“Rugi untungnya perjuangan, harus dinilai dengan rugi untungnya Islam”-
Prawoto Mangkusasmito-
Partai Masjumi (1945-1960) adalah satu-satunya partai Islam yang dilahirkan dari Kongres Umat Islam Indonesia yang diselenggarakan di Jogjakarta pada 7-8 November 1945. Kongres yang dihadiri oleh ratusan ulama dari berbagai latarbelakang organisasi massa Islam ini bisa disebut sebagai gerakan aliansi (harakah tansiqiyah), dimana para tokoh Islam dari Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Al-Irsyad, Persatuan Islam (Persis), dan lain-lain berkumpul dalam satu wadah perjuangan politik Islam demi tegaknya cita-cita Islam di negeri ini. Tokoh-tokoh seperti KH. Hasjim Asj’ari (NU), Haji Agus Salim dan Mohammad Roem (Gerakan Penjadar), Mohammad Natsir (Persis), Ki Bagus Hadikusumo (Muhammadiyah), Soekiman (PSII dan pernah menjadi Ketua Perhimpunan Indonesia), dan lain-lain adalah sebagian dari tokoh-tokoh umat dan founding fathers bangsa ini yang terlibat dalam mendirikan partai berlambang bintang dan bulan ini.
Dua diantara inisiator berdirinya Partai Masjumi; Mohammad Natsir dan KH. Abdul Wahid Hasjim adalah dua orang dari latarbelakang yang berbeda namun memiliki kesamaan visi dalam perjuangan. Natsir dikenal sebagai aktivis Persis, tokoh pergerakan yang menguasai literatur-literatur Barat secara baik, berpendidikan modern, dan mempunyai visi keislaman yang kuat. Sedangkan KH. Abdul Wahid Hasjim adalah putra seorang alim, pendiri Nahdhatul Ulama, Hadratus Syaikh KH. Hasjim Asj’ari. Wahid banyak menguasai literatur-literatur klasik Arab dan ditempa dalam lingkungan tradisi pesantren yang kental. Dua entitas yang berbeda inilah yang kemudian melebur dalam satu visi perjuangan. Sehingga para aktivis Partai Masjumi dikenal tak hanya jago dalam memaparkan dalil-dalil agama, namun juga menguasai ilmu-ilmu modern terkait organisasi dan pemerintahan.
Struktur pertama saat partai ini didirikan mencerminkan sinergi yang cukup apik. Mereka yang berpendidikan modern seperti Dr. Seoekiman, ditempatkan sebagai ketua umum yang bertugas sebagai pelaksana harian (lajnah tanfidziyah). Sementara yang berlatarbelakang ulama seperti KH. Hasjim Asj’ari ditempatkan sebagai Ketua Majelis Syura yang bertugas mengontrol kebijakan partai agar tak melenceng dari visi dan misi perjuangan. Meski banyak dari aktivis Masjumi yang berpendidikan Barat, namun tak ada dari mereka yang mempunyai pemikiran sekular dalam aktivitas politik dan cita-cita kenegaraannya.
Sejak didirikan, Partai Masjumi membawa identitas yang jelas, sebagai partai yang berasaskan Islam dan bertujuan ”Terlaksananya ajaran dan hukum Islam, di dalam kehidupan orang seorang , masyarakat dan negara Republik Indonesia, menuju keridhaan Ilahi.” (Anggaran Dasar Partai Masjumi, Pasal III).
Masjumi berkeyakinan, Islam sebagai asas adalah ruh perjuangan, pedoman dan sistem hidup (way of life) yang diturunkan oleh Allah untuk mengatur kehidupan manusia dalam lingkup yang luas.Kehidupan berpolitik, kehidupan sosial, ekonomi, budaya, dan lain sebagainya, tak boleh lepas dari aturan-aturan Allah.
Dalam Tafsir Asas Partai Masjumi dijelaskan, pijakan partai ini dalam gerak perjuangannya berlandaskan pada firman Allah SWT dalam surah Ali Imran: 112 “Ditimpakan atas mereka kehinaan dimana saja mereka berada. Kecuali orang-orang yang tetap menjaga hubungannya dengan Allah dan hubungannya dengan sesama manusia…”. Dua pedoman kunci; Menjaga hubungan dengan Allah (hablum minallah) diwujudkan dengan upaya menjadikan ajaran-ajaran Islam sebagai pijakan dalam bernegara, dimana syariat Islam bisa ditegakkan bagi para pemeluknya dan menjaga hubungan dengan manusia (hablum minannas) diwujudkan dengan membangun kebersamaan dengan umat lain demi terciptanya keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran secara merata dalam nilai-nilai yang universal, tanpa saling mengganggu dan menggadaikan keyakinan masing-masing.
Visi Partai Masjumi dalam mensejahterakan rakyat dan membangun pemerintahan, di bingkai dalam cara pandang (worldview) Islam. Kejelasan identitas ini ditegaskan secara gamblang sebagai wujud dari rasa percaya diri dan gentlement dalam menawarkan gagasan-gagasan, disamping untuk secara terbuka beradu konsep bagi tegaknya sebuah negara, yang dalam bahasa Masjumi disebut sebagai “baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur”, negeri yang dilimpahi dengan berbagai kebaikan dan ampunan dari Allah SWT. “Islam itu kalau besar tidak melanda, kalaupun tinggi malah melindungi,” demikian Mohammad Natsir memberikan jaminan jika umat Islam berada di tampuk kekuasaan.
Partai Masjumi membangun sebuah toleransi dalam batasan-batasan yang jelas, dimana masing-masing umat beragama bisa saling menghargai tanpa saling mengorbankan akidahnya. Toleransi yang dibatasi dengan identitas masing-masing, toleransi, yang tidak berarti harus meyakini kebenaran agama lain sebagaimana ajaran pluralisme agama pada saat ini.Toleransi dalam batas-batas kemanusiaan yang tidak merusak dan mengganggu keyakinan masing-masing, itulah yang menjadi pegangan Masjumi. Dengan berpedoman pada surah Al-Baqarah:225 soal tidak bolehnya saling memaksa dalam menyiarkan agama, Partai Masjumi menegaskan,”Iman hanjalah dapat diperoleh dengan rahmat Kurnia Ilahi, tidak dihasilkan dengan paksaan; dalam pergaulan hidup dan dalam peraturan negara diakui kemerdekaan orang lain atau kesopanan umum dan tertib keamanan negeri.”
Sikapa tasamuh (toleran) juga disampaikan oleh Ketua Partai Masjumi, Prawoto Mangkusasmito dalam Sidang Majelis Konstituante tahun 1959, dimana perdebatan soal dasar negara berlangsung sangat sengit dan memakan waktu cukup lama. Prawoto menegaskan, “Kepada penganut agama-agama lain di luar Islam, kami njatakan bahwa kami tidak menaruh keberatan sedikitpun djika saudara-saudara di dalam rumusan itu (UUD) menginginkan pula djaminan untuk menunaikan sjariat agama golongan saudara.” (Lihat: Alam Fikiran dan Djedjak Perdjuangan Prawoto Mangkusasmito (1972: 90-91).
Sebagai partai yang membawa identitas Islam, Prawoto mewanti-wanti para aktivis Masjumi, banyak partai hanyalah alat, bukan tujuan. Begitu pun kursi dan kabinet, bukanlah tujuan. Ia berpesan, jangan karena silau pada alat yang dipakai, kemudian lupa akan tujuan. Ia menegaskan, “Tujuan perjuangan umat Islam ialah keselamatan dan kebahagiaan dunia wal akhirah. Tidak jarang berkisarnya alat menjadi tujuan. Alat yang cuma berguna selain digunakan menurut fitrahnya, sebaliknya menjadi azab jika keliru memakainya, berubah menjadi tujuan yang dipujanya dan dipertahankan mati-matian, kadang kala dengan jalan dimana batas halal dan haram kurang diperhatikan…” (Ibid).
Partai Masjumi dengan segala kelebihan dan kekurangannya adalah teladan yang pantas dijadikan cermin bagi partai-partai Islam saat ini. Para tokoh Partai Masjumi, disamping tegas dan konsisten dalam perjuangan, juga sederhana dalam kehidupan sehari-sehari.Sejarah mencatat, meski banyak dari mereka mendapat posisi sebagai pejabat negara, namun mereka tetap hidup dalam kesederhanaan dan kebersahajaan. Sebagai partai yang membawa identitas Islam, sebagaimana kata ketua umum terakhir Partai Masjumi, Prawoto Mangkusasmito: “Rugi untungnya perjuangan harus dinilai dengan rugi untungnya Islam!” (***).
Oleh: Artawijaya