Home Artikel Deprivatization

Deprivatization

820
0

Ketika Ahmadiyah ditolak oleh umat Islam Indonesia dan ketika Saksi Jehovah ditolak oleh umat Katholik dan Protestan, negara ikut campur menjadi wasit. Ketika gelombang penistiaan agama menyeruak di Amerika, pemerintah negara bagian Massachusetts di Amerika Serikat mengeluarkan undang-undang yang menghukum dan mendenda penista agama. Pada saat Taslima Nasrin di Bangladesh menulis di koran The Statesman  (tahun 1994) ”…al-Qur’an harus direvisi secara menyeluruh” negara memfonis hukuman mati. 

Empat tahun kemudian, Ghulam Akbar, menghina Nabi Muhammad dan segera dihukum mati. Tahun 2000 kelakuan Ghulam Akbar ditiru oleh Abdul Hasnain Muhammad Yusuf Ali pengadilan pemerintah propinsi Lahore memutuskan pun hukuman mati. Di Mesir seorang yang mengaku Nabi langsung dihukum mati dan selesai. Disini kisah-kisah itu membuktikan peran negara dalam menyelesaikan konflik agama mutlak perlu dan terus berjalan.

Bagi penganut sekularisme dan liberalisme kaaffah, negara tidak boleh ngurusi agama dan sebaliknya. Ini harga mati. Sebab agama dianggap sebagai domain pribadi. Privatisasi agama adalah sekularisasi. Sekularisasi telah menjadi tren sosial politik di Barat Eropah sejak abad Pencerahan (1720-1880). Setengah abad yang lalu Smith (1970-76) mendeklarasikan sekularisasi sebagai perubahan struktur dan ideologi yang sangat mendasar dalam proses pengembangan politik dan tren global modernisasi. Acuannya adalah figur-figur ilmuwan sosial abad 19 seperti Marx, Durkheim, Weber dsb. Jadi desakralisasi agama adalah satu paket dengan sekularisasi dan modernisasi masyarakat.

Ketika itu memang agama telah kehilangan relevansi sosial dan politiknya. Sebab politisi dari para pemuka agama semakin tidak cakap dan malah semakin tiranik. Kekuasaan tidak lagi ditangan agama, tapi ilmu. Dari situlah keluar jargon knowledge is power, ilmu adalah kekuasaan.  Lebih-lebih kalangan gereja menganggap pemisahan itu hampir seperti keniscayaan. Doktrin gereja itu sudah dichotomis “berikan hak kaisar kepada kaisar dan hak tuhan kepada tuhan (Luke 21-25).  Ditambah lagi suasana reformasi politik Eropah pada waktu itu begitu dominan sehingga ketegangan antara gereja dan negara adalah warna sejarah Eropah yang kelam.

Tapi tahun 1979 setelah terjadi revolusi Iran orang baru sadar bahwa tafsir modernisasi ternyata tidak tunggal dan kaku. Sejak saat itu agama dan politik yang sempat “talak tiga” di Eropah dan negara-negara jajahannya, rujuk kembali. Tapi masih dalam status nikah sirri. Orang mengakui tapi tidak berani terbuka. Tapi kenyataan sosial seperti mendorong kearah sentralisasi agama ke ruang publik.

Orang, misalnya bertanya-tanya mengapa Perdana Menteri Inggeris, David Cameron mesti sowan Paus Benedict ke XVI. Disitu ia mengungkapkan penyesalannya atas berkembangnya kultur relativisme dan sekularisme di Barat. Ia juga menghargai sikap Paus yang menurutnya telah menggugah semua negara untuk bangkit dan berfikir melawan itu.

Di Amerika  tahun 60 an JF Kennedy menyatakan bahwa agama dan keyakinan Presiden adalah urusan pribadi dan tidak bisa diberlakukan kepada bangsa dan sebaliknya. 50 tahun kemudian senator Pennsylvania Rick Santorum menyanggahnya. Dalam kuliahnya  di the University of St. Thomas, ia tegaskan pemisahan gereja dan negara secara mutlak bukan dan tidak pernah menjadi model Amerika. Itu hanya model yang dipakai oleh negara-negara seperti Perancis dan Turkey, tapi tidak laku di Amerika, kecuali setelah Hakim Hugo Black melempar hal ini kedalam wacana publik.  

Jeff Haynes, professor pada Department of Politics and Modern History di University of London, mencoba menganalisa. Ormas keagamaan menjadi aktor politik karena agama merasa terancam oleh kebijakan-kebijakan sekuler. Fenomena ini tersebar luas dan perlu kajian secara kasus per kasus. Konsekuensi dari intervensi itu bisa bermacam-macam. Agama terkadang menjadi sangat berperan dalam rekayasa politik.  Demokrasi di Amerika Latin dan Eropah Timur tahun 80 an tidak lepas dari peran gereja Katholik.

Jika Jeff diminta komentar revolusi di Mesir baru-baru ini, ia pasti melihat peran agamawan Islam maupun Kristen Coptic sangat besar. Salat Jamaah para pendemo dan doa para pemimpin Coptic di Lapangan Tahrir adalah no comment new. Kesuksesan menumbangkan Hosni Mubarak dirayakan dengan sujud syukur, bukan dengan minum-minum atau dansa-dansi. Disitu agama menjadi etos kerja pendemo.

Fenomena yang disebut Jeff terjadi di Inggeris. Disana agama mulai menolak menjadi urusan pribadi. Gereja-gereja Katholik muncul kembali membawa suara moral, sosial dan bahkan politik.  Pada tahun 1996 misalnya mereka menyebarkan pamflet berjudul The Common Good and the Catholic Church’s Social Teaching. Pamflet itu adalah intervensi gereja terhadap konflek antara partai Buruh dan Konservatif. Menurut klaim mereka ini adalah kekuatan spiritual agama dan juga relevansi agama Katholik dengan demokrasi liberal, pluralisme, dan ekonomi pasar.

Memang dalam soal hubungan negara dan gereja Kristen berbeda dari Islam. Dalam Islam masjid bukan gereja dan tidak punya otoritas. Maka, sebenarnya, menurut P. J. Vatikiotis,  (Lihat Islam and the State) apa yang dituntut gereja sebagai komunitas moral, penjaga hukum Tuhan, institusi kependetaan dan sekaligus komunitas politik lebih cocok dituntut oleh orang Islam. Hidup dalam worldview Islam sebagai realitas fisik adalah ekspresi kehendak Tuhan.

H. Dabashi (dalam T. Robbins & R. Robertson (eds.), Church-State Relations), bahkan tegas menyatakan “tidak ada dalilnya dalam Islam yang memisahkan kesalehan dengan politik, keduanya adalah perintah Tuhan. Meskipun dalam Islam otoritas agama dan politik dapat dipisahkan menjadi dua institusi sosial yang berdiri sendiri-sendiri, namun keduanya selalu berhuhungan. Jadi yang masih membela privatisasi agama jelas set back setengah abad atau bahkan tiga abad. Kini agama telah berubah dari interest pribadi menjadi publik, dari urusan institusi menjadi konstitusi. Itulah makna deprivatisasi agama yang akan terus dilawan oleh liberalisasi dan postmodernisasi. Wallahu a’lam

Leave a Reply