Konon, suatu ketika Imam Ali r.a. mengirim Ibnu Abbas untuk berdebat dengan kelompok Khawarij terkait pemahaman mereka yang keliru. Beliau berpesan agar Ibnu Abbas tidak mendebat mereka dengan ayat-ayat Al-Qur`an, sebab Al-Qur`an itu hammâlun dzû wujûh, mengandung berbagai kemungkinan penafsiran, yang boleh jadi dimanfaatkan oleh mereka untuk mencari pembenaran terhadap paham tersebut.
Memang, hampir semua paham dan aliran dalam Islam, termasuk yang keliru dan sesat, berlabuh pada Al-Qur`an. Tak terkecuali Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang berafiliasi pada Ahmadiyah Qadianiyah internasional. Kelompok Qadian inilah yang menjadi sasaran SKB Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung tahun 2008, agar mereka menghentikan penyebaran paham keagamaan yang menyimpang dari pokok ajaran Islam.
Dalam menyebarluaskan pemahamannya, JAI menerbitkan Al-Quran dengan Terjemahan dan Tafsir Singkat. Buku tersebut merupakan terjemahan edisi ringkas dari The English Commentary of The Holy Quran hasil suntingan Mirza Ghulam Farid atas “Tafsir Shaghir” karya Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad, putra Mirza Ghulam Ahmad, yang bergelar Khalifatul Masih II, dan The Holy Quran with English Translation and Commentary. Edisi ini telah diterjemahkan ke dalam 100 bahasa dunia, termasuk Indonesia.
Seperti umumnya karya tafsir, Tafsir Jemaat Ahmadiyah banyak merujuk ke kitab tafsir yang populer di kalangan umat Islam seperti al-Kasysyâf, al-Bahr al-Muhîth dan lainnya, walaupun terkadang ditemukan kutipan yang tidak tepat atau sempurna, sehingga terkesan sekadar mencari pembenaran klaim tertentu yang sesungguhnya tidak terkandung dalam kutipan tersebut.
Tafsir itu juga menggunakan hadis sebagai penjelas Al-Qur`an dengan merujuk kitab-kitab hadis yang populer di kalangan umat Islam. Demikian juga pandangan para sahabat dan tabi`in sering dikutip dalam tafsir tersebut. Selain menggunakan tafsîr bi al-ma`tsûr (penafsiran dengan hadis, pandangan sahabat dan tabi`in), Tafsir Ahmadiyah menggunakan pendekatan tafsir isyâri, yaitu sebuah penafsiran yang berusaha menangkap isyarat yang terkandung di balik lafal/zahir ayat. Metode penafsiran ini banyak digunakan oleh kalangan sufi. Selain meyakini kebenaran makna zahir yang tersurat dari sebuah ayat, kaum sufi berkeyakinan ada makna lain yang tersirat di balik lafal. Berbeda dengan mereka, kelompok Bathiniyyah juga meyakini makna di balik teks, terutama yang sejalan dengan kepentingan mereka, tetapi meninggalkan makna zahir ayat.
Metode penafsiran bathiniyyah biasanya didahului oleh adanya pra-konsepsi, atau kecenderungan terhadap pandangan tertentu yang kemudian dicarikan pembenarannya dari Al-Qur`an. Memang, banyak kesalahan atau penyimpangan dalam tafsir terjadi karena menjadikan Al-Qur`an sebagai alat pembenaran, bukan sumber kebenaran. Al-Qur`an tidak lagi menjadi imâm yang harus diletakkan di depan, tetapi dijadikan sebagai ma`mûm yang mengikuti kehendak pikiran dan hawa nafsu.
Ibnu Taimiyah menyebutkan, kesalahan dalam tafsir, khususnya yang menggunakan pendekatan rasional (tafsîr bi al-ra`yi) dan isyâriy, terjadi karena dua faktor, pertama: seorang penafsir memiliki pandangan tertentu kemudian mencari pembenarannya dari Al-Qur`an; kedua : menafsirkan Al-Qur`an sesuai makna bahasa, tanpa memperhatikan konteks penyebutan dan pemahaman bangsa Arab yang menerima Al-Qur`an.
Kesalahan karena faktor pertama mengambil dua bentuk, pertama : konsep makna yang akan dibangun benar (madlûl), tetapi argumentasi atau dalil yang digunakan tidak tepat karena tidak mengarah ke situ. Bentuk kedua, konsep atau makna (madlûl) yang akan dibangun keliru, demikian pula dalil atau argumentasinya.
Contoh, kelompok Syiah fanatik (râfidhah) menafsirkan QS. Al-Masad/111 : 1, tabbat yadâ abî lahab (celakalah kedua tangan Abu lahab), bahwa ‘kedua tangan’ dimaksud adalah Abu Bakar dan Umar. Penafsiran ini lahir karena mereka sangat membenci Abu Bakar dan Umar yang dianggap telah ‘merampas’ hak kepemimpinan Imam Ali. Kata baqarah (sapi) yang diperintahkan untuk disembelih oleh bani Israil pada QS. Al-Baqarah/2: 67 adalah berarti Aisyah. Demikian fanatisme mereka yang berlebihan terhadap Imam Ali dan keluarganya, serta kebencian mereka terhadap lawan-lawan politik mereka (para sahabat) mempengaruhi penafsiran yang mereka lakukan. Padahal tidak sedikit pun ayat-ayat tersebut mengarah pada konsep yang hendak mereka bangun.
Pola penafsiran seperti ini banyak ditemukan dalam tafsir Ahmadiyah. Berangkat dari keyakinan bahwa pemimpin dan pendiri Jemaat Ahmadiah, Mirza Ghulam Ahmad (MGA), sebagai seorang nabi, sekian banyak ayat ditafsirkan untuk mendukung pandangan tersebut. Jadi persoalannya bukan sekadar beda penafsiran, tetapi yang mereka lakukan adalah menjadikan ayat-ayat Al-Qur`an sebagai pembenaran atas klaim kenabian MGA.
Perhatikan misalnya ketika MGA, seperti dikemukakan dalam tafsir Ahmadiyah, mengklaim dirinya telah mendapat jaminan surga berdasarkan firman Allah QS. Yâsîn/36: 20 dan 26, sebab hanya dialah, bukan lainnya, yang mendapat perintah masuk surga, sehingga dia membangun pekuburan surgawi (bahisyti maqbarah) di Qadian yang dikhususkan bagi para Ahmadi (sebutan bagi pengikut Ahmadiyah).
Demikian juga ketika MGA menyatakan bahwa QS. Al-Qiyâmah/75 : 9 sebagai isyarat kebenaran pengakuannya sebagai Masih Mau`ud (Al-Masih yang dijanjikan turun di akhir zaman) dan Imam Mahdi, sebab ketika itu matahari dan bulan kedua-duanya mengalami gerhana. Padahal ayat tersebut tidak sedang berbicara dalam konteks gerhana, apalagi yang terjadi ratusan tahun kemudian saat MGA mendeklarasikan pengakuannya, tetapi menggambarkan keadaan saat kiamat terjadi (seperti nama surah tersebut) yaitu ketika matahari dan bulan dikumpulkan sehingga hancur berantakan.
Selain itu, dalam tafsir tersebut sosok MGA digambarkan sebagai Rasulullah, wakil agung Rasulullah, Masih Maw`ud sekaligus Imam Mahdi, rekan sejawat dan misal Nabi Isa as. Dalam buku yang saya tulis, Menggugat Ahmadiyah; Mengungkap Ayat-Ayat Kontroversial dalam Tafsir Ahmadiyah, terbitan Pusat Studi Al-Qur`an (PSQ) dan Lentera Hati, (2011), saya mengungkap tidak kurang dari 50 ayat dalam Al-Qur`an digunakan untuk membenarkan pemahaman mereka yang menyimpang.
Kekeliruan penafsiran demikian bukan hanya terletak pada konsep atau makna yang akan dibangun, yaitu klaim kenabian MGA yang bertentangan dengan pokok ajaran Islam yang sudah pasti (al-ma`lûm min al-dîn bi al-dharûrah) bahwa tidak ada nabi setelah Nabi Muhammad saw, tetapi juga pada dalil atau argumen yang melandasinya, sebab secara bahasa tidak mengarah ke situ.
Secara tidak langsung, Ahmadiyah telah ‘membonceng’, bahkan ‘memerkosa’ (memaksakan) ayat-ayat Al-Qur`an untuk membenarkan pandangan yang mereka miliki sebelumnya (pra-konsepsi), yaitu MGA sebagai nabi. Dari sini maka sangat beralasan, kalau kemudian banyak lembaga fatwa seperti MUI (1980 dan 2005), Majma` al-Fiqh al-Islamiy di bawah Rabithah al-Âlam al-Islâmiy dan lembaga yang sama di bawah Organisasi Konferensi Islam menyatakan kelompok ini sebagai kelompok sesat, bahkan dinyatakan keluar dari Islam. Wallahua`lam. (***)