Jakarta – Langit mendung dan padatnya lalu lintas di wilayah Depok tidak menurunkan semangat para peserta Seri Kuliah “Islamic Science” yang digelar INSISTS di kampus UI. Sejak pukul 7 pagi satu per satu mulai berdatangan dari berbagai penjuru ibukota dan sekitarnya. Sebagian di antara mereka bahkan mesti investasi lebih karena berasal dari Bandung, Purwokerto, Semarang, Yogyakarta, bahkan Surabaya. Selain mahasiswa, beberapa dari mereka memperkenalkan diri sebagai utusan dari perguruan tinggi (Universitas Muhammadiyah dan UNISSULA) dan lembaga penelitian pemerintah (LIPI dan Balitbang Kemenag) maupun swasta (InPAS).
Acara yang bermula pada pukul 9 pagi itu diawali dengan ucapan selamat datang dan terima kasih oleh Direktur Eksekutif INSISTS, Dr Syamsuddin Arif. Dalam kata pengantarnya ia menjelaskan secara singkat pengertian ‘Islamic science’. Menurutnya, ada empat pendekatan terhadap sains Islam.
Pertama, pendekatan ‘apologetis’, seperti kita dapati dalam buku-buku yang ditulis oleh almarhum Maurice Bucaille dan Harun Yahya, dimana teori-teori sains atau penemuan-penemuan ilmiah dicocokkan dengan ayat-ayat al-Qur’an atau hadis yang diyakini mengantisipasinya.
Kedua, pendekatan ‘filosofis’, dimana pembahasan sains Islam itu difokuskan pada landasan epistemologisnya, kerangka berfikir saintisnya, alias worldview-nya yang memang berbeda dengan paradigm sains modern. Ini pendekatan yang dilakukan oleh Hossein Nasr, Naquib al-Attas, dan Alparslan Acikgenc dalam buku-buku mereka.
Ketiga, pendekatan ‘historis’ yang menitikberatkan pengungkapan fakta dan data tertulis. Inilah pendekat para sarjana Barat seperti David A. King, George Saliba, dan Paul Lettinck –untuk menyebut beberapa nama saja. Pendekatan ini memerlukan ketekunan dan keseriusan, karena yang dikaji adalah karya-karya saintis Muslim dalam berbagai bidang yang masih berbentuk manuskrip berbahasa Arab ‘gundul’ (tanpa tanda baca). Maka hasil kajian mereka berisi banyak simbol, diagram atau grafik-grafik dan angka-angka seperti lazimnya buku-buku sains.
Adapun yang keempat adalah pendekatan ‘praktis’. Menurut eksponen pendekatan ini, sains Islam itu tidak cukup hanya diwacanakan, tetapi harus diwujudkan dalam praktik hidup keseharian. Sains Islam itu mengajarkan kita hidup sesuai dengan nilai-nilai Islam. Kalau berupa ilmu alam atau natural science, maka bagaimana kita mengembangkan sains yang tidak merusak alam, yang ramah lingkungan, yang menghormati lagi memelihara keanekaragaman hayati. Ini pendekatan yang dikedepankan oleh Adi Setia dan Nadia Lawton, penganjur permaculture dari Australia.
Dr Syamsuddin Arif berharap para peserta dapat mengikuti seri kuliah ini empat hari (tanggal 12, 13, 19 dan 20 Januari 2016) ini sampai tuntas, seumpama orang yang disarankan oleh dokter untuk meminum antibiotik sampai habis agar terasa hasilnya insya Allah.
Tampil sebagai moderator dalam kuliah tersebut Dr Nirwan Syafrin Manurung, Wakil Rektor UIKA Bogor. Dalam kesimpulannya, ia menggarisbawahi fakta historis bahwa peradaban Islam itu merangkul dan menghargai orang-orang berilmu dari manapun asalnya, walaupun berbeda budaya, bahasa, ataupun agamanya. “Masyarakat Islam itu beragam, terbuka, dan toleran,” jelasnya.
Setelah istirahat makan siang dan sholat zuhur para peserta kembali ke ruang Budi Harsono FH UI itu untuk mendengarkan kuliah lanjutan yang disampaikan oleh Dr Hamid Fahmy Zarkasyi, Wakil Rektor UNIDA Gontor, yang juga merupakan salah satu pendiri INSISTS. Menurutnya, sains Islam itu hanya bisa terwujud jika worldview saintisnya sudah islami. Hal ini ditegaskan juga oleh moderator, Dr Budi Handrianto, yang menepis anggapan keliru bahwa sains itu netral. Yang benar adalah setiap sains dari mulai metode dan teori hingga produk-produknya itu sarat nilai. “Contohnya pisau, sengaja dibuat untuk memotong sayur, buah, kue dan sebagainya, sementara samurai memang dibuat untuk tujuan membunuh. Jadi setiap produk sains atau teknologi itu pasti mengandung nilai-nilai yang dianut oleh perancang dan pembuatnya”, katanya menutup sesi tanya jawab dengan peserta.[]