Oleh: Tiar Anwar Bachtiar
(Peserta Program Kaderisasi Ulama BAZNAS-DDII; Ketua Umum PP Pemuda Persis)
“Tidak ada seorang hamba pun yang diamanahi untuk memimpin rakyat oleh Allah, lalu ia mati dan pada saat mati ia berkhianat pada rakyatnya, kecuali Allah Swt. mengharamkan surga baginya,” demikian sabda Rasulullah Swt. (HR Muslim; bab Fadhîlah Al-Imâm Al-‘Âdil wa ‘Uqûbatuhu).
Politik adalah salah satu bagian penting dalam kehidupan manusia, sekalipun bukan satu-satunya yang paling utama. Masih banyak bidang lain dalam kehidupan manusia yang juga tidak kalah penting dibandingkan dengan politik. Akan tetapi karena dalam praktiknya selalu penuh dengan intrik dan melibatkan orang banyak secara kolosal, politik menjadi terlihat lebih menarik dan hingar bingar sehingga seolah-olah politik merupakan segala-galanya dalam kehidupan manusia.
Hal seperti itu wajar terjadi mengingat politik dalam kenyataan yang kita saksikan berkait erat dengan kekuasaan. Para ahli bahkan menyebutnya sebagai suatu fenomena a constrained use of social power (penggunaan kekuasaan sosial secara paksa) (Goodin and Hens Dieter Klingemann. A New Handbook of Political Sicence. hal. 7). Sementara kekuasaan itu sendiri ada di mana-mana, bahkan dalam diri setiap orang. Ketika kekuasaan itu dipertemukan dengan kekuasaan lain, maka terjadilah saling desak kekuasaan hingga terjadi negosiasi dan kesepakatan siapa yang boleh menggunakan kekuasaannya—secara paksa—dan siapa yang harus menerima dikuasai orang lain. Oleh sebab itu, tidak heran apabila politik selalu akan ramai diperbincangkan. Itu pula yang menyebabkan para pakar banyak yang menyebut bahwa inti dari kegiatan politik adalah soal kekuasaan.
Kalau ditanyakan tujuan apa yang ingin dicapai dengan berpolitik di dalam Islam, jawaban normatif yang disepakati hampir semua ulama segera dapat kita tulis. Tujuan tersebut adalah: pertama, ingin menegakkan Islam (himâyah al-dîn) dan kedua, mewujudkan kesejahteraan umat (ri’âsah syu’ûn al-ummah). (Rasyid Ridha. Al-Khilâfah aw Al-Imâmah Al-‘Uzhmâ. hal. 35; Shalah Al-Shawi. Al-Wajîz fi Fiqh Al-Khilâfah. hal. 5.) Tujuan politik dalam Islam sama sekali tidak memberi ruang bagi pragmatisme pribadi dan kelompok. Politik digunakan bukan untuk menumpuk keuntungan pribadi; juga bukan untuk menegakkan kepentingan kelompok (‘ashabiyyah). Hanya dua yang boleh mendapatkan manfaat dari kegiatan politik, yaitu “agama” dan “rakyat”.
Oleh sebab tujuan politik yang begitu mulia, Imam Ghazali menyebutnya para pemegang kekuasaan ini sebagai orang yang mendapat nikmat yang besar. Tidak ada nikmat yang diberikan oleh Allah Swt. melebihi kenikmatan memegang kekuasaan. Dengan kekuasaan politik yang dipegang, seseorang dapat menjadi orang yang diutamakan oleh Allah Swt. untuk masuk surga. Di mata Allah, para penguasa memiliki derajat yang mulia dan lebih dicintai. Dikatakan oleh Rasulullah Swt., “Adilnya seorang raja dalam sehari lebih dicintai oleh Allah Swt. daripada ibadah tujuh puluh tahun.” (Abu Hamid Al-Ghazali. Al-Tibr Al-Masbûk fî Nashîhah Al-Mulûk. hal. 18)
Tentu saja nikmat yang besar bagi para pemegang kekuasaan itu sepanjang ia dapat berlaku adil. Pemimpin yang zhalim, justru ia akan berubah menjadi musuh Allah Swt., bukan lagi kekasih-Nya. Musuh-musuh Allah Swt. adalah mereka yang tidak mau mensyukuri nikmat yang diberikan-Nya. Penguasa yang tidak mensyukuri nikmatnya adalah penguasa yang zhalim dan korup. Bagi mereka Allah menyediakan siksa yang amat berat. “Tidak ada seorang hamba pun yang diamanahi untuk memimpin rakyat oleh Allah, lalu ia mati dan pada saat mati ia berkhianat pada rakyatnya, kecuali Allah Swt. mengharamkan surga baginya,” demikian sabda Rasulullah Swt. (HR Muslim; bab Fadhîlah Al-Imâm Al-‘Âdil wa ‘Uqûbatuhu).
Ini menunjukkan bahwa wilayah politik adalah wilayah yang kedudukannya bisa sangat mulia. Politik di dalam Islam menempati posisi yang penting, asal politik dipergunakan sesuai track-nya, yaitu untuk menjaga tegaknya agama dan menyejahterakan rakyat. Betapa tidak mulia. Para politisi ini akan bekerja bukan untuk kepentingannya, melainkan untuk kepentingan orang lain; dan terutama untuk kepentingan agama Allah Swt. Betapa mulianya orang yang memegang pekerjaan ini. Oleh sebab itu, politisi yang tidak bekerja sesuai dengan akadnya sebagai politisi, dia dinamakan “pengkhianat”. Dia mengkhianati amanah Allah Swt. dan amanah rakyat sekaligus. Dosanya pun tidak kepalang tanggung, sama seperti pahalanya.
Pentingnya posisi politik bahkan diletakkan hanya satu garis di bawah kerasulan. Ketaatan kepada pemagang posisi politik tertinggi (ulil-amri) harus diberikan setelah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya (QS Al-Nisâ’ [4]: 59). Sekalipun ketaatan ini bersyarat, yaitu sepanjang tidak bertentangan dengan ketaatan pada Allah dan rasul-Nya, namun pernyataan secara khusus tentang posisi ulil-amri ini menyatakan bahwa politik adalah sesuatu yang amat penting dan memiliki kedudukan yang tinggi. Oleh sebab itu pula, memisahkan Islam—sebagai agama—dengan politik adalah perbuatan sia-sia. Selain amat mustahil, juga tidak sesuai dengan karakter ajaran Islam yang syâmil-mutakâmil.
Selain memuji sebagai pekerjaan yang sangat penting, Islam juga mengingatkan bahwa memegang posisi politik adalah memegang posisi yang penuh fitnah. Dalam sebuah hadis yang tercantum dalam Sunan Al-Nasâ’i bab Ittibâ’ Al-Shaid dari Ibnu Abbas, Rasulullah Saw. pernah mengatakan, “Siapa yang tinggal di hutan dia akan kering (dari informasi; kurang pergaulan); siapa yang mengikuti binatang buruan, dia akan lalai; dan siapa yang mengikuti (dekat-dekat) penguasa, dia akan terkena fitnah.” Al-Suyûthi menyebut bahwa yang dimaksud “terkena fitnah” dalam hadis tersebut adalah “hilangnya agama” atau “dikhawatirkan sudah tidak lagi memperhatikan agamanya, karena ingin mendapatkan keridhoan penguasa.” (Al-Suyuthi. Syarh Sunan Al-Nasâ’i. Jil. 6 hal. 50.)
Berdekat-dekatan dengan penguasa saja dapat menimbulkan fitnah yang besar, yaitu hilangnya agama, apalagi menjadi penguasa. Menjadi penguasa secara psikologis memang membuat orang cenderung merasa dirinya paling segalanya sehingga tidak sedikit yang lupa daratan. Ini terlihat saat yang bersangkutan kehilangan posisi dan kedudukannya. Tidak sedikit yang mengidap penyakit kejiwaan yang sering disebut post power-syndrom. Oleh sebab itu, tanpa bekal keimanan, keilmuan, dan mental baja, banyak orang yang terjerumus dalam kubangan dunia politik. Mereka terjerumus dalam lumpur dosa akibat mengkhianati amanah yang dipikulnya. Kesempatan untuk berkhianat pada amanah sangat terbuka lebar bagi mereka yang memegang kekuasaan. Tidak salah pula dalam konteks ini apabila politik dikatakan sebagai suatu medan yang high risk high value.
Dari sini dapat kita simpulkan secara sederhana bahwa Islam tidak menempatkan politik sebagai sesuatu yang tidak perlu didekatkan dengan agama. Justru dalam pandangan Islam, politik harus didasarkan pada agama. Agama harus menjadi landasan pertama dan utama dalam politik. Sekali politik dijauhkan dari agama, maka pada saat itulah politik akan menjadi lading perebutan kekuasaan yang sangat barbarian. Satu sama lain akan saling membunuh untuk mendapatkan kekuasaan. Seandainya pun ada mekanisme-mekanisme lahiriah seperti yang diciptakan dalam demokrasi modern, tanpa landasan agama mekanisme-mekanisme apapun tetap akan dikapitalisasi untuk kepentingan-kepentingan pribadi dan tetap akan menjadi lahan untuk saling menghancurkan satu sama lain, bukan untuk menegakkan niat dan cita-cita politik sesungguhnya.
Hal lain yang menarik dari pandangan Islam tentang politik ini adalah bahwa penekanan utama masalah politik ada pada penguasa dan kekuasaannya itu. Sementara mengenai urusan teknis dalam politik seperti sistem pemilihan, pembuatan struktur kekuasaan dan birokrasi pemerintahan serta persoalan-persoalan teknis lainnya tidak diatur secara rigid. Para yuris Muslim diberi keleluasaan untuk berijtihad didasarkan pada prinsip-prinsip umum ajaran dan hukum Islam. Ini menunjukkan bahwa wilayah politik praktis memiliki keluasan ruang kreatif bagi umat Islam sehingga dimungkinkan dapat terus berinovasi mengikuti perubahan dan perkembangan zaman.
Sekalipun Islam memberikan keleluasaan dalam berijtihad menentukan hal-hal teknis dalam berpolitik praktis, namun tentu hal-hal prinsip dalam Islam tidak boleh berlaku dalam politik Islam. Misalnya bahwa politik Islam harus dilandaskan pada prinsip tauhid yang meletakkan supremasi pengaturan kehidupan kepada Allah Swt., termasuk kehidupan politik. Hak prepogatif tidak diberikan pada “kebebasan manusia” sebagaimana filsafat politik yang berlaku saat ini, melainkan kepada ketundukan manusia pada Allah Swt. Oleh sebab itu, penghormatan terhadap hak-hak individu sebagaimana dikenal dalam ketentuan hak asasi manusia yang menjadi prinsip umum sistem politik demokrasi harus diletakkan setelah pengakuan terlebih dahulu atas hak-hak Allah Swt. atas hambanya. Prinsip ini berimplikasi pada kesadaran untuk mendahulukan wahyu dalam mengatur persoalan politik daripada keinginan dan akal manusia. Bila suatu hal diperintahkan atau dilarang secara qoth’i oleh wahyu, maka itulah yang didahulukan sekalipun bertentangan dengan keinginan dan kesenangan manusia.
Politik yang bertauhid juga sudah pasti tidak akan bersetuju dengan sekularisme dalam berpolitik. Sekularisme menghendaki politik steril sama sekali dari intervensi agama. Politik harus murni sebagai hasil negosiasi antar-manusia dan menghasilkan kebijakan-kebijakan politik yang disepakati para pendukungnya. Kalaupun agama menjadi bagian dari urusan manusia, maka “agama”-lah yang diurus oleh politik dan bukan sebaliknya. Agama yang dimaksud bukan agama sebagai ajaran, melainkan agama sebagai kepentingan manusia sehingga harus diatur oleh politik. Dalam hal ini agama menjadi objek, bukan subjek dalam politik. Sekularisme dalam politik adalah bentuk lain dari syirik modern yang dipraktikkan dalam berpolitik. Politik Islam pasti akan menghindari sejauh-jauhnya perilaku semacam ini.
Sebagaimana tujuan utama yang telah dijelaskan di atas, politik Islam pun harus menjadi kekuatan yang dapat menegakkan dan melindungi syariat-syariat Allah Swt. dalam berbagai aspek. Tidak boleh ada usaha-usaha manusia yang dibiarkan menolak, merusak, dan menghancurkan syari’at Allah Swt. ini. Kekuatan politik Islam adalah kekuatan politik yang harus menjalankan fungsi amar ma’rûf dan nahyi munkar. Tentu saja fungsi itu dasarnya adalah ketentuan ma’rûf dan munkar yang berlaku dalam ajaran Islam. Walhasil, politik Islam adalah anasir pelindung utama tegaknya ajaran-ajaran Islam; sambil pada saat yang sama politik Islam adalah alat untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Wallâhu A’lamu bi Al-Shawwâb.
Kang,bagaimana dengan pendapat sebagian saudara kita yang melihat politik senagai sesuatu yg prinsip,bukan ijtihadi,dalam hal ini konsep khilafah.sehingga aktifitas politik yg bukan dalam naungan khilafah dinilai batil dan tidak sah secara syar’i.terus terang saya belum begitu faham persoalan khilaf ini
[…] Ilustrasi Politik dan Agama (sumber gambar disini) […]