Oleh: Dr. Rahmat Rosyadi (Dosen Pascasarjana UIKA Bogor)
e. Lembaga Pendidikan Islam
Kelembagaan pendidikan sebagai tempat belajar atau menuntut ilmu mempunyai peranan amat penting dalam upaya proses belajar mengajar antara pendidik dan peserta didik. Karenanya Nabi SAW memberikan petunjuk kepada sekolompok orang yang berkumpul di rumah, di masjid atau di lingkungan masyarakat agar mengajarkan al-Qur’an. Petunjuk Nabi SAW ini telah menginsprasi para penyelenggara pendidikan untuk menyiapkan atau memanfaatkan tempat di mana saja terdapat orang yang dapat menjangkaunya untuk belajar agama dan ilmu pengetahuan lainnya, sebagaimana dinyatakan dalam al-Sunnah sebagai berikut:
Artinya:
“…, dari Abi Hurairah ia berkata: telah bersabda Rasulullah SAW: dan apabila sekelompok orang berkumpul di dalam rumah, dari rumah-rumah yang diserukan Allah, untuk membaca kitab Allah dan mempelajarinya, pasti akan dikerumuni para Malaikat, akan turun kepada mereka ketenangan, dan diliputi penuh rahmat, , dan selalu diingat oleh Allah, seolah-olah mereka berada pada sisi-Nya”. (HR.Muslim).[1]
Charles Michael Stanton, menggolongkan lembaga pendidikan Islam ke dalam dua bentuk, yaitu “lembaga pendidikan formal yang mengajarkan pengetahuan agama, dan pendidikan nonformal yang mengajarkan pendidikan umum termasuk filsafat”.[2] George Makdisi, dalam hal yang sama menyebutnya “sebagai lembaga pendidikan eksklusif (tertutup) yang hanya mengajarkan pengetahuan agama, dan lembaga pendidikan inklusif (terbuka) yang mengajarkan pengetahuan umum”.[3]
Lembaga pendidikan Islam pada masa klasik sebelum kebangkitan madrasah mempunyai banyak nama antara lain: Shuffah, Kuttab/Maktab, Halaqah, Majelis, Masjid, Khan, Ribath, Rumah Ulama, Tokok Buku, Rumah Sakit dan Badi’ah. Lembaga pendidikan Islam ini mempunyai peranan penting dalam penyelenggaraan dan pelaksanaan pendidikan Islam di masa itu. Oleh karena itu keberadaan lembaga ini untuk kajian kelembagaan pendidikan Islam sejak awal penyebaran Islam selalu menjadi kajian yang amat serius sebagai pijakan teori yang danggap mapan.
f. Pembiayaan Pendidikan Islam
Dalam pendidikan Islam, pemberian Honorarium/insentif/upah[4] mengajar dan dana pendidikan ternyata mendapatkan perhatian dari Rasulullah SAW. Dalam beberapa sabdanya pemberian upah mengajar dan biaya pendidikan dapat berbentuk sesuatu hal yang menyenangkan bagi si penerima, barter, dan infak di jalan Allah, sebagaimana sabdanya sebagai berikut:
Artinya:
“…, dari Ubadah ibn Shamit, ia telah berkata: aku telah mengajar menulis dan membaca al-Qur’an kepada kelompok ahli shuffah seorang dari mereka memberiku busur panah, kugunakan busur itu untuk berperang fi sabilillah, kemudian aku bertanya kepada Nabi SAW dan nabi menjawab: “kalau itu membahagiakan dirimu dan kamu jadikan dengan busur itu kekuatan untuk menghindar dari api neraka, terimalah”. (HR. Ahmad).[5]
Berkenaan dengan hak gaji terdapat perbedaan di antara kalangan pra pendidik. Para ahli fikir dan filosof berpendapat tentang boleh tidaknya dalam hal pendidik menerima gaji atau menolaknya. Penolakan paling keras dalam menerima gaji adalah Socrates.[6] Kemudian diikuti oleh filosof muslim, yaitu al-Ghazali dengan mengaharamkan gaji.[7] Sementara al-Qabisi mempunyai pendapat yang berbeda. Ia memandang gaji itu tak dapat tidak harus diadakan. Alasan al-Qabisi guru menerima gaji karena pendidik telah menjadi jabatan profesi, tentu berhak untuk mendapatkan kesejahteraan dalam kehidupan ekonomi, berupa gaji ataupun honorarium.[8]
Profesionalitas guru adalah abu al-ruh (bapak rohani) bagi peserta didiknya. Guru-lah yang memberikan santapan rohani dan memperbiki tingkah laku peserta didik. Justeru itu profesi guru itu wajib dimuliakan, mengingat peranannya yang sangat signifikan dalam menyiapkan generasi mendatang. Muhammad Athiyah al-Abrasi, bahwa “menghormati guru berarti penghormatan terhadap anak-anak kita”.[9]
Pada masa sekarang nampaknya hak menerima gaji bagi para pendidik menjadi sesuatu hal yang dianggap wajar, bahkan telah mendapatkan legitimasinya dalam bentuk peraturan. Gaji yang diterima para pendidik menjadi hak yang harus diterimanya setelah mereka melaksanakan kewajibannya dalam mendidik. Guru menjadi sebuha profesi yang layak dihargai oleh siapa pun yang menggunakan jasanya sebagai tenaga pendidik. Saat ini hak pendidik dikelompokan kedalam penghasilan yang didasarkan pada kompetensi dan kualifikasi pendidik.
g. Pengelolaan Pendidikan Islam
Pengertian pengelolaan sama dengan hakikat manajemen dalam bahasa Arab disebut al-tadbir (pengaturan). Kata ini merupakan derivasi dari kata dabbara (mengatur) yang banyak dijumpai dalam al-Qur’an, S. 32, al-Sajdah: 05, dan S. 10, Yunus: 31. Ramayuls menyimpulkan bahwa:
“Manajamen pendidikan Islam dapat didefinisikan sebagai proses pemanfaatan semua sumber daya yang dimiliki (umat Islam, lembaga pendidikan, atau lainnya) baik perangat keras maupun lunak. Pemanfaatan tersebut melalui kerja sama dengan orang lain secara efektif, efisien, dan produktif untuk mencapai kebahagian dan kesejahteraan, baik di dunia maupun di akhirat”.[10]
Manajemen pendidikan Islam, disampaikan oleh Pade Pidarta dalam buku Manajemen Pendidikan di Indonesia, meliputi: (1) institusi (kelembagaan), (2) struktural, (3) personalia, (4) informasi, (5) teknik, dan (6) lingkungan. Penjelasannya sebagai berikut:
“Institusi pendidikan bersifat formal, nonformal, dan informal. Struktur pendidikan adalah: organisasi, analisis unit kerja, deskripsi tugas dengan spesifikasi tugasnya, hirarkhi dan wewenang, perubahan lingkungan, dan kemantapan struktur. Personalia yang dimaksud adalah para pengambil kebijakan, kepala sekolah, pendidik, pegawai, peserta didik, dan para alumni. Manajemen informasi pendidikan Islam merupakan sesuatu yang sangat penting untuk memberikan persebaran informasi. Teknik pendidikan yang menunjang proses pendidikan yang memberdayakan sekolah, masyarakat, sumber belajar, lembaga dan alumni. Lingkungan pendidikan pada dasarnya yang berhubungan dengan sekeliling proses pendidikan”. [11]
Kajian konsep dan teori pendidikan Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah serta dari hasil para pemikir dan praktisi pendidikan sangat komprehensif meliputi seluruh prinsip, komponen dan aspek pendidikan. Konsep itu sampai saat ini masih dijadikan rujukan oleh para penyelenggara pendidikan Islam di seluruh dunia, walaupun telah mengalami banyak modifikasi sesuai dengan masanya. Demikian juga teori-teori pendidikan yang dikembangkan oleh para pemikir dan praktisi pendidikan sejak jaman klasik hingga sekarang tetap masih relevan dalam pelaksanaan pendidikan Islam.
h. Proses pembelajaran
Proses pembelajar dikenal dalam dunia pendidikan dengan istilah kegiatan belajar mengajar (KBM) sebagai bagian dari pendidikan. Dalam hal ini, Al-Ghazali menyarankan tentang proses belajar mengajar adanya “pengintegrasian antara materi, metode dan media atau alat pengajarannya”.[12] Seluruh komponen tersebut harus diupayakan semaksimal mungkin, sehingga dapat menumbuhkembangkan segala potensi fitrah anak, agar nantinya menjadi manusia yang hidup penuh keutamaan. Materi yang diberikan harus sesuai dengan tingkat perkembangan anak, baik dalam hal usia, intelegensia, maupun minat dan bakatnya. Jangan sampai anak diberi materi pelajaran yang justeru merumbah dan merusak akhlak dan akidahnya. Anak yang dalam taraf kondisi akalnya belum matang, hendaknya diberi materi pelajaran yang dapat mengarahkan kepada akhlak mulia.
Menurut Bisri Affandi, diantara pendekatan yang dilakukan Surkati terhadap peserta didiknya adalah: (1) Ia sangat memperhatikan murid-muridnya, baik dari segi budi pekerti maupun dari segi kemampuan intelektualnya. Sifat yang demikian meupakan kunci untuk mengetahui kepribadian dan daya piker peserta didik; (2) Ia mampu meraih kaidah-kaidah berfikir yang dimilikinya untuk dikaitkan dengan akal anak didiknya, sehingga anak didik dengan tidak terasa terbuka akalnya memiliki kemampuan untuk menghadapi berbagai permasalahan; dan (3) Konsep sikap dan tingah laku yang didasari pandangan-pandangan dari ajaran agama dapat diwujudkan hingga menjadi daya tarik dan pengaruh tersendiri yang mampu mendorong orang lain untuk menggali lebih jauh ilmu pengtahuan.[13]
Menurut Al-Qabisi, bahwa “pembelajaran tidak mensyaratkan adanya batasan usia”.[14] Ia menekankan bahwa kedua rangtua bertanggungjawab untuk mengajari agama semenjak anak sudah dapat berbicara fasih. Pandangan yang seperti itu mengandung maksud bahwa tanggungjawab pendidikan anak berlaku terus menerus. Pendidikan anak di kuttab hanya merupakan kelanjutan tugas pendidikan yang wajib ditunaikan oleh kedua orang tua. Oleh karena itu walau anak telah dikirimkan ke sekolah, mereka harus tetap aktif mengawasi dan mendidiknya.[15]
Proses pembelajaran yang disampaikan oleh para ahli pemikir dan praktis pendidikan di atas sangat beragam. Ia harus terlaksana sesuai dengan tujuan, desin kurikulum dan metode pelajaran yang telah disiapkan sebelumnya. Karena itu proses pembelajaran tidak bisa diabaikan dalam pelaksanaanya. Dengan sebab itulah proses pembelajaran tidak dapat distandarisasi melainkan disesuaikan dengan situasi dan kondisi siswa. Para pendidik terlebih dahulu mengetahui keadaan siswa dan materi pelajaran apa yang akan disampaikan dalam kelas. Namun begitu, apa yang dikemukakan oleh para ahli itu dapat dijadikan pedoman dalam proses pembelajaran setelah melalui penyesuaian dengan keadaan masing-masing di lembaga pendidikan.
i. Evaluasi Pendidikan Islam
Rangkaian akhir dari suatu proses pendidikan Islam yakni melaksanakan evaluasi pendidikan[16]. Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan proses pendidikan berdasarkan standar kelulusan mata pelajaran pendidikan agama. “Evaluasi pendidikan Islam adalah suatu kegiatan untuk menentukan taraf kemajuan suatu pekerjaan dalam proses pendidikan Islam”.[17] Dalam pengertian lain evaluasi pendidikan Islam adalah “suatu kegiatan untuk menentukan fatarf kemajuan suatu pekerjaan di dalam pendidikan Islam”.[18]
Tujuan evaluasi pendidikan Islam secara prinsip untuk mengetahui tingkat kemampuan dan pemahaman peserta didik dari aspek kognitif, psikomotorik maupun afektif.[19] Namun demikian dalam pendidikan Islam, evaluasi lebih ditekankan pada aspek afektif dan psokomotorik dari pada aspek kognitif. Hal ini untuk mengetahui sikap dan perilaku peserta didik dalam empat aktivitas, yaitu: (1) Sikap dan pengalaman terhadap hubungan pribadinya dengan Tuhan-Nya, (2) Sikap dan pengalaman terhadap hubungan dirinya dengan masyarakat, (3) Sikap dan pengalaman terhadap hubungan kehidupannya dengan alam sekitarnya, dan (4) Sikap dan pengalaman terhadap diri sendiri selaku hamba Allah, anggota masyarakat, serta khalifah Allah Swt.[20]
I. Kesimpulan
II. Pendahuluan
Konsep dan sistem pendidikan Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah sebagaimana telah dipaparkan terdahulu, sangat sejalan dengan tujuan Pendidikan Nasional sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menyebutkan:
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Fungsi dan tujuan pendidikan nasional seperti dinyatakan dalam peraturan perudang-undangan itu sangat relevan dengan fungsi dan tujuan pendidikan Islam sebagai upaya sadar yang dilakukan secara sistematis untuk memperkuat keimanan dan meningkatkan ketaqwaan serta memiliki akhlak mulia supaya tahu, mau dan mampu melaksanakan ajaran agamanya secara kaffah dalam berbagai aspek kehidupan. Salah satu cara untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut dilakukan melalui pendidikan agama.
Bahkan, sejumlah kebijakan telah ditetapkan untuk mencapai tujuan tersebut, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Dalam peraturan pemerintah itu dinyatakan sebagai berikut:
Pasal 1 Angka 1
“Pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan”.
Pasal 1 Angka 2
“Pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya.
Pendidikan agama dan Pendidikan keagamaan menjadi sesuatu yang wajib diajarkan dalam bentuk mata pelajaran/kuliah agama di jalur, jenjang dan jenis pendidikan. Secara eksplisit keberadaannya diatur dalam pasal-pasal yang sangat memadai termasuk di dalam peraturan pelaksanaannya. Demikian juga secara implisit, pendidikan agama dan pendidikan keagamaan menjadi bagian inti kurikulum pendidikan nasional dari jenjang pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi.
Dengan dukungan perundang-undangan dan berbagai kebijakan pemerintah terhadap Pendidikan Islam, maka seyogyanya pendidikan Islam dapat meraih perkembangan yang semakin baik di Indonesia. Amin. (***)
DAFTAR PUSTAKA
Attamimi, A. Hamid S. 20 September 1993. Hukum Tentang Peratutan Perundang-undangan dan Peraturan Kebijakan (Hukum Tata Pengaturan), Pidato Purna Bakti Guru Besar Tetap Fakultas Hukum UI, tidak diterbitkan).
Agustino, Leo. 2006. Dasar-dasar Kebijakan Publik, Bandung, Alfabeta.
Arief, Armai. 2002.Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Ciputat Press, Jakarta.
Arif, Arifuddin. 2008. Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Kultura.
Afandi, Bisri. 1999. Syekh Ahmad Surkati: Pembaharu dan Pemurni Islam di Indonesia, Jakarta, Pustaka Al Kautsar.
Gani, A. Bustani. A. Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta, Bulan Bintang.
Jumbulati, Ali al-. Perbandingan Pendidikan Isam, Jakarta, Rineka Cipta, 1994.
Khin, Musthafa Sa’i al-, dkk. 1972. Mazhab al-Muttaqin Syarh Riyadh al-Shalihin, Beirut, Muassah al-Risalah.
Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Pandeglang Nomor 420/797-Disdik/2008 tentang Pedoman Penggunaan Dana Bantuan Operasional Wajib Belajar Diniyah Awaliyah Tahun 2008
Latief, H. Abdul. 2005. Hukum dan Peraturan Kebijakan pada Pemerintahan Daerah, UII Press, Yogyakarta.
Manan, Bagir. Pengujian Yustisial Peraturan Perundang-undangan dalam Perbuatan Administrasi Negara Indonesia (makalah tidk diterbitkan), 1994.
Mazmanian, Daniel dan Paul Sabatier. Implementation and Public Policy, 1983.
Maraghi, Musthafa Al-. tt. Tafsir Al-Maraghi, Bairut,Dar Fikr.
Muhammad, Imam Abi Abdillah bin Ismail al-Bukhari, 1997. Shahih Bukhari, Riyadh, Darussalam.
Muhammad, Imam al-Hafidz abi Abdillah bin Yazid ar-Rob’iyyi, 1999. Sunan Ibn Majah, Arab Saudi, Darussalam.
Muhammad, Abi Isa bin Isa bin Surah al-Tirmidzy. 2003. Sunan al-Tirmidzi, (Khalid Abdu al-Ghany Mahfudz), Beirut, Libanon, Dar al-Kutub Al-ilmiyah.
Muhammad, Al-Imam Ahmad bin bin Hanbal. 1998. Al-Musnad, Riyadh, Baitul Afkar ad-Dauliyah.
Makdisi, George. 1992. Typology of Institutions of Learning, (An Antology Studies), Issa J. Boulatta, Montreal: McGill Indonesia IAIN Development Project.
Nugroho, Rian. 2008. Kebijakan Pendidikan yang Unggul, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
Nizar, Samsul. 2002. Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I, Jakarta, Ciputat Press,
Pidarta, Pade. 1983. Manajemen Pendidikan di Indonesia, Jakarta, Bina Aksara,
Peraturan Daerah Kabupaten Pandeglang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Wajib Belajar Diniyah Awaliyah.
Peraturan Bupati Pandeglang Nomor 01 Tahun 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Program Wajib Belajar Diniyah Awaliyah.
Ramyulis, H. 2008. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Kalam Mulia, 2008.
Sahertian, A. Piet. 1994. Profil Pendidik Profesional, Yogyakarta, Andi Ofset.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Yunus, Muhammad. Tt. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, Hidakarya Agung.
Zuhairini. 1981. Metodik Khusus Pendidikan Agama, Surabaya, Usaha Nasional.
[1] Imam al-Hafidz abi Abdillah Muhammad bin Yazid ar-Rob’iyyi, Sunan Ibn Majah, Arab Saudi: Darussalam, 1999, Bab Muqaddamah No. 17/220, hlm. 34-35.
[2] Charles Michael Stanton. Higher…, Maryland, 1990,hlm. 122.
[3] George Makdisi. Typology of Institutions of Learning, (An Antology Studies), Issa J. Boulatta, Montreal: McGill Indonesia IAIN Development Project, 1992, hlm. 16.
[4] Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Pasal 1 angka 15.“Gaji adalah hak yang diterima oleh guru atau dosen atas pekerjaannya atas penyelenggaraan pendidikan atau satuan pendidikan dalam bentuk finansial secara berkala sesuai peraturan perundang-undangan” Pasal 1 Angka 16, “Penghasilan adalah hak yang diterima oleh guru atau dosen dalam bentuk finansial sebagai imbalan melaksanakan tugas keprofesionalan yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi dan mencerminkan martabat guru atau dosen sebagai pendidik professional”.
[5] Al-Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal. Al-Musnad, Riyadh: Baitul Afkar ad-Dauliyah, 1998, 5/315, No. 23065, hlm. 212.
[6] Musthafa Sa’i al-Khin, dkk. Mazhab al-Muttaqin Syarh Riyadh al-Shalihin, Beirut, Muassah al-Risalah, 1972, hlm. 298.
[7] A. Piet Sahertian. Profil Pendidik Profesional, Yogyakarta, Andi Ofset, 1994, hlm. 20
[8] A. Bustani. A. Gani. Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta, Bulan Bintang, hlm. 130-131.
[9] Piet Sahertian. Profil…, hlm. 20.
[10] H. Ramayulis. Ilmu…,Ibid., hlm. 260.
[11] Pade Pidarta. Manajemen Pendidikan di Indonesia, Jakarta, Bina Aksara, 1983, hlm. 23.
[12] Ramayulis dan Samsu Nizar. Ensiklopedi…, ibid, hlm. 14.
[13] Bisri Afandi. Syekh Ahmad Surkati: Pembaharu dan Pemurni Islam di Indonesia, Jakarta, Pustaka Alkautsar, 1999, hlm. 120.
[14] Ali al-Jumbulati. Perbandingan Pendidikan Isam, Jakarta, Rineka Cipta, 1994, hlm. 81.
[15] Ibid., hlm. I72.
[16] Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 1, Angka 21 menyebutkan “Evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan trhadap berbagai komponen pada setiap jalur, jenjang dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan”. Pasal 57 menyatakan, ayat (1) Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan; ayat (2) Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, lembaga, dan program pendidikan pada jalur formal dan nonformal untuk semua jenjang, satuan, dan jenis pendidikan. Pasal 58 menyetakan, ayat (1) Evaluasi belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk menentukan proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinabungan; ayat (2) Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikandilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan. Pasal 59, menyatakan, ayat (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan; ayat (2) Masyarakat dan/atau organisasi profesi dapat membentuk lembaga yang mandiri untuk melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58.
[17] Samsul Nizar. Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I,Jakarta, Ciputat Press, 2002, hlm., 77.
[18] Zuhairini. Metodik Khusus Pendidikan Agama, Surabaya, Usaha Nasional, 1981, hlm., 139.
[19] Ibid., hlm. 80.
[20] Arifuddin Arif. Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Kultura, 2008, hlm., 118.