin hingga berkelayakan berperan di dunia publik. Hal ini karena konsep gender memandang hubungan laki-laki dan perempuan sebagai hubungan hierarkhi kekuasaan. Maka hubungan yang terbangun didasari semangat persaingan dan antagonis.
Kesimpulan
Epistemologi feminis berguna untuk menyuarakan dan memberitakan isu-isu kepentingan kaum perempuan, khususnya tentang fakta kekerasan dan ketidakadilan yang kerap menghinggapi mereka. Namun apabila ditelaah secara akademik, epistemologi feminis masih terbilang janggal dalam hal kelayakan dan menyimpan konsekuensi yang serius.
Tetapi feminis menolak kuasa patriarkhisme dalam dunia akademik. Sebab ia dianggap tidak saja menguasai fisik kaum wanita, tetapi juga menentukan ideologi budaya dan norma untuk mengekalkan dominasi terhadap wanita.
Dalam kajian agama, feminisme menumpukan kajiannya tentang peran wanita di setiap agama dalam perspektif gender. Feminisme dan agama kedua-duanya saling kontrakdiksi, dan membangkitkan emosi yang berdampak langsung pada kehidupan seseorang.
Perspektif gender dalam studi Islam bertujuan menggugat pemahaman terhadap teks-teks agama yang diklaim sebagai sumber kekerasan terhadap wanita. Kemunculan wacana gender dalam studi Islam memicu kontroversi yang hebat di kalangan akademisi dan ulama.
Banyak kelompok feminis mengklaim bahwa tafsir dan ijtihad ulama adalah sumber kekerasan terhadap wanita, oleh sebab itu harus dilakukan dekonstruksi dan rekonstruksi untuk mendapatkan hukum-hukum yang lebih ramah perempuan.
Kritik terhadap khazanah fiqh diawali dari jenis kelamin fuqaha’ yang mayoritas laki-laki, dan latar belakang jenis kelamin ini diasumsikan membawa perspektif ideologi patriarkhis untuk menindas perempuan. Maka dengan demikian disadari atau tidak, dapat disimpulkan bahwa dalam cara pandang feminis ilmu pengetahuan itu mengandung unsur jenis kelamin, dan bahwa perbedaan hasil suatu penelitian lebih disebabkan oleh faktor jenis kelamin peneliti berbanding oleh sebab lainnya.