Jika kita membedah konsep wahyu dalam ruang lingkup Aliran Ahmadiyah, maka tersedia dua sumber epistemologi mereka yaitu: Kitab TAZKIRAH dan Al-Qur’an yang telah ditakwilkan oleh kelompok ini. Kita tinjau dua sumber aliran
Pertama, Kitab Tazkirah adalah kitab suci aliran ini, namun jarang diangkat atau digunakan untuk pengikutnya yang awam. Kitab ini memuat ‘wahyu-wahyu’ atau ilham dari Allah kepada Mirza Ghulam Ahmad (MGA). Selain dalam Tazkirah, kumpulan ‘wahyu’ versi Ahmadiyah juga ada dalam kitab yang ditulis MGA sendiri, yaitu Barahin Ahmadiyah.
Ciri-ciri Tazkirah secara umum yaitu: 1) Tazkirah tidak terbagi dalam surat-surat, tetapi sekaligus satu surat. 2) Tidak ada juga pembagian ayat demi ayat yang jelas. 3) Tidak semua wahyu itu dalam bahasa Arab, tetapi sebagian kalimat masih ada yang berbahasa Urdu. 4) Apa yang diklaim sebagai wahyu itu diawali dengan mimpi bertemu dengan nabi Muhammad saw, baru kemudian wahyu turun. 5) Disusunnya bukan berdasarkan urutan wahyu yang diklaim, sebab wahyu yang pertama turun adalah Was-samaa’i wat-Thaariq lalu AlaisaLlahu bi kaafin ‘abdah. 6) Dan ayat yang diklaim sebagai ayat pertama dan kedua tadi, justru lupa dimasukkan dalam kumpulan wahyu ini.Bagi umat Islam yang sudah terbiasa membaca Al-Qurân apalagi mengerti artinya, akan dengan mudah memahami bahwa Tazkirah adalah bajakan Al-Qurân.
Tentu saja kelompok Ahmadiyah membantahnya. Sebab mereka dapat saja mengelak dan mengatakan bahwa di dalam Al-Qurân pun terdapat beberapa ayat serta cerita yang sama dengan kitab suci yang sebelumnya. Namun bantahan tersebut tidak benar, disebabkan hal-hal berikut:
- Allah tidak menurunkan wahyu kepada seorang Rasul kecuali dengan bahasa kaumnya. (QS Ibrahim: 4) Karena itulah Al-Qurân diturunkan dalam bahasa Arab, Injil dalam bahasa Suryani, dan Taurat dalam bahasa Ibrani. Kalaulah wahyu turun kepada Mirza yang orang Pakistan-India dan berbahasa Urdu, maka kenapa wahyunya berbahasa Arab?
- Bagi mereka wajar kalau di Tazkirah pun terdapat kosakata Arab, sebab di dalam Al-Qurân juga terdapat beberapa kata non-Arab. Faktanya bahwa Al-Qur’an juga mengandung kosakata non-Arab, meski itu ditentang oleh banyak ulama, akan tetapi itu hanya kata, bukan dalam bentuk kalimat. Sedangkan yang terjadi di dalam Tazkirah adalah bentuk kalimat Arab yang sama persis dengan Al-Qurân, hanya dipotong dan disambung dengan ayat lain sesuai dengan kebutuhan.
- Jika Al-Qurân adalah mukjizat, lalu jin dan manusia ditantang untuk membuat yang sama dengan Al-Qurân, ternyata tidak ada yang mampu, maka seharusnya Tazkirah (yang katanya wahyu) juga sama seperti Al-Qurân, semua orang ditantang untuk membuat yang seperti itu. Namun tantangan ini akan sangat janggal untuk Tazkirah. Sebab, bagaimana akan menantang jika Tazkirah itu tak lebih dari sekedar daur ulang Al-Qurân?
- Setiap ayat Al-Qurân mempunyai nilai susastera yang luar biasa indahnya. Adakah itu dalam Tazkirah? Kalau ada, hal itu karena bajakan dari Al-Qurân. Hasil bajakan itu sangat buruk, sebab ayat-ayat Al-Qurânnya banyak diubah, bukan hanya dipindah
Bandingkan denganAl-Qurân yang sedemikian indah dan tinggi balaghahnya. Bukankah aneh, Allah menurunkan wahyu dengan bahasa yang semakin jelek, tidak tersusun, tidak teratur? Jelas, hal semacam ini adalah suatu kebohongan.
Kedua, Kitab “AL-QUR’AN DENGAN TERJEMAHAN DAN TAFSIR SINGKAT” editor: Malik Ghulam Farid, alih bahasa: Dewan Naskah Jemaat Ahmadiyah Indonesia, dengan restu Hadhrat Mirza Tahir Ahmad KHALIFATUL MASIH IV, edisi kedua, diterbitkan oleh JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA 1987.
Sejumlah hal bias disorot dengan tajam dalam Kitab tafsir versi Ahmadiyah tersebut: seperti mukjizat para nabi, kemungkinan adanya rasul baru pasca Muhammad saw, dan nubuatan atau kasyaf dari Al-Qur’an sebagai pembenaran doktrin Ahmadiyah.
Misalnya, penggunaan ayat 35 surah Al-A’raf yang selalu dijadikan preferensi bagi Ahmadiyah untuk menjustifikasi kenabian MGA. Menurut mereka, ayat ini menyatakan kemungkinan pengutusan rasul-rasul setelah Nabi Muhammad saw. Khitab ayat ini memang ditujukan kepada umat Rasulullah saw, bukannya umat-umat terdahulu, sehingga dimungkinkan datangnya rasul-rasul baru Nabi Muhammad saw. (lihat hlm.571 ‘Tafsir Ahmadiyah’).
Takwil ini tertolak dengan dalil dan madlul ayat 40 surah al-Ahzab. Juga, seluruh ulama tafsir sepakat bahwa khitab ayat ini ditujukan untuk umat-umat terdahulu yang kepada mereka telah diutus masing-masing rasul sesuai waktu dan tempatnya. Ini telah dipaparkan oleh pakar tafsir terkemuka al-Razi, al-Alusi, dan al-Thahir ibn ‘Asyur.
Soal pekabaran dan nubuatan dalam Al-Qur’an yang jelas-jelas merujuk kepada Nabi Muhammad saw sebagai nabi terakhir, pun tak luput dari penodaan Ahmadiyah. Nubuatan itu misalnya termaktub dalam Q.s al-Jumu’ah: 3 dan as-Shoff: 6. Mengomentari ayat al-Jumu’ah ditulis: “Jadi, Al-Qur’an dan hadis kedua-duanya sepakat bahwa ayat ini menunjuk kepada kedatangan kedua kali Rasulullah saw dalam wujud Hadhrat Masih Mau’ud as, MGA.” (hlm. 1919-1920).
Padahal, ayat ini berbicara tentang universalitas Islam yang akan dipeluk oleh manusia dari berbagai macam suku bangsa dan ras. Jadi, tak ada sangkut pautnya dengan pembenaran atas MGA sebagai rasul dan al-Masih al-Mau’ud, hanya karena kebetulan ia juga keturunan Persia. Hadis Bukhari yang menjadi sebab turunnya ayat itu juga tidak secara diskriminatif hendak membatasi kemuliaan Islam pada orang-orang keturunan Persia saja seperti Salman al-Farisi.
Banyak pula sahabat Rasulullah saw yang berjuang untuk Islam berasal dari suku bangsa dan ras yang berbeda-beda.Sama halnya dengan takwil ayat as-Shaff (hlm. 1914). Dakwaan Ahmadiyah hanyalah sebatas pendomplengan dan pencatutan nama, atau lebih tepatnya kemiripan nama si pendusta dengan nama Rasulullah Muhammad SAW. Apalagi pemanggilan si pendusta dengan nama Ahmad itu pun dikarang olehnya dalam wahyu ilusif yang terangkum dalam Barahin Ahmadiyah.
Kesimpulannya, dilihat dari 2 sumber doktrin Ahmadiyah baik kitab Tazkirah maupun Al-Qur’an yang ditakwil sesuai versinya, keduanya telah menunjukkan dengan telanjang kebusukan misi mereka untuk melakukan langkah subversif; mendirikan Negara asing ‘Ahmadiyah’ dalam Negara yang sah ‘Islam’ dengan pelbagai cara.