Selama beberapa abad, ilmu tafsir dikembangkan oleh para sarjana muslim di pelbagai tempat. Meski terdapat perbedaan tempat, zaman, data, dan gaya bahasa penafsiran, mereka tak berselisih di dalam perkara-perkara yang disepakati umat Islam. Ini semakin diperkuat oleh perkembangan ilmu-ilmu lainnya, seperti ilmu aqidah dan syari’ah. Salah satu yang terpenting dan saat ini sedang digugat oleh beberapa kalangan adalah tafir-tafsir soal relasi gender.
“Beberapa orang mencoba menerapkan pendekatan hermeneutika terhadap tafsir ayat-ayat yang menurut mereka tak ramah pada isu gender. Mari kita ‘menambangnya’ agar tidak menjadi penyumbat bagi perkembangan ilmu tafsir,” kata Direktur Eksekutif INSISTS, Dr. Henri Shalahuddin, dalam INSISTS Saturday Forum (ISF), Sabtu (3/3/2018) lalu. Hasil dari percobaan itu adalah pendapat ynag menyelisihi syari’at. Ada beberapa contoh yang bisa disebutkan. Seorang doktor teknik asal Suriah, Muhammad Syahrur, atas nama perkembangan zaman dan kontekstualisasi kewajiban aurat mengajukan “teori batas” kepada umat Islam.
Dengan menunjukkan langsung bagian buku Syahrur yang menyinggung hal itu, Henri menjelaskan bahwa tawaran tersebut sangat nyeleneh. Bagi Syahrur, definisi aurat adalah sesuatu yang mengundang rasa malu seseorang, sehingga itu wajib ditutupi. Ini adalah contoh penerapan relativisme, sebab menyerahkan batas aurat pada kepentingan individu dan kesopanan masyarakat. Jika di pantai, misalnya, batas kepantasan bagi aurat perempuan adalah bagian yang tertutupi bikini saja.
Untuk sampai ke simpulan-simpulan kacau semacam itu, sambung Henri, mereka biasa menerapkan hermeneutika pada bahasa Arab dalam Al-Qur’an. Beberapa ayat dicurigai memendam bias lelaki, atau male-centric, seperti pemilihan kata ganti pria dalam firman-firman Allah tentang Diri-Nya. Beberapa ayat yang mengandung perintah juga menggunakan sudut pandang lelaki, seperti pernikahan.
Menurut Doktor Pengkajian Islam Universiti Malaya ini, gugatan kalangan liberal dan feminis terhadap ayat tersebut adalah sebuah tindakan sia-sia. Bahasa Al-Qur’an, meski secara zahirnya adalah bahasa Arab, pada hakikatnya adalah datang dari Allah. Ia adalah bahasa Arab baru yang membentuk kebudayaan manusia, baik di tempat dan waktu turunnya saat itu, yakni Arab Jahiliyah abad 7 Masehi, maupun di tempat lain di mana Islam tersebar, sampai sekarang dan masa depan. Bahasa Arab Al-Qur’an tak mampu ditandingi bahkan oleh penyair Arab sekali pun, sehingga pendapat segelintir orang yang mengatakan bahwa Al-Qur’an dipengaruhi oelh kebudayaan Arab adalah keliru.
Untuk menjaga kemurnian sekaligus menggali makna Al-Qur’an, para ulama sejak dahulu mengembangkan ilmu-ilmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an). Penguasaan terhadapnya, ditambah kebersihan jiwa dan kelurusan niat, menjadi prasyarat bagi siapa saja yang ingin menuliskan tafsir Al-Qur’an bagi zamannya. Tanpa hal itu, penafsiran atas ayat-ayat di dalam Al-Qur’an pasti terjebak pada hawa nafsu dan ideologi pribadi orang yang bersangkutan.
Dalam kasus persoalan gender, hal itu dapat dilakukan baik oleh kalangan yang menjadikan Al-Qur’an sebagai pembenaran bagi penindasannya terhadap perempuan, maupun oleh kalangan yang menjadikan Al-Qur’an sebagai pembenaran bagi ideologi liberalisme dan feminisme. Supaya tak terjebak pada hal tersebut, Henri mengajak peserta ISF untuk terus memperkaya pemahaman keislaman yang lurus, tidak ekstrim ke segala sisi.